Tafsir An Naas

Image result for surat an nas arab
 
Rp 35.000/Bungkus Yuk Order => https://nasi-kebuli-instan.business.site/ 

Surah An Naas (Manusia)
Surah ke-114. 6 ayat. Madaniyyah

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

Ayat 1-6: Allah Subhaanahu wa Ta'aala Pelindung manusia dari kejahatan musuh yang paling berbahaya, yaitu Iblis dan para pembantunya yang terdiri dari setan-setan dari kalangan jin dan manusia.

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ (١) مَلِكِ النَّاسِ (٢) إِلَهِ النَّاسِ (٣) مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ (٤) الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ (٥)
مِنَ الجِنَّةِ وَ النَّاسِ (٦

1. [1]Katakanlah, "Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia,

[1] Surah yang mulia ini mengandung permintaan perlindungan kepada Allah Tuhan manusia, Penguasa mereka dan Sembahan mereka dari setan yang merupakan sumber keburukan, dimana di antara fitnah dan keburukannya adalah suka membisikkan kejahatan dalam diri manusia, ia perbagus sesuatu yang buruk kepada manusia, dan memperburuk sesuatu yang sebenarnya baik, ia mendorong manusia mengerjakan keburukan dan melemahkan manusia mengerjakan kebaikan.
-------------------------------

2. Raja manusia,

3. Sembahan manusia,
4. dari kejahatan (bisikan) setan yang bersembunyi[2],

[2] Setan disebut Khannas, karena ia menjauh dari hati manusia ketika manusia ingat kepada Allah Subhaanahu wa Ta'aala dan meminta perlindungan kepada-Nya agar dihindarkan darinya. Sebaliknya, ketika manusia lupa mengingat Allah, maka setan akan mendatanginya dan membisikkan hatinya. Oleh karena itu, sudah sepatutnya, manusia meminta pertolongan dan perlindungan kepada Allah Tuhan yang mengurus dan mengatur manusia, dimana semua makhluk berada di bawah pengurusan-Nya dan kepemilikan-Nya, dan tidak ada satu pun makhluk kecuali Dia yang memegang ubun-ubunnya dan berkuasa terhadapnya.

Demikian pula agar ibadah sempurna, maka sangat diperlukan perlindungan Allah Subhaanahu wa Ta'aala dari kejahatan musuh manusia, yaitu setan yang berusaha menghalangi manusia dari beribadah dan hendak menjadikan mereka sebagai pengikutnya agar sama-sama menjadi penghuni neraka.
--------------------------------

5. yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia,

6. dari (golongan) jin dan manusia[3].”

[3] Bisikan jahat yang biasanya sumbernya dari jin, bisa juga dari manusia yang telah menjadi walinya.

======================================================================

Surat ini beserta surat Al Falaq merupakan sebab sembuhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamdari sihir seorang penyihir Yahudi bernama Labid bin A’shom. Dalam sihir tersebut Rasulullah dikhayalkan seakan-akan melakukan suatu hal yang beliau tidak melakukannya.


Kisah tersebut disebutkan dalam hadits yang shohih, sehingga kita harus mempercayainya. Jika syaitan membisiki Anda dengan mengatakan bahwa seandainya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa terkena sihir berarti ada kemungkinan bahwa bisa saja syaitan mewahyukan kepada Rasulullah sebagian dari Al Quran? Maka bantahlah bahwa Allah Maha Kuasa terhadap seluruh makhluknya, jika Allah telah berjanji memelihara kemurnian Al Quran (QS. Al-Hijr: 9) maka tidak ada yang dapat mengubahnya.

Jika setan tersebut kembali membisikkan agar kita menolak hadits tersebut dan menanamkan keraguan di hati kita tentang validitas hadits shohih sebagai sumber hukum islam dengan alasan bahwa kisah itu tidak masuk akal karena Allah subhanahu wa ta’ala selalu melindungi rasul-Nya. Maka katakanlah bahwa Allah subhanahu wa ta’ala tidak mungkin memelihara lafal Al Quran tanpa memelihara penjelasannya berupa perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan dalam hadits. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan dilahirkannya di tengah umat ini para imam ahli hadits yang hafalannya sangat mengagumkan. Di antaranya adalah imam Ahmad yang menghafal hingga 1 juta hadits beserta sanadnya.

Allah subhanahu wa ta’ala menakdirkan terjadinya hal tersebut sebagai ujian bagi manusia, apakah mereka beriman ataukah kafir. Sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala meng-isra dan mi’raj-kan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam satu malam, ada sebagian kaum muslimin ketika itu yang murtad. Sedangkan pengaruh perlindungan setelah membaca kedua surat tersebut akan lebih kuat jika disertai dengan pemahaman dan perenungan akan maknanya.

Memohon Perlindungan Melalui Perantara Nama-Nya

Dalam surat ini terkandung permohonan perlindungan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan bertawasul (menggunakan perantara) dengan tiga nam-Nya yang mencakup tiga makna keyakinan tauhid kepada Allah secara sempurna. Yaitu tauhid rububiyah, asma wa sifat dan uluhiyah. Ketiga jenis tauhid ini diwakili oleh asma-asma Allah subhanahu wa ta’ala sebagi berikut:

Ar-Rabb, Al-Malik dan Al-Ilaah

Ar-Rabb dalam kata ِرَبِّ النَّاسِ (Tuhan Manusia) bermakna bahwa Allah subhanahu wa ta’ala adalah pencipta, pengatur dan pemberi rezeki seluruh umat manusia. Tentunya Allah subhanahu wa ta’ala bukan hanya Rabb atau Tuhannya manusia, namun juga seluruh Alam semesta ini beserta isinya. Pengkhususan penyebutan Rabb manusia di sini adalah untuk menyesuaikan dengan pembicaraan. Menauhidkan Allah pada hal tersebutlah yang dimaksud dengan tauhid rububiyah. Seseorang yang memiliki keyakinan bahwa wali-wali tertentu dapat mengabulkan permohonan berupa harta, jodoh atau anak maka dia telah menyekutukan Allah dalam rububiyah-Nya.

Al-Malik adalah salah satu dari asmaul husna yang bermakna pemilik kerajaan yang sempurna dan kekuasaan yang mutlak. Sedangkan penyebutan kata Ilahinnaas (sembahan manusia) di sini adalah untuk menegaskan Allah adalah yang seharusnya disembah oleh manusia dengan berbagai macam peribadatan.

Sedangkan ibadah itu ada dua jenis yaitu zhohir dan batin. Yang zhohir misalnya adalah sholat, do’a, zakat, puasa, haji, nazar, menyembelih qurban dan lain sebaginya. Sedangkan yang batin letaknya di dalam hati, seperti khusyu’, roja’ (pengharapan terhadap terpenuhinya kebutuhan), khouf (takut yang disertai pengagungan), cinta dan lain sebagainya. Barang siapa yang meniatkan salah satu dari ibadah-badah tersebut kepada selain Allah maka dia telah berbuat syirik. Siapa yang sujud kepada kuburan Nabi dan para wali atau yang lainnya, maka dia telah berbuat kesyirikan, siapa yang tawakalnya kepada jimat maka dia telah syirik.

Bisikan Syaitan Pada Hati Manusia

Pada surat Al-Falaq permohonan perlindungan hanya bertawasul menggunakan nama Allah Ar-Rabb saja. Sedangkan pada surat An-Naas ini digunakan 3 nama sekaligus yang mewakili 3 jenis tauhid. Hal ini mengindikasikan bahwa ancaman pada surat An Naas lebih besar dari pada ancaman yang disebutkan pada surat Al-Falaq. Ancaman yang disebutkan dalam surat Al-Falaq hanya mencelakakan manusia di dunia dan bersifat lahiriah, sehingga dapat atau mudah dideteksi.

Sedangkan pada surat An-Naas ini ancamannya dapat mencelakakan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Ancaman yang sangat halus, bukan merupakan kata-kata yang dapat didengar, sehingga sulit untuk di deteksi. Kemudian yang dijadikan sasarannya adalah hati, di mana hati manusia merupakan raja dari seluruh anggota tubuh. Tentang hal tersebut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَُحَتْ صَلُحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ

“Sesungguhnya dalam tubuh ini ada segumpal daging, jika baik, maka baiklah seluruh tubuhnya, jika rusak, maka rusaklah seluruh tubuhnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati.”(HR. Bukhari & Muslim)

Hati sebagai raja adalah yang memerintah seluruh anggota tubuh. Jika hatinya cenderung kepada ketaatan, maka anggota tubuhnya akan melaksanakan kebaikan tersebut. Dan begitu pula sebaliknya. Syaitan menjadikan hati sebagai target utama karena hati adalah ‘tiket’ keselamatan seorang hamba di akhirat, di mana Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُوْنَ إِلَّا مَنْ أَتَى اللهَ بِقَلْبٍ سَلِيْمٍ

“(yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih/selamat (saliim).” (QS. Asy-Syu’ara: 88-89)

Orang yang selamat di akhirat adalah orang datang menjumpai Allah dengan hati yang bersih (Qolbun Saliim). Bersih dan selamat dari penyakit syubhat dan syahwat. Syubhat adalah bisikan-bisikan syaitan terhadap seorang hamba sehingga dia meyakini kebenaran sebagai kebatilan, yang sunah sebagai bid’ah dan sebaliknya. Sedangkan syahwat adalah bisikan syaitan untuk mengikuti segala yang diinginkan oleh jiwa, meskipun harus menentang aturan Allah subhanahu wa ta’ala. Jika seorang hamba selalu memperturutkan syahwatnya dan melanggar aturan Allah, maka lama-kelamaan hatinya akan menganggap kemaksiatannya itu adalah suatu hal yang biasa, sehingga menjerumuskannya kepada penghalalan suatu yang diharamkan Allah.


Jika hati diumpamakan sebagai sebuah benteng, maka syaitan adalah musuh yang hendak masuk dan menguasai benteng tersebut. Setiap benteng memiliki pintu-pintu yang jika tidak dijaga maka syaitan akan dapat memasukinya dengan leluasa. Pintu-pintu itu adalah sifat-sifat manusia yang banyak sekali bilangannya. Di antaranya seperti; cinta dunia, syahwat dan lain sebagainya. Jika dalam hati masih bersemayam sifat-sifat tersebut, maka syaitan akan mudah berlalu lalang dan memasukan bisikannya, sehingga mencegahnya dari mengingat Allah dan mengisi hati dengan takwa.

