Tafsir Al Isra Ayat 70-82

Ayat 70-77: Menerangkan bahwa setiap manusia akan dihisab dan diminta pertanggungjawaban terhadap amalnya pada hari Kiamat, dan peneguhan Allah Subhaanahu wa Ta'aala kepada Rasul-Nya agar tidak terpengaruh tipu daya orang-orang kafir.

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلا (٧٠) يَوْمَ نَدْعُو كُلَّ أُنَاسٍ بِإِمَامِهِمْ فَمَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ فَأُولَئِكَ يَقْرَءُونَ كِتَابَهُمْ وَلا يُظْلَمُونَ فَتِيلا (٧١) وَمَنْ كَانَ فِي هَذِهِ أَعْمَى فَهُوَ فِي الآخِرَةِ أَعْمَى وَأَضَلُّ سَبِيلا (٧٢) وَإِنْ كَادُوا لَيَفْتِنُونَكَ عَنِ الَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ لِتَفْتَرِيَ عَلَيْنَا غَيْرَهُ وَإِذًا لاتَّخَذُوكَ خَلِيلا (٧٣) وَلَوْلا أَنْ ثَبَّتْنَاكَ لَقَدْ كِدْتَ تَرْكَنُ إِلَيْهِمْ شَيْئًا قَلِيلا (٧٤) إِذًا لأذَقْنَاكَ ضِعْفَ الْحَيَاةِ وَضِعْفَ الْمَمَاتِ ثُمَّ لا تَجِدُ لَكَ عَلَيْنَا نَصِيرًا (٧٥) وَإِنْ كَادُوا لَيَسْتَفِزُّونَكَ مِنَ الأرْضِ لِيُخْرِجُوكَ مِنْهَا وَإِذًا لا يَلْبَثُونَ خِلافَكَ إِلا قَلِيلا (٧٦) سُنَّةَ مَنْ قَدْ أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنْ رُسُلِنَا وَلا تَجِدُ لِسُنَّتِنَا تَحْوِيلا (٧٧

Terjemah Surat Al Isra Ayat 70-77

70. Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam[1], dan Kami angkut mereka di darat[2] dan di laut[3], dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka[4] di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna[5].

71. (Ingatlah), pada hari[6] (ketika) Kami panggil setiap umat dengan pemimpinnya[7]; dan barang siapa diberikan catatan amalnya di tangan kanannya[8] mereka akan membaca catatannya (dengan baik)[9], dan mereka tidak akan dirugikan sedikit pun[10].

Pada hari Kiamat manusia akan dihadapkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala

72. Dan barang siapa buta (hatinya) di dunia ini[11], maka di akhirat dia akan buta[12] dan tersesat jauh dari jalan (yang benar).

73. [13]Dan mereka hampir memalingkan engkau (Muhammad) dari apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, agar engkau mengada-ada yang lain terhadap kami[14]; dan jika demikian[15] tentu mereka menjadikan engkau sahabat yang setia[16].

74. Dan sekiranya Kami tidak memperteguh(hati)mu[17], niscaya engkau hampir saja condong sedikit kepada mereka[18],

75. Jika demikian[19], tentu akan Kami rasakan kepadamu (siksaan) berlipat ganda di dunia ini dan berlipat ganda setelah mati[20], dan engkau (Muhammad) tidak akan mendapat seorang penolong pun terhadap kami[21].

76. Dan sungguh, mereka hampir membuatmu (Muhammad) gelisah di negeri (Mekah) karena engkau harus keluar dari negeri itu[22], dan kalau terjadi demikian, niscaya sepeninggalmu mereka tidak akan tinggal (di sana), melainkan sebentar saja (lalu dibinasakan[23]).

77. (Yang demikian itu) merupakan ketetapan bagi para rasul Kami yang Kami utus sebelum engkau[24], dan tidak akan engkau dapati perubahan atas ketetapan Kami.

Ayat 78-82: Petunjuk-petunjuk Allah Subhaanahu wa Ta'aala dalam menghadapi tantangan yaitu dengan menjaga shalat dan menghadapkan diri kepada Allah dengan berdoa kepada-Nya, keutamaan Al Qur’an dan pertolongan Allah Subhaanahu wa Ta'aala kepada golongan yang berada di atas kebenaran.

