Tafsir At Taubah Ayat 117-129

Ayat 117-119: Perang Tabuk, dan diterimanya tobat oleh Allah Subhaanahu wa Ta'aala dari tiga orang yang tidak ikut berperang

لَقَدْ تَابَ اللَّهُ عَلَى النَّبِيِّ وَالْمُهَاجِرِينَ وَالأنْصَارِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ فِي سَاعَةِ الْعُسْرَةِ مِنْ بَعْدِ مَا كَادَ يَزِيغُ قُلُوبُ فَرِيقٍ مِنْهُمْ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ إِنَّهُ بِهِمْ رَءُوفٌ رَحِيمٌ (١١٧) وَعَلَى الثَّلاثَةِ الَّذِينَ خُلِّفُوا حَتَّى إِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ الأرْضُ بِمَا رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ أَنْفُسُهُمْ وَظَنُّوا أَنْ لا مَلْجَأَ مِنَ اللَّهِ إِلا إِلَيْهِ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ (١١٨) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ (١١٩

Terjemah Surat At Taubah Ayat 117-119

117. Sungguh, Allah telah menerima tobat Nabi, orang-orang muhajirin dan orang-orang anshar[1], yang mengikuti Nabi pada masa-masa sulit[2], setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling[3], kemudian Allah menerima tobat mereka[4]. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka[5],

118.[6] Dan terhadap tiga orang yang ditinggalkan[7]. Hingga ketika bumi terasa sempit bagi mereka[8], padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah (pula terasa) sempit bagi mereka[9], serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksaan) Allah, melainkan kepada-Nya saja, kemudian Allah menerima tobat mereka[10] agar mereka tetap dalam tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat[11] lagi Maha Penyayang[12].

119. Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan bersamalah kamu dengan orang-orang yang benar[13].

Ayat 120-121: Wajibnya berjihad bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan pahala orang-orang yang berjihad di jalan Allah

مَا كَانَ لأهْلِ الْمَدِينَةِ وَمَنْ حَوْلَهُمْ مِنَ الأعْرَابِ أَنْ يَتَخَلَّفُوا عَنْ رَسُولِ اللَّهِ وَلا يَرْغَبُوا بِأَنْفُسِهِمْ عَنْ نَفْسِهِ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ لا يُصِيبُهُمْ ظَمَأٌ وَلا نَصَبٌ وَلا مَخْمَصَةٌ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلا يَطَئُونَ مَوْطِئًا يَغِيظُ الْكُفَّارَ وَلا يَنَالُونَ مِنْ عَدُوٍّ نَيْلا إِلا كُتِبَ لَهُمْ بِهِ عَمَلٌ صَالِحٌ إِنَّ اللَّهَ لا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ (١٢٠) وَلا يُنْفِقُونَ نَفَقَةً صَغِيرَةً وَلا كَبِيرَةً وَلا يَقْطَعُونَ وَادِيًا إِلا كُتِبَ لَهُمْ لِيَجْزِيَهُمُ اللَّهُ أَحْسَنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (١٢١

Terjemah Surat At Taubah Ayat 120-121

120. Tidak pantas bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badui yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (pergi berperang) dan tidak pantas (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada (mencintai) diri rasul. Yang demikian itu[14] karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan di jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir[15], dan tidak menimpakan suatu bencana kepada musuh[16], kecuali (semua) itu akan dituliskan bagi mereka sebagai suatu amal kebajikan[17]. Sungguh, Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik[18],

121. Dan tidaklah mereka memberikan infak baik yang kecil maupun yang besar dan tidak (pula) melintasi suatu lembah (berjihad), kecuali akan dituliskan bagi mereka (sebagai amal kebajikan), untuk diberi balasan oleh Allah (dengan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan[19].

Ayat 122-123: Keutamaan keluar mencari ilmu, mendalami agama dan mengajak manusia kepada Allah Subhaanahu wa Ta'aala

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ (١٢٢)يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قَاتِلُوا الَّذِينَ يَلُونَكُمْ مِنَ الْكُفَّارِ وَلْيَجِدُوا فِيكُمْ غِلْظَةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ (١٢٣)

Terjemah Surat At Taubah Ayat 122-123

122.[20] Tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka[21] dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya[22] apabila mereka telah kembali agar mereka dapat menjaga dirinya[23].

123.[24] Wahai orang-orang yang beriman! Perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu[25], dan hendaklah mereka merasakan sikap tegas darimu, dan ketahuilah, bahwa Allah bersama orang yang bertakwa[26].

Ayat 124-127: Sikap kaum munafik dan kaum mukmin terhadap kitab Allah Ta’ala, menghormati majlis Al Qur’an dan majlis ilmu

وَإِذَا مَا أُنْزِلَتْ سُورَةٌ فَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ أَيُّكُمْ زَادَتْهُ هَذِهِ إِيمَانًا فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا فَزَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَهُمْ يَسْتَبْشِرُونَ (١٢٤) وَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَتْهُمْ رِجْسًا إِلَى رِجْسِهِمْ وَمَاتُوا وَهُمْ كَافِرُونَ (١٢٥) أَوَلا يَرَوْنَ أَنَّهُمْ يُفْتَنُونَ فِي كُلِّ عَامٍ مَرَّةً أَوْ مَرَّتَيْنِ ثُمَّ لا يَتُوبُونَ وَلا هُمْ يَذَّكَّرُونَ (١٢٦) وَإِذَا مَا أُنْزِلَتْ سُورَةٌ نَظَرَ بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ هَلْ يَرَاكُمْ مِنْ أَحَدٍ ثُمَّ انْصَرَفُوا صَرَفَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لا يَفْقَهُونَ (١٢٧)

Terjemah Surat At Taubah Ayat 124-127

124.[27] Dan apabila diturunkan suatu surah[28], maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata[29], "Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surah ini?"[30] Adapun orang-orang yang beriman, maka surah ini menambah imannya[31], dan mereka merasa gembira.

125. Dan adapun orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit[32], maka (dengan surah itu) akan menambah kekafiran mereka yang telah ada[33], dan mereka mati dalam keadaan kafir[34].

126.[35] Dan tidakkah mereka (orang-orang munafik) memperhatikan bahwa mereka diuji[36] sekali atau dua kali setiap tahun, namun mereka tidak (juga) bertobat[37] dan tidak (pula) mengambil pelajaran?[38]

127. Dan apabila diturunkan suatu surah, satu sama lain di antara mereka saling berpandangan (sambil berkata) [39], "Adakah seseorang dari (kaum muslimin) yang melihat kamu?" setelah itu mereka pun pergi. Allah memalingkan hati mereka[40] disebabkan mereka adalah kaum yang tidak memahami (kebenaran).

Ayat 128-129: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan sifatnya yang mulia

لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ (١٢٨) فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ لا إِلَهَ إِلا هُوَ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ (١٢٩)

Terjemah Surat At Taubah Ayat 128-129

128. Sungguh, telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, (dia) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang yang beriman[41].