Syaitan Jin dan Manusia

Di kalangan masyarakat ada yang menganggap bahwa syaitan, jin dan iblis adalah jenis makhluk tersendiri. Maka ayat terakhir dari surat ini membantah anggapan yang salah tersebut. Sesungguhnya makhluk yang mendapatkan beban syariat ada dua; yaitu jin dan manusia. Iblis merupakan bangsa jin berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala yang maknanya:

وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوْا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيْسَ كَانَ مِنَ الجِنِّ

“Dan ketika Kami berfirman kepada para malaikat: ‘Sujudlah kamu kepada Adam’, maka sujudlah mereka kecuali Iblis. Dia adalah dari golongan jin…” (QS. Al-Kahfi: 50)

Sedangkan syaitan adalah sejahat-jahat makhluk dari kalangan jin dan manusia yang mengasung sebagian kepada yang lain ke neraka.

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيِّ عَدُوًّا شَيَاطِيْنَ الإِنْسِ وَالجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ القَوْلِ غُرُورًا

“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan manusia dan jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu…” (QS. Al-An’am: 112)

Wallahu a’lam.

Rujukan:

Taisir Karimirrahman fii Tafiiril Kalamil Mannaan (Syaikh Abdurrahaman bin Nashir As-Sa’dy).
Terjemahan Mukhtashor Minhajul Qashidin (Ibnu Qudamah).
Tafsiir ‘Usyril Akhiir Minal Qur’anil Kariim (DR. Sulaiman Al-Asyqor).

Penyusun: Abu Yahya Agus bin Robi’ Al-Bakaasy (Alumni Ma’had Ilmi)
Murojaah: Ustadz Aris Munandar

=====================================================================

Makna Secara Global

Surat ini mencakup permohonan perlindungan kepada

Pemilik, Penguasa dan Pengasuh manusia dari setan yang merupakan sumber segala keburukan, yang diantara fitnah keburukannya bahwa dia membisikkan was-was dalam dada manusia, lalu dia menampakkan kebaikan sebagai suatu keburukan dan menampakkan keburukan sebagai suatu kebaikan kepada manusia, membuat mereka girang untuk melakukan kebaikan palsu itu, dan menghalangi mereka dari kebaikan asli yang dia tampakkan bagi manusia dalam bentuk yang buruk. Begitulah selalu keadaan setan, memberikan was-was saat mendapatkan kesempatan lalu mundur jika hamba itu mengingat Rabbnya dan memohon bantuan-Nya untuk mengusir setan.

Seharusnya manusia selalu memohon pertolongan dan perlindungan serta berpegang teguh pada Rububiyyah Allah untuk seluruh manusia, karena semua makhluk masuk dalam Rububiyyah serta kerajaan-Nya, dan semua yang melata maka Dialah yang memegang dahinya (menguasainya).

Juga seharusnya manusia berpegang pada Uluhiyyah (beribadah hanya pada) Allah yang Dia telah menciptakan manusia untuk ini. Maka tidaklah sukses urusan manusia kecuali dengan menolak kejahatan musuh mereka yang ingin memutus dan memisahkan mereka dari ibadah menyembah Allah, serta ingin merekrut (memasukkan) manusia ke dalam partainya agar termasuk penduduk neraka.

Was-was, sebagaimana timbul dari jin, ia juga timbul dari manusia, maka Allah berfirman:

مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ

(dari jin dan manusia)

Ibnu Katsir berkata: “Ketiga hal ini termasuk sifat-sifat Allah, yaitu:Rububiyyah, Raja dan Ilahiyyah.”

Dia Pemilik, Raja dan Rabb segala sesuatu, sedangkan semua yang ada adalah makhluk, budak dan hamba-Nya. Maka Allah memerintahkan orang yang mau memohon perlindungan untuk berlindung kepada Siapa yang memiliki sifat-sifat di atas dari kejahatan was-was setan yang selalu menggoda manusia. Semua anak cucu Adam mempunyai qarin (setan yang selalu bersamanya) yang menghiasi baginya perbuatan keji dan ia tidak pernah lemah untuk membinasakan manusia. Orang yang terpelihara darinya adalah orang yang dipelihara oleh Allah.

Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab shahihnya dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda:

“Tidaklah ada seseorang dari kalian kecuali telah diberikan baginya qarin jin, para sahabat bertanya: ‘Engkau juga wahai Rasul Allah!!’ Beliau menjawab: ‘saya juga, hanya saja Allah telah membantuku mengatasinya maka dia “aslam” dan tidak menyuruhku kecuali kepada kebaikan.”

Tentang kata aslam ada dua riwayat (aslam atau aslamu), yang membaca fathah (aslama) berkata bahwa qarin Beliau telah masuk islam dan beriman, serta tidak mengajak Rasul kecuali dengan kebaikan. Sedangkan yang membaca rafa’ (aslamu) berarti Rasul mengatakan: “Saya selamat dari kejahatan dan fitnahnya.”

Faedah

Berkata Ibnu Abbas: “Setan menyelinap di hati anak Adam (manusia), maka jika mereka lupa dan lalai, dia was-waskan, sedang jika mereka mengingat Allah maka dia menjauh.”

Dari Nabi Beliau bersabda:

“Sesungguhnya setan meletakkan belalainya di hati anak cucu Adam, jika mereka mengingat Allah maka setan menjauh dan jika mereka melupakan Allah maka setan menelan hatinya, itulah yang dimaksud dengan was-wasnya al-khannas.”

Faedah Surat

1. Bermohon perlindungan dan berpegang teguh kepada Allah dari setan.

2. Memohon perlindungan dengan Rububiyyah, Kerajaan dan Uluhiyyah Allah serta dengan asma’ul-husna dan sifat-sifatNya yang tinggi.

3. Pemuliaan manusia atas segala makhluk dimana Allah menyebutkan mereka secara khusus (menyandarkan jenis mereka kepada Allah , lihat ayat 1-3), padahal Allah adalah Rabb dan Penguasa segala sesuatu.

4. Permusuhan setan pada manusia dan usahanya untuk untuk menyesatkan mereka dengan bisikan was-wasnya.

5. Peringatan dari setan dan was-wasnya dan dari lalai mengingat Allah.

6. Zikir kepada Allah dapat mengusir setan hingga ia lari terusir dalam keadaan lesu.

7. Memohon perlindungan kepada Allah merupakan ibadah, maka mengarahkan permohonan perlindungan kepada selain Allah merupakan syirik.

8. Memohon perlindungan kepada Allah dari kejahatan setan jin dan manusia.

9. Otoritas Allah pada Rububiyyah, Kerajaan, dan Uluhiyyah atas seluruh makhluk.

10. Setan juga membisikkan kesesatan ke dalam hati jin sebagaimana ia melakukannya pada manusia.

(Di Ambil dari buku Syarah Ad Durusil Muhimmah li Ammatil Ummah, Cahaya Tauhid Press)

====================================================================

Sifat-sifat ini termasuk di antara sifat-sifat Rabb U: Rububiyah (keRabban), kekuasaan, dan ilahiyah (sembahan). Maka Allah adalah Rabb, penguasa, dan sembahan segala sesuatu, segala sesuatu adalah makhluk-Nya, dikuasai oleh-Nya, dan hamba-Nya. Allah memerintahkan orang yang memohon perlindungan untuk meminta perlindungan hanya kepada yang bersifat dengan sifat-sifat ini, dari kejelekan was-was dari Khannas, dia adalah setan yang menyertai manusia. Karena, tidak ada seorang pun dari anak Adam kecuali dia mempunyai qarin (yang mengikutinya dari kalangan setan) yang menghias-hiasi kekejian itu di hadapannya dan dia tidak perduli walau harus mengerahkan semua kemampuannya untuk memberikan khayalan-khayalan, dan yang selamat hanyalah siapa yang Allah selamatkan. Telah tsabit dalamAsh-Shahih bahwa beliau r bersabda:

مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا وَقَدْ وُكِّلَ بِهِ قَرِينُهُ. قَالُوا: وَأنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: نَعَمْ إِلَّا أَنَّ اللَّهَ أَعَانَنِي عَلَيْهِ فَأَسْلَمَ فَلَا يَأْمُرُنِي إِلَّا بِخَيْرٍ

“Tidak ada seorang pun di antara kalian kecuali telah diikutkan padanya temannya dari kalangan jin.” Mereka bertanya, “Anda juga wahai Rasulullah?” beliau menjawab, “Iya, hanya saja Allah telah menolong saya untuk mengatasinya, sehingga dia pun masuk Islam, dan dia tidak memerintah saya kecuali dengan kebaikan.[HR. Muslim (2814)]

Juga telah tsabit dalam Ash-Shahih dari Anas, tentang kisah kunjungan Shafiyah kepada Nabi r ketika beliau sedang melakukan i’tikaf, lalu beliau keluar bersamanya (Shafiyah) pada malam hari untuk mengantarnya ke rumahnya. Tiba-tiba ada dua orang Anshar yang menjumpai beliau, tatkala keduanya melihat Nabi r, mereka mempercepat langkah. Maka Rasulullah r bersabda:

عَلَى رِسْلِكُمَا إِنَّهَا صَفِيَّةُ بِنْتُ حُيَيٍّ. فَقَالَا: سُبْحَانَ اللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ: إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنِ ابْنِ آدَمَ مَجْرَى الدَّمِ, وَإِنِّي خَشِيتُ أَنْ يَقْذِفَ فِي قُلُوبِكُمَا شَيْئًا -أَوْ قَالَ شَرًّا-

“Pelan-pelanlah kalian, sesungguhnya wanita ini adalah Shafiyah bintu Huyaiy.” Keduanya lalu berkata, “Subhanallah wahai Rasulullah.” Beliau kemudian bersabda, “Sesungguhnya setan mengalir dalam tubuh anak Adam seperti mrngalirnya darah, dan saya khawatir kalau-kalau dia melemparkan sesuatu -atau beliau berkata: Kejelekan- ke dalam hati kalian berdua.[HR. Al-Bukhari (6219 -Al-Fath) dan Muslim (2175)]

Dari seorang teman berkendara Rasulullah r dia berkata: Keledai Nabi r jatuh tergelincir, maka saya berkata, “Celakalah setan!” Maka beliau bersabda:

لَا تَقُلْ: تَعِسَ الشَّيْطَانُ, فَإِنَّكَ إِذَا قُلْتَ: تَعِسَ الشَّيْطَانُ تَعَاظَمَ وَقالَ: بِقُوَّتِي صَرَعْتُهُ. وَإذَا قُلْتَ: بِسْمِ اللَّهِ, تَصَاغَرَ حَتَّى يَصِيْرَ مِثْلَ الذُّبَابِ

“Jangan kamu katakan, “Celakalah setan,” karena jika kamu katakan, “Celakalah setan,” dia akan membesar dan berkata, “Demi kekuatanku, saya akan merasukinya.” Jika kamu mengatakan, “Dengan nama Allah,” dia akan mengecil sampai menjadi seperti lalat.[HR. Abu Daud (5/260) dan Ahmad (5/59, 71)]

Sejumlah ulama berkata tentang firman-Nya, “Kejahatan (bisikan) setan yang biasa bersembunyi,”: Dia adalah setan yang bercokol di dalam hati anak Adam. Jika dia (anak Adam) lalai, dia akan memberikan was-was, tapi jika dia berdzikir kepada Allah, dia akan menahan diri.