أَقِمِ الصَّلاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا (٧٨) وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا (٧٩) وَقُلْ رَبِّ أَدْخِلْنِي مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنِي مُخْرَجَ صِدْقٍ وَاجْعَلْ لِي مِنْ لَدُنْكَ سُلْطَانًا نَصِيرًا (٨٠) وَقُلْ جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا (٨١) وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ وَلا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلا خَسَارًا (٨٢

Terjemah Surat Al Isra Ayat 78-82

78. Laksanakanlah shalat sejak matahari tergelincir sampai gelapnya malam[25] dan (laksanakan pula shalat) Subuh[26]. Sungguh, shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat)[27].

79. Dan pada sebagian malam, lakukanlah shalat tahajud (sebagai suatu ibadah) tambahan bagimu[28]; mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji[29].

80. [30]Dan katakanlah (Muhammad), "Ya Tuhanku, masukkan aku ke tempat masuk yang benar[31] dan keluarkan (pula) aku[32] ke tempat keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi-Mu kekuasaan yang dapat menolong(ku)[33].

81. [34]Dan Katakanlah[35], "Kebenaran[36] telah datang dan yang batil[37] telah lenyap.” Sungguh, yang batil itu pasti lenyap[38].

82. Dan Kami turunkan dari Al Quran (sesuatu) yang menjadi penawar[39] dan rahmat[40] bagi orang yang beriman, sedangkan bagi orang yang zalim[41] (Al Quran itu) hanya akan menambah kerugian[42].

KANDUNGAN AYAT

[1] Dengan ilmu, mampu berbicara, fisik yang seimbang, dan lain-lain.

[2] Di atas hewan dan kendaraan.

[3] Di atas kapal.

[4] Yakni jenisnya.

[5] Oleh karena itu, tidakkah mereka bersyukur kepada Tuhan yang telah memuliakan dan melebihkan mereka di atas makhluk-makhluk-Nya dengan sibuk beribadah kepada Tuhan mereka; bahkan mereka gunakan nikmat-nikmat itu untuk mendurhakai-Nya.

[6] Yaitu hari kiamat.

[7] Yakni dengan nabi mereka atau dengan kitab yang diturunkan kepada nabi mereka, lalu dikatakan, “Wahai umat fulan!”. Kemudian setiap umat dihadapkan, dengan dihadiri rasulnya yang pernah berdakwah kepada mereka, kemudian amal mereka dihadapkan ke kitab yang diturunkan kepada rasul, apakah amal mereka sesuai dengan perintah yang ada dalam kitab itu atau tidak?. Ada pula yang menafsirkan “Dengan catatan amal mereka,” lalu dikatakan kepada orang yang banyak melakukan keburukan, “Wahai pemilik keburukan!”

[8] Mereka adalah orang-orang yang berbahagia.

[9] Yakni dengan gembira dan senang.

[10] Amal baik mereka tidak akan dirugikan.

[11] Dari melihat kebenaran dan dari tunduk kepadanya.

[12] Dari jalan yang mengarah kepada surga ketika di akhirat, karena ia tidak menempuh jalannya ketika di dunia, dan al jazaa’ min jinsil ‘amal (balasan diberikan sesuai amal yang dikerjakan).

[13] Allah Subhaanahu wa Ta'aala mengingatkan nikmat-nikmat-Nya yang diberikan kepada rasul-Nya dan penjagaan-Nya dari tipu daya musuh-musuh-Nya yang ingin menggelincirkan Beliau dengan berbagai cara.

[14] Dengan membawa sesuatu yang sesuai dengan hawa nafsu mereka dan meninggalkan apa yang diturunkan Allah.

[15] Yakni jika melakukan sesuatu yang sesuai hawa nafsu mereka (orang-orang kafir).

[16] Karena akhlak yang dikaruniakan Allah kepada Beliau yang begitu mulia dan adab yang baik yang dicintai oleh orang-orang yang dekat maupun yang jauh, kawan maupun musuh. Akan tetapi perlu diketahui, bahwa sesungguhnya mereka tidaklah memusuhi Beliau kecuali karena kebenaran yang Beliau bawa. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman, “Sesungguhnya Kami mengetahui bahwa apa yang mereka katakan itu menyedihkan hatimu, (janganlah kamu bersedih hati), karena mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu, akan tetapi orang-orang yang zalim itu mengingkari ayat-ayat Allah.” (terj. Al An’aam: 33)

[17] Yakni jika Kami tidak meneguhkan kamu di atas kebenaran dan memberimu nikmat dengan tidak memenuhi seruan mereka.

[18] Karena begitu besarnya tipu daya mereka. Namun demikian, sebagaimana ditunjukkan oleh ayat ini, Beliau tidak condong kepada mereka dan tidak mendekatinya karena peneguhan Allah terhadap hati Beliau.

[19] Yakni jika engkau mengikuti keinginan mereka.

[20] Hal itu, karena Beliau telah diberikan kenikmatan yang sempurna oleh Allah dan diberikan pengetahuan yang cukup yang mengharuskan Beliau untuk tetap di atas hak (kebenaran).

[21] Yang menyelamatkan kamu dari azab yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi, Allah Subhaanahu wa Ta'aala telah menjagamu dari sebab-sebab keburukan, meneguhkan kamu dan menunjukkan kamu jalan yang lurus.

[22] Yang demikian karena kebencian mereka yang begitu dalam kepada Beliau.

[23] Syaikh As Sa'diy berkata, “Dan ketika orang-orang kafir membuat makar terhadap Beliau serta mengeluarkan Beliau (dari Mekah), ternyata mereka tidak tinggal (di dunia) kecuali sebentar, sehingga Allah membinasakan mereka di Badar, tokoh-tokoh mereka terbunuh dan kekuatan mereka pecah, maka segala puji bagi-Nya. Dalam ayat ini terdapat dalil butuhnya seorang hamba kepada peneguhan Allah terhadap dirinya, dan bahwa sepatutnya bagi dirinya senantiasa mencari keridhaan Tuhannya; meminta kepada-Nya agar diteguhkan di atas keimanan sambil berusaha melakukan semua sebab yang dapat mencapai ke arah itu, karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam adalah makhluk yang paling sempurna, namun Allah tetap berfirman kepadanya, “Dan sekiranya Kami tidak memperteguh(hati)mu, niscaya engkau hampir saja condong sedikit kepada mereka.” Lalu bagaimana dengan selain Beliau?”

Menurut Syaikh As Sa’diy pula, bahwa semakin tinggi kedudukan seorang hamba dan banyak mendapatkan nikmat, maka semakin besar dosanya apabila melakukan perbuatan tercela. Demikian pula, apabila Allah ingin membinasakan suatu umat, maka dibiarkan dosanya menumpuk, lalu Allah menimpakan azab kepadanya.

Ada yang menafsirkan, bahwa maksudnya kalau sampai terjadi Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam diusir oleh penduduk Mekah, niscaya mereka tidak akan lama hidup di dunia, dan Allah segera akan membinasakan mereka. Hijrah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam ke Madinah bukan karena pengusiran kaum Quraisy, akan tetapi karena perintah Allah Subhaanahu wa Ta'aala. Ada pula yang mengatakan, bahwa ayat ini turun berkenaan orang-orang Yahudi ketika mereka datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Abul Qasim, jika engkau memang seorang nabi maka pergilah ke Syam, karena Syam adalah negeri padang mahsyar dan negeri para nabi.” Maka Beliau berperang di Tabuk dengan maksud pergi menuju Syam. Ketika sampai di Tabuk, Allah menurunkan kepada Beliau ayat di atas dan memerintahkan Beliau untuk kembali ke Madinah (Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Baihaqi dari Abdullah bin Ghanam. Menurut Ibnu Katsir, dalam isnadnya perlu diteliti, karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berperang Tabuk karena perintah Allah, bukan karena perintah orang-orang Yahudi.”)

[24] Maksudnya, setiap umat yang mengusir rasul pasti akan dibinasakan Allah. Itulah sunnah (ketetapan) Allah Subhaanahu wa Ta'aala yang tidak mengalami perubahan.

[25] Yakni shalat Zhuhur, ‘Ashar, Maghrib dan Isya.

[26] Shalat Subuh disebut Qur’anul fajr, karena disyariatkannya memperpanjang bacaan Al Qur’an di sana melebihi biasanya pada shalat fardhu lainnya. Di samping itu, karena adanya keutamaan membaca Al Qur’an di waktu itu karena disaksikan oleh Allah, malaikat malam dan malaikat siang.

[27] Dalam ayat ini disebutkan waktu-waktu shalat fardhu, dan bahwa masuknya waktu merupakan syarat sahnya shalat, dan bahwa waktu tersebut merupakan sebab wajibnya, karena Allah memerintahkan untuk mendirikannya karena tiba waktu-waktu itu. Demikian pula menunjukkan, bahwa Zhuhur dan ‘Ashar dapat dijama’ (digabung), demikian pula Maghrib dan Isya karena adanya ‘uzur. Selain itu, di ayat ini terdapat dalil keutamaan shalat Subuh dan keutamaan memperpanjang bacaan di sana.