129. Maka jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah (Muhammad), "Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal[42] dan Dia adalah Tuhan yang memiliki 'Arsy (singgasana)[43] yang agung.”

KANDUNGAN AYAT :

[1] Allah Subhaanahu wa Ta'aala mengampuni ketergelinciran mereka, memperbanyak kebaikan, dan menaikkan mereka ke derajat yang tinggi disebabkan mereka mau melakukan perbuatan-perbuatan yang berat dilakukan.

[2] Yaitu di perang Tabuk, di mana ketika itu dua orang sampai berbagi dalam memakan satu buah kurma, dan sepuluh orang bergantian menunggangi seekor unta. Ketika itu, cuaca sangat panas, perbekalan dan kendaraan kurang, dan musuh berjumlah besar. Semua itu dapat membuat seseorang meninggalkan perang.

[3] Dengan tidak mengikuti Beliau karena keadaan yang begitu sulit. Berpalingnya hati adalah dengan berpaling dari jalan yang lurus, jika berpaling dalam hal yang menyangkut dasar agama, maka bisa menjadi kafir, namun jika berpalingnya dalam syari’at yang cabang (bukan ushul), maka keadaannya tergantung sejauh mana tingginya kedudukan syari’at itu. Berpaling tersebut bisa dengan tidak melakukannya atau melakukannya namun tidak sesuai syari’at.

[4] Dengan menjadikan mereka tetap kokoh.

[5] Di antara kasih sayang-Nya kepada mereka adalah dengan mengaruniakan mereka taufik untuk bertobat, menerimanya dan meneguhkan mereka di atasnya.