Firman-Nya, “Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia.” Apakah terjadinya hal ini hanya terbatas pada anak keturunan Adam -sebagaimana yang nampak-, ataukah ini mencakup umum untuk anak keturunan Adam (manusia) dan juga jin? Ada dua pendapat, dan biasanya mereka (jin) juga masuk ke dalam penamaan manusia. Ibnu Jarir berkata, “(Kata manusia) sering digunakan untuk mereka (jin), “Beberapa orang laki-laki dari kalangan jin.[QS. Al-Jin: 6]“ Maka tidak ada larangan menggunakan kata ‘manusia’ untuk mereka secara mutlak.”

Firman Allah Ta’ala, “Dari (golongan) jin dan manusia.” Apakah ini adalah rincian dari firman-Nya, “Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia” lalu Dia menjelaskannya dengan firman-Nya,“Dari (golongan) jin dan manusia,”? Hal ini menguatkan pendapat yang kedua.

Ada yang mengatakan, “Dari (golongan) jin dan manusia” adalah penafsiran dari yang membisikkan was-was ke dalam dada manusia dari kalangan setan-setan jin dan manusia. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia).”(Al-An’am: 112)

Dari Ibnu Abbas dia berkata, “Ada seorang lelaki yang mendatangi Nabi r lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya berbicara di dalam diriku dengan suatu ucapan, yang mana saya jatuh dari atas langit lebih saya sukai daripada yang mengucapkannya.” Maka Nabi r bersabda, “Allahu Akbar, Allahu Akbar, segala pujian hanya milik Allah yang telah menolak makarnya dan hanya menjadikannya sebagai was-was.[Shahih. HR. Ahmad (1/235) dan Abu Daud (5112)]

[Diterjemah dari Shahih Tafsir Ibnu Katsir: 4/709-710, karya Musthafa Al-'Adawi]

========================

Kajian AUDIO disampaikan oleh Al-Ustadz Abdullah Zaen di Masjid Agung Purbalingga setiap Rabu malam, ba’da Maghrib sampai Isya’. Selanjutnya, silakan download pada link berikut ini:

Ustadz Abu Abdillah Muhammad Asnur Download Audio Tafsir al Qur'an Surat An-Naas

Ustadz Abu Muawiyah Askari bin Jamal Download Audio Tafsir al Qur'an Surat An-Naas

Ustadz Abdullah Shaleh Hadrami Download Audio Tafsir al Qur'an Surat An-Naas


Related Posts:

Tafsir Al Ikhlas

 
Rp 35.000/Bungkus Yuk Order => https://nasi-kebuli-instan.business.site/ 

Surah Al Ikhlas (Memurnikan Ibadah Hanya Kepada Allah)

Surah ke-112. 5 ayat. Makkiyyah

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

Ayat 1-4: Sifat Allah Subhaanahu wa Ta'aala, dan bantahan terhadap Ahli Kitab dan kaum musyrik.

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ (١) اللَّهُ الصَّمَدُ (٢) لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ (٣) وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ (٤

1. Katakanlah (Muhammad)[1], "Dialah Allah, Yang Maha Esa[2].

[1] Dengan memastikan, meyakininya dan mengetahui maknanya. Dan jawablah dengan surah ini orang-orang yang bertanya tentang siapa Allah Subhaanahu wa Ta'aala?

[2] Dia sendiri dengan kesempurnaan, memiliki nama-nama yang indah dan sifat-sifat yang tinggi yang sempurna serta perbuatan-perbuatan yang suci, dimana pada semua itu tidak ada yang menyamainya.
---------------------------------
2. Allah tempat meminta segala sesuatu[3].

[3] Yakni yang dituju dalam semua kebutuhan. Oleh karena itu, makhluk yang berada di bawah maupun di atas semuanya membutuhkan-Nya, meminta dan berharap kepada-Nya untuk dipenuhi kebutuhan mereka, karena Dia sempurna dalam sifat-sifat-Nya; Dia Maha Mengetahui yang sempurna ilmunya, Dia Mahasantun yang sempurna santunnya, Dia Maha Penyayang yang sempurna sayangnya dimana rahmat-Nya meliputi segala sesuatu, demikian pula sifat-sifat-Nya yang lain.
---------------------------------
3. (Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan[4].

[4] Di antara kesempurnaan-Nya adalah bahwa Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, karena sempurnanya kecukupan-Nya. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:

“Dia Pencipta langit dan bumi. bagaimana Dia mempunyai anak padahal Dia tidak mempunyai isteri. Dia menciptakan segala sesuatu; dan Dia mengetahui segala sesuatu.” (Terj. Al Ana’aam: 101)
----------------------------
4. Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia[5]."

[5] Baik dalam nama-Nya, sifat-Nya maupun perbuatan-Nya.

Surah yang mulia mengandung tauhid asmaa’ wa shifaat.
==============================================

Oleh Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ﴿١﴾ اللَّهُ الصَّمَدُ ﴿٢﴾ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ﴿٣﴾ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ

Katakanlah, “Dia-lah Allâh, yang Maha Esa.
Allâh adalah Rabb Ash-Shamad.
Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,
Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.”

KEUTAMAAN SURAT AL-IKHLAS

Surat Al-Ikhlas memiliki banyak keutamaan, antara lain:
Surat ini berisikan sifat Allâh Azza wa Jalla, orang yang mencintainya dicintai oleh Allâh Azza wa Jalla.

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ رَجُلًا عَلَى سَرِيَّةٍ وَكَانَ يَقْرَأُ لِأَصْحَابِهِ فِي صَلَاتِهِمْ فَيَخْتِمُ بِقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ فَلَمَّا رَجَعُوا ذَكَرُوا ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ سَلُوهُ لِأَيِّ شَيْءٍ يَصْنَعُ ذَلِكَ فَسَأَلُوهُ فَقَالَ لِأَنَّهَا صِفَةُ الرَّحْمَنِ وَأَنَا أُحِبُّ أَنْ أَقْرَأَ بِهَا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبِرُوهُ أَنَّ اللَّهَ يُحِبُّهُ

Dari ‘Aisyah bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seorang laki-laki memimpin sekelompok pasukan, (ketika mengimami shalat) dia biasa membaca di dalam shalat jama’ah mereka, lalu menutup dengan ”Qul huwallaahu ahad”. Ketika mereka telah kembali, mereka menyebutkan hal itu kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Maka beliau berkata: “Tanyalah dia, kenapa dia melakukannya!” Lalu mereka bertanya kepadanya, dia menjawab: “Karena surat ini merupakan sifat Ar-Rahmaan (Allâh Yang Maha Pemurah), dan aku suka membacanya”. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Beritahukan kepadanya bahwa Allâh mencintainya”. [HR. Al-Bukhâri, no. 7375; Muslim, no. 813]
Sebanding dengan sepertiga al-Qur’ân

عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَيَعْجِزُ أَحَدُكُمْ أَنْ يَقْرَأَ فِي لَيْلَةٍ ثُلُثَ الْقُرْآنِ قَالُوا وَكَيْفَ يَقْرَأْ ثُلُثَ الْقُرْآنِ قَالَ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ تَعْدِلُ ثُلُثَ الْقُرْآنِ

Dari Abud Darda’ dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda, “Apakah seseorang dari kamu tidak mampu membaca sepertiga al-Qur’ân di dalam satu malam?” Para sahabat bertanya, “Bagaimana seseorang (mampu) membaca sepertiga al-Qur’ân (di dalam satu malam)?” Beliau bersabda: “Qul Huwallaahu Ahad sebanding dengan sepertiga al-Qur’ân.” [HR. Muslim, no. 811]

Maknanya adalah bahwa kandungan al-Qur’ân ada tiga bagian :

1) hukum-hukum, 2) janji dan ancaman, 3) nama-nama dan sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla . Dan surat ini semuanya berisi tentang nama-nama dan sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla . [Majmu’ Fatawa 17/103]

SEBAB TURUN SURAT AL-IKHLAS

Sebab turun surat al-Ikhlâs ini adalah pertanyaan orang-orang kafir tentang Allâh Azza wa Jalla , sebagaimana disebutkan di dalam hadits :

عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ أَنَّ الْمُشْرِكِينَ قَالُوا لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْسُبْ لَنَا رَبَّكَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ اللَّهُ الصَّمَدُ

Dari Ubayy bin Ka’ab Radhiyallahu anhu bahwa orang-orang musyrik berkata kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Sebutkan nasab Rabbmu kepada kami!”, maka Allâh menurunkan: (Katakanlah: “Dia-lah Allâh, yang Maha Esa). [HR. Tirmidzi, no: 3364; Ahmad, no: 20714; Ibnu Abi ‘Ashim di dalam as-Sunnah 1/297. Dihasankan oleh Syaikh al-Albani]

Hadits ini menunjukkan bahwa surat al-Ikhlâs termasuk surat Makiyyah, dan nampaknya termasuk surat yang awal turun di kota Makkah.

ARTI AYAT DAN TAFSIRNYA

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ

Katakanlah: “Dia-lah Allâh, yang Maha Esa”.

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Yakni: Dia Yang pertama dan Esa, tidak ada tandingan dan pembantu, tidak ada yang setara dan tidak ada yang menyerupai-Nya, dan tidak ada yang sebanding (dengan-Nya). Kata ini tidak digunakan untuk menetapkan pada siapapun selain pada Allâh Subhanahu wa Ta’ala , karena Dia Maha Sempurna dalam seluruh sifat-sifat-Nya dan perbuatan-perbuatan-Nya”. [Tafsir Ibnu Katsir]

Para Ulama penyusun Tafsir al-Muyassar berkata, “Katakanlah wahai Rasul, ‘Dia-lah Allâh Yang Esa dengan ulûhiyah (hak diibadahi), rubûbiyah (mengatur seluruh makhluk), asma’ was shifat (nama-nama dan sifat-sifat-Nya), tidak ada satupun yang menyekutui-Nya dalam perkara-perkara itu”. [Tafsir al-Muyassar, 11/96]
اللَّهُ الصَّمَدُ

Allâh adalah ash-Shamad.

