Tafsir Al Furqan Ayat 11-20

Ayat 11-16: Pendustaan orang-orang kafir kepada hari Kiamat, dan bahwa neraka sedang menanti mereka serta berbagai azab yang ada di dalam neraka.

بَلْ كَذَّبُوا بِالسَّاعَةِ وَأَعْتَدْنَا لِمَنْ كَذَّبَ بِالسَّاعَةِ سَعِيرًا (١١) إِذَا رَأَتْهُمْ مِنْ مَكَانٍ بَعِيدٍ سَمِعُوا لَهَا تَغَيُّظًا وَزَفِيرًا (١٢) وَإِذَا أُلْقُوا مِنْهَا مَكَانًا ضَيِّقًا مُقَرَّنِينَ دَعَوْا هُنَالِكَ ثُبُورًا (١٣) لا تَدْعُوا الْيَوْمَ ثُبُورًا وَاحِدًا وَادْعُوا ثُبُورًا كَثِيرًا (١٤) قُلْ أَذَلِكَ خَيْرٌ أَمْ جَنَّةُ الْخُلْدِ الَّتِي وُعِدَ الْمُتَّقُونَ كَانَتْ لَهُمْ جَزَاءً وَمَصِيرًا (١٥) لَهُمْ فِيهَا مَا يَشَاءُونَ خَالِدِينَ كَانَ عَلَى رَبِّكَ وَعْدًا مَسْئُولا (١٦

Terjemah Surat Al Furqan Ayat 11-16

11. [1]Bahkan mereka mendustakan hari kiamat. Dan Kami menyediakan neraka yang menyala-nyala bagi siapa yang mendustakan hari kiamat.

12. Apabila ia (neraka) melihat[2] mereka dari tempat yang jauh[3], mereka mendengar suaranya yang gemuruh karena marahnya[4].

13. Dan apabila mereka dilemparkan ke tempat yang sempit di neraka itu dengan dibelenggu[5], mereka di sana berteriak mengharapkan kebinasaan[6].

14. (Akan dikatakan kepada mereka), "Jangan kamu sekalian mengharapkan pada hari ini satu kebinasaan, melainkan harapkanlah kebinasaan yang berulang-ulang[7].”

15. Katakanlah (Muhammad)[8], "Apakah (azab) seperti itu yang baik, atau surga yang kekal yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa sebagai balasan, dan tempat kembali bagi mereka[9]?"

16. Bagi mereka segala yang mereka kehendaki di dalamnya (surga)[10], mereka kekal (di dalamnya). Itulah janji Tuhanmu yang pantas dimohonkan (kepada-Nya)[11].



Ayat 17-20: Tanya-jawab antara Allah dengan sembahan-sembahan orang-orang kafir di hari kiamat, gambaran orang-orang kafir yang satu sama lain saling mendustakan, pembinasaan Allah kepada mereka, dan penjelasan bahwa para rasul adalah manusia.

وَيَوْمَ يَحْشُرُهُمْ وَمَا يَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَقُولُ أَأَنْتُمْ أَضْلَلْتُمْ عِبَادِي هَؤُلاءِ أَمْ هُمْ ضَلُّوا السَّبِيلَ (١٧) قَالُوا سُبْحَانَكَ مَا كَانَ يَنْبَغِي لَنَا أَنْ نَتَّخِذَ مِنْ دُونِكَ مِنْ أَوْلِيَاءَ وَلَكِنْ مَتَّعْتَهُمْ وَآبَاءَهُمْ حَتَّى نَسُوا الذِّكْرَ وَكَانُوا قَوْمًا بُورًا (١٨) فَقَدْ كَذَّبُوكُمْ بِمَا تَقُولُونَ فَمَا تَسْتَطِيعُونَ صَرْفًا وَلا نَصْرًا وَمَنْ يَظْلِمْ مِنْكُمْ نُذِقْهُ عَذَابًا كَبِيرًا (١٩)وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنَ الْمُرْسَلِينَ إِلا إِنَّهُمْ لَيَأْكُلُونَ الطَّعَامَ وَيَمْشُونَ فِي الأسْوَاقِ وَجَعَلْنَا بَعْضَكُمْ لِبَعْضٍ فِتْنَةً أَتَصْبِرُونَ وَكَانَ رَبُّكَ بَصِيرًا (٢٠

Terjemah Surat Al Furqan Ayat 17-20

17. [12]Dan (ingatlah) pada hari (ketika) Allah mengumpulkan mereka[13] bersama apa yang mereka sembah selain Allah, lalu Dia berfirman (kepada yang disembah), "Apakah kamu yang menyesatkan hamba-hamba-Ku itu[14], atau mereka sendirikah yang sesat dari jalan (yang benar)?".

18. Mereka (yang disembah itu) menjawab, "Mahasuci Engkau[15], tidaklah pantas bagi Kami mengambil pelindung selain Engkau[16],[17]tetapi Engkau telah memberi mereka dan nenek moyang mereka kenikmatan hidup[18], sehingga mereka melupakan peringatan[19]; dan mereka kaum yang binasa[20].”

19. [21]Maka sungguh, mereka (yang disembah itu) telah mengingkari apa yang kamu katakan[22], maka kamu tidak akan dapat menolak (azab) dan tidak dapat (pula) menolong (dirimu)[23], dan barang siapa di antara kamu berbuat zalim[24], niscaya Kami timpakan kepadanya rasa azab yang besar.

20. [25]Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu (Muhammad), melainkan mereka pasti memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar[26]. Dan Kami jadikan sebagian kamu sebagai cobaan bagi sebagian yang lain[27]. Maukah kamu bersabar[28]? Dan Tuhanmu Maha Melihat[29].




[1] Oleh karena ucapan yang mereka ucapkan itu sudah maklum rusaknya, maka Allah Subhaanahu wa Ta'aala memberitahukan, bahwa ucapan tersebut tidaklah muncul untuk mencari yang hak (benar) dan bukan pula karena mencari bukti, tetapi merupakan sikap membangkang dan zalim serta mendustakan yang hak.

[2] Zahir ayat ini menunjukkan bahwa neraka itu dapat melihat, dan ini mungkin terjadi dengan kekuasaan Allah, atau ayat ini menggambarkan bagaimana dahsyat dan seramnya neraka itu agar setiap orang takut terhadap azab Allah sehingga mereka mau bertakwa.

[3] Sebelum sampai kepada mereka.

[4] Hati mereka merinding ketakutan kepadanya, bahkan hampir mati karena rasa takut yang demikian hebat, di mana neraka telah marah karena kemarahan Penciptanya dan bertambah gejolaknya karena bertambah kafir dan buruknya mereka.

[5] Tangan ke leher mereka dengan rantai dan belenggu.

[6] Maksudnya, mereka mengharapkan kebinasaan, agar terlepas dari siksaan yang sangat besar, yaitu azab di neraka yang sangat panas dengan dibelenggu, di tempat yang sempit pula, sebagaimana yang dilukiskan itu.

[7] Harapan mereka untuk dibinasakan sekaligus tidak dikabulkan Allah; tetapi mereka akan mengalami azab yang lebih besar selama-lamanya.

[8] Kepada mereka menerangkan kebodohan mereka karena memilih yang berbahaya daripada yang bermanfaat.

[9] Lagi kekal di sana.

[10] Baik makanan dan minuman yang enak, pakaian yang indah, wanita yang cantik, istana yang tinggi, kebun-kebun yang luas dan buah-buahan, sungai-sungai yang mengalir di kebun-kebun dan mereka dapat mengarahkan sungai itu ke arah yang mereka kehendaki, di mana mereka memancarkannya dari air yang tidak berubah rasa dan baunya, dari air susu yang tidak berubah rasanya, dari khamar yang lezat rasanya bagi peminumnya dan dari madu yang disaring. Demikian pula mereka memperoleh tempat tinggal yang indah, mendengarkan suara yang menarik, dapat mengunjungi saudara, bergembira karena bertemu para kekasih, dan kekalnya nikmat-nikmat tersebut serta selalu bertambah, dan nikmat yang paling besarnya adalah kenikmatan memandang wajah Allah Subhaanahu wa Ta'aala, mendengarkan firman-Nya, dekat dengan-Nya, bahagia dengan memperoleh keridhaan-Nya dan aman dari kemurkaan-Nya. Allahumma innaa nas’alukal jannah wa na’uudzu bika minan naar, Allahumma innaa nas’alukal jannah wa na’uudzu bika minan naar, Allahumma innaa nas’alukal jannah wa na’uudzu bika minan naar.

[11] Sebagaimana yang dimohonkan kaum mukmin (lihat surah Ali Imran: 194) dan yang dimohonkan para malaikat untuk kaum mukmin (lihat surah Al Mu’min: 8). Oleh karena itu, negeri manakah yang lebih utama dan lebih layak didahulukan; dunia atau surga? Sungguh jalan ke arah surga begitu jelas, dan kesempatan untuk menempuhnya masih ada selama kita masih hidup di dunia.

[12] Allah Subhaanahu wa Ta'aala memberitakan keadaan orang-orang musyrik dan para sekutu mereka pada hari kiamat, dan bahwa para sekutu itu akan berlepas diri dari mereka.

[13] Yani orang-orang musyrik.

[14] Dengan menyuruh mereka menyembah kamu.

[15] Dari perbuatan syrik orang-orang musyrik.

[16] Maksudnya, setelah mereka dikumpulkan bersama apa yang mereka sembah, yaitu malaikat, Uzair, Nabi Isa ‘alaihis salam dan berhala-berhala, dan setelah Allah menanyakan kepada yang disembah itu, apakah mereka yang menyesatkan orang-orang itu ataukah orang-orang itu yang sesat sendiri? Maka yang disembah itu menjawab bahwa tidaklah patut bagi mereka untuk menyembah selain Allah, apalagi untuk menyuruh orang lain menyembah selain Allah Subhaanahu wa Ta'aala. Lihat surah Al Maa’idah: 116, di sana diterangkan jawaban Nabi Isa ‘alaihis salam ketika ditanya oleh Allah –dan Dia lebih mengetahui- apakah Beliau menyuruh manusia menyembah dirinya? Demikian pula lihat jawaban sesembahan yang mereka sembah di surah Saba’: 40-41, dan bahwa sesembahan itu akan menjadi musuh bagi mereka sebagaimana di surah Al Ahqaaf: 6.

[17] Setelah mereka menyatakan bahwa diri mereka tidak mengajak manusia menyembah selain Allah atau menyesatkan mereka, maka mereka sebutkan sebab yang menjadikan orang-orang musyrik tersesat.

[18] Yaitu panjang umur dan rezeki yang luas.

[19] Karena sibuk dengan kesenangan dunia dan mendatangi syahwatnya, mereka jaga dunia mereka, tetapi agama mereka, mereka telantarkan. Inilah yang membuat mereka terhalang dari petunjuk.

[20] Maksudnya, tidak ada kebaikannya dan tidak cocok untuk hal yang baik, bahkan cocok untuk binasa.

[21] Setelah sesembahan itu menyatakan berlepas diri dari penyembahnya, maka Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman kepada para penyembahnya sambil mencelanya.

[22] Yakni bahwa mereka memerintahkan kamu menyembahnya dan mereka ridha dengan perbuatan kamu menyembah mereka.

[23] Karena lemahnya dirimu dan tidak ada yang menolongmu. Inilah balasan untuk orang-orang yang sesat, ikut-ikutan lagi jahil (bodoh), adapun orang yang menentang, yakni yang mengetahui yang hak tetapi berpaling darinya, maka balasannya disebutkan pada lanjutan ayatnya.

[24] Yakni berbuat syirk, atau meninggalkan yang hak karena zalim dan menentang.

[25] Kemudian Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman menjawab orang-orang yang mendustakan, yang mengatakan seperti yang disebutkan pada ayat 7 surah ini.

[26] Allah Subhaanahu wa Ta'aala tidak menjadikan mereka malaikat agar mereka dapat ditiru dan dijadikan teladan. Adapun masalah kaya dan miskin, maka yang demikian adalah cobaan dan hikmah (kebijaksanaan) Allah sebagaimana dijelaskan pada lanjutan ayat.

[27] Manusia diuji dengan rasul, apakah mereka akan taat atau tidak? Rasul diuji dengan mendakwahkan manusia, orang miskin diuji dengan orang kaya, orang sakit diuji dengan orang sehat, dan orang rendah diuji dengan orang terhormat, sehingga mereka berkata, “Mengapa aku tidak seperti dia yang kaya, yang sehat atau yang terhormat?” Oleh karena itu, tempat yang kita huni ini adalah tempat ujian, bukan tempat tujuan.

[28] Pertanyaan ini maksudnya perintah untuk bersabar, yakni maukah kamu untuk bersabar dengan melaksanakan kewajiban kamu? Yaitu tetap taat dan tetap meninggalkan maksiat, serta bersabar terhadap musibah dengan tidak keluh kesah.

[29] Siapa yang bersabar dan siapa yang berkeluh kesah.