[6] Imam Bukhari meriwayatkan dari Abdulah bin Ka’ab bin Malik, dia di antara anak Ka’ab yang menjadi penuntun Ka’ab ketika telah buta. Ia berkata, “Aku mendengar Ka’ab bin Malik bercerita tentang kisah Tabuk ketika ia tidak ikut berperang, ia berkata: Aku tidaklah meninggalkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam di peperangan apa pun selain perang Tabuk, namun aku pernah tidak ikut pula perang Badar, tetapi Beliau tidak mencela orang yang meninggalkannya, hal itu karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam keluar untuk mendatangi kafilah (dagang) Quraisy, namun akhirnya Allah mengumpulkan mereka dengan musuhnya tanpa perjanjian terlebih dahulu. Aku hadir bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam di malam ‘Aqabah ketika Beliau membai’at kami di atas Islam, dan aku tidak suka jika ada pengganti (yang melebihi) malam ‘Aqabah, yaitu perang Badar (menurutnya malam ‘Aqabah lebih afdhal daripada perang Badar), meskipun perang Badar lebih dikenang oleh manusia daripada malam ‘Aqabah. Cerita saya, bahwa saya tidaklah pernah lebih kuat dan lebih lapang daripada keadaan ketika saya meninggalkan perang itu. Demi Allah, sesungguhnya sebelum itu tidak ada dua kendaraan sama sekali, hingga saya berhasil mengumpulkan keduanya pada perang itu. Sudah menjadi kebiasaan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa Beliau tidaklah hendak berperang kecuali menampakkan yang lain, termasuk dalam peperangan itu. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berangkat di waktu yang sangat panas, menuju perjalanan yang jauh, padang pasir dan musuh yang banyak. Maka Beliau menerangkan kepada kaum muslimin hal yang sesungguhnya agar mereka mempersiapkan perlengkapan untuk perang itu dan memberitahukan arah mana yang hendak Beliau tuju. Kaum muslimin yang bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam jumlahnya banyak, dan mereka tidak terdaftar dalam buku induk. Ka’ab berkata, “Oleh karena itu, tidak ada yang ingin absen kecuali dia menduga bahwa yang demikian akan tersembunyi bagi Beliau, selama tidak turun wahyu Allah terhadapnya.” Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pergi berperang ketika buah-buah matang dan pohonnya rindang, maka bersiap-siaplah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dengan kaum muslimin yang bersamanya. Aku pun pergi untuk ikut bersiap-siap bersama mereka, aku pulang, namun tidak melakukan apa-apa, maka aku berkata dalam hati, “Saya mampu melakukannya.” Hal itu berlangsung terus hingga mereka semakin siap, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan kaum muslimin berangkat sedangkan saya belum mempersiapkan apa-apa,” aku pun berkata, “Saya akan bersap-siap setelahnya sehari atau dua hari kemudian menyusul mereka.” Maka saya pergi setelah mereka jauh untuk bersiap-siap, saya pulang namun tidak melakukan apa-apa. Saya pergi lagi dan kembali namun belum melakukan apa-apa, dan terus menerus seperti itu sampai mereka semakin sepat dan (aaya) ketinggalan perang. Saya ingin berangkat dan menyusul mereka. Duhai, andai saja saya melakukannya, namun tidak ditaqdirkan buat saya, sehingga ketika saya keluar kepada orang-orang setelah kepergian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka saya berkeliling di antara mereka, saya pun bersedih karena tidak melihat orang selain orang yang tercela karena kemunafikannya atau orang yang diberi uzur oleh Allah dari kalangan kaum dhu’afa. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menyebutku sampai tiba di Tabuk. Beliau pun bersabda ketika duduk di tengah-tengah manusia di Tabuk, “Apa yang dilakukan Ka’ab?” Maka seorang dari Bani Salamah berkata, “Wahai Rasulullah, ia tertahan oleh kedua burdahnya dan melihat sisi tubuhnya.” Mu’adz bin Jabal berkata, “Buruk sekali apa yang kamu katakan. Demi Allah, wahai Rasulullah, kami tidak mengetahui tentangnya selain kebaikan.” Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam diam. Ka’ab bin Malik berkata, “Ketika sampai berita kepadaku, bahwa Beliau sedang kembali pulang, maka aku pun bersedih. Aku mulai berpikir tentang berdusta dan berkata (dalam hati), “Bagaimana caranya agar aku dapat lolos dari kemarahan Beliau besok? Aku pun meminta bantuan untuk itu kepada keluargaku yang berpengalaman. Namun ketika disebutkan, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjelang tiba, maka hilanglah (pikiran) batil dariku, dan saya mengetahui bahwa saya tidak dapat lolos selamanya dengan sesuatu yang di sana terdapat dusta, maka saya bertekad untuk jujur. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian datang, dan Beliau biasanya apabila pulang dari safar, pergi ke masjid, lalu shalat di sana dua rak’at, kemudian duduk di hadapan manusia. Ketika Beliau sedang seperti itu, maka orang-orang yang tidak ikut berperang datang, dan mulai mengemukakan uzurnya serta bersumpah. Jumlah mereka ada delapan puluh orang lebih, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menerima lahiriah mereka, membai’at mereka dan memintakan ampunan untuk mereka, serta menyerahkan rahasia mereka kepada Allah. Aku pun datang dan mengucapkan salam kepadanya, maka Beliau tersenyum dengan senyuman orang yang marah. Beliau bersabda, “Kemari!” maka aku pun datang sambil berjalan dan duduk di hadapannya, dan bersabda kepadaku, “Apa yang membuatmu tertinggal?” Bukankah kamu telah membeli kendaraanmu?” Aku menjawab, “Ya. Sesungguhnya aku demi Allah, jika aku duduk pada selain dirimu di antara penduduk dunia, aku yakin dapat lolos dari kemarahannya dengan suatu alasan. Aku telah diberi kelebihan berdebat, akan tetapi demi Allah, aku tahu bahwa jika aku menyampaikan kata-kata dusta pada hari ini kepadamu yang membuatmu ridha dengannya, tentu Allah akan menjadikan engkau marah kepadaku. Namun jika aku menyampaikan kata-kata jujur, maka engkau akan marah kepadaku. Sesungguhnya aku berharap ampunan dari Allah dengan kejujuran itu. Demi Allah, aku tidak memiliki uzur. Demi Allah, aku tidaklah lebih kuat dan lebih lapang daripada keadaan ketika aku meninggalkanmu.” Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Adapun orang ini, maka dia benar. Bangunlah sampai Allah memberikan keputusan terhadapmu.” Aku pun berdiri dan beberapa orang Bani Salamah bangkit mengikutiku. Mereka berkata kepadaku, “Demi Allah, kami tidak mengetahui kamu melakukan dosa sebelum ini, ternyata kamu tidak berani mengajukan uzur kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam seperti uzur yang diajukan oleh orang-orang yang tidak tertinggal lainnya (kaum munafik). Padahal cukup bagi dosamu permohonan ampunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam untukmu.” Demi Allah, mereka senantiasa mencelaku sampai aku ingin kembali dan berkata dusta. Lalu aku berkata kepada mereka, “Apakah ada orang yang mengalami seperti diriku?” Mereka menjawab, “Ya. Ada dua orang yang berkata seperti yang kamu ucapkan, kemudian dikatakan kepada keduanya seperti yang dikatakan kepadamu.” Aku pun berkata, “Siapa keduanya?” Mereka menjawab, “Muraarah bin Ar Rabii’ Al ‘Amriy dan Hilal bin Umayyah Al Waaqifiy.” Ternyata mereka menyebutkan kepadaku dua laki-laki saleh yang ikut perang Badar, di mana pada keduanya ada keteladanan. Maka aku pun tetap berjalan, ketika mereka menyebutkan kedua orang itu kepadaku. Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang kaum muslimin berbicara dengan kami bertiga dari sekian banyak orang yang tertinggal dari perang.” Manusia pun menjauhi kami dan berubah sikap kepada kami, sehingga berubah pula bumi dalam diriku, yang mana bumi yang aku kenal, kami tetap seperti itu selama lima puluh malam. Sedangkan kedua teman saya, mereka merasa hina dan duduk di rumahnya sambil menangis. Adapun saya, maka saya adalah orang yang paling muda di antara mereka dan paling kuat. Aku keluar, ikut shalat bersama kaum muslimin, dan berkeliling di pasar, namun tidak ada yang mau berbicara denganku. Aku mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengucapkan salam kepadanya, sedangkan Beliau berada di tempat duduknya setelah shalat. Aku berkata dalam hati, “Apakah Beliau akan menggerakkan bibirnya untuk menjawab salamku atau tidak? Lalu saya shalat dekat dengan Beliau, sambil mencuri pandang kepada Beliau. Ketika saya memasuki shalat, maka Beliau memandangku. Namun ketika aku menoleh ke arahnya, maka Beliau berpaling dariku. Sehingga ketika ketidakramahan dari manusia berlangsung lama padaku, aku pun berjalan dan menaiki tembok Abu Qatadah, dia adalah putera pamanku dan manusia yang paling saya cintai. Aku pun mengucapkan salam kepadanya. Demi Allah, dia tidak menjawab salamku. Aku pun berkata, “Wahai Abu Qatadah, saya bertanya kepadamu dengan nama Allah, tahukah kamu bahwa aku cinta kepada Allah dan Rasul-Nya? Ia pun diam, dan aku mengulangi lagi dan bertanya kepadanya sambil bersumpah, namun ia tetap diam.” Ia pun berkata, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Maka mengalirlah kedua mataku dan aku pun berpaling hingga aku memanjat tembok. Ketika saya berjalan di pasar Madinah, tiba-tiba ada seorang petani dari petani penduduk Syam yang datang membawa makanan yang ia jual di Madinah, ia berkata, “Siapa yang mau menunjukkanku kepada Ka’ab bin Malik?” Orang-orang segera memberi isyarat kepadanya (yakni kepadaku). Ketika ia datang kepadaku, ia menyerahkan surat dari raja Ghassan, dan ternyata isinya, “Amma ba’du, sesungguhnya telah sampai berita kepadaku, bahwa kawanmu telah bersikap kasar kepadamu, dan Allah tentu tidak akan menjadikanmu berada di negeri hina, juga tidak tersia-sia. Maka bergabunglah dengan kami, kami akan menolongmu.” Setelah membacanya, aku berkata, “Ini termasuk cobaan.” Aku pun pergi ke dapur, lalu aku bakar surat itu dengannya. Hingga ketika telah berlalu 40 malam dari 50 malam, tiba-tiba utusan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam datang kepadaku dan berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kamu menjauhi istrimu.” Aku pun berkata, “Apakah aku talak? Atau apa yang harus aku lakukan?” Ia berkata, “Jauhi saja dan jangan dekati.” Beliau juga mengutus kepada kedua kawanku seperti itu. Aku pun berkata kepada istriku, “Kembalilah kepada keluargamu sehingga kamu tinggal bersama mereka sampai Allah menyelesaikan masalah ini.” Ka’ab berkata, “Lalu istri Hilal bin Umayyah datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Hilal bin Umayyah adalah orang yang sudah tua lagi tidak punya apa-apa, ia tidak punya lagi pelayannya, apakah engkau tidak suka kalau aku melayaninya?” Beliau menjawab, “Bukan begitu, tetapi jangan sampai ia mendekatimu.” Istrinya berkata, “Demi Allah, sesungguhnya ia tidak pernah bergerak kepada sesuatu. Demi Allah ia senantiasa menangis sejak hari itu hingga hari ini.” Lalu sebagian keluargaku berkata kepadaku, “Kalau sekiranya engkau meminta izin kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tentang istrimu sebagaimana Beliau mengizinkan kepada istri Hilal bin Umayyah untuk melayaninya?” Aku pun berkata, “Demi Allah, aku tidak akan meminta izin kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dan aku tidak tahu apa yang dikatakan nanti oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ketika aku meminta izin kepadanya, sedangkan saya seorang pemuda?” Maka setelah itu, saya tetap seperti itu sampai sepuluh malam sehingga genaplah lima puluh malam dari sejak Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang berbicara dengan kami. Ketika aku shalat Subuh pada malam yang kelima puluh, sedangkan aku berada di salah satu atap rumah kami. Ketika aku sedang duduk dalam keadaan yang disebutkan Allah itu, di mana diriku telah terasa sempit, dan bumi yang luas pun menjadi sempit bagiku, aku pun mendengar suara keras orang yang berteriak yang muncul dari atas gunung Sala’, “Wahai Ka’ab bin Malik, bergembiralah.” Maka aku pun tersungkur sujud, dan aku mengetahui bahwa kelegaan telah datang, kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memberitahukan tobat dari Allah kepada kami ketika telah selesai shalat Subuh. Lalu orang-orang datang memberi kabar gembira kepada kami, dan datang pula orang-orang memberi kabar gembira kepada dua sahabatku. Ada seseorang yang memacu kudanya dengan cepat kepadaku, dan ada lagi orang yang berlari kencang menujuku dari Bani Aslam, dia naik ke atas gunung, dan suara itu lebih cepat daripada kuda. Ketika telah datang kepadaku orang yang aku dengar suaranya memberi kabar gembira kepadaku, aku pun melepas kedua pakaianku dan memakaikan kepadanya karena kabar gembiranya. Demi Allah, padahal ketika itu aku tidak memiliki selainnya. Aku pun meminjam dua baju, dan aku pakai. Aku pun pergi kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu orang-orang mendatangiku secara berbondong-bondong, mereka mengucapkan selamat atau tobat saya. Mereka berkata, “Semoga tobat Allah membahagiakanmu.” Aku pun masuk ke masjid, tiba-tiba Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sedang duduk dengan dikerumuni manusia. Lalu Thalhah bin Ubaidillah berjalan cepat, menyalamiku dan mengucapkan selamat kepadaku. Demi Allah, tidak ada seorang pun dari kaum muhajirin yang bangkit kepadaku selainnya, dan aku tidak pernah melupakannya untuk Thalhah. Ka’ab melanjutkan kata-katanya, “Ketika aku mengucapkan salam kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadaku dalam keadaan mukanya berseri-seri karena senang, “Bergembiralah dengan hari terbaik yang pernah melewati hidupmu sejak kamu dilahirkan oleh ibumu.” Aku pun bertanya, “Apakah dari sisimu wahai Rasulullah ataukah dari sisi Allah?” Beliau menjawab, “Tidak, bahkan dari sisi Allah.” Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam apabila senang, mukanya berseri-seri sehingga seperti satu potong rembulan, dan kami mengenali yang demikian dari Beliau. Ketika aku duduk di depannya, aku berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya di antara tobatku adalah saya akan mengeluarkan sedekah kepada Allah dan kepada Rasulullah dari harta saya.” Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Tahanlah sebagian hartamu, yang demikian lebih baik bagimu.” Aku pun berkata, “Sesungguhnya saya menahan bagian saya yang ada di Khaibar.” Saya juga berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah menyelamatkanku karena kejujuran, dan termasuk (kesempurnaan) tobat saya adalah saya tidak berbicara kecuali benar selama aku masih hidup.” Demi Allah, aku tidak mengetahui seorang pun dari kaum muslimin yang diberi nikmat oleh Alah tentang kejujuran bicara sejak aku sebutkan hal itu kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang lebih baik dari nikmat yang diberikan-Nya kepadaku. Sejak aku sebutkan hal itu kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam aku tidak pernah sengaja berdusta sampai hari ini. Saya pun berharap kepada Allah agar Dia menjaga saya selama saya masih hidup, dan Allah pun menurunkan ayat kepada Rasul-Nya, “Laqad taaballahu ‘alan nabiyyi wal muhaajiriin…dst. Sampai ayat, “Wa kuunuu ma’ash shaadiqiin.” Demi Allah, Allah tidaklah memberi nikmat kepadaku suatu nikmat yang lebih besar setelah aku ditunjuki-Nya kepada Islam daripada kejujuranku kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, di mana aku tidak berdusta kepadanya, yang membuatku binasa sebagaimana orang-orang yang berdusta binasa. Sesungguhnya Allah berfirman kepada mereka yang berdusta ketika Dia menurunkan wahyu dengan seburuk-buruk ucapan yang difirmankan-Nya kepada seseorang, “Sayahlifuuna billahi lakum idzanqalabtum ilaihim…dst. Sampai Fa innallaha laa yardhaa ‘anil qaumil faasiqiin.” Ka’ab berkata, “Kami bertiga ditangguhkan dari perkara orang-orang yang telah diterima oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ketika mereka berani bersumpah kepada Beliau. Beliau membai’at mereka, memintakan ampunan dan menangguhkan urusan kami sehingga Allah memutuskannya. Oleh karena itulah, Allah berfirman, “Wa ‘alats tsalaatsatilladziina khullifuu…dst.” Dan yang disebutkan Allah itu bukan ketertinggalan kami dari peperangan, tetapi penangguhan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kepada kami dan pengakhiran Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap urusan kami dari orang-orang yang telah bersumpah serta mengajukan uzurnya kepada Beliau dan Beliau telah menerimanya.” (HR. Bukhari)

[7] Bisa juga diartikan, “Ditangguhkan penerimaan tobatnya.” Dan arti ini lebih tepat sesuai hadits Ka’ab bin Malik.

[8] Mereka tidak memperoleh satu pun tempat yang bisa membuatnya merasa tenteram.

[9] Karena kesedihan yang mendalam disebabkan tobat mereka yang ditunda.

[10] Dengan memberi taufik kepada mereka untuk bertobat.

* Penerimaan taubat dari Allah Azza wa Jalla, mendahului taubat seorang hamba kepadaNya

[11] Yakni banyak menerima tobat, memaafkan dan mengampuni ketergelinciran dan kemaksiatan.

[12] Rahmat-Nya senantiasa mengucur kepada semua hamba di setiap waktu, setiap saat dan di setiap detik, di mana dengannya urusan agama dan dunia mereka menjadi tegak. Ayat ini menunjukkan beberapa hal berikut:

- Tobat dari Alah kepada hamba-Nya merupakan harapan yang paling tinggi, karena Allah menjadikannya sebagai batas terakhir bagi hamba-hamba pilihan-Nya, dan mengaruniakan mereka dengannya ketika mereka mengerjakan amalan yang dicintai dan diridhai-Nya.

- Kelembutan Allah kepada mereka dan pengokohan-Nya terhadap iman mereka di saat-saat sulit.

- Ibadah yang berat dilakukan jiwa memiliki kelebihan di atas ibadah yang lain, dan semakin besar kesulitan, maka semakin besar pula pahala.

- Tobat dari Allah kepada hamba-Nya tergantung penyesalannya.

- Tanda kebaikan adalah ketika hati bergantung kepada Allah secara sempurna dan lepas dari ketergantungan kepada makhluk..

- Di antara kelembutan Allah kepada tiga orang itu adalah menyebut mereka, namun bukan celaan bagi mereka, Dia berfirman dengan kata-kata, “Khulifuu” (ditangguhkan tobatnya atau tertinggal perang), tidak “takhallafuu” (meninggalkan perang).

- Allah Subhaanahu wa Ta'aala mengaruniakan mereka bersikap jujur, oleh karenanya Dia memerintahkan yang lain mengikuti mereka.

[13] Baik dalam perkataan, perbuatan, maupun keadaan, di mana hati mereka selamat dari niat buruk, berhati ikhlas dan berniat baik. Perlu diketahui. Bahwa kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan membawa seseorang ke surga.

[14] Yakni dilarangnya mereka berbuat begitu.

[15] Yaitu memasuki daerah mereka atau menguasainya.

[16] Membunuh, menawan atau mengambil harta rampasan perang dari mereka.

[17] Karena yang demikian merupakan atsar (bekas) dari amal mereka.

[18] Bahkan akan membalasnya.

[19] Dalam ayat-ayat di atas terdapat dorongan dan membuat rindu jiwa untuk pergi berjihad di jalan Allah dan mencari pahala terhadap kesulitan yang mereka rasakan, dan bahwa hal itu meninggikan derajat mereka.

[20] Setelah mereka ditegur oleh Allah karena tidak ikut berperang, maka ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengirimkan sariyyah (pasukan kecil), semuanya ikut berangkat, kemudian turunlah ayat di atas.

[21] Ayat ini menunjukkan keutamaan ilmu syar’i, dan bahwa orang telah mempelajari ilmu hendaknya menyebarkannya di tengah-tengah hamba Allah, karena tersebarnya ilmu dari orang ‘alim (berilmu) termasuk keberkahannya dan pahalanya yang akan berkembang untuknya. Adapun jika dibatasi untuk dirinya saja dan tidak didakwahkannya di jalan Allah dengan hikmah dan nasehat yang baik serta tidak mengajarkan orang-orang bodoh hal-hal yang tidak mereka ketahui, maka apa hasil yang diperoleh dari ilmunya? Dirinya akan mati, ilmu dan buahnya pun mati, dan hal ini sungguh sayang bagi orang yang diberikan ilmu dan kepahaman. Dalam ayat ini juga terdapat petunjuk dan pengarahan, yakni bahwa kaum muslimin hendaknya membagi-bagi tugas, ada orang yang khusus mengisi waktunya untuk suau maslahat dan bersungguh-sungguh terhadapnya tidak berpindah kepada yang lain agar maslahat mereka tegak dan manfaat menjadi sempurna, meskipun jalur yang dilewati berbeda-beda, amal yang dilakukan tidak sama, namun tujuannya satu, yaitu menegakkan maslahat agama dan dunia mereka.

[22] Dengan menyampaikan ilmu kepada mereka.

[23] Dari siksaan Allah dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Ibnu Abbas berkata, “Ayat ini khusus dengan sariyyah (pasukan kecil),” sedangkan ayat sebelumnya yang melarang seorang pun sahabat tidak ikut berperang adalah apabila Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ikut berperang (ghazwah).

[24] Ini pun termasuk pengarahan juga, yakni setelah diatur sapa yang berangkat berperang dan siapa yang belajar agama, maka Allah mengarahkan mereka dengan memulai yang bisa dilakukan, yaitu bersikap tegas, keras dalam berperang, berani dan teguh pendirian.

[25] Keumuman ini ditakhshis (dikhususkan), jika maslahat terletak dalam memerangi yang tidak di sekitar kita.

[26] Dengan memberikan pertolongan dan pembelaan. Oleh karena itu, hedaknya kamu mengetahui, bahwa pertolongan Allah turun bersama ketakwaan, oleh karenanya tetaplah bertakwa.

[27] Dalam ayat ini Allah Subhaanahu wa Ta'aala menerangkan tentang keadaan orang-orang munafik dan keadaan orang-orang mukmin ketika turun ayat Al Qur’an.

[28] Yang berisi perintah, larangan, berita tentang Diri Allah, tentang perkara-perkara ghaib atau dorongan untuk berjihad.

[29] Kepada kawan-kawannya sambil mengolok-olok.

[30] Dalam ayat ini terdapat dalil, bahwa iman dapat bertambah dan berkurang. Ia bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.

[31] Baik dengan mengetahuinya, memahaminya, meyakininya, mengamalkannya, berkeinginan mengerjakan kebaikan, dan menahan diri dari mengerjakan keburukan. Ayat ini menunjukkan lapangnya dada mereka terhadap ayat-ayat Allah, hatinya tenteram dan segera tunduk.

[32] Maksudnya penyakin batin seperti kekafiran, kemunafikan, keragu-raguan dan sebagainya

[33] Menambah penyakit yang telah ada dan menambah keraguan yang telah ada.

[34] Setelah sebelumnya hati mereka dicap. Yang demikian merupakan hukuman bagi mereka, karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan mendurhakai Rasul-Nya, maka Allah tanamkan kemunafikan di hati mereka sampai mereka bertemu dengan-Nya.

[35] Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman mencela mereka karena terus menerus di atas kekafiran dan kemunafikan.

[36] Yang dimaksud dengan “diuji” di sini adalah musibah-musibah yang menimpa mereka seperti terbukanya rahasia tipu daya mereka, pengkhianatan mereka dan sifat mereka menyalahi janji. Yang lain mengatakan, bahwa yang dimaksud “diuji” adalah kemarau panjang dan berbagai penyakit. Ada pula yang berpendapat, bahwa mereka diuji pula dengan perintah-perintah untuk menguji mereka.

[37] Dari kemunafikannya.

[38] Dengan mengerjakan hal yang bermanfaat bagi mereka dan meninggalkan hal yang membahayakan mereka.

[39] Kaum munafik sangat khawatir jika turun surat yang menerangkan apa yang disembunyikan dalam hati mereka. Ketika turun suatu surat agar mereka mengimaninya dan mengamalkan isinya, maka satu sama lain saling berpandangan dengan bertekad kuat untuk tidak mengamalkannya, dan menunggu saat-saat tidak terlihat oleh kaum mukmin dan mereka berkata, "Adakah seseorang dari (kaum muslimin) yang melihat kamu?” sambil pergi dengan sembunyi-sembunyi di atas kemunafikannya dan berpaling, maka Allah membalas mereka karena tidak mau mengamalkannya dengan memalingkan hati mereka dari petunjuk.

[40] Dari petunjuk.

[41] Oleh karena itu, hak Beliau harus didahulukan di atas semua hak makhluk, dan wajib bagi umatnya beriman kepadanya, memuliakannya, membantunya dan menghormatinya.

[42] Dalam meraih hal yang bermanfaat dan menghindarkan hal yang bermadharrat.

[43] Disebutan ‘Arsy secara khusus, karena ia merupakan makhluk Allah yang paling besar.

===========

TAFSIR RINGKAS [At-Taubah/9:119]

Syaikh Abu Bakr Jabir Al-Jazâ’iri rahimahullah menafsirkan firman Allâh Azza wa Jalla (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kalian kepada Allâh, dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang jujur!” Beliau t mengatakan, “Bertakwalah kalian dengan mengikuti perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Dan jadilah kalian orang-orang yang jujur dalam niat, perkataan dan perbuatan. Dengan demikian, kalian akan bersama orang-orang yang jujur di akhirat, bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Abu Bakr Radhiyallahu anhu dan ‘Umar Radhiyallahu anhu dan bersama seluruh para nabi, orang-orang yang shiddiiq, orang-orang yang syahid dan orang-orang yang shalih.”[1]

Syaikh as-Sa’di rahimahullah menafsirkan firman Allâh Azza wa Jalla (yang artinya), “Hendaklah kalian bersama orang-orang yang jujur.” Beliau t mengatakan, “Kejujuran dalam seluruh perkataan, perbuatan dan keadaan. Mereka adalah orang-orang yang perkataan, perbuatan dan keadaan mereka selalu jujur. Kejujuran yang terhindar dari sifat malas dan lesu, selamat dari maksud-maksud yang jelek, mengandung keikhlasan dan niat yang baik. Sesungguhnya kejujuran mengantarkan kepada kebajikan atau ketakwaan, dan kebajikan akan mengantarkan kepada surga.”[2]\

PENJABARAN AYAT

Arti Kejujuran Di Dalam Ayat Tersebut

Ada beberapa penafsiran yang disebutkan oleh para Ulama, ketika mereka menafsirkan ayat di atas, yang artinya, “Dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang jujur (benar).”. Di antara tafsir yang mereka sebutkan adalah sebagai berikut:
‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma mengatakan, “Yaitu bersama Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya.”
Adh-Dhahhâk rahimahullah mengatakan, “Yaitu bersama Abu Bakar, ‘Umar dan para Sahabat mereka Radhiyallahu anhum.”[3]
Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, “Bersama orang-orang yang keluar (berjihad) bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bukan bersama orang-orang munafik. Yaitu hendaklah kalian menjadi orang-orang yang jujur dan menempuh jalan mereka.

Dan di antara tafsir yang disebutkan, mereka adalah orang-orang yang penampilan lahiriah mereka sama dengan apa yang ada di batin mereka. Ibnul-‘Arabi mengatakan, ‘Penafsiran ini adalah hakikat dan tujuan akhir yang diinginkan. Sesungguhnya sifat ini menghilangkan kemunafikan pada keyakinannya dan menghilangkan perselisihan dengan perbuatannya. Orang yang memiliki sifat ini disebut sebagai ash-Shiddîq, seperti Abu Bakr Radhiyallahu anhu , ‘Umar Radhiyallahu anhu dan Utsmân Radhiyallahu anhu serta orang-orang yang di bawah kedudukan mereka sesuai dengan kedudukan-kedudukan dan zaman-zaman mereka”[4]
Dan disebutkan tafsir yang lainnya sebagaimana telah disebutkan pada tafsir ringkas di atas.

Sehingga kita bisa menarik kesimpulan bahwa kejujuran yang dimaksud dalam ayat di atas bersifat umum, jujur dalam perkataan, perbuatan, keyakinan, keadaan dan lain-lain. Dengan berlaku jujur, seseorang bisa mendapatkan kedudukan yang mulia bersama para Nabi, para Shahabat yang mulia, para syahid dan orang-orang shalih.

WAJIBNYA BERLAKU JUJUR DAN HARAMNYA BERDUSTA

Islam adalah agama yang mulia. Islam mengajarkan kepada seluruh pengikutnya untuk selalu jujur dalam semua keadaan. Islam juga mengharamkan sifat dusta dan mencela perbuatan dusta. Oleh karena itu, di dalam banyak ayat dan juga hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Allâh dan Rasul-Nya menjelaskan keharaman dusta.

Di antara dalil yang menunjukkan buruknya sifat dusta dan mulianya sifat jujur adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِى إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِى إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا

Kalian wajib berlaku jujur. Sesungguhnya kejujuran akan mengantarkan kepada kebajikan (ketakwaan) dan sesungguhnya ketakwaan akan mengantarkan kepada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan selalu berusaha untuk jujur maka akan dicatat di sisi Allâh sebagai orang yang shiddiiq (yang sangat jujur). Kalian harus menjauhi kedustaan. Sesungguhnya kedustaan itu akan mengantarkan kepada perbuatan dosa dan sesungguhnya dosa itu akan mengantarkan kepada neraka. Jika seseorang senantiasa berdusta dan selalu berusaha untuk berdusta, maka akan dicatat di sisi Allâh sebagai orang yang kadzdzaab (suka berdusta).[5]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ.

Tanda orang munafik itu ada tiga, yaitu: jika dia berbicara dia dusta, jika dia berjanji maka dia mengingkarinya dan jika dia dipercaya maka dia berkhianat.[6]

KEUTAMAAN ORANG YANG MEMILIKI SIFAT JUJUR

Orang yang memiliki sifat jujur akan mendapatkan banyak keutamaan, di antaranya adalah sebagai berikut:
Dia Akan Mendapatkan Ketenangan Hati

Orang yang selalu jujur akan mendapatkan ketenangan dalam hatinya. Dia akan merasa nyaman dengan kejujuran yang telah dia lakukan. Berbeda halnya dengan orang yang suka berdusta. Hidup mereka tidak akan tenang dan penuh dengan kebimbangan.

Orang yang sudah terbiasa berbohong, maka untuk membenarkan kebohongannya dia akan selalu berbohong, sehingga hidupnya dipenuhi dengan kebohongan. Orang yang seperti ini tidak akan bahagia di dunia dan di akhirat. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيبُكَ، فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ ، وَإِنَّ الكَذِبَ رِيبَةٌ

Tinggalkanlah apa-apa yang meragukanmu dengan mengerjakan apa-apa yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya kejujuran adalah ketenangan dan sesungguhnya kedustaan (akan mengantarkan kepada) keragu-raguan atau kebingungan.[7]
Dia Akan Mendapatkan Keberkahan Dalam Jual Belinya

Seorang yang jujur dalam kehidupannya setia hari dengan orang lain, maka ia akan mendapatkan keberkahan dalam hidupnya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan:

الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِى بَيْعِهِمَا وَإِنْ كَذَبَا وَكَتَمَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا

Penjual dan pembeli memiliki hak khiyâr (pilih) selama mereka belum berpisah. Apabila keduanya jujur dan saling menjelaskan, maka mereka akan diberkahi di dalam jual beli mereka. Apabila mereka berdusta dan saling menyembunyikan (cacat) maka akan dilenyapkan keberkahan jual beli mereka.[8]

Hadits ini menunjukkan bahwa keberkahan di dalam jual beli bisa didapatkan dengan kejujuran.
Dia Akan Mendapatkan Kesyahidan Jika Dia Memintanya Dengan Jujur

Menjadi orang yang mati syahid adalah cita-cita setiap Mukmin yang sempurna keimanannya. Keutamaan orang yang mati dalam keadaan syahid sangat banyak dan sangat besar. Dalil-dalil yang membahas tentang keutamaan mati dalam keadaan syahid disebutkan dalam al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Pada saat sekarang ini, sangat susah untuk bisa menjadi orang yang mati dalam keadaan syahid di medan pertempuran, karena syarat untuk berhijad itu sangat banyak dan tidak sembarangan. Akan tetapi, Allâh Azza wa Jalla tetap memberikan keutamaan jihad untuk orang-orang yang menginginkan mati dalam keadaan syahid, jika orang tersebut memiliki niat yang ikhlas dan jujur dari hatinya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ سَأَلَ اللَّهَ الشَّهَادَةَ بِصِدْقٍ بَلَّغَهُ اللَّهُ مَنَازِلَ الشُّهَدَاءِ وَإِنْ مَاتَ عَلَى فِرَاشِهِ

Barangsiapa meminta kepada Allâh dengan jujur agar diwafatkan dalam keadaan syahid, maka Allâh akan menjadikannya berkedudukan seperti orang-orang yang mati syahid walaupun dia mati di atas kasurnya.[9]

SURGA DAN ORANG-ORANG YANG JUJUR

Allâh Azza wa Jalla akan memberikan surga atas kejujuran seseorang selama hidup di dunia. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

قَالَ اللَّهُ هَٰذَا يَوْمُ يَنْفَعُ الصَّادِقِينَ صِدْقُهُمْ ۚ لَهُمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

Allâh berfirman, ‘Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang jujur kejujuran mereka. Bagi mereka surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allâh rida terhadap mereka dan mereka rida terhadap Allâh. Itulah keberuntungan yang paling besar.’ [Al-Mâidah/5: 119]

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَٰئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُولَٰئِكَ رَفِيقًا

Dan barangsiapa yang mentaati Allâh dan Rasul, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang Allâh berikan kenikmatan kepada mereka dari kalangan nabi-nabi, para shiddiiqiin (orang-orang yang sangat jujur), orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang shalih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. [An-Nisâ’/4:69]

SIAPAKAH YANG DINAMAKAN ASH-SIDDIQ (ORANG YANG SANGAT JUJUR)?

Para Ulama berbeda lafaz dalam mengartikan ash-shiddîq. Di antara arti-arti ash-shiddîq yang mereka sebutkan adalah sebagai berikut:
Mereka adalah para pengikut para Nabi yang membenarkan mereka dan mengikuti jalan mereka setelah para nabi meninggal sampai mereka menemui mereka (para Nabi).
Mereka adalah orang yang suka bersedekah.[10]
Mereka adalah orang-orang yang beriman kepada para rasul dan tidak mengingkari mereka sedikit pun (sekejap mata pun), seperti: orang yang beriman dari keluarga Fir’aun, sahabat keluarga Yâsîn, Abu Bakr Ash-Shiddîq Radhiyallahu anhu dan Ashhâbul ukhdûd.[11]
Mereka adalah orang-orang yang menyempurnakan martabat-martabat keimanan, amal-amal shalih, ilmu yang bermanfaat dan keyakinan yang jujur.[12]
Mereka adalah orang-orang yang beriman kepada Allâh dan Rasul-Nya, serta mereka membenarkan semua yang Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bawa dan yang beliau kabarkan.[13]



WAJIBNYA MENJAGA AMANAH

Di antara bentuk kejujuran pada diri seseorang adalah bisa menjaga amanah yang diberikan kepadanya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ إِيمَانَ لِمَنْ لاَ أَمَانَةَ لَهُ ، وَلاَ دِينَ لِمَنْ لاَ عَهْدَ لَهُ

Tidak ada keimanan bagi orang yang tidak beramanah. Dan tidak ada agama bagi orang yang tidak mememenuhi perjanjian[14]

Orang yang diberikan amanah harus benar-benar menjalankan amanah yang diberikan kepadanya.

CARA MELATIH KEJUJURAN

Untuk mencapai derajat ash-shiddîq (orang yang sangat jujur) tidaklah mudah. Seseorang harus terus melatih dan mempraktikkan kejujuran dalam setiap perkataan, perbuatan dan niat. Jika kita perhatikan, sifat dusta kebanyakan muncul karena kecintaan seseorang terhadap dunia. Untuk mendapatkan dunia, banyak orang yang berdusta dan melupakan akhiratnya.

Al-Hasan al-Bashri rahimahullah pernah mengatakan:

إِنْ أَرَدْتَ أَنْ تَكُوْنَ مَعَ الصَّادِقِيْنَ، فَعَلَيْكَ بِالزُّهْدِ فِي الدُّنْيَا، وَالكَفُّ عَنْ أَهْلِ المِلَّةِ

Apabila engkau ingin bersama orang-orang yang jujur, maka engkau wajib berzuhud terhadap dunia dan menahan diri dari (mengikuti) orang kafir.[15]

DUSTA YANG DIPERBOLEHKAN

Hukum asal dari dusta adalah haram. Seseorang tidak boleh melakukannya dalam keadaan apapun. Akan tetapi, ada beberapa tempat, dimana seorang Muslim boleh berdusta, karena berdusta pada saat itu, memiliki maslahat (kebaikan) yang sangat besar dalam kehidupan seorang Muslim. Dusta yang diperbolehkan hanya terdapat pada tiga tempat, sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لاَ أَعُدُّهُ كَاذِبًا الرَّجُلُ يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ يَقُولُ الْقَوْلَ وَلاَ يُرِيدُ بِهِ إِلاَّ الإِصْلاَحَ وَالرَّجُلُ يَقُولُ فِى الْحَرْبِ وَالرَّجُلُ يُحَدِّثُ امْرَأَتَهُ وَالْمَرْأَةُ تُحَدِّثُ زَوْجَهَا

Saya tidak menganggap berdusta seorang yang mendamaikan di antara manusia, dia mengatakan perkataan yang dia tidaklah menginginkan kecuali perdamaian, seorang yang berkata di dalam peperangan dan seorang lelaki yang berbicara kepada istrinya (tentang istrinya) dan seorang wanita yang berbicara kepada suaminya (tentang suaminya).[16]

Begitu pula sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

رَخَّصَ n مِنَ الْكَذِبِ فِي ثَلاَثٍ : فِي الْحَرْبِ، وَفِي الإِصْلاَحِ بَيْنَ النَّاسِ، وَقَوْلِ الرَّجُلِ لاِمْرَأَتِهِ

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan keringanan untuk berdusta di tiga tempat, yaitu ketika berperang, ketika mendamaikan di antara manusia dan perkataan seorang lelaki kepada istrinya[17]

Para Ulama berbeda pendapat dalam memahami hadits di atas. Apakah dusta pada ketiga hal ini diperbolehkan secara mutlak, ataukah tetap tidak diperbolehkan, namun yang diperbolehkan hanyalah tauriyah. Yang dimaksud dengan tauriyah adalah seseorang mengatakan suatu perkataan, tetapi perkataan tersebut bisa dipahami berbeda oleh orang-orang yang mendengarkannya, sedangkan orang yang mengatakannya menginginkan makna yang lain dari perkataannya, sehingga dia tidak bisa dikatakan berdusta.

Contoh dari tauriyah adalah sebagai berikut:

Ada orang zhalim yang mencari dan mengejar seseorang untuk membunuhnya, kemudian orang yang dikejar berlari dan melewati seorang yang sedang duduk. Kemudian orang zhalim tersebut bertanya kepada orang yang duduk tadi, “Apakah kamu melihat orang yang berlari?” Orang yang duduk tadi pun mengatakan sambil berdiri, “Semenjak saya berdiri di sini, saya tidak melihat seorang pun lewat di depan saya.”

Orang yang duduk tadi melakukan tauriyah, yang dia maksudkan adalah semenjak berdiri dia tidak melihat seorang pun, tetapi ketika dia duduk dia melihatnya. Sedangkan yang dipahami oleh orang yang bertanya adalah dari tadi orang tersebut tidak melihat orang yang dicarinya.

Syaikh al-Albâni rahimahullah menyebutkan pemahaman dari kedua hadits tersebut dalam kitab beliau ‘ash-Shahîhah’, “Tidak samar bagi orang yang memiliki pandangan bahwasanya pendapat kelompok pertama (yang membolehkan berdusta secara mutlak pada tiga hal tersebut) adalah pendapat yang lebih kuat dan lebih layak karena sesuai dengan zahir hadits-hadits. Adapun penafsiran kelompok kedua yang membawa dusta pada hadits tersebut kepada makna tauriyah maka hal tersebut sangat jauh (dari kebenaran), terutama berdusta ketika berperang. Sesungguhnya berdusta ketika perang lebih membutuhkan dalil untuk dibolehkan. Oleh karena itu, al-Hâfidzh (Ibnu Hajar al-‘Asqalâni rahimahullah ) mengatakan di dalam kitabnyaal-Fath (VI/119), “An-Nawawi rahimahullahmengatakan, ‘pendapat yang tampak benar adalah bolehnya berdusta pada ketiga hal tersebut. Akan tetapi, menggunakan bahasa kiasan (tauriyah) itu lebih utama.”[18]

KESIMPULAN

Dari paparan di atas, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
Seorang Muslim wajib bersifat jujur dalam seluruh perkataan, perbuatan dan keadaan. Orang yang jujur adalah orang yang penampilan lahiriahnya sama dengan apa yang ada di batin mereka.
Di antara keutamaan orang berlaku jujur adalah dia akan mendatangkan ketenangan di dalam hatinya, dia akan mendapatkan keberkahan dalam jual belinya dan mendapatkan kesyahidan jika dia memintanya dengan jujur.
Allâh Azza wa Jalla menyediakan surga bagi yang berlaku jujur di dalam seluruh perbuatan dan perkataannya.
Derajat ash-Shiddîq bisa diraih dengan menyempurnakan martabat-martabat keimanan, amal-amal shalih, ilmu yang bermanfaat dan memiliki keyakinan yang jujur tanpa keraguan sedikit pun tentang apa yang dibawa dan dikabarkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa salam.
Berdusta, hukumnya haram dan hanya diperbolehkan pada tiga hal berikut ini: ketika mendamaikan perselisihan, ketika berperang dan ketika seorang suami memuji istrinya atau istri memuji suaminya.

Demikian tulisan ini. Mudahan bermanfaat. Mudah-mudahan Allâh Azza wa Jalla mencatat kita sebagai orang-orang yang jujur dan memberikan kesempatan kita untuk bisa menjadi orang yang ash-shiddiiq sebelum kita wafat. Aamiin.

DAFTAR PUSTAKA
Aisarut Tafâsîr li Kalâm ‘Aliyil Kabîr. Jâbir bin Musa Al-Jazâ’iri. Al-Madinah: Maktabah al-‘Ulûm wal-hikam
Al-Jâmi’ Li Ahkâmil Qur’ân. Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi. Kairo: Daar Al-Kutub Al-Mishriyah.
Ash-Shidqu al-Fadhîlah al-Jâmi’ah. Sulaiman bin Muhammad bin Falih Ash-Shaghiir. Dar Ibnil-Atsiir.
Jâmi’ul Bayân fii Ta’wîlil Qur’ân. Muhammad bin Jariir Ath-Thabari. 1420 H/2000 M. Beirut: Muassasah Ar-Risaalah.
Mahâsinush Shidqi wa Masâwi-ul Kadzib. ‘Abdullah bin Jarillah Alu Jarillah. www.islamhouse.com.
Tafsîr al-Qur’ânil ‘Adzhîm. Ismâ’îl bin ‘Umar bin Katsiir. 1420 H/1999 M. Riyaadh: Daar Ath-Thaibah.
Taisîr al-Karîm ar-Rahmân. Abdurrahmaan bin Naashir As-Sa’di. Beirut: Muassasah Ar-Risaalah.
Dan lain-lain. Sebagian besar telah tercantum di footnotes.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XVIII/1436H/2015M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079 ]
_______
Footnote
[1] Aisarut Tafâsîr, II/110.

[2] Tafsîr As-Sa’di, hlm. 355.

[3] Tafsîr Ibni Katsiir IV/231.

[4] Tafsîr al-Qurthubi VIII/288-289.

[5] HR. Al-Bukhâri, no. 6094 dan Muslim no. 2607/6637.

[6] HR. Al-Bukhâri, no. 33 dan Muslim, no. 59/211.

[7] HR. At-Tirmidzi, no. 2518. Syaikh Al-Albani menghukuminya shahih dalam Shahîh Sunan at-Tirmidzi

[8] HR. Al-Bukhâri no. 2079 dan Muslim, no. 1532/3858.

[9] HR Muslim, no. 1909/4930.

[10] Lihat kedua poin ini di dalam Tafsîr Ath-Thabari VII/211.

[11] Lihat Tafsîr Al-Qurthubi XVII/253.

[12] Tafsîr As-Sa’di, hlm. 840.

[13] Aisarut Tafâsîr I/278.

[14] HR Ahmad no. 12383 dan Ibnu Hibbân no. 194. Syaikh al-Albani rahimahullah menghukuminya shahih dalam Shahîh al-Jâmi’ ash-Shaghîr no. 7179.

[15] Tafsîr Ibnu Katsir IV/234.

[16] HR. Abu Dawud, no. 4922.

[17] HR. Ahmad no. 27278. Kedua hadits di atas dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam ash-Shahîhah, no. 545.

[18] Penjelasan beliau t di dalam pembahasan hadits no. 545 dalam ash-Shahîhah.

Related Posts:

0 Response to "Tafsir At Taubah Ayat 117-129"

Post a Comment

a