Ash-Shamad adalah satu nama di antara Asmaul Husna yang dimiliki Allâh Azza wa Jalla . Penjelasan para Ulama Salaf tentang makna ash-Shamad berbeda-beda, tetapi semua perbedaan itu bisa diterima, karena maknanya tidak kontradiksi, bahkan saling melengkapi. Oleh karena itu semua arti itu dapat ditetapkan pada diri Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Inilah keterangan para Ulama tentang makna ash-Shamad:
(Rabb) yang segala sesuatu menghadap kepada-Nya dalam memenuhi semua kebutuhan dan permintaan mereka. Ini pendapat Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu dari riwayat ‘Ikrimah.
As-Sayyid (Penguasa) yang kekuasaan-Nya sempurna; as-Syarîf (Maha Mulia) yang kemuliaan-Nya sempurna; al-‘Azhîm (Maha Agung) yang keagungan-Nya sempurna; al-Halîm (Maha Sabar) yang kesabaran-Nya sempurna; al-‘Alîm (Mengetahui) yang ilmu-Nya sempurna; al-Hakîm (Yang Bijaksana) yang kebijaksanaan-Nya sempurna. Dia adalah Yang Maha Sempurna dalam seluruh sifat kemuliaan dan kekuasaan, dan Dia adalah Allâh Yang Maha Suci. Sifat-Nya ini tidak layak kecuali bagiNya, tidak ada bagi-Nya tandingan dan tidak ada sesuatupun yang menyamai-Nya. Maha Suci Allâh Yang Maha Esa dan Maha Perkasa. Ini pendapat Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu dari riwayat ‘Ali bin Abi Thalhah Radhiyallahu anhu.
Yang Maha Kekal setelah semua makhluk-Nya binasa. Ini pendapat al-Hasan dan Qatâ
Al-Hayyu al-Qayyûm (Yang Maha Hidup, Maha berdiri sendiri dan mengurusi yang lain), yang tidak akan binasa. Ini pendapat al-Hasan.
Tidak ada sesuatupun yang keluar dari-Nya dan Dia tidak makan. Ini pendapat ‘Ikrimah.
Ash-Shamad adalah yang tiada beranak dan tidak pula diperanakkan. Ini pendapat ar-Rabi’ bin Anas.
Yang tidak berongga. Ini adalah pendapat Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Sa’id bin Musayyib, Mujahid, Abdullah bin Buraidah, ‘Ikrimah, Sa’id bin Jubair, ‘Atha bin Abi Rabbah, ‘Athiyah al-‘Aufi, adh-Dhahhak, dan as-Suddi.
Yang tidak memakan makanan dan tidak minum minuman. Ini pendapat asy-Sya’bi.
Cahaya yang bersinar. Ini pendapat Abdullah bin Buraidah

Imam Thabarani rahimahullah berkata, “Semua makna ini benar, dan ini semua merupakan sifat Penguasa kita ‘Azza wa Jalla. Dia adalah tempat menghadap di dalam memenuhi semua kebutuhan, Dia adalah yang kekuasaan-Nya sempurna, Dia adalah ash-Shamad, yang tidak berongga, dia tidak makan dan tidak minum, Dia adalah Yang Maha Kekal setelah makhlukNya (binasa)“.

Dan imam al-Baihaqi juga berkata seperti ini. [Lihat semua keterangan di atas di dalam Tafsir Ibnu Katsir surat al-Ikhlas]

Syaikh Musa’id ath-Thayyâr hafizhahullah menyebutkan lima makna ash-Shamad, lalu berkata, “Perselisihan ini termasuk ikhtilaf tanawwu’ (perselisihan jenis) dalam ungkapan, bukan perselisihan dalam makna. Karena semua pendapat ini kembali kepada satu makna, yaitu sifat Allâh yang tidak membutuhkan perkara yang dibutuhkan oleh makhluk-Nya, karena kesempurnaan kekuasaan-Nya. Dan janganlah merisaukanmu pengingkaran sebagian khalaf terhadap sebagian makna-makna yang diriwayatkan dari Salaf ini, demikian juga anggapan mereka (khalaf) bahwa perkataan-perkataan Salaf ini tidak didukung oleh lughah (bahasa Arab). Karena itu adalah perkataan orang yang tidak memahami (kedudukan-pen) tafsir Salaf, dan dia tidak mengambil faedah ketetapan makna-makna lafazh lughah (bahasa Arab) dari tafsir salaf, Wallahu a’lam.” [Tafsir Juz ‘Amma, 1/201, Syaikh Musa’id ath-Thayyâr]

لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ

Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,

Syaikh Musa’id ath-Thayyâr hafizhahullah berkata, “Yaitu: (Allah) ini Yang berhak diibadahi, Dia tidak dilahirkan sehingga akan binasa. Dia juga bukan suatu yang baru yang didahului oleh tidak ada lalu menjadi ada. Bahkan Dia adalah al-Awwal yang tidak ada sesuatupun sebelum-Nya, dan al-Âkhir yang tidak ada sesuatupun setelah-Nya.” [Tafsir Juz ‘Amma, 1/77, Syaikh Musa’id ath-Thayyaar]

وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ

Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.”

Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Tidak ada seorangpun yang menyamai-Nya dalam seluruh sifat-sifat-Nya”. [Syarh Aqîdah Wasitiyah, hlm. 114, penerbit. Dar Ibnu Haitsam]

Syaikh Musa’id ath-Thayyâr hafizhahullah berkata, “Dan tidak ada tandingan yang menyamai-Nya dalam nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya.” [Tafsir Juz ‘Amma, 1/77, Syaikh Musa’id ath-Thayyâr]

BANTAHAN ANGGAPAN “ALLAH MEMILIKI ANAK”

Banyak sekali bantahan Allâh Azza wa Jalla di dalam kitab suci-Nya terhadap orang-orang yang beranggapan bahwa Allâh memiliki anak, antara lain firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۖ أَنَّىٰ يَكُونُ لَهُ وَلَدٌ وَلَمْ تَكُنْ لَهُ صَاحِبَةٌ ۖ وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ ۖ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Dia Pencipta langit dan bumi. bagaimana Dia mempunyai anak padahal Dia tidak mempunyai isteri. Dia menciptakan segala sesuatu; dan Dia mengetahui segala sesuatu.[Al-An’am/6: 101]

Maksudnya, Allâh Subhanahu wa Ta’ala adalah pemilik dan pencipta segala sesuatu, maka bagaimana mungkin ada di antara makhluk-Nya yang menandingi-Nya. Allâh Maha Tinggi dan Maha Suci dari anggapan mereka itu.

Sesungguhnya beranggapan bahwa Allâh memiliki anak merupakan celaan manusia kepada Allâh Yang Maha Kuasa, padahal mereka sangat tidak pantas mencela-Nya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

قَالَ اللَّهُ كَذَّبَنِي ابْنُ آدَمَ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ ذَلِكَ وَشَتَمَنِي وَلَمْ يَكُنْ لَهُ ذَلِكَ أَمَّا تَكْذِيبُهُ إِيَّايَ أَنْ يَقُولَ إِنِّي لَنْ أُعِيدَهُ كَمَا بَدَأْتُهُ وَأَمَّا شَتْمُهُ إِيَّايَ أَنْ يَقُولَ اتَّخَذَ اللَّهُ وَلَدًا وَأَنَا الصَّمَدُ الَّذِي لَمْ أَلِدْ وَلَمْ أُولَدْ وَلَمْ يَكُنْ لِي كُفُؤًا أَحَدٌ

Allâh berkata: “Anak Adam mendustakanKu, padahal dia tidak pantas melakukannya. Dia juga mencelaKu, padahal dia tidak pantas melakukannya. Adapun pendustaannya kepadaKu adalah perkataannya bahwa Aku tidak akan menghidupkannya kembali sebagaimana Aku telah memulai penciptaannya. Sedangkan celaannya kepadaKu adalah perkataannya bahwa Aku memiliki anak, padahal Aku adalah Ash-Shamad, Aku tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara denganKu.” [HR. Bukhori, no. 4975]

Karena besarnya dosa keyakinan Allâh Azza wa Jalla memiliki anak, maka hampir-hampir dunia ini hancur karenanya. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

وَقَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمَٰنُ وَلَدًا ﴿٨٨﴾ لَقَدْ جِئْتُمْ شَيْئًا إِدًّا ﴿٨٩﴾ تَكَادُ السَّمَاوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنْشَقُّ الْأَرْضُ وَتَخِرُّ الْجِبَالُ هَدًّا ﴿٩٠﴾ أَنْ دَعَوْا لِلرَّحْمَٰنِ وَلَدًا

Dan mereka berkata, “Rabb yang Maha Pemurah mempunyai anak”. Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar. Hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh, karena mereka menda’wakan bahwa Allâh yang Maha Pemurah mempunyai anak. [Maryam/19: 88-91]

Namun walaupun demikian besar dosa manusia itu, tetapi Allâh Subhanahu wa Ta’ala Maha Sabar. Bahkan Dia tetap memberikan rizqi dan kesehatan sementara di dunia ini kepada orang-orang yang sangat lancang tersebut. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَيْسَ أَحَدٌ أَوْ لَيْسَ شَيْءٌ أَصْبَرَ عَلَى أَذًى سَمِعَهُ مِنْ اللَّهِ إِنَّهُمْ لَيَدْعُونَ لَهُ وَلَدًا وَإِنَّهُ لَيُعَافِيهِمْ وَيَرْزُقُهُمْ

Tidak ada seorangpun yang lebih sabar daripada Allâh terhadap gangguan yang dia dengarkan. Sebagian manusia menganggap Allâh memiliki anak, namun Dia tetap memberikan keselamatan/kesehatan dan memberi rizqi kepada mereka. [HR. Al-Bukhâri, no. 6099; Muslim, no. 2804]

KANDUNGAN SURAT AL-IKHLAS

Surat ini memuat berbagai kandungan dan faedah yang agung, antara lain:
Penetapan sifat ahadiyyah (keesaan) bagi Allâh Subhanahu wa Ta’ala .
Penetapan sifat shamadiyyah bagi Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Yaitu sifat Allâh yang tidak membutuhkan perkara yang dibutuhkan oleh makhluk-Nya, karena kesempurnaan kekuasaan-Nya
Mengenal Allâh dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya[1].
Penetapan tauhid dan kenabian.
Kedustaan orang yang menganggap Allâh Subhanahu wa Ta’ala memiliki anak.
Kewajiban beribadah kepda Allâh Subhanahu wa Ta’ala semata, karena hanya Dia yang memiliki hak untuk diibadahi.[2]

Inilah sedikit penjelasan tentang surat yang mulia ini, semoga bermanfaat.