======================

TAFSIR RINGKAS Ayat 20

“Dan Kami tidak mengutus para rasul sebelummu, wahai Rasul Kami, melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar.” Dengan demikian, janganlah engkau menghiraukan perkataan orang-orang musyrik (yang mengatakan), ‘Mengapa rasul ini mengkonsumsi makanan?’ Janganlah kamu pedulikan hal tersebut. Sesungguhnya mereka telah mengetahui ini, tetapi mereka sombong dan mengingkarinya.
“Dan Kami jadikan sebagian kalian cobaan bagi sebagian yang lain,” maksudnya, ini adalah sunnah Kami (ketetapan Kami yang pasti terjadi). Kami menguji sebagian mereka dengan sebagian yang lain. Kami uji orang Mukmin dengan orang kafir, Kami menguji orang kaya dengan orang miskin dan Kami menguji orang yang mulia dengan orang rendahan. Kami melihat siapakah yang bersabar dan siapakah yang tidak bersabar? Kami akan membalas orang yang bersabar sesuai hak mereka dan orang-orang yang tidak bisa bersabar juga demikian.
“Maukah kalian bersabar?“ Maksud dari pertanyaan ini adalah perintah, “Bersabarlah kalian dan jangan marah! Wahai orang-orang yang beriman atas gangguan orang-orang musyrik dan kafir terhadap kalian.”
“Dan adalah Rabbmu Maha Melihat.” Dan Rabb kamu, wahai Rasul, Maha Melihat orang yang bersabar dan orang yang marah. Oleh karena itu, bersabarlah dan jangan marah! Sesungguhnya dunia adalah tempat fitnah dan ujian, dan sesungguhnya Allâh akan membalas orang-orang yang bersabar dengan pahala yang tanpa batasnya.[1]

PENJABARAN AYAT
Sebab Turun Ayat
Disebutkan oleh al-Wâhidi rahimahullah dalam kitab Asbâbun Nuzûl sebuah riwayat dari Juwaibir dari Adh-Dhahhâk dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, beliau berkata, “Ketika orang-orang musyrik mencela Rasûlullâh Shallallahu ‘aliahi wa sallam sebagai orang yang miskin, mereka mengatakan:
 وَقَالُوا مَالِ هَٰذَا الرَّسُولِ يَأْكُلُ الطَّعَامَ وَيَمْشِي فِي الْأَسْوَاقِ
Dan mereka berkata, “Mengapa Rasul ini memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar?[2]
Maka Rasûlullâh Shallallahu ‘aliahi wa sallam sedih karena itu. Kemudian Malaikat Jibril datang menghibur Beliau Shallallahu ‘aliahi wa sallam dan berkata, ‘Keselamatan semoga terlimpah untukmu, wahai Rasul Allâh! Rabb, Pemiliki kemuliaan mengucapkan salam kepadamu dan berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنَ الْمُرْسَلِينَ إِلَّا إِنَّهُمْ لَيَأْكُلُونَ الطَّعَامَ وَيَمْشُونَ فِي الْأَسْوَاقِ 
Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar.’[3] yaitu mereka mencari penghidupan di dunia.”[4]
Namun, dalam sanadnya ada Juwaibir, dia sangat lemah dan adh-Dhahhaak tidak bertemu dengan Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma. Dengan demikian, atsar (perkataan Sahabat Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu) di atas sanadnya lemah.
Sebab turun di atas inilah yang sering dibawakan oleh para Ulama tafsir, meskipun dalam sanadnya terdapat kelemahan.
Firman Allâh Azza wa Jalla :
وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنَ الْمُرْسَلِينَ إِلَّا إِنَّهُمْ لَيَأْكُلُونَ الطَّعَامَ وَيَمْشُونَ فِي الْأَسْوَاقِ 
“Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar.”
Allâh Azza wa Jalla mengutus para Rasul-Nya dari kalangan manusia. Karena mereka manusia, tentu membutuhkan makan dan minum, juga perlu bekerja untuk mencari rezeki Allâh dengan cara halal dan tidak bergantung kepada orang lain.
Dan ini bukan aib bagi mereka. Justru dengan demikian, para Rasul bisa menjadi teladan bagi para pengikutnya dalam kesehariannya.
Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Allâh Azza wa Jalla mengabarkan tentang orang-orang yang telah Allâh utus sebelumnya. Sesungguhnya dahulu, mereka mengkonsumsi makanan dan membutuhkan makan, ‘dan mereka berjalan di pasar-pasar’ untuk mencari penghasilan dan berdagang. Dan itu tidak bertentangan dengan keadaan dan kedudukan mereka. Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla telah menjadikan untuk mereka penampilan yang baik, sifat-sifat yang indah, perkataan-perkataan yang utama, amalan-amalan yang sempurna, mukjizat-mukjizat yang hebat dan dalil-dalil yang kuat.”[5]
Imam al-Baghawi rahimahullah mengatakan, “Saya hanyalah seorang rasul. Saya tidak mengada-adakan hal baru dari apa yang dilakukan oleh para rasul. Mereka adalah manusia yang makan makanan dan berjalan di pasar-pasar. Dan ada pendapat lain (dalam tafsir ayat ini), yaitu: tidaklah kami mengutus rasul-rasul sebelummu kecuali akan dikatakan kepada mereka seperti perkataan ini. Sesungguhnya mereka makan makanan dan berjalan di pasar-pasar, sebagaimana di tempat lain:
مَا يُقَالُ لَكَ إِلَّا مَا قَدْ قِيلَ لِلرُّسُلِ مِنْ قَبْلِكَ
‘Tidaklah dikatakan kepadamu kecuali seperti apa yang telah dikatakan kepada rasul-rasul sebelummu.’[6].”[7]
Menurut pendapat yang kedua yang disebutkan oleh Imam al-Baghawi di atas, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallammendapatkan celaan yang sama dengan celaan yang pernah dikatakan oleh orang-orang musyrik di zaman masing-masing rasul.
Orang-orang kafir dan musyrik tidak pernah berhenti mencela Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Celaan mereka didasari oleh kebodohan dan kesombongan mereka memeluk agama Islam. Seandainya, Allâh Azza wa Jalla mengutus malaikat sebagai rasul, belum tentu mereka beriman kepada malaikat tersebut. Oleh karena itu, lanjutan dari ayat ini adalah:
وَقَالَ الَّذِينَ لَا يَرْجُونَ لِقَاءَنَا لَوْلَا أُنْزِلَ عَلَيْنَا الْمَلَائِكَةُ أَوْ نَرَىٰ رَبَّنَا ۗ لَقَدِ اسْتَكْبَرُوا فِي أَنْفُسِهِمْ وَعَتَوْا عُتُوًّا كَبِيرًا ﴿٢١﴾ يَوْمَ يَرَوْنَ الْمَلَائِكَةَ لَا بُشْرَىٰ يَوْمَئِذٍ لِلْمُجْرِمِينَ وَيَقُولُونَ حِجْرًا مَحْجُورًا ﴿٢٢﴾ وَقَدِمْنَا إِلَىٰ مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا
Berkatalah orang-orang yang tidak menanti-nanti pertemuan(nya) dengan Kami, “Mengapa tidak diturunkan kepada kita Malaikat atau (mengapa) kita (tidak) melihat Rabb kita?” Sesungguhnya mereka memandang diri mereka besar (sombong) dan mereka benar-benar telah melampaui batas (dalam melakukan) kezhaliman. Pada hari mereka melihat malaikat, dihari itu tidak ada kabar gembira bagi orang-orang yang berdosa mereka berkata, ‘Hijraan mahjuuraa’ (Semoga Allâh menghindarkan bahaya ini dari saya). Dan Kami hadapkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” [Al-Furqân/25:21-23]

AYAT-AYAT YANG SEMISAL DENGAN AYAT INI
Beberapa ayat yang semisal dengan ini. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ ۚ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka bertanyalah kalian kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kalian tidak mengetahui.” [An-Nahl/16:43]
Dalam ayat ini, Allâh Azza wa Jalla menjelaskan bahwa Allâh Azza wa Jalla mengutus para rasul dan semuanya manusia laki-laki.
Begitu pula firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ ۖ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ ﴿٧﴾ وَمَا جَعَلْنَاهُمْ جَسَدًا لَا يَأْكُلُونَ الطَّعَامَ وَمَا كَانُوا خَالِدِينَ
Tidaklah Kami mengutus rasul-rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang-laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka bertanyalah kalian kepada orang-orang yang berilmu, jika kalian tidak mengetahui. Dan tidaklah Kami jadikan mereka tubuh-tubuh yang tiada memakan makanan, dan tidak (pula) mereka itu orang-orang yang kekal.” [Al-Anbiya’/21:7-8]
Ini menunjukkan bahwa seluruh para Nabi membutuhkan makanan, layaknya manusia pada umumnya.
juga firman-Nya:
مَا الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ وَأُمُّهُ صِدِّيقَةٌ ۖ كَانَا يَأْكُلَانِ الطَّعَامَ ۗ انْظُرْ كَيْفَ نُبَيِّنُ لَهُمُ الْآيَاتِ ثُمَّ انْظُرْ أَنَّىٰ يُؤْفَكُونَ
Al-Masih putra Maryam itu hanyalah seorang Rasul yang sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa rasul, dan ibunya seorang yang sangat benar, kedua-duanya biasa memakan makanan [Al-Mâidah/5:75]
Pada ayat ini Allâh mengabarkan bahwa Nabi ‘Isa Alaihissallam membutuhkan makan.
Firman Allâh Azza wa Jalla :
وَجَعَلْنَا بَعْضَكُمْ لِبَعْضٍ فِتْنَةً
Dan Kami jadikan sebagian kalian fitnah (cobaan) bagi sebagian yang lain.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala menciptakan manusia dengan keadaan yang berbeda-beda. Di antara mereka ada yang kaya dan ada yang miskin, ada yang sehat dan ada yang sakit, ada yang sempurna dan ada yang cacat, ada yang bermartabat mulia dan ada yang rendahan, ada yang berwajah rupawan dan cantik dan ada yang tidak demikian. Ini semua adalah keadaan-keadaan dunia yang bisa menjadi fitnah atau cobaan untuk manusia, apakah mereka bisa menerimanya dengan lapang dada ataukah tidak?
Perbedaan ini sudah ditaqdirkan oleh Allâh Azza wa Jalla , sehingga setiap manusia wajib rela menerima taqdir Allâh tersebut.
Imam Al-Baghawi rahimahullah mengatakan, “Dan Kami jadikan sebagian kalian sebagai cobaan bagi sebagian yang lain. Maksudnya adalah orang yang kaya menjadi cobaan bagi orang yang miskin. Orang miskin akan mengatakan, ‘Mengapa saya tidak seperti orang kaya tersebut?’ Begitu pula orang yang sehat menjadi fitnah bagi orang yang sakit. Orang yang mulia menjadi fitnah bagi orang rendahan. Ibnu ‘Abbas c mengatakan, ‘Yaitu Aku (Allâh Azza wa Jalla ) jadikan sebagian kalian sebagai ujian bagi sebagian yang lain, agar kalian bisa bersabar atas apa yang kalian dengar dari mereka dan perbedaan yang kalian lihat dari mereka sehingga kalian bisa mengikuti petunjuk. Dalam pendapat lain, dikatakan bahwa ini adalah ujian untuk orang yang memiliki kedudukan mulia terhadap orang yang rendahan. Orang yang memiliki kedudukan mulia ketika mereka berniat masuk ke agama Islam, kemudian dia melihat orang-orang rendahan yang telah masuk Islam sebelumnya, maka mereka enggan (untuk masuk Islam), dan dia berkata, ‘Bagaimana mungkin saya masuk Islam setelah orang itu, sehingga dia menjadi lebih dahulu dan memiliki keutamaan.’ Dengan ini, dia tetap pada kekafirannya dan menolak untuk masuk agama Islam. Ini adalah bentuk fitnah sebagian dari sebagian yang lain.”[8]
Allâhu a’lam, tidak ada pertentangan di antara dua pendapat di atas, orang miskin diuji dengan orang kaya, apakah orang miskin bisa bersabar menerima keadaannya? Begitu pula orang kaya, mereka diuji dengan keberadaan orang miskin, apakah mereka bisa bersyukur atas kenikmatan yang Allâh berikan kepada mereka ataukah tidak ? Apakah mereka bisa membersihkan dari diri mereka sifat sombong dan sikap meremehkan orang lain?

DALAM URUSAN DUNIA, LIHATLAH ORANG YANG LEBIH MEMILIKI KEKURANGAN
Dengan perbedaan yang ada di dunia ini, sudah sepantasnya kita banyak melihat kepada orang-orang yang banyak memiliki kekurangan dalam hal duniawiyah. Orang yang merasa dirinya miskin, maka sudah sepantasnya melihat kepada orang yang lebih miskin dari dirinya. Begitu pula jika dia merasa kedudukannya rendah, memiliki penyakit, jelek fisiknya dan lain-lain, maka sudah sepantasnya dia melihat kepada orang yang memiliki kekurangan lebih banyak daripada apa yang dia rasakan. Dengan demikian, insya Allâh, seorang hamba akan bisa selalu bersyukur kepada Allâh Azza wa Jalla .
Rasûlullâh Shallallahu ‘aliahi wa sallam bersabda:
إِذَا نَظَرَ أَحَدُكُمْ إِلَى مَنْ فُضِّلَ عَلَيْهِ فِي الْمَالِ وَالْخَلْقِ فَلْيَنْظُرْ إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْهُ
Jika seorang dari kalian melihat kepada orang yang diberikan kelebihan harta dan fisik darinya maka lihatlah kepada orang yang memiliki kekurangan darinya.[9]
Rasûlullâh Shallallahu ‘aliahi wa sallam juga bersabda:
انْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْكُمْ، وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ، فَإِنَّهُ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ
Lihatlah kalian kepada orang yang di bawah kalian dan janganlah kalian melihat kepada orang yang di atas kalian. Sesungguhnya itu lebih berhak (kalian lakukan) agar kalian tidak menganggap remeh kenikmatan Allâh kepada kalian.[10]

DALAM URUSAN AKHIRAT, KITA BERLOMBA-LOMBA DALAM KEBAIKAN
Akan tetapi untuk urusan akhirat dan beramal shalih, maka kita disuruh untuk berlomba-lomba dalam mengerjakannya, saling menasihati dan saling mengingatkan akan pentingnya beramal shalih.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَٰكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ ۖ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ
Sekiranya Allâh menghendaki, niscaya kalian dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allâh hendak menguji kalian atas pemberian-Nya kepada kalian, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.” [Al-Mâidah/5:48]
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:
وَلِكُلٍّ وِجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيهَا ۖ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ
Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan.” [Al-Baqarah/2:148]
Dan juga firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala:
وَفِي ذَٰلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُونَ
Dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba. [Al-Muthaffifin/83:26]
Rasûlullâh Shallallahu ‘aliahi wa sallam bersabda:
بَادِرُوا بِالأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِى كَافِرًا أَوْ يُمْسِى مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا
Bersegaralah kalian untuk beramal, sebelum datang fitnah-fitnah seperti potongan malam yang gelap. Seorang ketika pagi dia beriman, kemudian di waktu sorenya dia menjadi kafir, atau seseorang ketika sore dia beriman, kemudian di waktu paginya dia menjadi kafir. Dia menjual agamanya dengan barang-barang dunia.[11]
Firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
أَتَصْبِرُونَ
Apakah kalian bersabar?
Imam al-Baghawi rahimahullah mengatakan, “Maksudnya, (Apakah kalian bersabar?-red) dengan keadaan ini, yang berupa kemiskinan, kesulitan dan gangguan (dari orang kafir).”[12]
Imam al-Qurthubi rahimahullah mengatakan bahwa ada pendapat lain tentang makna ‘Apakah kalian bersabar?’ yaitu ‘bersabarlah kalian!’ Sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :
فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ
‘Apakah kalian tidak berhenti?’ [Al-Mâidah/5:91]
Maksudnya adalah ‘berhentilah!’ Berdasarkan ini, berarti ini adalah perintah untuk bersabar.”[13]

KESABARAN RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM DAN KERELAANNYA DALAM MENERIMA KEADAAN YANG KURANG
Allâh Azza wa Jalla menguji Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallamdengan ujian yang sangat banyak dan sangat besar. Ujian tersebut pasti terjadi pada Beliau Shallallahu ‘aliahi wa sallam . Rasûlullâh Shallallahu ‘aliahi wa sallam menyebutkan dalam hadits qudsi, Allâh Azza wa Jalla berfirman:
إِنَّمَا بَعَثْتُكَ لِأَبْتَلِيَكَ وَأَبْتَلِيَ بِكَ
Sesungguhnya Aku telah mengutusmu untuk mengujimu dan Aku menguji (manusia) dengan keberadaanmu.[14]
Disamping Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus untuk mendapatkan ujian, manusia juga diuji dengan keberadaan Beliau Shallallahu ‘aliahi wa sallam . Apakah mereka bisa menerima kenabiannya, tidak mengingkari apa yang dikabarkannya ataukah tidak? Meskipun Beliau Shallallahu ‘aliahi wa sallam sering ditolak dan dicela oleh orang-orang kafir, Beliau Shallallahu ‘aliahi wa sallam tetap meneruskan dakwahnya.
Rasûlullâh Shallallahu ‘aliahi wa sallam adalah manusia yang sangat sabar dengan keadaannya dan Beliau Shallallahu ‘aliahi wa sallam benar-benar tidak terpengaruh dengan dunia, apalagi fitnah yang disebutkan dalam ayat ini.
‘Aisyah Radhiyallahu anhuma pernah mengatakan:
دَخَلَتْ عَلَيَّ امْرَأَةٌ مِنَ الْأَنْصَارِ فَرَأَتْ فِرَاشَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَطِيفَةٌ مَثْنِيَّةٌ، فَانْطَلَقَتْ فَبَعَثَتْ إِلَيَّ بِفِرَاشٍ حَشْوُهُ الصُّوفُ، فَدَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: ” مَا هَذَا يَا عَائِشَةُ؟ ” قَالَتْ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ فُلَانَةٌ الْأَنْصَارِيَّةُ دَخَلَتْ عَلَيَّ، فَرَأَتْ فِرَاشَكَ فَذَهَبَتْ فَبَعَثَتْ إِلَيَّ بِهَذَا قَالَ: ” رُدِّيهِ يَا عَائِشَةُ، فَوَاللهِ لَوْ شِئْتُ لَأَجْرَى اللهُ مَعِيَ جِبَالَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّة
Seorang wanita dari kalangan Anshar masuk ke dalam rumahku, lalu dia melihat ranjang Rasûlullâh Shallallahu ‘aliahi wa sallam beralas kulit. Kemudian dia pun pulang dan mengirimkan kepadaku ranjang yang alasnya terbuat dari wol. Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘aliahi wa sallam bersabda, ‘Apa ini? Wahai ‘Aisyah?’ Saya pun berkata, ‘Wahai Rasûlullâh! Ada seorang wanita Anshar masuk ke dalam rumahku dan melihat ranjangmu, kemudian dia pergi dan mengirimkan ini kepadaku.’ Beliau Shallallahu ‘aliahi wa sallam pun berkata, ‘Kembalikanlah itu! Wahai ‘Aisyah! Demi Allâh! Seandainya aku mau, maka Allâh akan menjalankan gunung emas dan perak bersamaku.’.”[15]
Subhanallâh, Jika Rasûlullâh Shallallahu ‘aliahi wa sallam mau, maka Beliau Shallallahu ‘aliahi wa sallam bisa menjadi orang terkaya di dunia dan paling banyak memiliki fasilitas-fasilitas duniawiyahnya. Akan tetapi, Beliau Shallallahu ‘aliahi wa sallam tidak menginginkannya dan lebih memilih hidup dengan keadaan sederhana.
Di dalam kisah yang panjang ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘aliahi wa sallam menjauhi istri-istri Beliau Shallallahu ‘aliahi wa sallam dan tinggal di suatu ruangan kecil, ‘Umar bin al-Khaththab z menceritakan:
Saya keluar hingga saya sampai (ke tempat Rasûlullâh Shallallahu ‘aliahi wa sallam ), ternyata Beliau Shallallahu ‘aliahi wa sallam berada di suatu ruangan yang tinggi milik Beliau Shallallahu ‘aliahi wa sallam . Dan Beliau sedang berada di atas tikar dan tidak ada lapis antara tubuh Beliau Shallallahu ‘aliahi wa sallam dengan tikar tersebut. Dan di bawah kepala Beliau Shallallahu ‘aliahi wa sallam ada bantal yang terbuat dari kulit (yang sudah disamak) dan alasnya adalah serabut pohon kurma. Di kaki Beliau ada dedaunan (yang digunakan untuk membersihkan kulit) yang dikumpulkan. Di sebelah kepala Beliau ada kulit yang digantung. Saya pun bisa melihat bekas tikar di badan Beliau Shallallahu ‘aliahi wa sallam bagian samping, kemudian saya menangis. Kemudian Beliau pun berkata, ‘Apa yang membuatmu menangis?’ Saya berkata, ‘Wahai Rasûlullâh! Sesungguhnya Kisra dan Qaishar dengan apa yang mereka miliki (dari dunia), sedangkan engkau adalah utusan Allâh.’ Beliau berkata, ‘Apakah kamu tidak ridha jika dunia untuk mereka dan akhirat untuk kita?’[16]
Begitulah orang-orang kafir, meskipun mereka di dunia dihiasi dengan banyak barang, kemewahan dan berbagai macam perhiasan dunia, maka sudah sepantasnya orang-orang yang beriman tidak terkecoh dengan hal tersebut. Kebahagiaan sejati tidak bisa dibeli dengan harta dan dunia. Biarlah mereka mendapatkan berbagai hal tersebut di dunia, tetapi mereka tidak akan mendapatkannya di akhirat dan biarlah di dunia kita mendapatkan berbagai macam kekurangan, tetapi Allâh Azza wa Jalla memberikan surga sebagai gantinya.
Firman Allâh Azza wa Jalla :
وَكَانَ رَبُّكَ بَصِيرًا
Dan adalah Rabbmu Maha Melihat
‘Dan adalah Rabb-mu Maha Melihat’ semua orang, melihat siapa yang bersabar dan yang tidak, melihat orang yang beriman dan yang tidak, melihat orang yang telah menunaikan hak Allâh Azza wa Jalla dan orang yang tidak menunaikannya.[17]

KESIMPULAN
Terdapat riwayat dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma tentang sebab turunnya ayat tersebut, tetapi dalam sanadnya terdapat kelemahan.
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallamdiutus sebagai seorang rasul dan Beliau makan dan mencari rezeki. Ini bukanlah suatu aib bagi seorang Rasul, karena Allâh Azza wa Jalla tidak mengutus seorang rasul kecuali dia juga makan dan mencari rezeki.
Orang-orang kafir mengejek Rasûlullâh Shallallahu ‘aliahi wa sallam dengan ejekan tersebut, sebenarnya hanya berniat mengejek dan merendahkan Beliau Shallallahu ‘aliahi wa sallam . Kalaupun Allâh Azza wa Jalla menurunkan malaikat sebagai utusan Allâh Azza wa Jalla mereka tetap saja tidak mau beriman.
Yang dimaksud dengan fitnah pada ayat di atas adalah cobaan bagi orang-orang yang beriman dengan adanya perbedaan duniawi di antara manusia.
Allâh Azza wa Jalla memerintahkan kepada kita agar bisa bersabar dalam menghadapi perbedaan tersebut.
Kita diperintahkan untuk banyak melihat orang-orang yang lebih banyak memiliki kekurangan dalam hal duniawi daripada diri kita, agar kita bisa terus bersyukur kepada Allâh Azza wa Jalla .
Rasûlullâh Shallallahu ‘aliahi wa sallam adalah manusia yang paling bisa bersabar menghadapi berbagai fitnah, termasuk fitnah perbedaan duniawi ini. Jika Rasûlullâh Shallallahu ‘aliahi wa sallam mau, maka Beliau Shallallahu ‘aliahi wa sallam bisa menjadi orang yang paling kaya di dunia ini, tetapi beliau tidak menginginkannya.
Kesederhanaan hidup Rasûlullâh Shallallahu ‘aliahi wa sallam sudah sepantasnya menjadi pelajaran bagi orang-orang yang beriman agar tidak mencintai dunia.
DAFTAR PUSTAKA
Aisarut Tafâsîr li Kalâm ‘Aliyil Kabîr wa bihâmisyihi Nahril Khair ‘Ala Aisarit Tafâsîr. Jâbir bin Musa Al-Jazaairi. 1423 H/2002. Al-Madinah: Maktabah Al-‘Ulûm wal-hikam
Al-Jâmi’ Li Ahkâmil-Qur’ân. Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi. Kairo: Daar Al-Kutub Al-Mishriyah.
Asbâbun Nuzû Abul-Hasan ‘Ali bin Ahmad Al-Waahidi An-Naisaburi. Tahqiiq: ‘Isham bin ‘Abdil-Muhsin Al-Humaidan. Dammam: Daarul-Ishlaah.
Jâmi’ul Bayân fii Ta’wîlil Qur’ân. Muhammad bin Jariir Ath-Thabari. 1420 H/2000 M. Beirut: Muassasah Ar-Risaalah.
Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adzhîm. Isma’iil bin ‘Umar bin Katsiir. 1420 H/1999 M. Riyaadh: Daar Ath-Thaibah.
Taisîr al-Karîm ar-Rahmân. Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Beirut: Muassasah Ar-Risaalah.
Dan lain-lain. Sebagian besar telah tercantum di footnotes.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XIX/1437H/2016M. ]
_______
Footnote
[1] Lihat Aisar at-Tafâsîr, hlm. 1022
[2] QS. Al-Furqân/25:7
[3] QS. Al-Furqân/25:20
[4] Asbâbun Nuzûl, karya Abil Hasan al-Wahidi, hlm. 332
[5] Tafsir Ibni Katsîr, VI/100.
[6] QS. Fushshilat/41: 43.
[7] Tafsir Al-Baghawi, VI/77.
[8] Al-Baghawi, VI/77.
[9] HR. Al-Bukhâri no. 6490 dan Muslim, no. 2963/7428.
[10] HR. At-Tirmidzi no. 2703 dan Ibnu Majah no. 4142. Syaikh al-Albani menyatakan shahih dalam kitab Shahîh Sunan Ibni Mâjah.
[11] HR. Muslim, no. 118/313.
[12] Tafsîr al-Baghawi,  VI/78.
[13] Tafsir al-Qurthubi, XIII/19.
[14] HR. Muslim,no. 2865/7207.
[15] HR Al-Baihaqi dalam Syu’abul-Iman no. 1395. Hadits ini dinyatakan shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 2484.
[16] HR Al-Bukhari no. 332 dan Muslim no. 1479/3691.
[17] Tafsir Al-Qurthubi XIII/19.

Related Posts:

Tafsir Al Furqan Ayat 1-10

Surah Al Furqaan (Pembeda)

Surah ke-25. 77 ayat. Makkiyyah

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

Ayat 1-2: Pengagungan bagi Allah Subhaanahu wa Ta'aala dan pujian bagi-Nya karena menurunkan Al Qur’an kepada hamba-Nya dan Rasul-Nya Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, serta ajakan untuk mentauhidkan Allah Subhaanahu wa Ta'aala yang memiliki kerajaan langit dan bumi.

تَبَارَكَ الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَى عَبْدِهِ لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ نَذِيرًا (١) الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَلَمْ يَتَّخِذْ وَلَدًا وَلَمْ يَكُنْ لَهُ شَرِيكٌ فِي الْمُلْكِ وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا (٢

Terjemah Surat Al Furqan Ayat 1-2

1. [1]Mahatinggi[2] Allah yang telah menurunkan Furqaan (Al Quran)[3] kepada hamba-Nya (Muhammad)[4], agar dia menjadi pemberi peringatan[5] kepada seluruh alam (jin dan manusia),

2. Yang memiliki kerajaan langit dan bumi[6], tidak mempunyai anak, tidak ada sekutu baginya dalam kekuasaan(-Nya)[7], dan Dia menciptakan segala sesuatu[8], lalu menetapkan ukuran-ukurannya dengan tepat[9].