[28] Ada yang menafsirkan dengan, “Sebagai kewajiban tambahan bagimu tidak umatmu” atau “Sebagai keutamaan di atas shalat fardhu.” Ada pula yang menafsirkan, agar shalat malam itu menambah kedudukanmu, meninggikan derajatmu, berbeda dengan selainmu, maka shalat itu sebagai penebus kesalahannya.

[29] Yakni tempat yang dipuji oleh orang-orang terdahulu dan yang datang kemudian, yaitu tempat di mana Beliau melakukan syafa’at agar urusan manusia diselesaikan. Ketika itu manusia mencari orang yang mau memberikan syafa’at untuk mereka, mereka mendatangi Adam, lalu Nuh, Ibrahim, Musa, kemudian Isa, namun mereka tidak bisa dan mengemukakan alasannya, sehingga akhirnya mereka mendatangi Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam untuk berbicara kepada Allah agar Allah merahmati mereka di padang mahsyar yang ketika itu matahari didekatkan satu mil sehingga keringat manusia berkucuran.

[30] Ada yang mengatakan, bahwa ayat ini turun ketika Beliau diperintahkan berhijrah.

[31] Yakni yang disenangi, di mana aku tidak melihat sesuatu yang tidak aku sukai di sana.

[32] Dari Mekah.

[33] Dari musuh-musuh-Mu. Ada yang menafsirkan, bahwa dalam ayat ini kita memohon kepada Allah agar ketika memasuki suatu ibadah dan selesai darinya dengan niat yang ikhlas dan bersih dari ria dan dari sesuatu yang merusakkan pahala serta sesuai dengan perintah. Ada pula yang menafsirkan, bahwa dalam ayat ini kita memohon kepada Allah Subhaanahu wa Ta'aala agar kita memasuki kubur dengan baik dan keluar daripadanya waktu hari berbangkit dengan baik pula. Syaikh As Sa’diy berkata, “Ini adalah keadaan paling tinggi yang diberikan Allah kepada seorang hamba, yakni semua keadaannya baik, dan mendekatkan dirinya kepada Tuhannya, dan agar dirinya pada setiap keadaan berada di atas dalil yang nyata; yakni mencakup ilmu yang bermanfaat dan dapat beramal saleh karena mengetahui masalah dan dalil-dalil.”

[34] Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ketika masuk ke Mekah di hari Fathu Makkah (penaklukkan Mekah), sedangkan ketika itu di sekeliling Baitullah ada 360 patung, Beliau memukulnya dengan tongkat yang ada di tangannya dan mengucapkan ayat di atas sampai patung-patung itu jatuh.

[35] Ketika engkau masuk kembali ke Mekah.

[36] Yakni Islam atau wahyu yang diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.

[37] Yakni kekfuran.

[38] Inilah sifat untuk yang batil, yakni akan lenyap. Akan tetapi, terkadang ia menjadi kuat dan laris di tengah-tengah manusia ketika tidak dilawan oleh yang hak, namun ketika yang hak datang, maka yang batil segera lenyap. Oleh karena itu, kebatilan tidaklah laris di tengah masyarakat kecuali ketika mereka berpaling dari kitabullah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam.

[39] Yakni obat terhadap kesesatan. Demikian pula obat bagi hati yang terkena syubhat, kebodohan, pemikiran yang batil, penyimpangan, dan niat buruk. Hal itu, karena Al Qur’an mengandung ilmu yang yakin yang dapat menyingkirkan semua syubhat dan kebodohan, dan mengandung nasehat serta peringatan yang dapat menyingkirkan semua syahwat yang bertentangan dengan perintah Allah. Demikian pula, Al Qur’an merupakan obat bagi badan yang mengalami sakit dan penderitaan.

[40] Karena di dalamnya terdapat sebab-sebab dan sarana untuk memperoleh rahmat, di mana apabila eorang hamba melakukannya, maka dia akan memperoleh rahmat, kebahagiaan yang abadi, dan pahala di dunia dan akhirat.

[41] Yakni mereka yang tidak membenarkan Al Qur'an atau tidak mengamalkannya.

[42] Karena dengan Al Qur'an, hujjah tegak terhadap mereka.

================================

Tatkala Manusia Dipanggil Bersama ‘Imam’nya

(Ingatlah) suatu hari (yang pada hari itu) Kami panggil tiap umat dengan pemimpinnya; dan barang siapa yang diberikan kitab amalannya di tangan kanannya, maka mereka ini akan membaca kitabnya itu dan mereka tidak dianiaya sedikit pun. Dan barang siapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).[al-Isrâ`/17:71-72].

Penjelasan Ayat.

يَوْمَ نَدْعُوْا كُلَّ اُنَاسٍۢ بِاِمَامِهِمْۚ

(Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat dengan pemimpinnya.

Pada hari Kiamat manusia akan dihadapkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala . Allah al-Hakîm akan meminta pertanggungjawaban dari setiap mukallaf berkaitan dengan apa yang telah dikerjakan di dunia. Mereka dipanggil bersama dengan imam mereka pada hari penghisaban amal para hamba.

Syaikh ‘Abdur-Rahmân as-Sa’di rahimahullah menjelaskan, berdasarkan ayat di atas setiap umat akan dipanggil bersama dengan imam dan pemberi petunjuk mereka, yaitu para rasul dan penerus-penerusnya. Kemudian setiap umat maju dengan dihadiri oleh rasul yang pernah menyerunya. Amalan mereka kemudian dicocokkan dengan kitab yang pernah diserukan oleh rasul, apakah sesuai atau (justru) bertentangan?[1]

Penafsiran di atas merujuk ke sejumlah keterangan dari beberapa ulama tafsir dari kalangan generasi salaful-ummah telah dikutip para penulis kitab-kitab tafsir. Imam ath-Thabari rahimahullah meriwayatkan dengan sanadnya yang shahih dari Mujâhid rahimahullah, bahwa makna “imam” ialah nabi mereka. Dengan redaksi lain Qatadah rahimahullah mengartikannya dengan para nabi mereka[2]. Sehingga pengertiannya, para umat akan datang menghadap Allah Subhanahu wa Ta’ala bersama para nabi mereka.

Pendapat ini –seperti yang dipaparkan oleh asy-Syinqîthi rahimahullah[3] – sesuai dengan oleh firman Allah Ta’ala:

فَكَيْفَ اِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ اُمَّةٍۢ بِشَهِيْدٍ وَّجِئْنَا بِكَ عَلٰى هٰٓؤُلَاۤءِ شَهِيْدًاۗ

Maka bagaimanakah (halnya orang-orang kafir nanti), apabila kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu).[an-Nisâ`/4:41].

Pendapat lain berkaitan dengan pengertian kata “imaam”, yaitu diriwayatkan oleh Âdam bin Abi Iyâs rahimahullah dan ath-Thabari rahimahullah dengan sanad yang shahîh dari Mujâhid rahimahullah, menyebutnya “kitab mereka”. Sedangkan ‘Abdur-Razzâq meriwayatkan dengan sanad yang shahîh dari Ma’mar dari al-Hasan, mengatakan, maknanya “kitab mereka yang memuat amalan-amalan mereka”[4]

Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma sendiri mengatakan, bahwa yang dimaksud “al-imâm“, yaitu amalan yang dikerjakan dan didiktekan untuk kemudian dituliskan. Maka, barang siapa dibangkitkan dalam keadaan bertakwa kepada Allah, maka Dia akan meletakkan kitabnya di tangan kanannya. Ia akan membaca dan bersuka-cita, tidak teraniaya sedikit pun.[5]

Keterangan-keterangan ini juga dikuatkan oleh beberapa ayat dalam Al-Qur`an, sebagaimana telah dinyatakan oleh Syaikh asy-Syinqiithi rahimahullah dalam Adhwâ`ul-Bayân.[6]

Adapun yang rajih, menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullah ialah pendapat yang terakhir. Beliau memberikan penafsiran ayat ini dengan ayat padanannya di surat lain. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَكُلَّ شَيْءٍ اَحْصَيْنٰهُ فِيْٓ اِمَامٍ مُّبِيْنٍ

Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh). [Yâsîn/36:12].

وَوُضِعَ الْكِتٰبُ فَتَرَى الْمُجْرِمِيْنَ مُشْفِقِيْنَ مِمَّا فِيْهِ وَيَقُوْلُوْنَ يٰوَيْلَتَنَا مَالِ هٰذَا الْكِتٰبِ لَا يُغَادِرُ صَغِيْرَةً وَّلَا كَبِيْرَةً اِلَّآ اَحْصٰىهَاۚ وَوَجَدُوْا مَا عَمِلُوْا حَاضِرًاۗ وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ اَحَدًا

Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang yang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: “Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Rabbmu tidak menganiaya seorang jua pun”. [al-Kahfi/18:49].

وَتَرٰى كُلَّ اُمَّةٍ جَاثِيَةً ۗ كُلُّ اُمَّةٍ تُدْعٰٓى اِلٰى كِتٰبِهَاۗ اَلْيَوْمَ تُجْزَوْنَ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ هٰذَا كِتٰبُنَا يَنْطِقُ عَلَيْكُمْ بِالْحَقِّ ۗاِنَّا كُنَّا نَسْتَنْسِخُ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ

Dan (pada hari itu) kamu lihat tiap-tiap umat berlutut. Tiap-tiap umat dipanggil untuk (melihat) buku catatan amalnya. Pada hari itu kamu diberi balasan terhadap apa yang telah kamu kerjakan. (Allah berfirman): “Inilah kitab (catatan) Kami yang menuturkan terhadapmu dengan benar. Sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu kerjakan”.[al-Jâtsiyah/45:28-29].

Selain itu, menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullah, ayat di atas (kata imâm) sebenarnya telah mengarahkan kepada pengertian kitab amalan. Pasalnya, dalam ayat tersebut diceritakan bahwasanya orang-orang yang menerima kitab dengan tangan kanan, mereka lantas membacanya, tidak ada rasa khawatir maupun takut terhadap isi yang tertulis pada kitab mereka. Jadi, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: (Mereka) membacanya -seperti diungkapkan Imam Ibnu Katsir rahimahullah – lantaran perasaan suka cita dengan catatan dalam kitabnya, yaitu berupa amal shalih. Seperti disebutkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

فَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ فَيَقُولُ هَاؤُمُ اقْرَءُوا كِتَابِيَهْ إِنِّي ظَنَنتُ أَنِّي مُلَاقٍ حِسَابِيَهْ فَهُوَ فِي عِيشَةٍ رَّاضِيَةٍ فِي جَنَّةٍ عَالِيَةٍ قُطُوفُهَا دَانِيَةٌ كُلُوا وَاشْرَبُوا هَنِيئًا بِمَا أَسْلَفْتُمْ فِي الْأَيَّامِ الْخَالِيَةِ وَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِشِمَالِهِ فَيَقُولُ يَا لَيْتَنِي لَمْ أُوتَ كِتَابِيَهْ وَلَمْ أَدْرِ مَا حِسَابِيَهْ

Adapun orang-orang yang diberikan kepadanya kitabnya dari sebelah kanannya, maka dia berkata: “Ambillah, bacalah kitabku (ini)”. Sesungguhnya aku yakin, bahwa sesungguhnya aku akan menemui hisab terhadap diriku. Maka orang itu berada dalam kehidupan yang diridhai, dalam surga yang tinggi, buah-buahannya dekat. (Kepada mereka dikatakan): “Makan dan minumlah dengan sedap disebabkan amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu”. Adapun orang-orang yang diberikan kepadanya dari sebelah kirinya, maka dia berkata: “Wahai alangkah baiknya kiranya tidak diberikan kepadaku kitabku (ini). Dan aku tidak mengetahui apa hisab terhadap diriku”. [al-Hâqqah/69:19-26]. [7]

Penafsiran ini tidak bertentangan dengan penafsiran ulama yang mengatakan bahwa maksudnya adalah nabi akan didatangkan ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menjatuhkan keputusan bagi umatnya. Nabi tersebut mesti akan menjadi saksi atas amal perbuatan umatnya. Seperti kandungan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

وَأَشْرَقَتِ الْأَرْضُ بِنُورِ رَبِّهَا وَوُضِعَ الْكِتَابُ وَجِيءَ بِالنَّبِيِّينَ وَالشُّهَدَاءِ وَقُضِيَ بَيْنَهُم بِالْحَقِّ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ

Dan terang benderanglah bumi (padang mahsyar) dengan cahaya (keadilan) Tuhannya; dan diberikanlah buku (perhitungan perbuatan masing-masing) dan didatangkanlah para nabi dan saksi-saksi dan diberi keputusan di antara mereka dengan adil, sedang mereka tidak dirugikan. [az-Zumar/39:69].

فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِن كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَىٰ هَٰؤُلَاءِ شَهِيدًا

Maka bagaimanakah (halnya orang-orang kafir nanti), apabila kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu). [an-Nisâ`/4: 41].[8]

Setelah itu, terbagilah manusia menjadi dua kelompok. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

فَمَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ

[dan barang siapa yang diberikan Kitab amalannya di tangan kanannya], karena sebelumnya mereka mengikuti imamnya yang menunjukkan kepada mereka jalan yang lurus. Dan imam ini mengambil petunjuk dari Kitabullah. Oleh karena itu, kebaikannya menjadi banyak dan keburukannya pun menyusut.[9]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَأُولَٰئِكَ يَقْرَءُونَ كِتَابَهُمْ وَلَا يُظْلَمُونَ فَتِيلًا

[maka mereka ini akan membaca kitabnya itu dan mereka tidak dianiaya sedikit pun]; bacaan yang menggembirakan, yakni mereka membacanya dengan riang gembira dan tidak terzhalimi sedikit pun dari setiap kebaikan yang telah mereka lakukan.[10]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَن كَانَ فِي هَٰذِهِ أَعْمَىٰ فَهُوَ فِي الْآخِرَةِ أَعْمَىٰ وَأَضَلُّ سَبِيلًا

[Dan barang siapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar)].

Allah Subhanahu wa Ta’ala membalas orang-orang yang “membutakan” diri terhadap ajaran-ajaran-Nya, dengan balasan yang sama. Ketika mereka tidak mengacuhkan syariat dan petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala , kondisi mereka di akhirat kelak dibuat buta, bahkan lebih buruk dari sebelumnya, dan dalam seburuk-buruk keadaan. Begitulah, al-jazâ` min jinsil-‘amal (balasan itu serupa dengan perbuatan sebelumnya).

Jadi, buta dalam ayat di atas ialah buta mata hatinya. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikh asy-Syinqîthi rahimahullah ,[11] yang dimaksud dengan buta di sini ialah buta hati, bukan buta mata penglihatan. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَٰكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ

(Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada. -al-Hajj/22 ayat 46- , Pasalnya seseorang mengalami buta mata inderanya, namun mata hatinya maka hal ini tidak seberapa berdampak buruk. Meski buta pandangan matanya, ia masih bisa mengingat-ingat sehingga setiap peringatan (pesan) akan membekaskan manfaat baginya. karena mata hatinya masih berfungsi. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

عَبَسَ وَتَوَلَّىٰ أَنْ جَاءَهُ الْأَعْمَىٰ وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّهُ يَزَّكَّىٰ أَوْ يَذَّكَّرُ فَتَنْفَعَهُ الذِّكْرَىٰ

Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa), atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya? [Abasa/80:1-4].

Imam ath-Thabari rahimahullah mengatakan, barang siapa di dunia ini buta terhadap hujjah-hujjah Allah Subhanahu wa Ta’ala mengenai keesaan-Nya dalam penciptaan dan pengaturan dunia serta pemeliharaan dunia seisinya, maka tentang urusan akhirat yang belum pernah ia lihat dan saksikan dengan mata kepala, dan hal-hal yang terjadi pada masa itu, niscaya ia akan lebih buta dan tersesat jalan. [12]

Begitu juga barangsiapa ketika di dunia ini buta dari kebenaran, maka ia tidak akan menerima dan tidak tunduk kepadanya; tetapi sebaliknya ia justru akan mengikuti kesesatan. Maka di akhirat nanti, niscaya ia akan lebih buta pula, tidak mengetahui jalan menuju syurga sebagaimana tatkala di dunia ia tidak menapakinya. Dia lebih tersesat dari jalan yang benar daripada di dunia. Semoga Allah melindungi kita darinya.[13] Dia tidak bisa melihat jalan keselamatan, (hingga) tak berdaya untuk melewatinya, sampai akhirnya akan terjerumus ke neraka Jahannam.[14]

Syaikh ‘Abdur-Rahmân as-Sa’di rahimahullah menyimpulkan, bahwasanya dalam ayat ini terdapat dalil jika setiap umat akan diseru kepada agama dan kitabnya, apakah diamalkan ataukah tidak? Mereka tidak akan dituntut dengan syariat nabi lain yang tidak diperintahkan untuk mengikutinya. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan mengadzab seseorang kecuali setelah tegak hujjah atasnya.

Dalam lanjutan keterangannya, beliau menambahkan, bagi orang-orang yang suka berbuat kebaikan, kitab mereka akan diberikan dengan tangan kanannya. Mereka akan mendapatkan kebahagiaan yang sangat besar. Adapun orang-orang yang suka berbuat kejelekan, akan mendapatkan kebalikannya. Mereka tidak mampu membaca kitab mereka, disebabkan dahsyatnya kegelisahan dan ketakutan yang mereka rasakan.[15]

Pelajaran Dari Dua Ayat Diatas

  1. Penetapan datangnya hari Akhir.
  2. Keadilan Allah di akhirat dengan menegakkan hujjah terhadap hamba-Nya, tanpa ada unsur kezhaliman sedikit pun.
  3. Kebutaan terhadap kebenaran dan bukti-buktinya di dunia berimplikasi pada kebutaaan di akhirat dan menjadi faktor yang menjerumus manusia ke dalam Jahannam.
  4. Mengikuti pemahaman generasi Salaf merupakan jalan yang paling selamat, penuh hikmah dan berdasarkan ilmu.

Maraji:

  1. Al-Qur`ân dan Terjemahannya, Cetakan Mujamma’ Malik Fahd Madinah.
  2. Adhwâ`ul-Bayân fi Îdhâhil-Qur`ân bil-Qur`ân, Muhammad al-Amîn asy-Syinqîthi, Maktabah Ibnu Taimiyyah, Mesir, 1415 H – 1995 M.
  3. Ahkâmil-Qur`ân, Abu Bakr Muhammad bin ‘Abdullah (Ibnul-‘Arabi), Tahqîq: ‘Abdur-Razzâq al-Mahdi, Dârul-Kitâbil-‘Arabi, Cet. I, Th. 1421 H – 2000 M.
  4. Aisarut-Tafâsîr fi Kalâmil-‘Aliyyil-Kabîr, Abu Bakr Jâbir al-Jazâiri, Maktabah ‘Ulum wal- Hikam, Cet. VI, Th. 1423 H – 2003 M.
  5. Al-Jâmi li Ahkâmil-Qur`ân (Tafsir al-Qurthubi), Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshâri al-Qurthubi, Tahqiq: ‘Abdur-Razzâq al-Mahdi, Dârul-Kitâbil-‘Arabi, Cet. IV, Th. 1422 H – 2001 M.
  6. Jâmi’ul-Bayân ‘an Ta`wil Ay Al-Qur`ân, Abu Ja’far Muhammad bin Jariîr ath-Thabari, Dar Ibnu Hazm, Cet. I, Th. 1423 H – 2002 M.
  7. Ma’âlimut-Tanzîl, Imam Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ûd al-Baghawi, Tahqîq dan Takhrîj: Muhammad ‘Abdullah an-Namr, ‘Utsmân Jum’ah Dhumairiyyah, dan Sulaimân Muslim al-Kharsy Dâr Thaibah, Th. 1411 H.
  8. Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm, al-Hâfizh Abul-Fidâ Ismâ’îl bin ‘Umar bin Katsîr al-Qurasyi, Tahqîq: Sâmi bin Muhammad as-Salâmah, Dar Thaibah, Cet. I, Th. 1422 H – 2002
  9. Taisîrul-Karîmir-Rahmân fi Tafsîri Kalâmin Mannân, ‘Abdur-Rahmân bin Nashir as-Sa’di, Tahqîq: ‘Abdur-Rahmân al-Luwaihiq, Muassasah Risalah.
  10. Taqdîsul Asykhâshi fil-Fikrish-Shûfi, Dr. Muhammad Ahmad Luh, Dar Ibnil-Qayyim, Cet. I, Th. 1422 H – 2002 M.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XI/1428H/2008.]
_____
Footnote
[1] At-Taisîr, 493.
[2] At-Tafsîrush-Shahîh, 3/273.
[3] Adhwâ`ul-Bayân, 3/560-561
[4] At-Tafsîrush-Shahîh, 3/274.
[5] Jâmi’ul-Bayân, 15/156-157
[6] Adhwâ`ul-Bayân, 3/560
[7] Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm, 5/99. Lihat Mâ’limut-Tanzîl, 5/109.
[8] Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm, 5/99.
[9] At-Taisîr, 494.
[10] At-Taisîr, 494.
[11] Adhwâ`ul-Bayân, 3/562
[12] Jâmi’ul-Bayân, 15/159.
[13] Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm, 5/100.
[14] Aisarut-Tafâsir, 1/688.
[15] At-Taisîr, 494.


Related Posts:

0 Response to "Tafsir Al Isra Ayat 70-82"

Post a Comment