Wallahu A’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XVII/1434H/2013M.]
________
Footnote

[1] Lihat, kitab Aisarut Tafâsîr, surat al-Ikhlâs, 1-5, karya Syaikh Abu Bakar al-Jazairi

[2] Lihat, kitab Aisarut Tafâsîr, surat al-Ikhlâs, 1-5, karya Syaikh Abu Bakar al-Jazairi

===========================================
al Ustadz Abu Muawiyyah Askari bin Jamal

1.Surat al IkhlasArchive1.4 MB

Abu Abdillah Muhammad Asnur Download Audio Tafsir al Qur'an Surat al Ikhlas
Abdullah Shaleh Hadrami Download Audio Tafsir al Qur'an Surat al Ikhlas

Related Posts:

Tafsir Al Falaq

 
Rp 35.000/Bungkus Yuk Order => https://nasi-kebuli-instan.business.site/ 

Surah Al Falaq (Waktu Subuh)

Surah ke-113. 5 ayat. Madaniyyah

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

Ayat 1-5: Pengajaran kepada hamba agar meminta perlindungan Allah Subhaanahu wa Ta'aala dan berlindung kepada-Nya dari segala kejahatan.

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ (١) مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ (٢) وَمِنْ شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ (٣) وَمِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ (٤) وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ (٥

1. Katakanlah, "Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai subuh (fajar)[1],

[1] Rabbul falaq bisa juga berarti Tuhan Yang Membelah butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan, demikian pula yang membelah malam dengan terbitnya fajar.
------------------
2. dari kejahatan (makhluk yang) Dia ciptakan[2],

[2] Seperti makhluk hidup yang mukallaf (yang mendapat beban) seperti manusia dan jin, dan makhluk hidup yang tidak mukallaf, demikian pula makhluk tidak hidup seperti racun, dsb.
----------------------------------
3. dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita,

4. dan dari kejahatan perempuan-perempuan penyihir yang meniup pada buhul-buhul (talinya)[3],



[3] Biasanya tukang-tukang sihir dalam melakukan sihirnya membuat buhul-buhul dari tali lalu membacakan jampi-jampi dengan menghembus-hembuskan nafasnya ke buhul tersebut. Ayat ini menunjukkan, bahwa sihir memiliki hakikat yang perlu diwaspadai bahayanya. Untuk mengatasinya adalah dengan meminta perlindungan kepada Allah dari sihir itu dan dari orang-orangnya.
---------------------------
5. dan dari kejahatan yang dengki[4] apabila dia dengki[5]."

[4] Hasad artinya suka atau senang jika nikmat yang ada pada orang lain hilang darinya. Namun jika senang pada nikmat orang lain dalam arti, ia senang jika ia memperoleh pula nikmat itu dan tidak ada keinginan agar nikmat pada orang lain hilang, maka tidaklah tercela, hal ini dinamakan juga ‘ghibthah’.

[5] Yakni menampakkan kedengkiannya dan melakukan konsekwensi dari dengki itu dengan melakukan segala sebab yang bisa dilakukan agar nikmat itu hilang darinya. Termasuk ke dalam yang hasad adalah orang yang menimpakan keburukan kepada orang lain melalui matanya (‘ain), karena hal itu tidaklah muncul kecuali dari orang yang dengki yang buruk tabiatnya dan buruk jiwanya. Demikian pula termasuk ke dalam ‘yang hasad’ adalah Iblis dan keturunannya yang sangat dengki kepada manusia.

Disebutkan ketiga macam kejahatan itu meskipun telah dicakup dalam firman Allah Ta’ala, “Dari kejahatan (makhluk yang) Dia ciptakan,” adalah karena besarnya kejahatan ketiga macam itu (kejahatan malam ketika telah gelap, wanita-wanita tukang sihir dan orang yang dengki).

====================================================================
Abu Abdillah Muhammad Asnur => Download Audio Tafsir al Qur'an Surat al Falaq
Abdullah Shaleh Hadrami => Download Audio Tafsir al Qur'an Surat al Falaq
Ustadz Abu Muawiyyah Askari bin Jamal : Download Audio Tafsir al Qur'an Surat al Falaq


Related Posts:

Tafsir Al Lahab

 
Rp 35.000/Bungkus Yuk Order => https://nasi-kebuli-instan.business.site/ 

Surah Al Lahab/Al-Masad (Gejolak Api)

Surah ke-111. 5 ayat. Makkiyyah

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

Ayat 1-5: Tukang fitnah pasti akan celaka.

تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ (١) مَا أَغْنَى عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ (٢)سَيَصْلَى نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ (٣) وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ (٤) فِي جِيدِهَا حَبْلٌ مِنْ مَسَدٍ (٥

1. [1] [2]Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan benar-benar binasa dia![3]

2. Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang dia usahakan[4].

3. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak (neraka)[5].

4. Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar (penyebar fitnah)[6].

5. Di lehernya ada tali dari sabut yang dipintal.

KANDUNGAN AYAT :

[1] Imam Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma ia berkata: Ketika turun ayat, “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat,” (Terj. Asy Syu’araa: 214) Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam naik ke atas Shafa dan menyeru, “Wahai Bani Fihr, wahai Bani ‘Addiy.” Beliau menyebut beberapa suku orang Quraisy, sehingga mereka semua berkumpul, dan orang yang tidak bisa keluar mengirim utusan untuk melihat ada apa, lalu Abu Lahab dan orang-orang Quraisy datang, maka Beliau bersabda, “Bagaimana menurutmu jika aku beritahukan kepadamu, bahwa ada sebuah pasukan berkuda di sebuah lembah yang hendak menyerangmu, apakah kamu akan membenarkanku?” Mereka menjawab, “Ya, kami belum pernah mendapatkanmu selain berkata benar.” Beliau pun bersabda, “Sesungguhnya aku seorang yang memberi peringatan kepadamu sebelum datang azab yang keras.” Lalu Abu Lahab berkata, “Celakalah kamu sepanjang hari! Apakah untuk hal ini engkau kumpulkan kami?” Maka turunlah surah, “Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan benar-benar binasa dia!-- Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang dia usahakan…dst.” (Hadits ini diriwayatkan pula oleh Muslim, Tirmidzi, Ahmad, Ibnu Jarir dalam At Taarikh juz 2 hal. 216 dan dalam At Tafsir juz 19 hal. 121 dan juz 30 hal. 337, dan Baihaqi dalam Dalaa’ilun Nubuwwah juz 1 hal. 431. Dalam ‘Umdatul Qaari juz 16 hal. 93 diterangkan, bahwa hadits ini mursal, karena Ibnu Abbas ketika itu masih kecil; bisa belum lahir atau sebagai anak-anak sebagaimana dipastikan oleh Al Ismaa’iliy, namun mursal tersebut adalah mursal shahabi, sedangkan mursal shahabiy tidaklah mengapa dan tidak mencacatkannya. Wallahu Ta’aala a’lam bish shawab.)

[2] Abu Lahab adalah paman Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri, namun sangat memusuhi Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam dan menyakitinya. Oleh karena itulah, Allah Subhaanahu wa Ta'aala mencelanya dengan celaan yang keras ini yang merupakan celaan dan kehinaan yang berkelanjutan untuknya sampai hari Kiamat.

[3] Yang dimaksud dengan kedua tangan Abu Lahab ialah Abu Lahab itu sendiri. Digunakan kata “kedua tangan” karena pada umumnya tindakan manusia dilakukan oleh kedua tangannya. Kalimat ini merupakan doa kerugian dan kecelakaan untuk Abu Lahab.

[4] Yaitu anaknya.

[5] Api neraka akan mengelilinginya dari segala penjuru, demikian pula mengelilingi istrinya.

[6] Pembawa kayu Bakar dalam bahasa Arab adalah kiasan bagi penyebar fitnah. Isteri Abu Lahab yang bernama Ummu Jamil sama seperti suaminya sangat keras permusuhannya kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, disebut sebagai pembawa kayu bakar karena dia selalu menyebarkan fitnah untuk memperburuk citra Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dan kaum Muslim. Ada pula yang menafsirkan, bahwa pembawa kayu bakar di sini maksudnya pembawa duri, yakni karena ia biasa menaruh duri di jalan yang dilalui Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Ada pula yang menafsirkan, bahwa ia (istri Abu Lahab) akan membawa kayu bakar untuk menimpakan kepada suaminya di neraka dengan berkalungkan tali dari sabut.

Dalam surah ini terdapat salah satu di antara tanda kekuasaan Allah Subhaanahu wa Ta'aala, karena Allah menurunkan surah ini ketika Abu Lahab dan istrinya belum binasa, dan Dia memberitahukan, bahwa keduanya akan disiksa di neraka, termasuk bagian daripadanya adalah bahwa berarti ia tidak akan masuk Islam, ternyata terjadi demikian sebagaimana yang diberitakan oleh Allah Subhaanahu wa Ta'aala Tuhan Yang Mengetahui yang gaib dan nyata.

========================================
al Ustadz Abu Muawiyyah Askari bin Jamal

1.Surat al MasadArchive1.9 MB
Abdullah Shaleh Hadrami Download Audio Tafsir al Qur'an Surat al Masad

Related Posts:

Tafsir An Nashr

 
Rp 35.000/Bungkus Yuk Order => https://nasi-kebuli-instan.business.site/ 

Surah An Nashr (Pertolongan)

Surah ke-110. 3 ayat. Madaniyyah

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

Ayat 1-3: Membicarakan tentang Fat-hu Makkah dimana ketika itu kaum muslimin menjadi mulia dan agama Islam tersebar ke jazirah Arab, dan tanda selesainya tugas Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ (١) وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا (٢) فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا (٣)

1. [1]Apabila telah datang pertolongan Allah[2] dan kemenangan[3],

2. dan engkau melihat manusia berbondong-bondong[4] masuk agama Allah (Islam),

3. maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat[5].

KANDUNGAN AYAT :

[1] Dalam surah ini terdapat kabar gembira, perintah kepada Rasul-Nya ketika memperoleh kabar gembira itu, isyarat dan pemberitahuan yang akan terjadi setelahnya.