Ayat 3-6: Menceritakan bagaimana orang-orang kafir menyekutukan Allah Subhaanahu wa Ta'aala dan menyembah selain-Nya, bantahan terhadap pendustaan mereka kepada Al Qur’an serta tuduhan dusta mereka bahwa Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam yang mengada-adanya.



وَاتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ آلِهَةً لا يَخْلُقُونَ شَيْئًا وَهُمْ يُخْلَقُونَ وَلا يَمْلِكُونَ لأنْفُسِهِمْ ضَرًّا وَلا نَفْعًا وَلا يَمْلِكُونَ مَوْتًا وَلا حَيَاةً وَلا نُشُورًا (٣)وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ هَذَا إِلا إِفْكٌ افْتَرَاهُ وَأَعَانَهُ عَلَيْهِ قَوْمٌ آخَرُونَ فَقَدْ جَاءُوا ظُلْمًا وَزُورًا (٤) وَقَالُوا أَسَاطِيرُ الأوَّلِينَ اكْتَتَبَهَا فَهِيَ تُمْلَى عَلَيْهِ بُكْرَةً وَأَصِيلا (٥) قُلْ أَنْزَلَهُ الَّذِي يَعْلَمُ السِّرَّ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ إِنَّهُ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا (٦

Terjemah Surat Al Furqan Ayat 3-6

3. [10]Namun mereka mengambil tuhan-tuhan selain Dia (untuk disembah), padahal mereka (tuhan-tuhan itu) tidak menciptakan apa pun, bahkan mereka sendiri diciptakan[11] dan tidak kuasa untuk (menolak) bahaya terhadap dirinya dan tidak dapat (mendatangkan) manfaat[12] serta tidak kuasa mematikan, menghidupkan dan tidak (pula) membangkitkan.

4. [13]Dan orang-orang kafir berkata, "(Al Quran) ini tidak lain hanyalah kebohongan yang diada-adakan oleh dia (Muhammad), dibantu oleh orang-orang lain[14].” [15]Sungguh, mereka telah berbuat zalim dan dusta yang besar.

5. Dan mereka berkata, "(Itu hanya) dongeng-dongeng orang-orang terdahulu[16], yang diminta agar dituliskan, lalu dibacakanlah dongeng itu kepadanya[17] setiap pagi dan petang[18]."

6. [19]Katakanlah (Muhammad), "(Al Quran) itu diturunkan oleh (Allah) yang mengetahui rahasia[20] di langit dan di bumi[21]. Sungguh, Dia Maha Pengampun[22] lagi Maha Penyayang[23]."

Ayat 7-10: Protes orang-orang kafir, permintaan mereka agar didatangkan mukjizat serta pengingkaran mereka jika rasul diutus dari kalangan manusia biasa.

وَقَالُوا مَالِ هَذَا الرَّسُولِ يَأْكُلُ الطَّعَامَ وَيَمْشِي فِي الأسْوَاقِ لَوْلا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مَلَكٌ فَيَكُونَ مَعَهُ نَذِيرًا (٧) أَوْ يُلْقَى إِلَيْهِ كَنْزٌ أَوْ تَكُونُ لَهُ جَنَّةٌ يَأْكُلُ مِنْهَا وَقَالَ الظَّالِمُونَ إِنْ تَتَّبِعُونَ إِلا رَجُلا مَسْحُورًا (٨)انْظُرْ كَيْفَ ضَرَبُوا لَكَ الأمْثَالَ فَضَلُّوا فَلا يَسْتَطِيعُونَ سَبِيلا (٩)تَبَارَكَ الَّذِي إِنْ شَاءَ جَعَلَ لَكَ خَيْرًا مِنْ ذَلِكَ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ وَيَجْعَلْ لَكَ قُصُورًا (١٠

Terjemah Surat Al Furqan Ayat 7-10

7. Dan mereka berkata[24], "Mengapa Rasul (Muhammad) ini memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar[25]? Mengapa malaikat tidak diturunkan kepadanya (agar malaikat) itu memberikan peringatan bersama dia[26],

8. Atau (mengapa tidak) diturunkan kepadanya harta kekayaan[27] atau (mengapa tidak ada) kebun baginya[28], sehingga dia dapat makan dari (hasil)nya?" Dan orang-orang zalim itu berkata[29], "Kamu hanyalah mengikuti seorang lelaki yang kena sihir[30].”

9. Perhatikanlah, bagaimana mereka membuat perumpamaan-perumpamaan tentang engkau[31], maka sesatlah mereka[32], mereka tidak sanggup (mendapatkan) jalan (untuk menentang kerasulanmu).

10. Mahasuci[33] (Allah) yang jika Dia menghendaki, niscaya Dia jadikan bagimu yang lebih baik daripada itu[34], (yaitu) surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai[35], dan Dia jadikan (pula) istana-istana untukmu [36].


[1] Ayat ini menerangkan tentang keagungan Allah, keesaan-Nya dan banyaknya kebaikan serta ihsan-Nya.

[2] Yakni Mahaagung, sempurna sifat-sifat-Nya dan banyak kebaikannya yang di antara kebaikan dan nikmat-Nya yang terbesar adalah menurunkan Al Qur’an.

[3] Al Qur’an disebut Al Furqan, karena ia membedakan antara yang hak dengan yang batil, yang halal dengan yang haram, petunjuk dengan kesesatan, dan orang yang bahagia dengan orang yang sengsara.

[4] Yang telah sempurna martabat kehambaan, dan kedudukannya di atas para rasul yang lain.

[5] Menakuti mereka dengan azab Allah dan menerangkan jalan yang diridhai Allah dan jalan yang dimurkai-Nya, sehingga barang siapa yang menerimanya dan mengamalkannya, maka ia termasuk orang yang selamat di dunia dan akhirat, yang memperoleh kebahagiaan yang kekal. Adakah nikmat dan karunia yang lebih besar daripada ini?

[6] Dia yang mengaturnya sendiri, dan semua yang ada di dalamnya adalah milik-Nya dan hamba-Nya, tunduk kepada rububiyyah-Nya dan butuh kepada rahmat-Nya.

[7] Bagaimana mungkin Dia mempunyai anak dan sekutu, padahal Dia yang memiliki alam semesta, sedangkan selain-Nya dimiliki, Dia berkuasa, sedangkan selain-Nya dikuasai, Dia Mahakaya dari segala sisi, sedangkan selain-Nya butuh kepada-Nya dari segala sisi, dan bagaimana mungkin Dia memiliki sekutu dalam kerajaan-Nya, padahal semua makhluk di bawah ketetapan-Nya, di mana mereka tidak bertindak kecuali dengan izin-Nya, maka Mahatinggi Allah dari memiliki anak dan sekutu dengan ketinggian yang setinggi-tingginya, dan orang yang mengatakan demikian berarti tidak mengagungkan-Nya dengan pengagungan yang semestinya.

[8] Baik alam bagian atas maupun alam bagian bawah, baik manusia, jin, malaikat, hewan, tumbuhan, benda mati, dan lain-lain.

[9] Maksudnya, segala sesuatu yang diciptakan Allah diberi-Nya perlengkapan-perlengkapan dan persiapan-persiapan, sesuai dengan naluri, sifat-sifat dan fungsinya masing-masing dalam hidup.

[10] Setelah Allah Subhaanahu wa Ta'aala menerangkan kesempurnaan-Nya, keagungan-Nya dan banyaknya kebaikan-Nya, maka yang demikian menghendaki agar Dia yang dicintai, disembah dan diagungkan, maka Dia menerangkan batilnya menyembah selain-Nya.

[11] Sungguh sangat aneh sekali dan sangat membuktikan sekali terhadap kebodohan mereka, kurangnya akal mereka, bahkan membuktikan kezaliman dan beraninya mereka terhadap Tuhan yang menciptakan mereka, yaitu sikap mereka mengambil tuhan yang keadaannya seperti yang disebutkan, yakni tidak dapat menciptakan, bahkan dicipta, yang tidak dapat menghidupkan, mematikan mapun membangkitkan.

[12] Sedikit maupun banyak.

[13] Setelah Allah Subhaanahu wa Ta'aala menetapkan kebenaran tauhid dengan dalil yang qath’i (pasti) lagi jelas dan batilnya syirk (mengadakan tandingan bagi Allah), Dia menetapkan kebenaran risalah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dan batilnya orang yang menolaknya dan menentangnya.

[14] Yang dimaksud dengan orang-orang yang lain itu adalah orang-orang Ahli Kitab.

[15] Allah membantah mereka dengan menerangkan, bahwa mereka telah bersikap sombong, zalim dan berdusta besar. Padahal mereka mengetahui pribadi orang yang membawanya, terkenal kejujurannya, amanahnya, dan akhlaknya yang mulia, dan lagi tidak mungkin bagi Beliau bahkan semua makhluk untuk mendatangkan Al Qur’an yang isinya begitu agung, indah, dan bijaksana, bahkan terdapat berita-berita orang terdahulu yang benar, yang tidak diketahui kecuali oleh Allah Subhaanahu wa Ta'aala.

[16] Yang disampaikan dari mulut ke mulut dan disalin oleh Beliau.

[17] Agar Beliau hapal.

[18] Dalam ucapan mereka ini terdapat kesalahan besar dan menunjukkan kedustaan mereka:

- Tuduhan mereka kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam manusia yang paling baik dan paling jujur lisannya dengan tuduhan berdusta.

- Perkataan mereka, bahwa Al Qur’an adalah dusta dan buatan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.

- Perkataan mereka itu sesungguhnya menunjukkan bahwa mereka mengaku mampu mendatangkan yang seperti Al Qur’an dan menyamakan antara ucapan makhluk yang memiliki kekurangan dari berbagai sisi dengan Al Khaaliq yang Mahasempurna dari berbagai sisi.

- Kedaaan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah mereka ketahui, yaitu bahwa Beliau tidak sanggup menulis.

[19] Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman membantah mereka.

[20] Yakni hal gaib.

[21] Sisi tegaknya hujjah kepada mereka adalah, bahwa yang menurunkannya adalah Tuhan yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, termasuk mengetahui pula orang yang membawa Al Qur’an (Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam) dan mengatakan bahwa ia turun dari sisi Allah. Jika memang Al Qur’an bukan dari Allah, tentu Allah segera membinasakannya, namun kenyataannya Allah menguatkannya dan memenangkannya terhadap musuh-musuhnya. Di samping itu, disebutkan ilmu-Nya yang menyeluruh adalah untuk mengingatkan mereka dan mendorong mereka untuk mentadabburi Al Qur’an, di mana jika mereka mau mentadaburinya, tentu mereka akan melihat di antara ilmu-Nya dan hukum-hukum-Nya yang menunjukkan bahwa Al Qur’an turun dari Yang Maha Mengetahui yang gaib dan yang tampak.

Meskipun mereka mengingkari tauhid dan kerasulan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, namun Allah bersikap lembut kepada mereka, Dia tidak segera menghukum mereka, bahkan mengajak mereka dengan lembut untuk bertobat dan kembali kepadanya, Dia berfirman di akhir ayat, “Sungguh, Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." Agar mereka tidak berputus asa.

[22] Sifat-Nya mengampuni bagi pelaku dosa dan maksiat apabila mereka mengerjakan sebab-sebab untuk diampuni, yaitu berhenti dari maksiat dan bertobat.

[23] Dia tidak segera menghukum mereka, padahal mereka telah melakukan perbuatan yang menghendaki untuk disiksa, Dia mengutus Rasul-Nya untuk kebaikan mereka, tetapi Rasul tersebut mereka sakiti baik dengan lisan maupun dengan perbuatan, bahkan Dia mengajak mereka bertobat dan siap menerima tobat mereka, menghapuskan kesalahan mereka dan menerima kebaikan mereka.

[24] Ini di antara ucapan orang-orang yang mendustakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, di mana ucapan ini dimaksudkan untuk mengkritik kerasulan Beliau, mereka mengatakan, “Mengapa rasul itu tidak seorang malaikat, atau seorang raja atau ada malaikat yang membantunya?”

[25] Ini termasuk sifat-sifat manusia, makan, minum dan butuh seperti yang dibutuhkan manusia lainnya, demikian juga pergi ke pasar untuk berjual-beli. Menurut mereka Rasul tidak pantas seperti itu, padahal Allah berfirman, “Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar, dan Kami jadikan sebagian kamu cobaan bagi sebagian yang lain. maukah kamu bersabar?; Dan Tuhanmu Maha Melihat.” (Terj. Al Furqan: 20)

[26] Lagi membenarkannya.

[27] Dari langit sehingga tidak perlu berjalan ke pasar untuk memperoleh penghidupan.

[28] Sehingga tidak perlu pergi ke pasar untuk mencari rezeki.

[29] Kezaliman mereka membuat mereka mengatakan seperti itu, bukan karena samar.

[30] Padahal mereka mengetahui sempurnanya akalnya, baik bicaranya dan pribadinya yang selamat dari cacat.

[31] Yaitu perkataan mereka, “Mengapa rasul itu tidak malaikat, raja yang mempunyai kekayaan, tetapi malah manusia?” Demikian pula perkataan mereka, bahwa Beliau terkena sihir.

[32] Ucapan mereka penuh pertentangan, semuanya merupakan kebodohan, kedunguan dan kesesatan, tidak ada satu pun yang ada petunjuknya. Bahkan dengan memperhatikan sebentar saja sudah dapat diketahui kebatilannya dan yang demikian sudah cukup untuk membantahnya.

[33] Tabaaraka juga bisa diartikan, Mahabanyak kebaikan-Nya.

[34] Dari apa yang mereka katakan, berupa harta kekayaan yang banyak dan kebun.

[35] Di dunia, namun Dia menghendaki untuk memberikan surga di akhirat karena keadaan dunia yang di sisi-Nya sangat rendah dan hina.



[36] Maksudnya, kalau Allah menghendaki niscaya dijadikan-Nya untuk Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam surga-surga dan istana-istana seperti yang akan diperolehnya di akhirat. tetapi Allah tidak menghendaki yang demikian agar manusia itu tunduk dan beriman kepada Allah, tidak terpengaruh oleh benda, tetapi berdasarkan kepada bukti-bukti dan dalil-dalil yang nyata.

Related Posts:

Tafsir An Nur Ayat 55-64

Ayat 55-57: Kekuasaan yang dijanjikan Allah kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh ketika mereka mengikuti ajaran Islam.

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الأرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (٥٥) وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ (٥٦) لا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مُعْجِزِينَ فِي الأرْضِ وَمَأْوَاهُمُ النَّارُ وَلَبِئْسَ الْمَصِيرُ (٥٧

Terjemah Surat An Nur Ayat 55-57

55. [1]Allah telah menjanjikan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman dan mengerjakan amal saleh, bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi[2] sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa[3], dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah Dia ridhai (Islam)[4]. Dan Dia benar-benar akan mengubah (keadaan) mereka, setelah berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu pun. Tetapi barang siapa (tetap) kafir setelah (janji) itu[5], maka mereka itulah orang-orang yang fasik[6].

56. [7]Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada Rasul (Muhammad), agar kamu[8] diberi rahmat[9].

57. Janganlah engkau mengira bahwa orang-orang yang kafir itu dapat luput dari siksaan Allah di bumi[10]; sedang tempat kembali mereka (di akhirat) adalah neraka. Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali[11].

Ayat 58-61: Adab meminta izin, masuk ke rumah, pedoman pergaulan dalam rumah tangga dan syariat mengucapkan salam.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِيَسْتَأْذِنْكُمُ الَّذِينَ مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ وَالَّذِينَ لَمْ يَبْلُغُوا الْحُلُمَ مِنْكُمْ ثَلاثَ مَرَّاتٍ مِنْ قَبْلِ صَلاةِ الْفَجْرِ وَحِينَ تَضَعُونَ ثِيَابَكُمْ مِنَ الظَّهِيرَةِ وَمِنْ بَعْدِ صَلاةِ الْعِشَاءِ ثَلاثُ عَوْرَاتٍ لَكُمْ لَيْسَ عَلَيْكُمْ وَلا عَلَيْهِمْ جُنَاحٌ بَعْدَهُنَّ طَوَّافُونَ عَلَيْكُمْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الآيَاتِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (٥٨)وَإِذَا بَلَغَ الأطْفَالُ مِنْكُمُ الْحُلُمَ فَلْيَسْتَأْذِنُوا كَمَا اسْتَأْذَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (٥٩) وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاءِ اللاتِي لا يَرْجُونَ نِكَاحًا فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَنْ يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ وَأَنْ يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَهُنَّ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (٦٠) لَيْسَ عَلَى الأعْمَى حَرَجٌ وَلا عَلَى الأعْرَجِ حَرَجٌ وَلا عَلَى الْمَرِيضِ حَرَجٌ وَلا عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَنْ تَأْكُلُوا مِنْ بُيُوتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ آبَائِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أُمَّهَاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ إِخْوَانِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَخَوَاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَعْمَامِكُمْ أَوْ بُيُوتِ عَمَّاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَخْوَالِكُمْ أَوْ بُيُوتِ خَالاتِكُمْ أَوْ مَا مَلَكْتُمْ مَفَاتِحَهُ أَوْ صَدِيقِكُمْ لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَأْكُلُوا جَمِيعًا أَوْ أَشْتَاتًا فَإِذَا دَخَلْتُمْ بُيُوتًا فَسَلِّمُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ تَحِيَّةً مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُبَارَكَةً طَيِّبَةً كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ (٦١

Terjemah Surat An Nur Ayat 58-61

58. Wahai orang-orang yang beriman! Hendaklah hamba sahaya (laki-laki dan perempuan) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig (dewasa) di antara kamu[12], meminta izin kepada kamu pada tiga kali (kesempatan)[13], yaitu sebelum shalat Subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari[14], dan setelah shalat Isya'. (Itulah) tiga aurat (waktu) bagi kamu[15]. Tidak ada dosa bagimu dan tidak (pula) bagi mereka selain dari (tiga waktu) itu[16]; mereka keluar masuk melayani kamu, sebagian kamu atas sebahagian yang lain. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat itu kepadamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.

59. Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur balig (dewasa), maka hendaklah mereka (juga) meminta izin[17], seperti orang-orang yang sebelum mereka[18] meminta izin[19]. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya kepadamu[20]. Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana[21].

60. Dan para perempuan tua yang telah berhenti (dari haid dan mengandung)[22] yang tidak ingin menikah (lagi), maka tidak ada dosa menanggalkan pakaian (luar)[23] mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan[24]; tetapi memelihara kehormatan[25] adalah lebih baik bagi mereka. Allah Maha Mendengar[26] lagi Maha Mengetahui[27].

61. [28] [29]Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit[30], dan tidak (pula) bagi dirimu, makan (bersama-sama mereka) di rumah kamu[31] atau di rumah bapak-bapakmu, di rumah ibu-ibumu, di rumah saudara-saudaramu yang laki-laki, di rumah saudaramu yang perempuan, di rumah saudara-saudara bapakmu yang laki-laki, di rumah saudara-saudara bapakmu yang perempuan, di rumah saudara-saudara ibumu yang laki-laki, di rumah saudara-saudara ibumu yang perempuan, (di rumah) yang kamu miliki kuncinya[32] atau (di rumah) kawan-kawanmu[33]. Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendiri-sendiri[34]. Apabila kamu memasuki rumah-rumah[35] hendaklah kamu memberi salam kepada (penghuninya, yang berarti memberi salam)[36] kepada dirimu sendiri, dengan salam yang penuh berkah[37] dan baik[38] dari sisi Allah. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat(-Nya)[39] bagimu, agar kamu mengerti[40].

Ayat 62-64: Adab pergaulan orang-orang mukmin terhadap Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, memuliakan Beliau dan majlisnya serta penjelasan luasnya ilmu Allah Subhaanahu wa Ta'aala.

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِذَا كَانُوا مَعَهُ عَلَى أَمْرٍ جَامِعٍ لَمْ يَذْهَبُوا حَتَّى يَسْتَأْذِنُوهُ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَأْذِنُونَكَ أُولَئِكَ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ فَإِذَا اسْتَأْذَنُوكَ لِبَعْضِ شَأْنِهِمْ فَأْذَنْ لِمَنْ شِئْتَ مِنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمُ اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (٦٢) لا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا قَدْ يَعْلَمُ اللَّهُ الَّذِينَ يَتَسَلَّلُونَ مِنْكُمْ لِوَاذًا فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ (٦٣) أَلا إِنَّ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ قَدْ يَعْلَمُ مَا أَنْتُمْ عَلَيْهِ وَيَوْمَ يُرْجَعُونَ إِلَيْهِ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا عَمِلُوا وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (٦٤

Terjemah Surat An Nur Ayat 62-64

62. (Yang disebut) orang mukmin hanyalah orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya (Muhammad), dan apabila mereka berada bersama-sama dengan dia (Muhammad) dalam suatu urusan bersama[41], mereka tidak meninggalkan (Rasulullah)[42] sebelum meminta izin kepadanya[43]. Sungguh, orang-orang yang meminta izin kepadamu (Muhammad), mereka itulah orang-orang yang (benar-benar) beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka apabila mereka meminta izin kepadamu karena suatu keperluan, berilah izin kepada siapa yang engkau kehendaki di antara mereka, dan mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada Allah[44]. Sungguh, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

63. Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul (Muhammad) di antara kamu seperti panggilan sebagian kamu kepada sebagian (yang lain)[45]. Sungguh, Allah mengetahui orang-orang yang keluar (secara sembunyi-sembunyi) di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya)[46], maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul-Nya[47] takut akan mendapat cobaan[48] atau ditimpa azab yang pedih.

64. Ketahuilah, sesungguhnya milik Allah-lah apa yang di langit dan di bumi[49]. Dia mengetahui keadaan kamu sekarang[50]. Dan (mengetahui pula) hari ketika mereka dikembalikan kepada-Nya, lalu diterangkan-Nya kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan[51]. [52]Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.


[1] Hakim meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Ubay bin Ka’ab radhiyallahu 'anhu ia berkata, “Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya datang ke Madinah, maka orang-orang Anshar mendatangi mereka. Orang-orang Arab kemudian melempar panah dari satu busur, di mana mereka tidak bermalam kecuali dengan senjata dan tidak berada di pagi hari kecuali dengannya, maka mereka berkata, “Tidakkah kamu melihat bahwa kita bangun sampai tidur malam dalam keadaan aman, tenang dan tidak takut kecuali kepada Allah.” Maka turunlah ayat, “Wa’adalahulladziina aamanuu minkum…dst.” (Hadits ini menurut Hakim shahih isnadnya, namun keduanya (Bukhari-Muslim) tidak menyebutkannya, dan didiamkan oleh Adz Dzahabi). Syaikh Muqbil menjelaskan dalam Ash Shahihul Musnad min Asbaabin Nuzul, “Hadits ini dalam sanadnya terdapat Ali bin Al Husain bin Waqid, ia didha'ifkan oleh Abu Hatim, dan ditinggalkan oleh Bukhari, ia berkata, “Ishaq berpikiran buruk terhadapnya,” namun ditsiqahkan oleh Ibnu Hibban. Sedangkan Nasa’i berkata, “Dia tidak mengapa.” Akan tetapi Al Haitsami dalam Majma’uzzawaa’id juz 7 hal. 83 berkata, “Diriwayatkan oleh Thabrani dalam Al Awsath dan para perawinya adalah tsiqah.” Thabari juga menyebutkan hadits ini pada juz 18 hal. 159 secara mursal dari Abul ‘Aliyah.

[2] Menggantikan orang-orang kafir. Ini termasuk janji-janji Allah yang benar; yang kenyataannya dapat disaksikan, Dia menjanjikan kepada orang yang beriman dan beramal saleh dari umat ini, bahwa Dia akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, mereka akan menjadi khalifah-khalifahnya di sana dan yang mengaturnya, dan bahwa Dia akan meneguhkan agama yang Dia ridhai untuk mereka, yaitu Islam dan mereka akan dapat menegakkan perintah-perintah dalam agama ini dan menegakkan syiar-syiarnya yang sebelumnya dihalangi. Oleh karena itu, ketika generasi pertama umat ini beriman dan beramal saleh, maka Allah memberikan kekuasaan kepada mereka untuk menguasai negeri dan rakyatnya, mereka berhasil menaklukkan negeri yang berada di bagian timur maupun di bagian barat. Ketika itu, tercapai keamanan dan kekuasaan yang sempurna. Hal ini termasuk ayat-ayat Allah yang mengagumkan dan jelas, dan hal ini akan tetap ada sampai hari kiamat selama mereka beriman dan beramal saleh, oleh karenanya apa yang dijanjikan Allah akan terwujud, Dia memberikan kekuasaan kepada kaum kafir dan munafik adalah sebagai pergiliran untuk mereka dalam sebagian waktu disebabkan kaum muslimin tidak memperhatikan iman dan amal saleh.

[3] Seperti berkuasanya Bani Israil terdahulu menggantikan raja-raja yang kejam.

[4] Yaitu dengan mengunggulkannya di atas agama yang lain dan membukakan negeri-negeri untuk mereka.

[5] Yakni setelah kaum muslimin berkuasa.

[6] Yakni keluar dari ketaatan kepada Allah dan mengadakan kerusakan, dan tidak cocok untuk kebaikan, karena orang yang meninggalkan keimanan saat dalam keadaan mulia dan berkuasa, dan tidak ada yang menghalanginya untuk beriman menunjukkan niatnya yang rusak dan maksudnya yang buruk.

[7] Allah Subhaanahu wa Ta'aala memerintahkan mendirikan shalat, yakni dengan melaksanakan rukun, syarat dan adab-adabnya zahir maupun batin, serta menunaikan zakat dari harta yang diberikan Allah kepada mereka. Keduanya adalah ketaatan yang paling besar dan paling agung, menggabung hak-Nya dan hak hamba-hamba-Nya, yaitu berbuat ikhlas kepada Allah dan berbuat ihsan kepada hamba-hamba Allah. Di samping itu, apabila seseorang telah menjalankan keduanya, maka akan mudah menjalankan perintah-perintah yang lain. Oleh karena itu, pada lanjutan ayatnya Allah Subhaanahu wa Ta'aala memerintahkan dengan perintah umum, yaitu menaati Rasul dalam segala urusan, dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan.

[8] Ketika melakukan semua itu.

[9] Oleh karena itu, barang siapa yang menginginkan rahmat, maka itulah jalannya. Maka dari itu, barang siapa yang mengharap rahmat, namun tidak shalat, tidak zakat dan tidak taat kepada rasul, maka ia hanyalah orang yang berangan-angan lagi dusta.

[10] Oleh karena itu, janganlah kamu tertipu hanya karena mereka diberi kesenangan dalam kehidupan dunia, karena Allah Subhaanahu wa Ta'aala meskipun menunda mereka, tetapi tidak membiarkan. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman, “Kami biarkan mereka bersenang-senang sebentar, kemudian Kami paksa mereka (masuk) ke dalam siksa yang keras.” (Terj. Luqman: 24)

[11] Karena di dalamnya penuh keburukan, penuh penyesalan dan penuh derita dan azab yang kekal.

[12] Dan mereka telah mengenal urusan tentang wanita.

[13] Di mana pada tiga waktu ini, biasanya kamu memakai pakaian yang tidak biasanya.

[14] Yakni waktu Zhuhur.

[15] Maksudnya, tiga waktu yang biasanya badan banyak terbuka. Oleh sebab itu Allah melarang budak-budak dan anak-anak di bawah umur untuk masuk ke kamar tidur orang dewasa tanpa izin pada waktu-waktu tersebut.

[16] Maksudnya, tidak berdosa kalau mereka tidak dicegah masuk tanpa izin, dan tidak pula mereka berdosa kalau masuk tanpa meminta izin.

[17] Dalam semua waktu.

[18] Ada yang mengartikan dengan, “orang-orang yang lebih dewasa.”

[19] Maksudnya, anak-anak dari orang-orang yang merdeka yang bukan mahram, yang telah balig haruslah meminta izin lebih dahulu kalau hendak masuk seperti orang-orang yang tersebut dalam ayat 27 dan 28 surat ini. Alqamah berkata, “Seorang laki-laki datang menemui Abdullah bin Mas’ud sambil bertanya, “Apakah saya harus meminta izin sebelum masuk ke kamar ibuku?” Abdullah bin Mas’ud menjawab, “Tidak setiap saat ibumu senang kamu melihatnya.” (HR. Bukhari)

[20] Dia menjelaskannya dan merincikan hukum-hukumnya.

[21] Dari kedua ayat di atas (ayat 58 & 59) terdapat beberapa faedah, di antaranya:

- Bahwa sayyid (majikan) dan wali bagi anak kecil hendaknya mengajarkan budak dan orang yang berada di bawah kekuasaan mereka, seperti anak-anak ilmu dan adab-ada syar’i.

- Perintah menjaga aurat dan memeliharanya dari berbagai sisi, dan bahwa tempat yang biasanya aurat seseorang dapat terlihat dilarang untuk mandi di situ.

- Boleh membuka aurat karena keperluan, seperti karena hendak tidur, buang air kecil dan buang air besar.

- Kaum muslimin sejak dahulu mempunyai kebiasaan istirahat di siang hari sebagaimana mereka memiliki kebiasaan tidur di malam hari. Kebiasaan ini merupakan kebiasaan yang baik dank arena badan butuh beristirahat.

- Anak kecil yang belum baligh tidak diperbolehkan diberikan kesempatan melihat aurat.

- Budak tidak diperbolehkan melihat aurat majikannya.

- Sepantasnya bagi penasehat, pengajar dsb. yang biasa membicarakan tentang ilmu syar’i memberikan dalil dan alasan.

- Bolehnya memanfaatkan orang yang berada di bawah kekuasaannya, seperti anak kecil namun tidak sampai memberatkannya.

[22] Demikian pula sudah tidak suka bersenang-senang dan tidak ada rasa syahwatnya, karena keadaannya sudah tua atau jelek fisiknya.

[23] Maksudnya, pakaian luar yang kalau dibuka tidak menampakkan aurat mereka, seperti baju kurung (gamis), demikian pula cadarnya.

[24] Seperti berpakaian yang menarik, menggerakkan anggota badannya agar diketahui perhiasannya yang tersembunyi seperti kalung, gelang tangan dan gelang kaki.

[25] Dengan tidak melepas pakaian luar atau meninggalkan sesuatu yang dikhawatirkan timbul fitnah.

[26] Semua suara.

[27] Niat dan maksud seseorang. Oleh karena itu, hendaknya orang yang berniat dan bermaksud buruk serta yang berkata jelek takut terhadap sikap itu, karena Allah mengetahuinya dan akan memberikan balasan terhadapnya.

[28] Al Bazzar meriwayatkan (sebagaimana disebutkan dalam Kasyful Astaar juz 3 hal. 61) dengan sanadnya yang sampai kepada Aisyah radhiyallahu 'anha ia berkata, “Kaum muslimin ingin sekali berangkat perang bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu mereka serahkan kunci (rumah) mereka kepada orang-orang yang sakit dan mereka berkata kepadanya, “Kami telah halalkan kepada kamu memakan apa saja yang kamu sukai,” tetapi mereka (orang yang diserahi kunci rumah) malah berkata, “Sesungguhnya tidak halal bagi kami jika mereka mengizinkan tanpa ada kerelaan dari dirinya, “ maka Allah menurunkan ayat, “Laisa ‘alal a’maa…dst. Sampai, “Aw maa malaktum mafaatihah.” (Al Bazzar berkata, “Kami tidak mengetahui yang meriwayatkan dari Az Zuhri selain Shalih.” Al Haitsami dalam Al Majma’ juz 8 hal. 84 berkata, “Diriwayatkan oleh Al Bazzar, dan para perawinya adalah para perawi hadits shahih.” As Suyuthi berkata dalam Lubaabunnuqul, “Sanadnya shahih.”).

[29] Allah Subhaanahu wa Ta'aala memberitahukan nikmat-Nya kepada hamba-hamba-Nya dan bahwa Dia tidak menjadikan kesulitan dalam agama-Nya, bahkan memudahkannya semudah-mudahnya.

[30] Bagi mereka ini tidak ada dosa meninggalkan kewajiban yang terkait dengan kondisi fisiknya, seperti jihad, dsb.

[31] Termasuk pula makan di rumah anak-anakmu.

[32] Maksudnya, rumah yang diserahkan kepadamu mengurusnya.

[33] Yakni tidak mengapa memakan makanan yang ada di rumah orang-orang yang disebutkan meskipun mereka tidak ada jika telah diketahui ridhanya mereka terhadapnya. Yang demikian, karena uruf berlaku, bahwa mereka itu biasanya mempersilahkan makan. Qatadah berkata, “Apabila kamu masuk ke rumah kawanmu, maka tidak mengapa kamu memakan (makanannya) tanpa izinnya.”

[34] Ayat ini tertuju kepada orang yang sebelumnya merasa berdosa makan sendiri, yakni ketika tidak ada yang menemaninya makan di rumah orang-orang yang disebutkan, sehingga ia pun tidak makan.

[35] Baik rumahnya maupun rumah orang lain, baik di dalamnya ada orang maupun tidak.

[36] Jika tidak ada orang di dalamnya dan kamu berhak masuk ke dalamnya, maka ucapannya adalah, “As Salaamu ‘alainaa wa ‘alaa ‘ibaadillahish shaalihiin.” Sebagaimana yang dilakukan Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma.

[37] Karena kandungannya berupa selamat dari kekurangan, mendapatkan rahmat, berkah dan tambahan.

[38] Yang akan diberikan pahala terhadapnya, karena ia termasuk ucapan yang baik (al kalimuth thayyib) yang dicintai Allah.

[39] Yakni rambu-rambu agama-Nya.

[40] Dan bertambah cerdas. Yang demikian, karena mengetahui hukum-hukum syar’i dan hikmah-hikmahnya dapat menambah akal menjadi cerdas. Dalam ayat ini terdapat dalil terhadap kaidah yang umum, yaitu:

الْعُرْفُ وَالْعَادَةُ مُخَصِّصٌ لِلْألْفَاظِ، كَتَخْصِيْصِ اللَّفْظِ اللَّفْظَ

“‘Uruf dan adat mentakhshis lafaz, seperti lafaz ditakhshis oleh lafaz.”

Yang demikian adalah karena pada asalnya, seseorang dilarang mengambil makanan orang lain, namun Allah membolehkan memakan makanan mereka yang disebutkan itu karena uruf dan kebiasaan. Oleh karena itu, setiap masalah yang tergantung oleh izin dari pemilik sesuatu, maka apabila diketahui izinnya melalui ucapan atau uruf, maka boleh maju mengambilnya. Selain yang disebutkan di atas, ayat ini juga menunjukkan beberapa hal berikut:

- Bapak boleh mengambil dan memiliki harta anaknya selama tidak sampai memadharratkannya.

- Orang yang mengurus rumah seseorang, seperti istrinya, saudarinya, dsb. boleh makan dan memberikan makan kepada peminta-minta secara biasanya.

- Bolehnya ikut serta dalam suatu makanan meskipun sampai mengakibatkan sebagiannya memakan lebih daripada yang lain.

[41] Seperti khutbah Jum’at, shalat ‘Ied (hari raya), shalat jama’ah atau berkumpul musyawarah, dsb.

[42] Termasuk pula pengganti Beliau, karena kedatangan uzur secara tiba-tiba.

[43] Para mufassir berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam apabila naik ke mimbar pada hari Jum’at dan salah seorang ada yang ingin keluar dari masjid karena ada suatu keperluan atau uzur, maka ia tidak keluar sehingga ia berdiri lurus menghadap kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam agar Beliau melihatnya, sehingga Beliau mengetahui bahwa ia berdiri untuk meminta izin, maka Beliau mengizinkan siapa saja di antara mereka yang Beliau kehendaki.” Mujahid berkata, “Izin imam pada hari Jum’at adalah berisyarat dengan tangannya.” Ahli ilmu berkata, “Demikian pula setiap perkara yang kaum muslimin berkumpul bersama imam, maka mereka tidak menyelisihinya dan tidak pulang kecuali dengan izin. Jika ia telah meminta izin, maka imam berhak mengizinkan dan berhak tidak mengizinkan. Hal ini jika tidak ada sebab yang menghalanginya untuk tetap di tempat, namun jika ada sebab yang menghalanginya untuk tetap di tempat, misalnya ketika berada di masjid, lalu ada wanita yang haidh atau laki-laki yang junub, atau tiba-tiba sakit, maka tidak perlu meminta izin.” (Dari tafsir Al Baghawi).

[44] Karena mungkin permintaan izin mereka dalam hal yang kurang begitu serius.

[45] Maksudnya adalah jangan memanggil Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam seperti memanggil antara sesama, misalnya memanggil Beliau dengan mengatakan, “Wahai Muhammad,” tetapi katakanlah, “Wahai Nabiyullah,” atau “Wahai Rasulullah,” dengan ucapan yang lembut dan tawadhu’ dan dengan merendahkan suara. Qatadah berkata, “Allah memerintahkan agar Nabi-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam disegani, dimuliakan, dibesarkan dan dituakan.”Bisa juga maksud ayat ini adalah, tidak menjadikan panggilan (seruan) Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam seperti seruan antara sesama kita yang bisa dipenuhi dan bisa tidak. Oleh kaena itu, apabila Beliau memanbggil kita, maka kita wajib mendatangi bahkan meskipun kita sedang shalat sunat.

[46] Misalnya dengan keluar dari masjid diam-diam disangkanya tidak ada yang tahu, padahal Allah mengetahui mereka dan akan memberikan balasan yang setimpal. Oleh karena itulah, pada lanjutan ayatnya Dia mengancam mereka.

[47] Dengan pergi diam-diam (tanpa menampakkan dirinya) dan meminta izin karena ada urusan atau bahkan tidak ada urusan sama sekali, tetapi hanya mengikuti hawa nafsunya saja.

[48] Di hatinya, seperti kekufuran, kemunafikan atau kebid’ahan.

[49] Yakni milik-Nya, ciptaan-Nya, dan hamba-Nya, Dia mengatur mereka dengan hukum qadari-Nya dan hukum syar’i-Nya.

[50] Apakah sebagai mukmin atau sebagai munafik?

[51] Baik amal yang besar maupun yang kecil dan anggota badan mereka akan menjadi saksi terhadapnya.

[52] Setelah disebutkan secara khusus pengetahuan-Nya terhadap amal mereka, maka disebutkan secara umum, bahwa pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu.

=========================
TAFSIR RINGKAS [An-Nûr/24:60]

(Dan wanita-wanita tua yang telah terhenti), maksudnya adalah para wanita yang tidak lagi memiliki niat untuk berhubungan suami istri dan tidak bersyahwat, (yang tidak ingin kawin lagi), yaitu mereka yang tidak berkeinginan untuk menikah ataupun dinikahi (oleh lelaki), dikarenakan dia sangat tua dan tidak bersyahwat atau sudah terlihat jelek rupanya sehingga tidak bersyahwat dan tidak diingini lagi (oleh kaum lelaki), (mereka ini tidak berdosa untuk menanggalkan pakaian mereka), yaitu pakaian luar yang tampak seperti khimâr (kerudung) dan sejenisnya, yaitu yang seperti Allâh firmankan tentang para wanita (dalam al-Qur’an):

وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ 

… Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudungnya ke dada mereka … [An-Nûr/24:31]

Mereka diperboleh untuk membuka wajah mereka kepada orang yang dirasa aman dan tidak membahayakannya.

Ketika Allâh Azza wa Jalla menyatakan bahwa mereka (kaum wanita seperti di atas-red) tidak berdosa jika mereka menanggalkan pakaian luar mereka, bisa jadi ada yang menyangka bahwa mereka diperbolehkan untuk menggunakan segala bentuk pakaian. Oleh karena itu, Allâh Subhanahu wa Ta’ala menolak prasangka tersebut dengan mengatakan, “(dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan),” yaitu mereka tidak menampakkan perhiasannya kepada manusia, baik dengan menghiasai pakaiannya yang tampak (oleh orang lain), atau menghentak-hentak tanah dengan kakinya agar diketahui ada perhiasan yang disembunyikan olehnya. Meskipun dia tidak menarik, tetapi dia bisa menimbulkan fitnah dan lelaki yang melihatnya bisa terjerumus ke dalam dosa.

“(Dan menjaga kesucian diri mereka adalah lebih baik bagi mereka),” yaitu menjaga kesucian diri mereka dengan mengerjakan sebab-sebab untuk menjaganya, seperti menikah dan meninggalkan hal-hal yang dapat menimbulkan fitnah. Itu lebih baik bagi mereka.

(Dan Allâh Maha Mendengar) segala suara, dan Allâh (Maha Mengetahui) segala niat dan maksud. Oleh karena itu, mereka harus berhati-hati dalam berkata dan berniat buruk, dan hendaklah mereka mengetahui bahwa Allâh Azza wa Jalla akan membalas seluruh apa yang mereka kerjakan.”[1]

PENJABARAN AYAT

Lafaz ayat:

وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاءِ اللَّاتِي لَا يَرْجُونَ نِكَاحًا

Dan wanita-wanita tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tidak ingin kawin (lagi)

Al-Qawâ-’id (القواعد) adalah bentuk jamak dari al-qâ’id (القاعد) dan bukan al-qâ’idah. Wanita tua disebut sebagai al-qâ’id (orang yang duduk) karena dia banyak duduk di rumahnya.[2]

Para Ulama berselisih pendapat dalam mengartikannya, di antara pendapat yang mereka sebutkan adalah sebagai berikut:[3]
Dia adalah wanita tua yang sudah tidak bisa melakukan banyak hal karena umurnya yang telah tua sehingga dia tidak bisa haid dan tidak bisa mengandung lagi. Ini adalah pendapat sebagian besar ahli ilmu.
Dia adalah wanita yang jika engkau melihatnya engkau tidak berminat kepadanya karena umurnya yang telah tua. Ini adalah pendapat Rabi’ah.
Dia adalah wanita yang terhenti dari mengandung. Ini adalah pendapat Abu ‘Ubaidah.

Pendapat yang ketiga ini dilemahkan oleh Imam Al-Qurthubi, karena wanita walaupun dia terhenti dari mengandung, lelaki masih bisa bersenang-senang dengannya. Dengan demikian, wanita yang dimaksud di dalam ayat di atas adalah seperti yang disebutkan dalam pendapat pertama. Apabila seorang wanita sudah tidak bisa melakukan apa-apa, maka para lelaki pun tidak akan memiliki rasa ketertarikan kepada wanita tersebut.

BEBERAPA ISTILAH TERKAIT PAKAIAN WANITA DI KALANGAN SAHABAT, TABI’IN DAN TABBI’UT TABI’IN

Sebagian kata dalam Bahasa Arab mengalami perubahan makna, sehingga memiliki makna yang berbeda dengan yang dipahami oleh orang Arab saat ini. Oleh karena itu, ketika kita membaca tafsir atau nukilan-nukilan para Ulama tafsir di zaman dahulu, kita harus menyesuaikan dengan makna yang mereka pahami pada saat itu. Termasuk beberapa istilah yang digunakan untuk menamai pakaian wanita.

Berikut ini adalah istilah-istilah pakaian wanita yang berkaitan dengan tafsir ayat ini:
Ad-Dir’u (الدِرْع )

Ismâ’îl al-Jauhari rahimahullah mengatakan bahwa ad-Dir’u bagi wanita adalah gamisnya (bajunya).[4] Begitu pula yang dikatakan oleh Ibnu Mandzhûr dan al-Fairuz Abadi.[5]
Al-Khimâr (الخِمَار )

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan bahwa al-khumur adalah bentuk jama’ (plural) dari khimâr. Al-khimâr adalah yang dipakai untuk untuk menutupi kepala.[6]

Ibnu Mandzhûr rahimahullah mengatakan bahwa al-khimâr adalah kaian yang dipakai oleh wanita untuk menutupi kepalanya.[7]

Dalam bahasa kita, al-khimâr berarti kerudung, baik yang kecil ataupun yang besar atau lebar.
Al-Jilbâb (الجِلْبَاب )

Al-Fairuz Abadi rahimahullah mengatakan, “Dia adalah baju dan pakaian lebar yang dipakai oleh wanita yang ada di bawah milhafah (kain) atau apa-apa yang dipakai untuk menutupi pakaiannya dari atas, seperti kain, atau dia adalah al-khimâr (kerudung).[8]

Al-khimâr yang dimaksud oleh beliau adalah al-khimâr (kerudung) yang besar atau lebar.
Al-Jauhari rahimahullah mengatakan, “Al-Jilbâb adalah al-milhafah (kain).”[9]

Al-Baghawi rahimahullah mengatakan, “Jilbab adalah kain penutup yang menutupi wanita di atas ad-dir’u (baju) dan al-khimâr (kerudung).”

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Al-Jilbâb adalah ar-ridâ’ (kain atau pakaian lebar) yang dipakai di atas al-khimâr (kerudung). Inilah yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu, ‘Ubaidah, Qatâdah, al-Hasan al-Bashri, Said bin Jubair, Ibrâhîm an-Nakhâ’i, Atha’ al-Khurasaani dan yang lainnya.”[10]

Dengan demikian kita ketahui bahwa pengertian jilbab yang kita pahami berbeda dengan jilbab yang dipahami di zaman Sahabat dan tabi’in. Sehingga kita simpulkan, jilbab adalah kain lebar yang dipakai oleh wanita untuk menutupi bagian atas kerudung dan gamisnya.
Al-Qinâ’ atau al-Qanâ’ (القنَاع )

Ibnu Hajar al-’Asqalâni rahimahullah mengatakan dalam kitab Fat-hul Bâri yaitu ketika membahas hadits:

أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ مُقَنَّعٌ بِالْحَدِيدِ

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangi seorang lelaki dengan muqanna’ (mengenakan qinâ’) dengan besi.

Dibaca dengan memfat-hahkan huruf qâf dan nûn yang di-tasydîd, (yaitu muqanna’). Ini adalah bahasa kiasan yang berarti menutupi wajah dengan alat perang.”

Syaikh Dr. Luthfullah bin Mula ‘Abdil ’Azhim mengatakan, “Dan kenyataannya, semua orang yang melihat berbagai jenis qina’, dia akan memahami bahwa qina’ adalah penutup wajah. Dan qina’ itu menutupi wajah sehingga tidak terlihat kecuali hanya mata untuk melihat, seperti bentuk niqab (cadar), dengan demikian dia bisa berjalan dan berperang. Dan perkataan Ibnu Hajar di atas sangat jelas, yang dimaksud dengan qinâ’ adalah penutup wajah.[11]

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu , dia berkata, “Dulu wanita yang merdeka memakai pakaian seperti pakaian budak wanita. Kemudian Allâh Azza wa Jalla memerintahkan kepada para wanita untuk menurunkan jilbab-jilbab mereka ke tubuhnya. Maksud dari menurunkan jilbab adalah jilbab tersebut dijadikan qina’ dan diikat di atas dahi.”[12]

Ibnu Jarir at-Thabari rahimahullah juga meriwayatkan, “Ya’qûb telah memberitahu kami, (dia berkata), ‘Kami dikabari oleh Ibnu ‘Ulaiyah dari Ibnu ‘Aun dari Muhammad dari ‘Ubaidah tentang firman Allâh Azza wa Jalla :

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ

(Ibnu ‘Ulaiyah berkata), kemudian Ibnu ‘Aun mempraktikkan cara memakainya di hadapan kami, dan dia mengatakan bahwa Muhammad telah mempraktikkan cara memakainya di hadapan kami dan Muhammad mengatakan bahwa ‘Ubaidah telah mempraktikkan cara memakainya di sisiku. Kemudian Ibnu ‘Aun menggunakan kainnya dan ber-qinâ’, kemudian beliau menutup hidungnya dan mata kirinya, kemudian menampakkan mata kanannya, kemudian menurunkan kainnya dari atas sampai menjadikannya dekat dengan alisnya atau di atas alisnya.”[13]

Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa yang dimaksud dengan al-qinâ’ adalah kain yang dililitkan dan ditutupkan untuk menutupi wajah dan hanya menampakkan mata.

Penulis sengaja menyebutkan makna al-qinâ’ secara bahasa dan apa yang dipahami oleh para Sahabat dan Tâbi’în, karena sebagian Ulama ada yang mengingkari bahwa al-qinâ’ memiliki makna yang berbeda dengan apa yang telah penulis sebutkan atau mengartikannya hanya sebagai penutup kepala.
Al-Milhafah (المِلْحَفَة )

Al-Milhafah adalah kain yang dipakai untuk menutupi seluruh pakaian.[14]
Ar-Ridâ’ (الرِدَاء )

Pakaian yang menutupi bagian atas pakaian, seperti jubah, gamis atau kain yang diselendangkan di atas tubuh bagian atas.[15] Tetapi makna ar-ridâ’ yang sering digunakan dalam tafsir dan hadits adalah kain yang menutupi bagian atas tubuh. Al-Fairuz Abadi rahimahullah mengatakan, “Ar-Ridâ’ adalah al-milhafah.”[16]

Dengan memahami istilah-istilah di atas, maka kita bisa memahami perkataan para Ulama dalam menafsirkan ayat ini. Dengan demikian, setelah penulis menyebutkan arti istilah-istilah di atas, maka penulis akan menyebutkan perkataan para salaf (kaum terdahulu) dalam menafsirkan ayat ini tanpa harus menerjemahkan arti dari perkataan mereka. Jadi, agar tidak terjadi kesalahpahaman, pembaca diharapkan selalu merujuk ke istilah di atas ketika membaca perkataan-perkataan setelah ini.

Firman Allâh Ta’ala:

فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَنْ يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ

Mereka tidaklah berdosa untuk menanggalkan pakaian mereka

Firman Allâh Azza wa Jalla yang artinya, “Mereka tidaklah berdosa untuk menanggalkan pakaian mereka” tidak berarti mereka berhak memakai pakaian yang mereka inginkan dan menampakkan apa saja yang mereka ingin tampakkan. Di dalam qiraah (bacaan) ‘Abdullah bin Mas’ud dan ‘Ubai bin Ka’ab Radhiyallahu anhuma, beliau membacanya dengan:

فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَنْ يَضَعْنَ مِنْ ثِيَابٍ

Mereka tidaklah berdosa untuk menanggalkan sebagian dari pakaian mereka.[17]

Para Ulama berbeda pendapat tentang apa saja yang boleh ditanggalkan oleh para wanita yang sudah tua ketika mereka berhadapan dengan lelaki yang bukan mahramnya. Pendapat mereka terbagi menjadi dua kelompok, yaitu:
Yang boleh ditanggalkan adalah al-khimâr (yaitu kerudung yang digunakan wanita saat ini), sehingga diperbolehkan untuk menampakkan kepala dan rambutnya.
Yang boleh ditanggalkan adalah al-jilbâb (kain tambahan yang menutupi kerudung dan baju) atau al-qinâ’ (kain tambahan yang menutupi wajah) dan tidak boleh menanggalkan al-khimâr, sehingga yang diperbolehkan hanyalah menampakkan wajah dan tidak boleh menampakkan kepala dan rambutnya.

Untuk menilai pendapat mana yang kuat, sebaiknya kita jangan tergesa-gesa mengambil kesimpulan, apalagi kesimpulan tersebut hanya dipengaruhi oleh perasaan, hawa nafsu, budaya dan ikut-ikutan. Kita harus menumbuhkan sifat ilmiyah dalam memahami permasalahan-permasalahan agama dan tidak mudah untuk taqlîd atau mengikuti pendapat ustadz, kiyai, tuan guru atau tokoh masyarakat.

PEMBAHASAN TENTANG KEDUA PENDAPAT DI ATAS
Pendapat pertama, yaitu yang membolehkan menampakkan kepala dan rambut.

Di antara Ulama yang berpendapat demikian adalah ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ‘Ikrimah, Sulaiman bin Yasar, ‘Abdurrahman bin Zaid bin Aslam.[18]

‘Ikrimah rahimahullah mengatakan, “Yaitu menanggalkan al-jilbâb dan al-khimâr.”[19]

‘Abdurrahman bin Zaid bin Aslam rahimahullah mengatakan, ”Dan yang dimaksud al-isti’fâf (menjaga kesucian jiwa) yaitu memakai kerudung di kepalanya.”[20]

Maksud perkataan ‘Abdurrahman bin Zaid adalah wanita yang telah tua boleh menanggalkan khimâr-nya, akan tetapi, jika dia memakai al-khimâr. Itu lebih utama untuk menjaga kesucian jiwanya.
Pendapat yang kedua, yaitu pendapat yang hanya boleh menampakkan wajah

Pendapat ini adalah pendapat yang dipegang oleh jumhûr al-mufassirîn (sebagian besar ahli tafsir) di zaman dahulu. Di antara Ulama yang berpendapat demikian adalah ‘Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu, ‘Abdullah bin ‘Abbâs Radhiyallahu anhu, Sa’id bin Jubair Radhiyallahu anhu, Ibrâhîm an-Nakhâ’i rahimahullah , Mujâhid rahimahullah , Ibnu Juraij, Muqatil, al-Hasan al-Bashri, Qatâdah, adh-Dhahhak, az-Zuhri, al-Auza’i, al-Baghawi[21], al-Qurthubi[22], Ibnu Katsir[23], dll. Bahkan di dalam tafsir Ibni Abi Hatim, beliau menyebutkan terdapat riwayat dari ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma dan Sulaiman bin Yasar yang mengatakan seperti pendapat kedua ini.

Berikut ini adalah nukilan-nukilan dari sebagian perkataan mereka:

Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma mengatakan, “Dia adalah wanita yang tidak berdosa jika duduk di rumahnya dengan mengenakan dir’u dan khimâr dan menanggalkan al-jilbâb, selama dia tidak bersolek yang dibenci oleh Allâh.”[24]

‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhuma mengatakan, “menanggalkan pakaiannya, maksudnya adalah ar-ridâ’.” dalam riwayat lain ‘Abdullah bin Mas’ud mengatakan, “(Yaitu menanggalkan) jilbâb-jilbâb mereka.”[25] Dan dalam riwayat lain beliau mengatakan, “yaitu al-milhafah.”[26]

Sa’id bin Jubair rahimahullah mengatakan, “Dia adalah al-jilbâb yang dipakai di atas al-khimâr. Tidak mengapa dia menanggalkan al-jilbâb di hadapan orang asing atau selain orang asing setelah dia memakai al-khimâr yang kuat (tidak mudah terlepas).”[27]

Ibnu Abi Hatim rahimahullah mengatakan, “Dan diriwayatkan juga dari Ibnu ‘Abbâs, Ibnu ‘Umar dalam salah satu riwayat darinya, Sulaiman bin Yasar dalam salah satu riwayat darinya, Said bin Jubair, Jabir bin Zaid, Ibrahim An-Nakha’i dan Mujahid, bahwa yang ditanggalkan adalah al-jilbâb.”[28]

Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah mengatakan, “Tidak mengapa dan tidak ada dosa untuk mereka menanggalkan pakaian mereka, yaitu jilbâb-jilbâb mereka. Yang dimaksud jilbâb di sini adalah al-qinâ’ yang diletakkan di atas al-khimâr dan juga ar-ridâ’ yang diletakkan di atas pakaian. Tidak mengapa bagi mereka untuk menanggalkannya di hadapan mahram-mahramnya atau selain mahram-mahramnya dari kalangan orang-orang asing, dengan tidak berhias dengan perhiasan.”[29]

Pendapat yang kuat dari kedua pendapat

Allâhu a’lam bishshawaab. Pendapat yang kuat adalah pendapat yang kedua, karena nukilan-nukilan yang menguatkan pendapat tersebut sangat banyak. Oleh karena itu, al-Qurthubi t mengatakan di dalam tafsirnya,

“Sebagian kaum mengatakan bahwa wanita yang sudah tidak ingin menikah lagi jika rambutnya ditampakkan maka tidak mengapa. Oleh karena itu, (berdasarkan pendapat itu) dia diperbolehkan untuk melepas khimâr-nya. Dan (pendapat) yang benar, wanita tersebut hukumnya seperti wanita muda di dalam menutupi (tubuhnya). Hanya saja, wanita yang tua menanggalkan jilbâb-nya yaitu yang dipakai di atas ad-dir’u dan al-khimâr. Inilah yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud, Ibnu Jarir dan yang lainnya.”[30]

Firman Allâh Ta’ala:

غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ

dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan

Sa’id bin Jubair rahimahullah mengatakan, “Dia tidak berhias ketika menanggalkan al-jilbâb agar tampak pada dirinya perhiasannya.”[31]

Al-Baghawi rahimahullah mengatakan, “Tanpa bermaksud untuk menampakkan perhiasannya dengan melepaskan jilbâb-nya dan ridâ’-nya. Dan ber-tabarrauj (berhias) adalah seorang wanita menampakkan hal-hal yang bagus dari dirinya yang seharusnya dia tidak melakukannya.”[32]

Menampakkan perhiasan baik wanita yang muda maupun yang sudah tua hukumnya haram, apabila ditampakkan kepada orang yang bukan mahramnya.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا

Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) tampak darinya [An-Nûr/24:31]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَ

Dua golongan ahli neraka yang saya belum melihat mereka, yaitu: (pertama) suatu kaum yang membawa cambuk-cambuk seperti ekor-ekor sapi, mereka menggunakannya untuk memukul manusia, dan (kedua) para wanita yang berpakaian tetapi telanjang, menampakkan pundak-pundaknya dan berjalan berlenggak-lenggok. Kepala-kepala mereka seperti punuk onta yang bergoyang-goyang. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan mendapatkan aroma surga. Sesungguhnya aroma surga tercium sejauh perjalanan sekian dan sekian.”[33]

Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَأَنْ يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَهُنَّ 

Dan menjaga kesucian diri mereka adalah lebih baik bagi mereka

‘Athiyyah rahimahullah berkata, “Terus-menerus memakai al-qinâ’ lebih baik bagi mereka.”

Mujahid t berkata, “Mereka memakai jilbâb-jilbâb mereka.” Dan diriwayatkan juga dari al-Hasan (al-Bashri) dan Qatâdah seperti perkataan Mujâhid.[34]

Sa’id bin Jubair rahimahullah mengatakan, “Tidak menanggalkan al-jilbâb dari atas khimâr mereka ketika bertemu selain mahram itu lebih baik bagi mereka daripada menanggalkannya.”[35]

‘Ashim al-Ahwal berkata, “Dulu kami pernah masuk ke rumah Hafshah binti Sirin, dan dia menjadikan jilbâb-nya seperti ini dan dia menutupi wajahnya dengan jilbâb tersebut. Kami pun berkata kepada beliau, ‘Yarhamukillah (Semoga Allâh merahmatimu), Allâh Azza wa Jalla berfirman (yang artinya-red), “Dan wanita-wanita tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tidak ingin kawin (lagi), mereka tidaklah berdosa untuk menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan.” Maka beliau (Hafshah) pun berkata kepada kami, ‘Apa kelanjutan dari ayat tersebut?’ Lalu kami membaca, “Dan menjaga kesucian diri mereka adalah lebih baik bagi mereka.” Dan beliau berkata, ‘Maksudnya adalah tetap memakai jilbâb.’”[36]

Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Dan Allâh Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Imam Thabari rahimahullah mengatakan, “Allâh Maha Mendengar apa yang kalian katakan dengan lidah-lidah kalian dan Maha Mengetahui apa-apa yang disembunyikan dalam hati kalian. Oleh karena itu, takutlah kalian kepada Allâh, (jangan) kalian mengucapkan dengan lidah kalian hal-hal yang Allâh larang kalian untuk mengucapkannya atau kalian menyembunyikan di hati kalian apa-apa yang Allâh benci untuk kalian lakukan. Jika kalian lakukan itu, maka kalian telah menyebabkan diri kalian mendapatkan hukuman.”[37]

Dengan melihat penjelasan di atas, kita bisa memahami bahwa pakaian yang dipakai oleh sebagian besar kaum Muslimat sekarang, sangat jauh berbeda dengan apa yang dipakai oleh para wanita di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya. Bahkan di zaman sekarang ini, al-khimâr yang besar dianggap asing, apalagi ar-ridâ’, al-jilbâb, al-qinâ’ dan al-milhafah sebagaimana yang telah disebutkan di atas.

Sebelum mengakhiri tulisan ini, penulis ingin menyampaikan bahwa pembahasan ayat ini tidak berbicara tentang hukum menutupi wajah bagi wanita. Permasalahan tersebut dibahas di ayat lain dalam tafsir-tafsir al-Qur’an seperti: An-Nûr/24:31 dan Al-Ahzâb/33:59.

Permasalahan apakah menutup wajah bagi wanita hukumnya wajib ataukah sunnah adalah permasalahan yang diperselisihkan para Ulama sejak lama. Akan tetapi, mereka sepakat bahwa wanita yang menutupi wajahnya lebih utama daripada tidak menutupi wajahnya.

Demikian tulisan ini. Mudahan bermanfaat dan mudah-mudahan Allâh Azza wa Jalla memberikan keteguhan hati dan keistiqamahan kepada ibu kita, istri kita, anak perempuan kita, saudari-saudari kita dan seluruh kaum Muslimat untuk memakai pakaian yang sesuai syariat agama kita. Amin.

KESIMPULAN
Maksud wanita tua pada ayat di atas adalah wanita yang sudah tidak bisa melakukan apa-apa, dan para lelaki pun tidak tertarik kepada wanita tersebut.
Ketika kita membaca tafsir atau nukilan-nukilan para Ulama tafsir di zaman dahulu, kita harus menyesuaikan dengan makna yang mereka pahami pada saat itu. Termasuk di dalamnya, berbagai istilah yang digunakan untuk menamai pakaian-pakaian wanita.
Pendapat yang kuat adalah wanita yang tua hanya diperbolehkan menampakkan wajah dan tidak boleh menampakkan kepala dan rambutnya.
Meskipun boleh menampakkan wajah, wanita tua tersebut tidak boleh menampakkan perhiasan atau keindahan tubuhnya.
Wanita tua yang tetap memakai pakaiannya dengan sempurna lebih baik baginya daripada menampakkan wajahnya.

DAFTAR PUSTAKA
Ad-Dalâlah Al-Muhkamah Li Âyatil-Jilbâb ‘Ala Wujûb Ghithâ’il-Wajh. Dr. Luthfullah bin Mula. saaid.net.
Al-Jâmi’ Li Ahkâmil-Qur’ân. Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi. Kairo: Daar Al-Kutub Al-Mishriyah.
Al-Mu’jam Al-Wasîth. Tahqiiq: Majma’ Al-Lughah Al-’Arabiyah. Darud-Da’wah.
Al-Qâmûs Al-Muhîth. Muhammad bin Ya’qub Al-Fairuz Abadi.
Ash-Shihâh Fil Lughah. Abu Nashr Isma’il bin Hammad Al-Jauhari.
Jâmi’ul Bayân fî Ta’wîlil Qur’ân. Muhammad bin Jariir Ath-Thabari. 1420 H/2000 M. Beirut: Muassasah Ar-Risaalah.
Jilbâb Al-Mar-ah Al-Muslimah Fil-Kitâb Was-Sunnah. Muhammad Nashiruddin Al-Albani.1413. Al-Maktabah Al-Islamiyah.
Lisânul-’Arab. Muhammad bin Mandzhuur. Beirut: Daar Ash-Shaadir.
Ma’âlimut Tanzîl. Abu Muhammad Al-Husain bin Mas’uud Al-Baghawi. 1417 H/1997 M. Riyaadh:Daar Ath-Thaibah.
Tafsîr Al-Qur’ân Al-‘Adzhîm. Isma’iil bin ‘Umar bin Katsiir. 1420 H/1999 M. Riyaadh: Daar Ath-Thaibah.
Taisîr Al-Karîm Ar-Rahmân. Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Beirut: Muassasah Ar-Risaalah.
Tafsîr Ibni Abi Hâtim. Abdurrahman bin Abi Hatim Ar-Razi. Beirut: Al-Maktabah Al-’Ashriyah.
Dan lain-lain. Sebagian besar telah tercantum di footnotes.

Ustadz Said Yai Ardiansyah, Lc MA
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XIX/1437H/2016M.]
_______
Footnote
[1] Lihat Tafsîr As-Sa’di hlm. 574.

[2] Ini adalah pendapat Ibnu Qutaibah sebagaimana dinukil oleh Al-Baghawi dalam Tafsîrnya VI/62.

[3] Lihat Tafsîr Al-Baghawi VI/62 dan Tafsîr Al-Qurthubi XII/309.

[4] Ash-Shihâh fil lughah I/203.

[5] Lisânul-’Arab VIII/81 dan Al-Mu’jam Al-Muhith, hlm. 923.

[6] Tafsîr Ibni Katsîr VI/46.

[7] Lisaanul-’Arab IV/254.

[8] Al-Qâmûs Al-Muhîth hlm. 88.

[9] Ash-Shihaah fil lughah I/95.

[10] Tafsîr Ibni Katsîr VI/481.

[11] Dalam makalah beliau yang berjudul ‘Ad-Dalâlah Al-Muhkamah Li-Âyatil-Jilbâb ‘Ala Wujûbi Ghithâil-Wajh.’

[12] Tafsîr Ath-Thabari XX/325.

[13] Tafsîr Ath-Thabari XX/325.

[14] Lihat Lisânul-’Arab IX/314.

[15] Al-Mu’jam Al-Wasîth I/340.

[16] Al-Qâmûs Al-Muhîth, hlm. 1661.

[17] Tafsîr Ath-Thabari XIX/217.

[18] Tafsîr Ibni Abi Hâtim VIII/2641.

[19] Tafsîr Ibni Abi Hâtim VIII/2641.

[20] Lihat Tafsîr Ath-Thabari XIX/218.

[21] Lihat Tafsîr Al-Baghawi VI/62.

[22] Lihat Tafsîr Al-Qurthubi 12/309.

[23] Lihat Tafsîr Ibni Katsîr VI/83-84.

[24] Tafsîr Ibni Abi Hâtim VIII/2641 dan Tafsîr Ath-Thabari XIX/216.

[25] Tafsîr Ibni Abi Hâtim VIII/2640.

[26] Tafsîr Ath Thabari XIX/217

[27] Tafsîr Ibni Abi Hâtim VIII/2641.

[28] Tafsîr Ibni Abi Hâtim VIII/2640.

[29] Tafsîr Al-Qurthubi XIX/216.

[30] Tafsîr Al-Qurthubi XII/309.

[31] Tafsîr Ibni Katsîr VI/82.

[32] Tafsîr Al-Baghawi VI/62.

[33] HR. Muslim 2128.

[34] Lihat Tafsîr Ibni Abi Hâtim VIII/2642.

[35] Lihat Tafsîr Ibni Abi Hâtim VIII/2643.

[36] As-Sunan Al-Kubra lil-Baihaqi VII/93. Di-shahiih-kan oleh Syaikh Al-Albani dalam Jilbâb al-Mar-ah al-Muslimah hlm. 110.

[37] Tafsîr At-Thabari XIX/218.

Related Posts: