Tafsir Al Hajj Ayat 30-41

Ayat 30-37: Memuliakan apa yang terhormat di sisi Allah, membatalkan kebiasaan kaum Jahiliyyah, menerangkan hewan hadyu dan kurban, dan bahwa Allah Subhaanahu wa Ta'aala tidak menerima amal kecuali yang ikhlas karena-Nya.

ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ حُرُمَاتِ اللَّهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ عِنْدَ رَبِّهِ وَأُحِلَّتْ لَكُمُ الأنْعَامُ إِلا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الأوْثَانِ وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ (٣٠) حُنَفَاءَ لِلَّهِ غَيْرَ مُشْرِكِينَ بِهِ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَكَأَنَّمَا خَرَّ مِنَ السَّمَاءِ فَتَخْطَفُهُ الطَّيْرُ أَوْ تَهْوِي بِهِ الرِّيحُ فِي مَكَانٍ سَحِيقٍ (٣١) ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ (٣٢) لَكُمْ فِيهَا مَنَافِعُ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى ثُمَّ مَحِلُّهَا إِلَى الْبَيْتِ الْعَتِيقِ (٣٣) وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الأنْعَامِ فَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَلَهُ أَسْلِمُوا وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِينَ (٣٤) الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَالصَّابِرِينَ عَلَى مَا أَصَابَهُمْ وَالْمُقِيمِي الصَّلاةِ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ (٣٥) وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا صَوَافَّ فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ كَذَلِكَ سَخَّرْنَاهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (٣٦) لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ (٣٧

Terjemah Surat Al Hajj Ayat 30-37

30. Demikianlah (perintah Allah)[1]. Dan barang siapa mengagungkan apa yang terhormat di sisi Allah (hurumat)[2], maka itu lebih baik baginya di sisi Tuhannya. [3]Dan dihalalkan bagi kamu semua hewan ternak, kecuali yang diterangkan kepadamu (keharamannya)[4], maka jauhilah (penyembahan) berhala-berhala yang najis itu[5] dan jauhilah perkataan dusta[6].

[1] Yakni hukum-hukum yang telah disebutkan sebelumnya serta pengagungan terhadap apa yang terhormat (hurumat) di sisi Allah adalah karena memuliakan hurumat termasuk perkara yang dicintai Allah, dapat mendekatkan diri kepada Allah, di mana orang yang memuliakan dan mengagungkannya akan Allah berikan pahala yang besar, bahkan sebagai kebaikan baginya untuk agamanya, dunianya dan akhiratnya.

[2] Maksudnya adalah semua yang terhormat di sisi Allah dan diperintahkan untuk dimuliakan. Seperti bulan Haram (bulan Zulkaidah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab), tanah Haram (Mekah), ihram, ibadah-ibadah yang diperintahkan Allah untuk dikerjakan. Memuliakan hurumat tersebut adalah dengan membesarkannya di hati, mencintainya, menyempurnakan ibadah di sana, tidak meremehkan dan tidak malas, serta tidak merasa berat.

[3] Selanjutnya Allah Subhaanahu wa Ta'aala menyebutkan nikmat dan ihsan-Nya berupa penghalalan-Nya untuk hamba-hamba-Nya binatang ternak, yang terdiri dari unta, sapi dan kambing.

[4] Seperti yang disebutkan dalam surah Al Maa’idah : 3, akan tetapi karena rahmat-Nya kepada hamba-hamba-Nya, Dia mengharamkan hal tersebut untuk menyucikan jiwa mereka, membersihkan mereka dari syirk dan ucapan dusta.

[5] Yang kamu jadikan sebagai tuhan-tuhan di samping Allah Subhaanahu wa Ta'aala.



[6] Termasuk pula persaksian dusta dan semua ucapan yang haram.

31. (Beribadahlah) dengan ikhlas kepada Allah[7], tanpa mempersekutukan-Nya dengan sesuatu. Barang siapa mempersekutukan Allah, maka seakan-akan dia jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh[8].

[7] Yakni menghadapkan diri dan beribadah hanya kepada-Nya serta berpaling dari selain-Nya.

[8] Iman ibarat langit yang terjaga dan tinggi di atas. Orang yang meninggalkan keimanan, maka sama saja jatuh dari langit siap menerima musibah dan malapetaka, di mana jika sudah jatuh, maka ia bisa disambar oleh burung lalu dibuat anggota badannya tercerai berai. Demikianlah orang musyrik, apabila meninggalkan keimanan, maka setan akan menyantapnya dari segala penjuru, merobek-robeknya, dan menjauhkan dia dari agama dan dunianya.

32. Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan[9] syi'ar-syi'ar Allah[10] maka sesungguhnya hal itu timbul dari ketakwaan hati[11].

[9] Sudah diterangkan sebelumnya, bahwa maksud mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah adalah memuliakannya, melaksanakannya, menyempurnakannya sesuai kemampuan hamba, termasuk juga dalam hal hewan hadyu (yang dihadiahkan ke tanah haram), mengangungkannya adalah dengan mencari hewan yang baik dan gemuk lagi sempurna dari berbagai sisi.

[10] Syi'ar Allah adalah tanda-tanda agama Allah yang nampak, termasuk di antaranya segala amalan yang dilakukan dalam rangka ibadat haji, tempat-tempat mengerjakannya, hewan yang dihadiahkan ke Baitullah, dsb.

[11] Dengan demikian, mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah merupakan bukti ketakwaan di hati.

@ takwa yang hakiki adalah takwa (dalam) hati dan bukan takwa (pada) anggota badan (saja)

33. Bagi kamu padanya (hewan hadyu)[12] ada beberapa manfaat[13] sampai waktu yang ditentukan, kemudian tempat penyembelihannya adalah di sekitar Baitul Atiq (Baitullah).

[12] Maksudnya, binatang (unta, lembu, kambing, biri-biri) yang dibawa ke ka'bah untuk mendekatkan diri kepada Allah, disembelih di tanah Haram dan dagingnya dihadiahkan kepada fakir miskin dalam rangka ibadat haji.

[13] Maksudnya, binatang-binatang hadyu itu boleh kamu ambil manfaatnya, seperti dikendarai, diambil susunya dan sebagainya, sampai hari nahar untuk disembelih apabila sampai ke tempatnya, yaitu semua tanah Haram, seperti Mina dan lainnya. Setelah mereka menyembelihnya, maka mereka bisa makan, menghadiahkan dan memberikan kepada orang yang sengsara lagi fakir.

34. Dan bagi setiap umat[14] telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban)[15], agar mereka menyebut nama Allah[16] rezeki yang dikaruniakan Allah kepada mereka berupa hewan ternak. Maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa[17], karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya[18]. Dan sampaikanlah (Muhammad) kabar gembira[19] kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah)[20],

[14] Yakni yang beriman sebelum kamu.

[15] Ada pula yang menafsirkan “mansak” (lihat ayat tersebut) dengan hari raya. Oleh karena itu, hendaklah mereka bersegera kepada kebaikan dan berlomba-lomba kepadanya, agar Dia melihat siapa di antara kamu yang paling baik amalnya. Hikmah mengapa Allah mensyariatkan penyembelihan pada setiap umat adalah untuk mengingat-Nya dan bersyukur kepada-Nya.

[16] Ketika menyembelihnya.

[17] Meskipun syariat pada setiap umat berbeda-beda, namun semuanya sepakat terhadap asas yang satu ini, yaitu keberhakan Allah untuk diibadahi dan tidak berbuat syirk.

[18] Yakni tunduk dan patuhlah kepada-Nya (Islam), karena Islam merupakan jalan untuk sampai ke negeri keselamatan (surga).

[19] Dengan kebaikan di dunia dan akhirat.

[20] Yakni tunduk kepada Tuhannya, mengikuti perintah-Nya dan bertawadhu’ kepada hamba-hamba-Nya. Pada ayat selanjutnya, Allah Subhaanahu wa Ta'aala menyebutkan sifat orang-orang yang tunduk dan patuh kepada-Nya.

35. (yaitu) orang-orang yang apabila disebut nama Allah hati mereka bergetar[21], orang yang sabar atas apa yang menimpa mereka[22], dan orang yang melaksanakan shalat[23] dan orang yang menginfakkan sebagian[24] rezeki yang Kami karuniakan kepada mereka[25].

[21] Karena takut dan ta’zhim (mengagungkan) kepada-Nya, sehingga karenanya mereka meninggalkan perbuatan-perbuatan haram.

[22] Berupa musibah dan berbagai penderitaan. Mereka tidak berkeluh kesah, bahkan bersabar sambil mengharapkan keridhaan Allah dan mengharapkan pahalanya.

[23] Pada waktunya. Mereka kerjakan gerakan dan ucapan yang wajib maupun yang sunatnya.

[24] Disebutkan “sebagian (min)” agar diketahui mudahnya perintah Allah, dan bahwa yang diminta tidak banyak-banyak. Oleh karena itu, wahai orang yang mendapatkan rezeki, infakkanlah sebagian dari rezeki itu, niscaya kamu akan diberi nafkah dan diberikan tambahan karunia-Nya.

[25] Mencakup semua infak yang wajib, seperti zakat, kaffarat, menafkahi istri dan budak jika ada, menafkahi kerabat terdekat. Demikian pula infak yang sunat, seperti bersedekah dengan semua macamnya.

36. Dan unta-unta itu Kami jadikan untukmu bagian dari syi'ar agama Allah, kamu[26] banyak memperoleh kebaikan padanya[27]. Maka sebutlah nama Allah (ketika kamu akan menyembelihnya) dalam keadaan berdiri[28]. Kemudian apabila telah rebah (mati)[29], maka makanlah sebagiannya dan berilah makan orang yang merasa cukup dengan apa yang ada padanya (tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami tundukkan (unta-unta itu) untukmu[30], agar kamu bersyukur[31].

[26] Orang yang mengurbankan hewan tersebut atau selainnya.

[27] Maksudnya, berbagai manfaat di dunia dan mendapatkan pahala di akhirat. Manfaat di dunia misalnya, dapat memakannya, menyedekahkannya, memanfaatkannya dsb.

[28] Di atas kaki-kakinya yang empat, bagian depan kakinya, yaitu yang kiri diikat, lalu dinahr (ditikam).

[29] Setelah dinahr (ditikam).

[30] Sehingga kamu dapat menyembelihnya dan menungganginya. Jika Dia tidak menundukkannya, tentu engkau tidak akan sanggup melakukan hal itu. Dia menundukkannya untuk kamu karena rahmat-Nya dan ihsan-Nya kepada kamu. Oleh karena itu, pujilah Dia.

[31] Yakni terhadap nikmat-Ku kepadamu.

37. Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah[32], tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu[33]. Demikianlah Dia menundukkannya untukmu agar kamu mengagungkan Allah atas petunjuk yang Dia berikan kepadamu[34]. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik[35].

[32] Maksud daripadanya bukanlah hanya menyembelih semata, dan lagi daging dan darahnya sedikit pun tidak akan sampai kepada Allah, karena Dia Mahakaya lagi Maha Terpuji.

[33] Maksudnya amal saleh yang ikhlas karena-Nya dan di atas iman. Dalam ayat ini terdapat dorongan untuk berbuat ikhlas, baik dalam ibadah kurban maupun dalam ibadah lainnya, bukan untuk berbangga, riya atau karena kebiasaan. Semua ibadah yang tidak disertai keikhlasan seperti jasad tanpa ruh.

[34] Seperti menunjukkan kepada kita syi’ar-syi’ar agama-Nya dan manasik hajinya, serta menunjukkan kepada kita hal-hal lain yang di sana terdapat kebaikan bagi kita.

[35] Yaitu mereka yang beribadah seakan-akan melihat-Nya atau merasakan pengawasan dari-Nya dan orang-orang yang berbuat baik kepada hamba-hamba Allah dengan berbagai macamnya, seperti memberikan manfaat harta, ilmu, kedudukan, saran, amar ma’ruf dan nahi munkar, ucapan yang baik, dsb. Orang-orang yang berbuat ihsan akan mendapatkan kabar gembira dari Allah dengan memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat, dan Allah akan berbuat ihsan kepada mereka sebagaimana mereka berbuat ihsan dalam ibadah-Nya dan kepada hamba-hamba-Nya, dan bukankah balasan terhadap kebaikan adalah kebaikan pula?

Ayat 38-41: Izin berperang bagi orang-orang mukmin, menjaga agama dari tipu daya musuh, dan pertolongan Allah Subhaanahu wa Ta'aala kepada orang-orang yang membela agama-Nya.

إِنَّ اللَّهَ يُدَافِعُ عَنِ الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ كُلَّ خَوَّانٍ كَفُورٍ (٣٨) أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا وَإِنَّ اللَّهَ عَلَى نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ (٣٩) الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ بِغَيْرِ حَقٍّ إِلا أَنْ يَقُولُوا رَبُّنَا اللَّهُ وَلَوْلا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَصَلَوَاتٌ وَمَسَاجِدُ يُذْكَرُ فِيهَا اسْمُ اللَّهِ كَثِيرًا وَلَيَنْصُرَنَّ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ (٤٠) الَّذِينَ إِنْ مَكَّنَّاهُمْ فِي الأرْضِ أَقَامُوا الصَّلاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ وَلِلَّهِ عَاقِبَةُ الأمُورِ (٤١

Terjemah Surat Al Hajj Ayat 38-41

38. Sesungguhnya Allah membela orang yang beriman[36]. Sungguh, Allah tidak menyukai setiap orang yang berkhianat[37] dan kufur nikmat[38].

[36] Dari kejahatan orang-orang kafir, was-was setan, dan dari kejahatan dan keburukan diri mereka sendiri. Dia akan menanggung apa yang menimpa mereka sehingga musibah itu terasa ringan baginya. Setiap orang mukmin mendapatkan pembelaan dari Allah sesuai tingkat keimanannya.

[37] Dalam amanah yang diembankan kepadanya. Misalnya tidak memenuhi hak Allah dan hak hamba-hamba-Nya.

[38] Seperti halnya orang-orang musyrik. Mafhum ayat ini adalah bahwa Allah senang kepada setiap orang yang melaksanakan amanahnya dan bersyukur kepada Tuhannya.

39. [39]Diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi[40], karena sesungguhnya mereka dizalimi[41]. Dan sungguh, Allah Mahakuasa menolong mereka itu[42],

[39] Ayat ini merupakan ayat pertama yang turun berkenaan dengan jihad. Sebelumnya, yakni di awal-awal Islam, kaum muslimin dilarang berperang melawan orang-orang kafir dan diperintahkan bersabar karena hikmah ilahiyyah (kebijaksanaan dari Allah). Ketika mereka berhijrah ke Madinah dan masih disakiti, sedangkan mereka sudah memiliki kekuatan, maka Allah mengizinkan mereka berperang.

[40] Mereka yang diperangi adalah orang-orang mukmin.

[41] Mereka dilarang menjalankan ibadah dan disakiti ketika menjalankannya, bahkan sampai diusir dari kampung halamannya.

[42] Oleh karena itu, mintalah pertolongan kepada-Nya.

40. (yaitu) orang-orang yang diusir dari kampung halamannya[43] tanpa alasan yang benar, hanya karena mereka berkata, "Tuhan kami ialah Allah[44].” Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain[45], tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah[46]. Allah pasti akan menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sungguh, Allah Mahakuat lagi Mahaperkasa[47].

[43] Mereka terpaksa keluar dari kampung halamannya karena disakiti dan diberikan cobaan (fitnah).

[44] Ucapan ini adalah hak. Oleh karena itu, mengusirnya adalah mengusir tanpa hak. Syaikh As Sa’diy berkata, “Ayat ini menunjukkan hikmah disyariatkan jihad, dan bahwa maksud daripadanya adalah menegakkan agama Allah, menolak gangguan dan kezaliman kaum kafir terhadap kaum mukmin yang memulai terlebih dulu menzalimi, agar dapat beribadah kepada Allah serta menegakkan syariat Islam yang nampak.”

[45] Dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah, Dia menghindarkan bahaya orang-orang kafir.

[46] Seperti dengan melakukan shalat, membaca kitab Allah, dan berdzikr. Bahkan ibadah bisa menjadi terhenti karena robohnya tempat ibadah tersebut dan orang-orang kafir menguasai kaum muslimin. Hal ini menunjukkan bahwa negeri-negeri yang tercapai di sana ketenteraman beribadah kepada Allah, masjid-masjidnya makmur, ditegakkan syi’ar-syi’ar Islam di sana merupakan sebab perjuangan para mujahid fii sabilillah. Syaikh As Sa’diy berkata, “Jika anda bertanya, “Kita melihat sekarang masjid-masjid kaum muslimin ramai tidak roboh, padahal sebagian besarnya di bawah pemerintahan kecil dan pemerintahan yang tidak teratur, sedang mereka tidak memiliki kekuatan untuk memerangi negara-negara sebelahnya yang berada di Benua Eropa. Bahkan kita menyaksikan masjid-masjid yang berada di bawah kekuasaan mereka ramai, penduduknya aman dan tenteram padahal para penguasa mereka yang kafir sanggup merobohkannya, namun Allah memberitahukan bahwa kalau seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain tentu rumah-rumah ibadah itu hancur, dan kami tidak menyaksikan adanya penolakan tersebut?” Jawab: Pertanyaan dan kemusykilan ini masuk ke dalam keumuman ayat ini dan salah satu bagiannya. Karena barang siapa mengetahui keadaan negara-negara sekarang dan sistem pemerintahannya, di mana mereka memperhatikan semua umat dan semua bangsa yang berada di bawah kekuasaannya dan masuk ke dalam pemerintahannya, ia menganggapnya sebagai bagian dari anggota kerajaannya dan pemerintahannya, baik umat itu memiliki kemampuan karena jumlahnya atau karena perlengkapannya atau karena hartanya, atau karena pekerjaannya maupun pelayanannya, maka semua pemerintahan itu memperhatikan maslahat orang-orang asing tersebut baik agama maupun dunia, mereka khawatir jika tidak melakukan yang demikian tatanan pemerintahannya menjadi rusak dan kehilangan sebagian tiangnya, sehingga sebagian ajaran agama tegak karena sebab itu, khususnya masjid-masjid, di mana ia –wal hamdulillah- benar-benar tertata rapi, bahkan di ibukota negara-negara besar. Negara-negara yang merdeka itu pun memperhatikan kebutuhan rakyat mereka yang muslim meskipun terdapat kedengkian dan kebencian dari negara-negara Nasrani; yang Allah beritahukan bahwa hal itu akan senantiasa ada sampai hari kiamat. Dengan demikian, tetaplah pemerintahan Islam yang tidak sanggup dan tidak bisa membela dirinya selamat dari banyak bahaya mereka yang timbul karena adanya rasa hasad pada mereka, namun tidak ada seorang pun di antara mereka yang sanggup menguasainya karena takut terhadap perlindungan dari yang lain, padahal sesungguhnya Allah Subhaanahu wa Ta'aala tetap akan memperlihatkan kemenangan Islam dan kaum muslimin kepada hamba-hamba-Nya sebagaimana yang dijanjikan-Nya dalam kitab-Nya. Dan Al hamdulillah, telah nampak sebab-sebab kemenangan itu dengan adanya kesadaran kaum muslimin tentang perlunya kembali kepada agama mereka, di mana kesadaran merupakan awal mula kebangkitan. Oleh karena itu, Kita memuji Allah dan meminta kepada-Nya agar Dia menyempurnakan nikmat-Nya. Oleh karena itu Dia berfirman dalam janji-Nya yang benar dan sesuai kenyataan, “Allah pasti akan menolong orang yang menolong (agama)-Nya.” Yakni orang yang menegakkan agama-Nya, ikhlas dalam menegakkannya, berperang di jalan-Nya agar kalimatullah menjadi tinggi.”

[47] Allah Mahakuat lagi Mahaperkasa, semua makhluk tunduk di hadapan-Nya dan Dia berkuasa terhadap mereka. Maka bergembiralah kamu wahai kaum muslimin, karena meskipun jumlah atau perlengkapan kamu sedikit, sedangkan jumlah dan perlengkapan musuh banyak, maka sandaran kamu adalah Yang Mahakuat lagi Mahaperkasa. Oleh karena itu, kerjakanlah semua sebab yang diperintahkan, kemudian mintalah pertolongan kepada-Nya, niscaya Dia akan menolong kamu. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman, “Wahai orang-orang mukmin! Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (Terj. Muhammad: 7) Oleh karena itu, penuhilah hak iman dan amal saleh, karena sesungguhnya Dia telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh, Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, setelah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Nya dengan tidak mempersekutukan sesuatu apa pun dengan-Nya. (lihat An Nuur: 55).

41. [48](yaitu) orang-orang yang jika Kami beri kedudukan di bumi[49], mereka mendirikan shalat[50], menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf[51] dan mencegah dari yang mungkar[52]; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan[53].

[48] Di ayat ini Allah Subhaanahu wa Ta'aala menyebutkan tanda orang yang menolong agama-Nya, dan dari sini dapat diketahui siapa yang menolong agama-Nya itu, dan barang siapa yang mengaku menolong agama Allah, namun pada kenyataannya, ia tidak memiliki sifat yang akan disebutkan, maka sesungguhnya pengakuannya dusta.

[49] Dengan dimenangkan terhadap musuh mereka atau berkuasa atas mereka.

[50] Pada waktunya dan dengan berjamaah.

[51] Yakni semua ketaatan, baik yang terkait dengan hak Allah maupun yang terkait dengan hak manusia.

[52] Jika perkara yang ma’ruf dan yang munkar kurang diketahui karena keadaan yang telah berubah, maka mereka mendorong rakyatnya belajar dan bagi yang berilmu untuk mengajarkan kepada yang tidak mengetahui. Demikian pula mereka siapkan segala sesuatu yang dapat menyempurnakan amar ma’ruf dan nahi munkar, seperti diadakan dewan hisbah (kepolisian yang ditugaskan melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar).

[53] Semua urusan kembali kepada Allah, dan Dia telah memberitahukan bahwa akibat yang baik akan diperoleh oleh orang-orang yang bertakwa. Oleh karena itu, barang siapa yang diberikan kekuasaan oleh Allah, lalu ia menjalankan perintah Allah, maka ia akan memperoleh akibat yang baik. Sebaliknya, barang siapa yang diberikan kekuasaan oleh Allah, namun ia mengedepankan hawa nafsunya, maka meskipun ia memperoleh kekuasaan dalam waktu tertentu, namun akibatnya tidak baik dan kepemimpinannya tercela.

=======================

PENJELASAN AL MUKHBITUN SURAT al-Hajj/22:34-35

Bahagia dalam kehidupan dunia adalah dambaan setiap insan. Jika dia orang yang beriman, maka dia juga berharap bisa meraih kebahagiaan abadi di akhirat. Namun, tidak semua orang yang berkeinginan baik bisa meraih impiannya. Salah satu dari sekian banyak orang yang bisa meraih kebahagiaan abadi di akhirat adalah al-Mukhbitûn. Siapakah mereka? 


Bagaimanakah kriteria-kriteria mereka? 

Berikut penjelasan singkat tentang mereka. Semoga Allâh Azza wa Jalla menjadikan kita termasuk golongan yang beruntung tersebut-red. 

وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِينَ ﴿٣٤﴾ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَالصَّابِرِينَ عَلَىٰ مَا أَصَابَهُمْ وَالْمُقِيمِي الصَّلَاةِ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ

... dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allâh), (yaitu) orang-orang yang apabila disebut nama Allâh gemetarlah hati mereka, orang-orang yang sabar terhadap apa yang menimpa mereka, orang-orang yang mendirikan shalat dan orang-orang yang menafkahkan sebagian dari apa yang telah Kami anugerahkan kepada mereka. [al-Hajj/22:34-35]

Jika al-Mu'minun kita terjemahkan dengan orang-orang yang beriman, al-Muttaqûn diterjemahkan dengan orang-orang yang bertakwa, lalu bagaimana menerjemahkan al-mukhbitûn? Kurang pas memang jika al-mukhbitûn kita terjemahkan dengan orang-orang yang berikhbat dan tentunya belum bisa langsung dipahami oleh pendengarnya. Bagaimana kita menterjemahkan al-mukhbitûn?

al-Mukhbitûn berasal dari kata al-khabtu atau al-ikhbât. al-Khabtu menurut pengertian bahasa, bermakna permukaan tanah yang luas dan tenang, semacam lembah yang dalam, luas, sunyi, dan terhampar.[2] 

Atas dasar ini, Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhuma mengartikan lafazh al-mukhbitin dalam ayat ini sebagai mutawâdhi’în, (orang-orang yang merendahkan diri).[3] Begitu pula ad-Dhahâq rahimahullah dan Qatâdah rahimahullah.[4] Sedangkan menurut Mujâhid rahimahullah, mukhbitîn artinya adalah Muthmainnin, orang yang hatinya merasa tenang bersama Allâh.[5] 

Ats-Tsauri rahimahullah berpendapat mukhbitîn maknanya adalah orang orang yang tenang, yang ridha, lapang dada dengan qadha dan qadar Allâh Azza wa Jalla , dan senantiasa berserah diri kepada-Nya. Menurut al-Akhfâsi rahimahullah, mukhbitin artinya orang-orang yang khusyu'. Sedangkan menurut Ibrahim an-Nakhâ'i, artinya orang-orang yang shalat dan ikhlas. Menurut al-Kalby, artinya adalah orang-orang yang berhati lembut.[6] 

Kita bisa rasakan dari pengertian pengertian secara bahasa ini, sebuah lembah sunyi nan tenang, menghampar luas di depan mata. Ketenangan, ketentraman, kedamaian dan kesyahduan yang akan kita rasakan. Persis seperti apa yang dikatakan penulis kitab Manâzilus Sâ'irîn, "Ikhbât ini merupakan permulaan dari ketentraman."[7] 

Derajat al-mukhbitûn tidak serta merta dapat diraih oleh setiap orang yang beriman. Ketenangan hati seorang Mukmin, keikhlasannya, kerendah hatinya, kesantunannya, kekhusyuannya, kelapangan dadanya, tidaklah sembarang orang yang bisa mencapainya. Allâh Azza wa Jalla meletakan kriteria dan usaha tertentu untuk bisa mencapainya.

KRITERIA AL-MUKHBITUN
Orang-orang dengan sifat dan perilaku ikhlas, khusyu', santun, tenang, rendah hati adalah sebuah hasil dari usaha yang berkesinambungan dengan apa yang disebutkan oleh Allâh Azza wa Jalla dalam ayat yang ke-35 di atas, dan menjadi semacam syarat dan kriteria pencapaian derajat al-ikhbât. Dimana disebutka kriterianya sebagai berikut :

Kriteria Pertama : Jika disebut nama Allâh, hatinya bergetar
Allâh Azza wa Jalla berfirman :

الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ

Jika disebut nama Allâh, hati mereka bergetar [al-Hajj/22:35]

al-Wajal artinya hati yang menggigil dan bergetar takut karena mengingat kekuasaan dan hukuman Allâh, atau merasa melihat-Nya.[8] al-Wajal berdekatan maknanya dengan al-khauf dan khasyyah karena bergetarnya hati jika disebut nama Allâh Azza wa Jalla berkonsekwensi khasyyah dan khauf kepada Allâh. Takut dan khawatir jika amal amal kebaikannya, shalat, puasa dan sedekahnya tidak diterima Allâh Azza wa Jalla , bergetarnya hati, takut dan khawatirnya jika amal-amal yang tidak diterima Allâh tersebut bisa mengakibatkan adzab dan siksa Allâh Azza wa Jalla.[9] 

وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَىٰ رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ

Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) Sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka. [al-Mu'minûn/23:60]

Al-Wajal, khauf dan khasyyah selalu ada dalam hati al-mukhbitûn. Namun ini bukan berarti al-mukhbitûn selalu gundah dan khawatir dalam hidupnya. Ini juga tidakbertentangan dengan Firman Allâh Azza wa Jalla :

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allâh. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allâh-lah hati menjadi tenteram. [ar-Ra’d/13:28]

Karena al-wajal ketika mendengar ayat Allâh, disebabkan oleh rasa takut hilangnya hidayah dari dirinya dan takut amal-amal kebaikannya tidak diterima; Takut menyelisihi aturan Rabbnya, karena kuatnya iman dan keyakinan kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala , seakanakan mereka selalu berada di depan Nya.[10] Dan ketenangan juga bisa dicapai karena kelapangan dada berasal dari ma'rifatu tauhid dan keimanan yang lurus, dan mengimanikan apa yang dibawa Rasûlullah tanpa keraguan dan syubhat.[11] Allâh tegaskan juga dalam firman-Nya :

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ ﴿٢﴾ الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُون ﴿٣﴾ أُولَٰئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا ۚ لَهُمْ دَرَجَاتٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allâh gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah keimanan mereka (karenanya), dan hanya kepada Rabblah, mereka bertawakkal. (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Rabbnya dan ampunan serta rezki (nikmat) yang mulia. [al-Anfâl/8:2-4]

Keadaan hati yang demikian tersebut, yaitu al-wajal (bergetar) saat mendengar ayat-ayat Allâh, menandakan takutnya terhadap adzab Allâh dan rasa khawatir berbagai amal kebaikanya yang dilakukannya tidak diterima oleh Allâh. Rasa seperti ini akan menambah keikhlasan dan kekhusyukan seseorang dalam beribadah, juga meningkatkan ketawadhu’an dan ketenangannya. Ini akan menjadikan mereka termasuk golongan al-mukhbitun.

Kriteria Kedua : Sabar terhadap apa yang menimpa
Allâh Azza wa Jalla berfirman : 

وَالصَّابِرِينَ عَلَىٰ مَا أَصَابَهُمْ

Dan orang-orang yang sabar terhadap apa yang menimpa mereka [al-Hajj/22:35]

Mereka bersabar menghadapi kesusahan dan kesempitan serta berbagai macam gangguan. Mereka tidak berkeluh kesah dan tidak mencela apa yang menimpa mereka. Mereka bersabar demi mendapat ridha Allâh Azza wa Jalla , senantiasa berharap dan menanti-nanti pahala dari-Nya.[12] 

Sabar secara bahasa adalah al-habsu, yaitu menahan jiwa dari sedih dan gelisah[13] ; Menahan diri dari rasa sedih dan gelisah, cemas dan amarah; Menahan lidah dari keluh kesah, dan menahan anggota badan dari kekacauan.[14] 

Sabar adalah menahan jiwa dalam tiga keadaan : 
1. Sabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla 
2. Sabar untuk tidak bermaksiat kepada Allâh
3. Sabar atas cobaan dari Allâh Azza wa Jalla [15] 

Sabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allâh adalah yang terberat, karena ketaatan berat dirasakan oleh jiwa, dirasakan sulit oleh manusia. Ketaatan bisa jadi juga terasa berat dilaksanakan oleh anggota badan, juga terasa berat karena harus mengeluarkan sejumlah harta seperti dalam menunaikan zakat dan haji. Ini tentunya membutuhkan kesabaran dan ketegaran dalam menjalankannya.[16] Menurut Ibnu Taymiyah Sabar dalam melaksanakan ketaatan lebih baik daripada sabar menjauhi hal-hal yang haram. Karena kemaslahatan melakukan ketaatan lebih disukai Allâh daripada kemaslahatan meninggalkan kedurhakaan, dan keburukan akibat meninggalkan perbuatan taat lebih dibenci Allâh daripada keburukan akibat perbuatan durhaka"[17] Juga karena meninggalkan kemaksiatan penyempurna ketaatan.

Kesabaran yang ditampakan dan dilakukan oleh manusia harus karena Allâh, karena cinta kepada-Nya dan dalam rangka mencari ridho-Nya. Bukan bertujuan menampakan kehebatan dan kekuatannya, juga bukan mencari pujian.[18] 

al-Mukhbitûn mempunyai sifat seperti ini, sabar menghadapi kesusahan dan musibah yang menimpa mereka, dengan tetap mentaati perintah Allâh dengan penuh ikhlash, ridha, dan berharap pahala dari Allâh. Mereka menahan diri dari sedih dan gelisah, cemas dan amarah. Mereka menahan lidah dari keluh kesah, dan menahan anggota badan dari kekacauan.[19] al-Mukhbitûn akan senantiasa tenang dan tegar dalam menghadapi musibah, rendah hati dan selalu introspeksi diri. Bagaikan suatu lembah yang luas, sunyi, tentram dan tenang.

Lalu bagaimana caranya agar orang yang terkena musibah bisa tetap tenang dan ridha, bisa tetap menahan cemas, amarah dan keluh kesah? Caranya adalah dengan tetap mengharap pahala dan berharap dosanya bisa terhapus dengan sebab musibahnya. Kemudian tidak terlalu memikirkan musibah itu dengan cara mengingat-ingat betapa besar nikmat yang telah diberikan Allâh Azza wa Jalla kepada kita serta selalu yakin bahwa Allâh akan menurunkan rahmat sebagai jalan keluar dari musibahnya itu.[20] Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا ﴿٢﴾ وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ 

Barangsiapa bertakwa kepada Allâh niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. [at-Thalâq/65:2-3] 

Oleh karena itu, tidak heran jika Allâh Azza wa Jalla menjanjikan pahala yang tidak terhingga.

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. [az-Zumar/39:10]

Kriteria Ketiga : Menegakan shalat

وَالْمُقِيمِي الصَّلَاةِ

Orang-orang yang menegakan shalat [al-Hajj/22:35]

Shalat adalah ibadah yang teragung. Ibadah ini memiliki pengaruh besar bagi keshalehan pribadi seseorang, seperti yang di firmankan Allâh Azza wa Jalla :

اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ ۖ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ

Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu al-Kitab (al-Qur’ân) dan dirikanlah shalat! Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allâh (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dibandingkan dengan ibadat-ibadat lain). dan Allâh mengetahui apa yang kamu kerjakan. [al-Ankabut/29:45]

al-Mukhbitûn ialah orang-orang yang senantiasa menjaga dan mendirikan shalat dalam keadaan apapun. Musibah sebesar apapun tidak bisa mempengaruhi ketaatan mereka dalam menjalankan shalat. Dalam ayat ini Allâh Azza wa Jalla menggunakan kata al-muqîmîsh shalat dan tidak menggunakan kata kerja yuqîmush shalat sebagai isyarat bahwa mereka menjalankan shalat dalam keadaan apapun karena kecintaan mereka yang sangat mendalam terhadap shalat. Kecintaan mereka begitu terpatri dalam hatinya dan senantiasa takut lalai dalam menjalankannya, seakan-akan mereka selalu merasa dalam keadaan melaksanakan shalat,[21 dengan kekhusyukan, thuma'ninah, dan kerendah hatian, yang selalu tergambar dalam kesharian mereka di dalam maupun di luar shalat.

Kriteria Keempat : Menafkahkan Sebagian Rezki

وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ

dan orang-orang yang menafkahkan sebagian dari apa yang telah Kami rezkikan kepada mereka. [al-Hajj/22:35]

Infak atau nafkah dalam ayat ini mencakup semua infak, baik yang wajib seperti zakat, kafârat, dan nafkah keluarga, juga mencakup yang mustahabbah[22]. al-Mukhbitûn senantiasa berinfak di jalan Allâh, meski dalam kesulitan.[23] Inilah seutama-utama sedekah.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَ ، قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيُّ الصَّدَقَةِ أَعْظَمُ أَجْرًا؟ قَالَ: أَنْ تَصَدَّقَ وَأَنْتَ صَحِيحٌ شَحِيحٌ تَخْشَى الفَقْرَ، وَتَأْمُلُ الغِنَى،

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasannya ada seseorang datang kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya, "Ya Rasûlullâh, sedekah apakah yang paling utama? Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, " Engkau bersedekah dalam keadaan sehat, dalam keadaan ingin menahan-nahan harta karena takut miskin dan sangat berharap kekayaan.[24] 

Sedekah menjadi sebab dari kelapangan dada. Orang yang senantiasa hidupnya bermanfaat bagi orang lain, senantiasa berbuat baik kepada sesama, dan dermawan adalah orang-orang yang paling lapang dadanya, paling baik jiwa dan hatinya[25] 

Jadi, al-mukhbitûn adalah orang-orang yang dikriteriakan oleh Allâh diatas, serta di tafsirkan dan digambarkan oleh para Ulama dengan penggambaran yang sangat indah yang bisa dirasakan oleh orang yang mengerti maknanya secara bahasa. Orang-orang dengan ketentraman, ketenangan, kelapangan dada, kerendah hatian, kesalehan pribadi, sopan santun, akhlakul karimah, keyakinan dan iman yang kokoh, adalah sebuah kesan yang akan anda rasakan jika kita bertemu dengan al-mukhbitûn. Dan Segala kelebihan di atas bisa diraih oleh mereka karena telah melampaui apa yang dikriteriakan oleh Allâh Azza wa Jallatentang mereka.

Semoga kita termasuk golongan al-mukhbitûn. Semoga ilmu yang kita miliki menjadikan kita rendah hati, tawadhu' dan khusyu'; Menjadikan kita mempunyai sopan santun dan tatakrama yang mengesankan. Ilmu yang kita miliki membawa diri kita sabar, ikhlash, ridha. Membawa hati kita dipenuhi getar takut jika mendengar ayat-ayat Allâh. 


MARAJI'
- Al-Qur'an al-Karim dan terjemahnnya
- Al-Jâmi Li Ahkâmil Qur'ân, al-Qurthubi ( Beirut : Dar Al-Kitab al-Arabi, 2007)
- Jâmi’ul Bayân 'an Ta'wîlil Qur'ân, ath-Thabari, ( Beirut : Dar ihya at-Turats al-Arabi, tanpa tahun )
- Taisîr Karîmir Rahmân, Syaikh Abdurrahman Nashir as-sa’di
- Syarah Riyâdhus Shâlihin, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin (Kairo : Maktabah Ash Shofa, 2002)
- Nadzmud Durar fi Tanâsubi Ayat wa Suwar, Burhanuddin Abil Hasan Ibrahim bin Umar al Baqa'i (Kairo : Maktabah Ibnu Taymiyah, 2006)
- Lisânul Arab, Ibnu Mandzûr ( Beirut : Dar Sader, 2005)
- Madâriju Sâlikin, Ibnu Qayim Al Jauziyah (Beirut : Maktabah al-Ashriyah, 2007)
- Zâdul Ma’âd fii Hadyi Khairil Ibâd (Beirut, Muasasah Risalah, 1415/1994)
- Tafsîr al-Qur'ân al-Adhîm , Ibnu Katsir 
- Majmû Fatâwâ, Ibnu Taimiyah, (Madinah al-Munawwarah : Majma Malik Fahd Li Thabatil Mushhaf, 1416)
- Adhwâ'ul Bayân fî Idhâh al-Qur'ân bil Qur'an, Muhammad Amin Asysyinqiti ( Beirut : Dar Ihya Turas al Arabi,tanpa tahun) 
- Kitab-kitab Hadits

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XVII/1434H/2013. ]
_______
Footnote
[1]. Salah seorang dosen di STDI Jember 
[2]. Lisânul Arab, Ibnu Mandzûr, 5/7 
[3]. Madârijus Sâlikîn, Ibnul Qayim al Jauziyah, 2/13 
[4]. al Jâmi Li Ahkâmil Qur'ân, al-Qurthubi, 12/58
[5]. Ibid
[6]. Madârijus Sâlikîn, Ibnul Qayim al Jauziyah, 2/13
[7]. Ibid
[8]. Ibid, 1/389 
[9]. Lihat, Majmû Fatâwâ, Ibnu Taimiyah, 7/19 
[10]. al Jâmi Li Ahkâmil Qur'ân, al-Qurthubi, 12/58 
[11]. Adhwâ'ul Bayân, Muhammad Amin Asysyinqiti, 3/511
[12]. Taisîr Karîmi ar-Rahmân, as-Sa'di 
[13]. Lisânul Arab, Ibnu Mandzûr, 7/193 
[14]. Madârijus Sâlikîn, Ibnul Qayim al Jauziyah, 2/129
[15]. Ibid,hlm.129. Lihat juga Syarah Riyâdhus Shâlihîn, al-Utsaimin, 1/84
[16]. Syarah Riyâdhus Shâlihîn, al-Utsaimin, 1/84
[17]. Madârijus Sâlikîn, 2/129
[18]. Ibid, 2/130
[19]. Ibid, 2/129 
[20]. Ibid, 2/137
[21]. Nadzmu ad-durar fi Tanâsubi Ayat wa Suwar, al-Baqa'i, 13/49
[22]. Taisîr Karîmir Rahmân
[23]. Nadzmu ad-durar fi Tanâsubi Ayat wa Suwar, 13/49
[24]. Muttafaqun alaih
[25]. Zâdul Ma’âd, Ibnu Qoyyim Al Jauziyah, 2/24


Related Posts:

0 Response to "Tafsir Al Hajj Ayat 30-41"

Post a Comment