Kabar gembira itu adalah pertolongan Allah kepada Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam, penaklukkan Mekah dan masuknya manusia secara berbondong-bondong kepada agama Allah, yakni banyak yang menjadi pemeluk agamnya dan pengikutnya setelah sebelumnya sebagai musuhnya, dan kabar gembira ini pun terjadi. Setelah hal itu terjadi, maka Allah Subhaanahu wa Ta'aala memerintahkan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam untuk bersyukur kepada Tuhannya terhadap hal itu, bertasbih dengan memuji-Nya dan meminta ampunan kepada-Nya. Sedangkan isyarat yang ada di sana ada dua isyarat:

Pertama, isyarat bahwa pertolongan Allah itu akan terus berlanjut kepada agama ini dan akan bertambah ketika dilakukan tasbih sambil memuji-Nya dan beristighfar dari Beliau, karena hal ini termasuk syukur, sedangkan Allah Subhaanahu wa Ta'aala telah berjanji, bahwa jika manusia bersyukur, maka Dia akan menambah nikmat-Nya, dan hal ini terbukti, seperti yang terlihat di zaman para khulafa’ raasyidin dan setelahnya bahwa pertolongan Allah Subhaanahu wa Ta'aala senantiasa berlanjut kepada umat ini, sehingga agama Islam telah sampai kepada puncaknya yang tidak dapat ditandingi oleh agama-agama selainnya, dan telah masuk ke dalamnya manusia dalam jumlah yang banyak sampai terjadilah pada umat ini penyimpangan kepada perintah Allah, maka Allah menguji mereka dengan terpecah belahnya kalimat mereka dan terjadilah apa yang terjadi. Meskipun demikian, untuk umat dan agama ini ada rahmat dan kelembutan Allah Subhaanahu wa Ta'aala yang tidak disangka-sangka.

Kedua, isyarat bahwa ajal Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah semakin dekat. Alasannya adalah bahwa umur Beliau adalah umur yang utama, dan sudah maklum bahwa hal-hal yang utama ditutup dengan istighfar seperti shalat, haji, dsb. Maka Allah Subhaanahu wa Ta'aala memerintahkan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam memuji dan beristighfar dalam keadaan seperti ini sehingga terdapat isyarat bahwa ajalnya hampir tiba, oleh karena itu hendaknya Beliau bersiap-siap untuk bertemu Tuhannya dan mengakhiri umurnya dengan yang paling utama yang dapat Beliau lakukan. Oleh karena itulah, Beliau menakwilkan surah itu dan banyak mengucapkan dalam ruku’ dan sujudnya, “Subhaanakallahumma wabihamdika Allahummaghfirliy.” (artinya: Mahasuci Engkau yang Allah dan dengan memuji-Mu. Ya Allah, ampunilah aku).

[2] Kepada Nabi-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap musuh-musuhnya.

[3] Yakni fat-hu (penaklukkan) Mekah.

[4] Setelah sebelumnya seorang demi seorang yang masuk Islam. Namun setelah penaklukkan Mekah, maka bangsa Arab dari berbagai penjuru banyak yang datang menemui Beliau menyatakan diri masuk Islam.

[5] Dengan turunnya surah ini diketahui, bahwa ajal Beliau telah semakin dekat; penaklukkan Mekkah terjadi pada bulan Ramadhan tahun ke-8 Hijriah, sedangkan wafatnya Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam pada bulan Rabi’ul Awwal pada tahun ke-11 Hijriah.

=======================

إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ، وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا، فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا

1. Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan.
2. Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong.
3. Maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan mohonlah ampun kepada-Nya.
Sesungguhnya Dia adalah Maha Menerima taubat. [an-Nasr/110 : 1-3]

Surat an-Nashr, dikenal juga dengan sebutan surat at-Taudi’ (perpisahan) [1]. Surat yang berjumlah tiga ayat ini disepakati oleh para ulama sebagai madaniyyah. Maksudnya, turun setelah peristiwa hijrah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Madinah, dan termasuk surat yang terakhir diturunkan. [2]

Dalilnya yaitu:

عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ قَالَ قَالَ لِي ابْنُ عَبَّاسٍ تَعْلَمُ ( وفي لفظ: تَدْرِي ) آخِرَ سُورَةٍ نَزَلَتْ مِنْ الْقُرْآنِ نَزَلَتْ جَمِيعًا قُلْتُ : نَعَمْ . إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ قَالَ صَدَقْتَ

Dari ‘Ubaidillah bin ‘Abdillah bin ‘Utbah, ia berkata : Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma bertanya kepadaku: “Engkau tahu surat terakhir dari al Qur`an yang turun secara keseluruhan?” Ia menjawab: “Ya, idza ja`a nashrullahi wal fath”. Beliau menjawab: “Engkau benar”.[3]

Secara pasti, terdapat silang pendapat di kalangan ulama tafsir. Ibnu Rajab rahimahullah menyimpulkan bahwa surat ini turun sebelum Fathu Makkah. Karena firman Allah :

إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ

Menunjukkan dengan sangat jelas kalau penaklukan kota Mekkah belum terjadi [4].

PENJELASAN AYAT

إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ

1. (Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan).

Kata nashr, artinya al ‘aun (pertolongan).[5]
Yang dimaksud dengan nashrullah dalam ayat ini, menurut Ibnu Rajab rahimahullah ialah pertolongan-Nya bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat berhadapan dengan musuh-musuhnya, sehingga berhasil beliau menundukkan bangsa ‘Arab semuanya dan berkuasa atas mereka, termasuk atas suku Quraisy, Hawazin dan suku-suku lainnya. [6]

Secara eksplisit, surat ini memuat bisyarah (kabar gembira) bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum Muslimin. Syaikh ‘Abdur-Rahman as-Sa’di rahimahullah berkata,”Dalam surat ini terdapat bisyarah dan perintah kepada Rasul-Nya n pada saat kemunculannya. Kabar gembira ini berupa pertolongan Allah bagi Rasul-Nya dan peristiwa penaklukan kota Mekkah dan masuknya orang-orang ke agama Allah lSubhanahu wa Ta’ala dengan berbondong-bondong.”[7]

Dalam menjelaskan pengertian ayat di atas, Syaikh Abu Bakr al Jazairi mengungkapkan: “Jika telah datang pertolongan Allah bagimu wahai Muhammad, hingga engkau berhasil mengalahkan para musuhmu di setiap peperangan yang engkau jalani, dan datang anugerah penaklukkan, yaitu penaklukan kota Mekkah, Allah membukanya bagi dirimu, sehingga menjadi wilayah Islam, yang sebelumnya merupakan daerah kekufuran”. [8]

Adapun pengertian al fathu pada surat ini adalah fathu Makkah. Yakni penaklukan kota suci Mekkah. Ibnu Katsir rahimahullah berkata,”Yang dimaksud dengan al fathu yaitu fathu Makkah. (Ini merupakan) sebuah pendapat yang sudah bulat.” [9]

Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath Thabari rahimahullah, Imam Ibnul Jauzi rahimahullah dan Imam al Qurthubi rahimahullah juga menegaskan pendapat senada. [10]

وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا

2. (Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong).

Disebutkan dalam Shahihul-Bukhari, dari ‘Amr bin Salimah, ia berkata:

وَكَانَتْ الْعَرَبُ تَلَوَّمُ بِإِسْلَامِهِمْ الْفَتْحَ فَيَقُولُونَ اتْرُكُوهُ وَقَوْمَهُ فَإِنَّهُ إِنْ ظَهَرَ عَلَيْهِمْ فَهُوَ نَبِيٌّ صَادِقٌ فَلَمَّا كَانَتْ وَقْعَةُ أَهْلِ الْفَتْحِ بَادَرَ كُلُّ قَوْمٍ بِإِسْلَامِهِمْ وَبَدَرَ أَبِي قَوْمِي بِإِسْلَامِهِمْ

(Dahulu) bangsa Arab menunggu-nunggu al Fathu (penaklukan kota Mekah) untuk memeluk Islam. Mereka berkata: “Biarkanlah dia (Rasulullah) dan kaumnya. Jika beliau menang atas mereka, berarti ia memang seorang nabi yang jujur”. Ketika telah terjadi penaklukan kota Mekkah, setiap kaum bersegera memeluk Islam, dan ayahku menyegerakan keIslaman kaumnya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[11]

Menurut Imam al Qurthubi, peristiwa tersebut terjadi ketika kota Mekkah berhasil dikuasi.

Bangsa Arab berkata: “Bila Muhammad berhasil mengalahkan para penduduk kota suci (Mekkah), padahal dulu mereka dilindungi oleh Allah dari pasukan Gajah, maka tidak ada kekuatan bagi kalian (untuk menahannya). Maka mereka pun memeluk Islam secara berbondong-bondong”. [12]

Tidak berbeda dengan keterangan itu, Ibnu Katsir rahimahullah juga memberi penjelasan: “Saat terjadi peristiwa penaklukan Mekkah, orang-orang memeluk agama Allah secara berbondong-bondong. Belum lewat dua tahun, Jazirah Arab sudah tersirami oleh keimanan dan tidak ada simbol di seluruh suku Arab, kecuali simbol Islam. Walillahil-Hamdu wal minnah”.[13]

Ayat ini juga menandakan, bahwa kemenangan akan terus berlangsung bagi agama ini dan akan semakin bertambah saat dilantunkannya tasbih, tahmid dan istighfar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini merupakan bentuk syukur. Faktanya yang kemudian dapat kita jumpai pada masa khulafaur-rasyidin dan generasi setelah mereka.

Pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala itu akan berlangsung terus-menerus sampai Islam masuk ke daerah yang belum pernah dirambah oleh agama lainnya. Dan ada kaum yang masuk Islam, tanpa pernah ada yang masuk ke agama lainnya. Sampai akhirnya dijumpai adanya pelanggaran pada umat ini terhadap perintah Allah, sehingga mereka dilanda bencana, yaitu berupa perpecahan dan terkoyaknya keutuhan mereka.[14]

فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا

3. (Maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Menerima taubat).

Imam al Qurthubi rahimahullah menurutkan penafsirannya: “Jika engkau shalat, maka perbanyaklah dengan cara memuji-Nya atas limpahan kemenangan dan penaklukan kota Mekkah. Mintalah ampunan kepada Allah”. Inilah keterangan yang beliau rajihkan.[15
.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ مَا صَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةً بَعْدَ أَنْ نَزَلَتْ عَلَيْهِ إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ إِلَّا يَقُولُ فِيهَا سُبْحَانَكَ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha, ia berkata: “Tidaklah Rasulullah n mengerjakan shalat setelah turunnya surat ini, kecuali membaca Subhanaka Rabbana wa bihamdika Allahummaghfirli (Maha Suci Rabb kami dan pujian kepada-Mu, ya Allah ampunilah aku)”. [16]

Sejumlah sahabat mengartikan ayat ini dengan berkata: “(Maksudnya) Allah memerintahkan kami untuk memuji dan memohon ampunan kepada-Nya, manakala pertolongan Allah telah tiba dan sudah menaklukkan (daerah-daerah) bagi kita”. Pernyataan ini muncul, saat ‘Umar bin al Khaththab Radhiyallahu ‘anhu mengarahkan pertanyaan kepada mereka mengenai kandungan surat an-Nashr.[17]

Ibnu Katsir rahimahullah mengomentari penjelasan ini dengan berkata: “Makna yang ditafsirkan oleh sebagian sahabat yang duduk bersama Umar Radhiyallahu ‘anhum ialah, bahwa kita diperintahkan untuk memuji Allah dan bersyukur kepada-Nya ketika Dia telah menaklukkan wilayah Madain dan benteng-bentengnya, yaitu dengan melaksanan shalat karena-Nya dan memohon ampunan kepada-Nya merupakan pengertian yang memikat lagi tepat. Terdapat bukti penguat, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat delapan raka’at pada hari penaklukan kota Mekkah. Dalam Sunan Abu Daud termaktub bahwa beliau mengucapkan salam pada setiap dua raka’at di hari penaklukan kota Mekkah. Demikianlah yang dilakukan Sa’ad bin Abil Waqqash Radhiyallahu ‘anhu pada hari penaklukan kota Mada-in”.[18]

إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا

4. (Sesungguhnya Dia adalah Maha Menerima taubat).

Maksudnya, Allah Maha menerima taubat orang-orang yang bertasbih dan memohon ampunan. Dia mengampuni, merahmati mereka dan menerima taubat mereka. Apabila Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam saja yang sudah ma’shum (terpelihara dari dosa-dosa) diperintahkan untuk beristighfar, maka bagaimanakah dengan orang lain?[19]

ISYARAT LAIN DARI MAKNA KEMENANGAN
Selain makna yang sudah dikemukakan di atas, juga terdapat pengertian lain yang terkandung dalam surat yang mulia ini.

Menurut Syaikh ‘Abdur-Rahman as-Sa’di rahimahullah, ayat ini menjadi isyarat mengenai (datangnya) ajal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sudah dekat dan hampir tiba. Bahwa umur beliau adalah umur yang mulia, Allah bersumpah dengannya. Sudah menjadi kebiasaan pada perkara-perkara yang mulia ditutup dengan istighfar, misalnya shalat, haji dan ibadah lainnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan Rasul-Nya untuk mengucapkan pujian dan istighfar dalam keadaan seperti ini, sebagai isyarat tentang ajal beliau yang akan berakhir. (Maksudnya), hendaknya beliau bersiap-siap untuk menjumpai Rabbnya dan menutup usianya dengan amalan terbaik yang ada pada beliau alaihis shalatu wassalam.

Ibnul Jauzi rahimahullah sendiri memberikan pandangannya mengenai ayat ini. Beliau rahimahullah berkata,”Para ulama tafsir mengatakan, telah disampaikan dan diberitahukan kabar wafat beliau, dan sungguh waktu ajal beliau sudah dekat. Maka diperintahkan untuk bertasbih dan istighfar guna menutup usia dengan tambahan amalan shalih.” [20]

Begitu pula yang disampaikan oleh Syaikh Abu Bakr al Jazairi: “Ayat ini membawa tanda dekatnya ajal bagi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [21]

Imam al Bukhari rahimahullah dan lainnya meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, ia bercerita:

Dahulu ‘Umar memasukkan diriku bersama orang-orang tua yang ikut serta dalam perang Badar. Sepertinya sebagian mereka kurang menyukai kehadiranku. Ada yang berkata: “Kenapa (anak) ini masuk bersama kita. Padahal kita juga punya anak-anak seperti dia?”

‘Umar menjawab,”Sungguh, kalian mengetahui (siapa dia),” maka suatu hari ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu memanggilku dan memasukkanku bersama mereka. Tidaklah aku berpikir alasan beliau mengundangku, selain ingin memperlihatkan kapasitasku kepada mereka.

Beliau berkata (kepada orang-orang): “Apakah pendapat kalian tentang firman Allah:”idza ja`a nashrullahi wal fath”.

Mereka menjawab,”Allah memerintahkan kami untuk memuji dan memohon ampunan kepada-Nya manakala pertolongan Allah telah tiba dan sudah menaklukkan (daerah-daerah) bagi kita.” Sebagian orang terdiam (tidak menjawab). Kemudian ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu beralih kepadaku: “Apakah demikian pendapatmu, wahai Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma?”
Aku (Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma ) menjawab,”Tidak!”
‘Umar bertanya,”Apa pendapatmu?”
Aku (Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma) menjawab,”Itu adalah (kabar tentang) ajal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukannya kepada beliau. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman “”idza ja`a nashrullahi wal fath”. Dalam keadaan seperti itu terdapat tanda ajalmu, maka bertasbihlah dan mintalah ampunan kepada-Nya, sesungguhnya Dia Maha Menerima taubat.”

‘Umar Radhiyallahu ‘anhu berkomentar: “Tidaklah yang kuketahui darinya (surat itu), kecuali apa yang engkau sampaikan”.[22]

Imam Muslim meriwayatkan dari ‘Aisyah, ia berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكْثِرُ أَنْ يَقُولَ قَبْلَ أَنْ يَمُوتَ سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِكَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ قَالَتْ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا هَذِهِ الْكَلِمَاتُ الَّتِي أَرَاكَ أَحْدَثْتَهَا تَقُولُهَا قَالَ جُعِلَتْ لِي عَلَامَةٌ فِي أُمَّتِي إِذَا رَأَيْتُهَا قُلْتُهَا إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ إِلَى آخِرِ السُّورَةِ

Sebelum wafat, Rasulullah memperbanyak ucapan Subhanaka wa bihamdika astaghfiruka wa atubu ilaik. Aisyah bertanya,”Wahai Rasulullah untuk apakah kata-kata yang aku melihat engkau tidak biasa engkau ucapkan?” Beliau menjawab,”Telah ditetapkan bagiku sebuah tanda pada umatku. Bila aku telah menyaksikannya, aku akan mengucapkannya (kata-kata tadi) : idza ja`a nashrullahi wal fath …dst.” [23]

Dalam riwayat lain:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكْثِرُ مِنْ قَوْلِ سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ قَالَتْ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَاكَ تُكْثِرُ مِنْ قَوْلِ سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ فَقَالَ خَبَّرَنِي رَبِّي أَنِّي سَأَرَى عَلَامَةً فِي أُمَّتِي فَإِذَا رَأَيْتُهَا أَكْثَرْتُ مِنْ قَوْلِ سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ فَقَدْ رَأَيْتُهَا إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ فَتْحُ مَكَّةَ …

Rasulullah memperbanyak ucapan Subhanaka wa bihamdika astaghfiruka wa atubu ilaik. Maka aku bertanya: “Aku melihatmu memperbanyak ucapan Subhanaka wa bihamdika astaghfiruka wa atubu ilaik,” Beliau menjawab,”Rabbku telah memberitahukan kepadaku, bahwasanya aku akan menyaksikan tanda pada umatku. Jika aku melihatnya, aku akan memperbanyak ucapan Subhanaka wa bihamdika astaghfiruka wa atubu ilaik. Sungguh aku telah menyaksikannya idza ja`a nashrullahi wal fath.” Al fathu, maksudnya penaklukan kota Mekkah…dst. [24]

Imam an-Nasa-i meriwayatkan dalam kitab Tafsirnya, bahwa Ibnu ‘Abbas mengatakan tentang surat an-Nashr ini: “Ketika diturunkan, ia (surat an-Nashr) mengabarkan wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau lebih meningkatkan ketekunan dalam urusan akhirat”.[25]

APA YANG DIAMPUNI DARI DIRI RASULULLAH n YANG MULIA?
Mengapa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih tetap memanjatkan permohonan ampunan, padahal dosa-dosa beliau sudah terampuni, baik yang sudah berlalu maupun yang akan datang?

Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu kiranya mengangkat pandangan Ibnu Katsir yang menggambarkan kesempurnaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ibnu Katsir berkata: “Pada seluruh urusannya, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada dalam ketaatan, kebaikan, istiqamah yang tidak terdapat pada manusia lainnya, baik dari kalangan orang-orang terdahulu, maupun generasi kemudian. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia paling sempurna secara mutlak, dan pemimpin manusia di dunia dan akhirat”. [26]

Al Qadhi Ibnul ‘Arabi mengungkapkan alasannya, para ulama hadits meriwayatkan, bila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa, beliau memanjatkan doa yang berbunyi:

رَبِّ اغْفِرْ لِي خَطِيئَتِي وَجَهْلِي وَإِسْرَافِي فِي أَمْرِي كُلِّهِ وَمَا أَنْتَ أَعْلَمُ بِهِ مِنِّي اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي خَطَايَايَ وَعَمْدِي وَجَهْلِي وَهَزْلِي وَكُلُّ ذَلِكَ عِنْدِي اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي مَا قَدَّمْتُ وَمَا أَخَّرْتُ وَمَا أَسْرَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ أَنْتَ الْمُقَدِّمُ وَأَنْتَ الْمُؤَخِّرُ وَأَنْتَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Ya Allah, ampunilah kesalahanku, tindak kebodohanku, sikap berlebihanku dalam seluruh urusanku, dan yang Engkau lebih mengetahuinya. Ya Allah, ampunilah kesalahan-kesalahanku, kesengajaanku dan kebodohanku, gurauanku, semua itu ada pada diriku. Ya Allah, ampunilah apa yang sudah aku kerjakan dan apa yang belum aku kerjakan, apa yang aku sembunyikan dan apa yang aku tampakkan. Engkaulah Dzat Yang mendahulukan (dan menempatkannya pada tempatnya), dan Engkau Dzat yang mengundurkan (dan menempatkannya pada tempatnya) dan Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.[27]

Selanjutnya, Ibnul ‘Arabi rahimahullah berkata: “Semua itu ada pada diriku begitu banyak. Adapun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, (beliau) terbebas darinya. Hanya saja, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganggap (amalan) pribadinya sedikit, lantaran begitu besarnya curahan nikmat yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada beliau. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memandang “kekurangan” dalam menjalankan hak kenikmatan tersebut (dengan beribadah) sebagai dosa-dosa. Sementara dosa-dosaku, aku lakukan dengan penuh kesengajaan, tak acuh, dan merupakan pelanggaran yang nyata. Semoga Allah l masih sudi membuka pintu taubat dan menganugerahkan perlindungan dengan karunia, kemurahan dan rahmat-Nya, tiada Rabb selain-Nya”. [28]

Al Imam al Qurthubi, selain mengemukakan alasan senada di atas, beliau juga membawakan beberapa keterangan lain. Bahwa maksud permohonan ampunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah: (1) Memintakan ampunan bagi umatmu. (2) Istighfar merupakan ibadah yang harus dikerjakan, bukan untuk memohon ampunan, akan tetapi untuk ta’abbud (ibadah). (3) Untuk mengingatkan umat beliau, agar jangan merasa aman (dari dosa) sehingga meninggalkan istighfar. [29]

Al Qadhi ‘Iyadh berpendapat, permohonan ampunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut merupakan cermin ketawadhuan, ketaataan dan ketundukan, serta ungkapan syukur beliau kepada Rabbnya, lantaran mengetahui dosa-dosanya sudah diampuni.

Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengutip keterangan Imam ath-Thabari rahimahullah tentang masalah ini, yang menyampaikan alasan, bahwasanya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam beristighfar ialah untuk melaksanakan perintah Allah yang ditujukan kepada beliau, yaitu agar bertasbih dan memohon ampunan, bila datang pertolongan dari Allah dan penaklukan (kota Mekah). Selain itu, al Hafizh juga menukil penjelasan al Qurthubi (penulis al Mufhim), bahwasannya terjadinya dosa dari para nabi adalah mungkin, karena mereka juga orang-orang mukallaf, hingga khawatir kalau itu terjadi pada diri mereka, dan akibatnya tersiksa karenanya. Pendapat lainnya, yaitu agar umatnya meneladani beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[31]

SEBAB-SEBAB DITURUNKAN AMPUNAN ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA
Mengenai faktor-faktor yang dapat mendatangkan turunnya maghfirah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, Syaikh ‘Abdur Rahman as Sa’di rahimahullah menghitungnya berjumlah empat.

Pertama : Taubat. Yaitu kembali kepada Allah dari keadaan yang tidak disukai-Nya, baik zhahir maupun batin, menuju keadaan yang dicintai oleh-Nya zhahir dan batin. Taubat ini akan menghapus dosa-dosa, besar kecil sebelumnya.

Kedua : Keimanan. Yaitu pengakuan dan pembenaran yang mantap lagi menyeluruh terhadap semua yang diberitakan Allah dan Rasul-Nya yang mengharuskan pelaksanaan amalan-amalan hati, yang diikuti dengan amalan-amalan jawarih (anggota tubuh). Tidak disangsikan, kadar keimanan dapat menghapus dosa-dosa yang sudah terjadi dan dapat menghalanginya dari terjerumus ke dalam dosa. Sesungguhnya seorang mukmin, dengan keimanan dan pancaran keimanan yang tertancap kuat di dadanya, ia tidak sudi menyatu dengan kemaksiatan-kemaksiatan.

Ketiga : Amalan Shalih. Ini mencakup seluruh amalan, amalan hati, amalan jawarih, ucapan-ucapan lisan. Sebab kebaikan akan menghapuskan kesalahan-kesalahan.

Keempat : Istiqamah di atas keimanan dan hidayah serta berusaha mendulang tambahannya.

Siapa saja yang berhasil menempuh empat langkah ini, bergembiralah dengan mendapatkan ampunan dari Allah yang menyeluruh.[32] Pijakan yang dipakai sebagai landasan Syaikh ‘Abdur-Rahman as-Sa’di rahimahullah atas keterangan tersebut, yakni firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَىٰ

“Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal shalih, kemudian tetap di jalan yang benar” [Thaha/20:82]

PELAJARAN DARI SURAT AN-NASHR
– Banyaknya anugerah Allah yang dikaruniakan kepada umat Islam.
– Kewajiban bersyukur manakala kenikmatan tercurahkan. Di antaranya dengan sujud syukur.
– Kewajiban untuk selalu beristighfar setiap saat.

Maraji`:
1. Aisar at-Tafasir li Kalamil-‘Aliyyil-Kabir, Abu Bakar Jabir al Jazairi, Cetakan VI, Tahun 1423 H/ 2003 M, Maktabah al Ulum wal- Hikam, al Madinah al Munawwarah, KSA.
2. Al Jami’ li Ahkamil-Qur`an, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad al Qurthubi, Tahqiq Abdur-Razzaq al Mahdi, Cetakan II, Tahun 1421 H/1999 M, Dar al Kitab al ‘Arabi.
3. Fathul-Bari Syarhu Shahihil-Bukhari, al Hafizh Ibnu Hajar.
4. Ikmalul-Mu’lim bi Fawaidi Muslim, al Qadhi ‘Iyadh, Tahqiq Dr. Yahya Isma’il, Darul Wafa, Cetakan I, Tahun 1419 H / 1998 M.
5. Tafsir ath-Thabari (Jami’ul Bayan ‘an Ta’wil Ayil-Qur`an), Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath- Thabari (224-310 H), Cetakan I, Tahun 1423 H/2002 M, Dar Ibni Hazm.
6. Tafsiru Suratin-Nashar, al Hafizh Ibnu Rajab al Hambali, Tahqiq ‘Abdullah al ‘Ajmi.
7. Tafsir al Qur’an al ‘Azhim, Abu al Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir (700-774 H), Tahqiq Sami bin Muhammad as Salamah, Cetakan I, Tahun 1422 H/2002 M, Dar ath-Thayibah, Riyadh.
8. Taisir al Karimir-Rahman fi Tafsiri Kalamil-Mannan, Abdur-Rahman bin Nashir as-Sa’di, Tahqiq Abdur-Rahman bin Mu’alla al Luwaihiq, Cetakan I, Tahun 1422 H/2001 M, Dar as-Salam, Riyadh, KSA.
9. Taisirul-Lathifir Rahman fi Khulashati Tafsiril-Qur`an, ‘Abdur-Rahman bin Nashir as-Sa’di, Cetakan III, Tahun 1414H /1993M.
10. Zadul-Masir fi ‘Ilmit-Tafsir, Abul Faraj Abdur-Rahman bin ‘Ali (Ibnul Jauzi), Tahqiq ‘Abdur-Razzaq al Mahdi, Cetakan I, Tahun 1422 H/2001M, Darul Kitabil ‘Arabi.

Oleh Ustadz Muhammad Ashim bin Musthofa
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XI/1428H/2007. ]
_______
Footnote
[1]. Jami’ul-Bayan (20/211)
[2]. Tafsir Suratin-Nashr, hlm. 37, Tafsirul Qur`anil ‘Azhim (8/513), Zadul Masir (4/501).
[3]. HR Muslim, Kitabut-Tafsir no. 3024.
[4]. Tafsir Suratin-Nashr, hlm. 41.
[5]. Al Jami li Ahkamil-Qur`an (20/211).
[6]. Tafsir Suratin-Nashr, hlm. 42.
[7]. Taisirul-Karimir-Rahman, hlm. 1023.
[8]. Aisarut-Tafasir (2/1500).
[9]. Tafsirul-Qur`anil-‘Azhim (8/513)
[10]. Jami’ul Bayan ‘an Ta`wili Ayil-Qur`an (15/426), Zadul-Masir (4/ 501), al Jami’ li Ahkamil-Qur`an (20/211), Aisarut-Tafasir (2/1500).
[11]. HR al Bukhari di dalam al Maghazi, 4302, dan lainnya.
[12]. Al Jami’ li Ahkamil-Qur`an (20/212)
[13]. Tafsirul-Qur`anil-‘Azhim (8/513)
[14]. Taisirul-Karimir-Rahman, hlm. 1023.
[15]. Al Jami’ li Ahkamil-Qur`an (20/211).
[16]. HR al Bukhari, Kitabut-Tafsir (4967) dan Muslim.
[17]. Al Jami’ li Ahkamil-Qur`an (20/215)
[18]. Tafsir Quranil Azhim 8/511-512 dengan dirigkas
[19]. Al-Jami Li Ahkamil Qur’an (20/215)
[20]. Zadul-Masir (4/501).
[21]. Aisarut-Tafasir, hlm. (2/1500).
[22]. HR al Bukhari no. 4430, 4970.
[23]. HR Shahih Muslim, Kitabush-Shalah Bab Ma Yu Qaalu Fir Ruku was Sujud no.484
[24]. ibid
[25]. Tafsir an-Nasa-i (2/566-567 no. 732). Syaikh Ahmad Syakir menilai sanadnya shahih. Dikutip dari Tafsir ash-Shahih, karya Dr. Hikmat bin Basyir, Cetakan I, Tahun 1420 H – 1999 M, Darul Ma-atsir Madinah, 4/677.
[26]. Tafsirul-Qur`anil-‘Azhim (7/328) pada tafsir surat al Fath ayat 1-2.
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata. supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang”
[27]. HR al Bukhari dalam Kitabud Da’awat (al-Fath 14/438) Makna al Muqaddim dan al Muakhkhir berasal dari pengertian yang ditulis Ibnul Atsir di dalam an-Nihayah. Makna ini juga disepakati oleh Syaikh al Albani. Dikutip dari Syarhu Shahihil-Adabil-Mufrad, karya Hushain bin ‘Audah al ‘Awayisyah, Cetakan I, Tahun 1423 H/2003 M, Maktabah Islamiyah, 2/333.
[28]. Zadul Masir (4/350).
[29]. Al Jami’ li Ahkamil-Qur`an (20/215).
[30]. Ikmalul-Mu’lim (8/214).
[31]. Fathul-Bari ( / ).
[32]. Taisirul Lathifir-Rahman fi Khulashati Tafsiril-Qur`an, hlm. 186-187 secara ringkas.
===============
al Ustadz Abu Muawiyyah Askari bin Jamal

1.Surat an NashrArchive1.3 MB

Abu Abdillah Muhammad Asnur Download Audio Tafsir al Qur'an Surat An-Nasr
Abdullah Shaleh Hadrami Download Audio Tafsir al Qur'an Surat An-Nasr

Related Posts: