Tafsir An Nisa Ayat 83

Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin

وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِّنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ ۖ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَىٰ أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنبِطُونَهُ مِنْهُمْ ۗ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيلًا

“Apabila datang kepada mereka suatu berita tentang kemenangan atau ketakutan, mereka menyiarkannya. Kalau saja mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya akan dapat mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil amri). Kalau bukan karena karunia dan rahmat Allah kepada kalian, tentu kalian mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antara kalian).” (an-Nisa: 83)

Sebab Turunnya Ayat

Ibnul Jauzi rahimahumallah dalam Zadul Masir menyebutkan bahwa ada dua pendapat tentang sebab turunnya ayat ini.

1. Berdasarkan riwayat yang hanya dikeluarkan oleh al-Imam Muslim rahimahumallah dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, dari Umar radhiyallahu ‘anhu. Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengasingkan diri dari istri-istri beliau, Umar masuk ke dalam masjid dan mendengar manusia mengatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam telah menceraikan istriistrinya. Lalu beliau menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam seraya bertanya, “Apakah Anda telah menceraikan istri-istri Anda?” Nabi menjawab, “Tidak.” Umar pun keluar sambil menyeru, “Ketahuilah, Rasulullah tidak menceraikan istri-istrinya.” Lalu turunlah ayat ini.

2. Berdasarkan riwayat yang dikeluarkan oleh Abu Shalih dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus sariyyah (pasukan khusus yang jumlahnya 4 sampai 400 orang). Kemudian terdengar berita bahwa mereka menang atau kalah. Akhirnya orang-orang  membicarakan dan menyebarluaskan berita tersebut. Mereka tidak bersabar hingga Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyampaikan berita itu, kemudian turunlah ayat ini.

Mufradat Ayat

وَإِذَا جَاءَهُمْ

“Dan apabila telah datang kepada mereka.”

Mereka yang dimaksud oleh ayat ini adalah orang-orang munafik, menurut penafsiran Ibnu Abbas c dan jumhur ulama.

الْأَمْنِ

“Kemenangan.”

Terdapat beberapa penafsiran di kalangan ulama ahli tafsir tentang maknanya . Mayoritas mereka memaknainya dengan kemenangan dan harta rampasan perang yang diperoleh pasukan (sariyyah).

 الْخَوْفِ

“Ketakutan.”

Mayoritas ulama ahli tafsir memaknainya sebagai musibah atau bencana (kekalahan) yang menimpa pasukan muslimin.

أَذَاعُوا بِهِ

“Mereka lalu menyiarkannya,”

yaitu menyebarluaskan. Asy-Syaukani rahimahumallah berkata dalam kitab tafsirnya,

أَذَاعَ الشَّيْءَ وَأَذَاعَ بِهِ: إِذَا أَفْشَاهُ وَأَظْهَرَهُ

Adza’a artinya menyiarkan, menyebarkan, dan mengumumkan. Menurut Ibnu Jarir rahimahumallah, dhamir ha’ pada kalimat ini kembali ke amrun (berita).

وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ

“ Dan kalau mereka mau menyerahkannya kepada Rasul….”

Maksudnya, menunggu hingga Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri yang menyampaikan (berita).

 وَإِلَىٰ أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ

“Dan ulil amri di antara mereka.”

Menurut Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, mereka seperti Abu Bakr, Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali . Al-Hasan al-Bashri, Qatadah, dan Ibnu Juraij rahimahumullah berpendapat bahwa mereka adalah para ulama.

Adapun menurut Ibnu Zaid dan Muqatil, mereka adalah para pemimpin pasukan. Asy-Syaukani rahimahumallah mengatakan bahwa mereka adalah para ulama dan orang-orang yang memiliki akal yang kokoh—yang kepada merekalah urusan kaum muslimin dikembalikan (ditanyakan)—atau para penguasa.

يَسْتَنبِطُونَهُ مِنْهُمْ

“Mereka akan dapat mengetahuinya.”

Kata istinbath berasal dari kata istikhraj (mengeluarkan). Az-Zajjaj mengatakan, istinbath berasal dari kata النَّبْطُ , yaitu air yang pertama kali keluar dari sumbernya ketika sumur digali.

 فَضْلُ اللَّهِ

“Karunia Allah.”

Ada yang memaknainya sebagai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, Islam, al-Qur’an, atau ulil amri.

 وَرَحْمَتُهُ

“Dan rahmat-Nya.”

Sebagian ulama memaknainya sebagai wahyu, kelembutan, kenikmatan, atau taufik.

Makna Ayat

Asy-Syaukani rahimahumallah menyatakan, kaum muslimin yang memiliki sikap lemah, ketika mendengar salah satu urusan kaum muslimin—seperti berita kemenangan mereka, terbunuhnya musuh, atau ketakutan seperti kekalahan dan terbunuhnya mereka—mereka menyiarkannya. Mereka mengira bahwa hal itu tidak bermasalah. (Alangkah baiknya) kalau mereka tidak melakukannya (yakni tidak menyiarkannya dengan segera) dan sabar menunggu hingga Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri atau ulil amri di antara mereka yang menyampaikannya. Sebab, merekalah yang lebih mengetahui, berita mana yang seharusnya disiarkan dan berita mana yang harus disembunyikan.

Sebagian ulama tafsir memaknainya, “Kalau bukan karena karunia Allah l kepada kalian, yaitu diutusnya Rasul dan diturunkannya kitab (al-Qur’an), tentulah kalian mengikuti setan dan tetap berada di atas kekufuran, kecuali sebagian kecil saja.”

Ada pula yang memaknainya, “Mereka lalu menyiarkannya kecuali sebagian kecil saja.” Ada pula yang memaknainya, “Tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya akan dapat mengetahuinya, kecuali sebagian kecil saja.”

Tafsir Ayat

Ibnu Katsir rahimahumallah mengatakan, (ayat ini mengandung) pengingkaran terhadap orang yang begitu mendapat berita (perkara) lalu tergesa-gesa memberitakan, menyiarkan, dan menyebarkan, sebelum memastikan keberadaannya. Sebab, bisa jadi berita tersebut tidak benar.

Al-Imam Muslim rahimahumallah—dalam mukadimah kitab Shahih-nya— menyebutkan sebuah riwayat dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,

كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ

“Seorang dianggap telah berdusta apabila memberitakan seluruh perkara yang ia dengar.”

Riwayat ini juga dikeluarkan oleh Abu Dawud rahimahumallah dalam “Kitabul Adab”, dari jalan Muhammad bin Husain bin Asykab, dari Ali bin Hafsh, dari Syu’bah secara musnad (sanadnya sampai kepada Nabi n). Selain itu, dikeluarkan pula oleh al-Imam Muslim rahimahumallah dan Abu Dawud rahimahumallah dari jalan yang lain secara mursal (sanadnya tidak sampai kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam).

Dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, disebutkan riwayat dari al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang qila wa qala (katanya dan katanya), yaitu suka menyiarkan apa yang dikatakan orang lain tanpa memastikan, mencermati, dan mencari kejelasan terlebih dahulu tentang ucapan orang lain tersebut.

Asy – Syaikh as – Sa ’di rahimahumallah mengatakan, ini adalah pengajaran dari Allah Subhanahu wata’ala kepada para hamba-Nya terhadap tindakan mereka yang tidak patut dilakukan. Seharusnya, ketika suatu perkara (berita)—yang penting; atau menyangkut kemaslahatan bersama terkait dengan kemenangan dan kegembiraan orang-orang mukmin; atau ketakutan, seperti musibah yang menimpa—sampai kepada mereka, hendaknya mereka pastikan terlebih dahulu dan tidak tergesagesa menyiarkannya. (Yang sepantasnya mereka lakukan ialah) mengembalikannya kepada Rasul n atau ulil amri di antara mereka, yaitu para pemikir, ahli ilmu, penasihat, orang yang memahami permasalahan, bagus pendapatnya, yang mengetahui urusan(dengan baik), mana yang membawa maslahat dan mana yang tidak. Jika mereka pandang menyiarkan berita mengandung kemaslahatan bagi kaum muslimin, menambah semangat dan menyenangkan mereka, serta terjaga dari musuh, mereka akan menyebarkannya.

Jika mereka pandang tidak ada maslahat, atau ada maslahat namun kemadaratan yang terjadi lebih besar, mereka tidak menyiarkannya. Ayat di atas menjadi pedoman yang mendidik, yaitu apabila terjadi penelitian tentang suatu masalah, hendaknya diserahkan kepada ahlinya dan kita tidak mendahului mereka. Hal ini lebih mendekatkan kita kepada kebenaran dan lebih patut bagi kita agar selamat dari kesalahan.

Ayat di atas juga mengandung larangan seseorang terburu-buru menyiarkan sebuah berita saat pertama kali mendengarnya. Dia diperintahkan untuk memikirkan dan memandang terlebih dahulu sebelum menyampaikannya, apakah hal itu membawa maslahat sehingga disampaikan atau tidak ada manfaat sehingga tidak boleh disebarkan.

Related Posts:

Surat Yusuf: 54-55

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin)

Dan raja berkata: “Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang dekat denganku.” Maka tatkala raja telah bercakap-cakap dengannya, dia berkata: “Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi kami.” Berkatalah Yusuf: “Jadikanlah aku bendahara negara (Mesir). Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.” (Yusuf: 54-55)

“Pucuk di cinta ulam tiba”, begitulah sebuah ungkapan yang terucap dari seorang yang merasa senang dan bahagia, atas tercapainya suatu dambaan yang selama ini dicari dan dicitakan, bahkan melebihi dari apa yang diduga dan dikira.

Adalah kesempatan emas, yang disenangi oleh banyak manusia, khususnya bagi para pengembara kursi (jabatan), tahta, dan dunia, tatkala dihadapkan pada sebuah tawaran, untuk duduk di atas kursi (jabatan).

Bisa jadi seseorang akan menanggapi dan berkata: “Ini namanya kejatuhan rezeki, susah dicari, dan untuk mendapatkannya sulit sekali. Belum tentu seumur hidup bisa ketemu sekali. Mengapa ditolak?” Atau mungkin…

“Betul, di dalamnya banyak penyimpangan dan pelanggaran. Akan tetapi, kalau bukan kita yang mengubah, lantas siapa lagi?”

“Kalau kursi jabatan diduduki oleh orang luar, siapa yang akan melakukan perubahan, menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, mewujudkan syariat Islam dan sistem kenegaraan yang bernuansa Islam?”

“Segala sesuatu itu apabila sudah dikuasai dan dipegang kepalanya, yang lain akan mudah dikendalikan dan dikuasai.”



Penjelasan dan Makna Ayat

“Dan raja berkata.”

Al-Imam Ath-Thabari, Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir t (224-318 H), dalam tafsirnya Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an (16/147) menerangkan bahwa raja yang dimaksud dalam ayat ini adalah raja yang terbesar (terkemuka). Ia bernama Ar-Rayyan bin Al-Walid, sebagaimana tersebut dalam sebuah riwayat dari jalan Ali bin Hussain, dari Muhammad bin Isa, dari Salamah, dari Muhammad bin Ishaq. (lihat pula Tafsir Ibnu Katsir 4/275, Ibnu Abi Hatim 8/383)

“Aku memilih dia sebagai orang yang rapat denganku.”

Maknanya adalah: “Aku jadikan dia sebagai orang khusus dan penasihat khusus bagi diriku.” (Lihat Tafsir Ath-Thabari, Ibnu Katsir, dan Al-Baghawi).

Ibnu Abi Hatim, Abu Muhammad Abdurrahman bin Abi Hatim Ar-Razi t (wafat pada th. 327 H), menyebutkan dalam kitab tafsirnya (8/386), riwayat dari Ibnu Abbas c. Raja mengatakan kepada nabi Yusuf q, “Sesungguhnya aku menyukai agar kamu menemaniku dalam setiap keadaan, kecuali dalam urusan keluargaku. Karena aku tidak suka makan bersamamu.”

Mendengar hal itu, Nabi Yusuf q marah sambil berkata: “Aku lebih berhak untuk menjauhkan diri, karena orangtuaku adalah Ibrahim Khalilullah, orangtuaku Ishaq dzabihullah.” Pada riwayat lain dengan lafadz: “Yusuf bin Ya’qub, Nabiyullah bin Ishaq dzabihullah bin Ibrahim Khalilullah.”

“Maka tatkala telah bercakap-cakap dengannya.”

Al-Imam Al-Baghawi, Abu Muhammad Al-Husain bin Mas’ud t wafat th. 516 H, dalam tafsirnya Ma’alimut Tanzil (4/250-251) menyebutkan riwayat dari Wahb (bin Munabbih, pen.). Ketika Nabi Yusuf q mendatangi sang raja dan mengucapkan salam kepadanya dengan bahasa Arab. Raja bertanya, “Bahasa apakah ini?” Nabi Yusuf q menjawab, “Ini bahasa pamanku, Nabi Ismail.” Kemudian Nabi Yusuf q mendoakannya dengan bahasa Ibrani. Raja bertanya, “Bahasa apakah ini?” Dijawab, “Ini bahasa ayah-ayahku dan raja tidak tahu dengan dua bahasa tersebut.”

Wahb juga bercerita bahwa sang raja (Ar-Rayyan bin Al-Walid) ini menguasai 70 bahasa. Setiap kali berbicara dengan suatu bahasa, Nabi Yusuf menjawabnya dengan bahasa yang sesuai, bahkan menambah dengan dua bahasa, yaitu Arab dan Ibrani. Melihat hal ini, sang raja heran dan terkesan, dalam keadaan Nabi Yusuf masih muda. Usia beliau pada waktu itu baru mencapai 30 tahun. Maka raja mendudukkannya, dan berkata, sebagaimana yang Allah l firmankan:

“Dia berkata: ‘Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi kami’.”

Sebagian meriwayatkan, bahwa raja ingin mendengarkan secara langsung tentang ta’bir mimpi yang pernah diceritakan sebelumnya (lihat apa yang tersebut dalam surat Yusuf dari ayat 43 sampai 49, pen.).

Setelah mendengar seluruh penuturan Nabi Yusuf q, Sang Raja bertanya, “Siapa yang akan mendampingiku dalam hal ini, serta mampu menyelesaikan, mengerjakan, dan mengatur semua urusan ini?”

Nabi Yusuf q menjawab, sebagaimana firman Allah l:

Berkatalah Yusuf: “Jadikanlah aku bendahara negara (Mesir). Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.”

Raja berkata: “Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi kami.”

Ibnul Jauzi t (588-587 H), menyebutkan dalam tafsirnya riwayat Ibnu Abbas c, makna ﭱ ﭲ adalah “Aku telah mengokohkan, menguatkan, dan memercayakan urusan kekuasaan (kerajaan/negara) kepadamu.”

Al-Muqatil t berkata, makna الْـمَكِينُ yaitu orang yang punya kedudukan (terkemuka). Sedangkan الْأَمِينُ yaitu yang menjaga, memelihara, dan melindungi. (Lihat Zadul Masir 3/439)

Al-Baghawi t menyebutkan dalam tafsirnya, الْـمَكِينُ yaitu berpangkat, berkedudukan. Sedangkan الْأَمِينُ adalah yang dipercaya.

Al-Alusi t dalam kitabnya Ruhul Ma’ani juga menyebutkan, Al-Makin yaitu berpangkat dan berkedudukan yang tinggi. Al-Amin yaitu dipercaya atas segala sesuatu.

Berkatalah Yusuf: “Jadikanlah aku bendahara negara (Mesir).”

Abu Ja’far Ath-Thabari t berkata dalam tafsirnya, kata خَزَائِنُ adalah bentuk jamak dari خَزَانَةٌ artinya tempat menyimpan, yaitu tempat peyimpanan makanan dan harta. Sedangkan الْأَرْضُ alif-lam di sini berfungsi sebagai pengganti idhafah, maknanya خَزَائِنُ أَرْضِكَ yaitu bendahara negaramu (Mesir).

Al-Imam Al-Qurthubi t juga menyebutkan sebuah riwayat dari jalan Sa’id bin Manshur t ia berkata, “Saya mendengar dari Malik bin Anas z berkata: ‘Negeri Mesir adalah ﭷ ﭸﭹ . Tidakkah kalian mendengar firman Allah l:

yaitu untuk menjaganya (menjadi bendahara negara), dengan menghilangkan mudhaf.

“Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.”

Al-Imam Ath-Thabari t setelah menyebutkan ayat ini, mengatakan bahwa para ulama berselisih dalam menafsirkannya hingga menjadi tiga pendapat:

Pertama, mereka berpendapat, maknanya adalah: “Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga segala yang telah dititipkan kepadaku. Berpengetahuan terhadap apa yang telah diserahkan/dilimpahkan kepadaku.”

Pendapat ini dinisbahkan kepada sebuah riwayat dari Ibnu Humaid, dari Salamah, dari Ibnu Ishaq.

Kedua, pendapat yang mengatakan, maknanya: “Aku adalah orang yang pandai menjaga segala yang telah dilimpahkan kepadaku. Berpengetahuan terhadap perkara (urusannya).”

Pendapat ini dinisbahkan kepada sebuah riwayat dari jalan Bisyr, dari Yazid, dari Sa’id, dari Qatadah.

Ketiga, ada pula yang mengatakan, maknanya: “Aku adalah seorang yang pandai menjaga untuk hisab/perhitungan (perihal pengeluaran dan pemasukan harta milik negara, pen.), mengetahui beberapa bahasa.”

Pendapat ini disandarkan kepada sebuah riwayat, dari jalan Ibnu Waqi’, dari ‘Amr, dari Al-Asyja’i.

Setelah memaparkan tiga pendapat di atas, beliau berkata: “Menurut kami pendapat yang kuat adalah pendapat yang pertama. Karena ucapan ini terjadi setelah Nabi Yusuf q mengatakan kepada raja: ”Jadikanlah aku bendahara negara (Mesir).” Bentuk permohonan Nabi Yusuf kepada raja, bahwa ia mampu mengurusi (sebagai bendahara) negara Mesir, menunjukkan, bahkan sekaligus sebagai pemberitaan bahwa beliau memiliki kemampuan dalam hal ini. Makna ini lebih sesuai untuk memaknai kalimat ﭻ ﭼ ketimbang dimaknakan dengan makna sebagaimana yang tersebut pada pendapat ketiga (tersebut di atas).”

Abul Fida Isma’il bin Umar, terkenal dengan sebutan Ibnu Katsir t (700-774 H), berkata setelah menyebutkan dua ayat di atas: “Dalam ayat ini, Allah l mengabarkan tentang Raja Mesir (Ar-Rayyan bin Al-Walid), setelah memastikan terbebasnya Nabi Yusuf q, bersih dan sucinya kehormatan beliau dari apa yang dituduhkan kepadanya. Raja mengatakan sebagaimana firman Allah l:

“Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang rapat denganku”, yakni jadikanlah dia sebagai orang khusus dan penasihat khusus bagiku.

“Maka tatkala telah bercakap-cakap dengan dia” yakni raja telah bercakap-cakap dengannya, mengetahui serta melihat keutamaan, kepandaian, kemahiran, dan kecakapan serta keutamaan dan kesempurnaan pada rupa dan perangainya, berkatalah raja kepadanya, sebagaimana firman Allah l:

“Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi kami” yakni, sesungguhnya kamu di sisi kami telah menjadi seseorang yang berkedudukan dan dipercaya. Yusuf q berkata, sebagaimana firman Allah l:

”Jadikanlah aku bendahara negara (Mesir). Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.”

Nabi Yusuf q memuji dirinya. Hal ini diperbolehkan bagi seorang yang belum diketahui tentang keadaan dirinya, pada saat yang dibutuhkan. Allah l menyebutkan bahwa ia adalah orang yang ﭻ (pandai menjaga), penjaga/bendahara yang dipercaya, ﭼ (berpengetahuan), yakni memiliki pengetahuan, ketelitian, dan kejelian terhadap segala perkara yang diurusinya. (lihat Tafsir Ibnu Katsir, 4/275)

Perlu diketahui sekali lagi, bahwa Nabi Yusuf q mengucapkan ucapan yang mengandung pujian terhadap dirinya tersebut adalah ketika beliau telah mendapatkan kedudukan dan kepercayaan di sisi raja. Bukan serta merta beliau memuji dirinya untuk meraih kedudukan. Tentu hal ini berbeda dengan keadaan para kontestan pemilu atau para politikus yang berkampanye memuji diri dalam rangka meraih kedudukan dan ambisi politiknya.



Faedah

Al-Imam Al-Qurthubi t menyebutkan dalam tafsirnya: “Sebagian ulama berkata, pada ayat ini terdapat dalil tentang diperbolehkannya bagi orang yang baik (shalih), bekerja untuk orang yang buruk (fajir) atau penguasa yang kafir. Dengan syarat, orang tersebut tahu, bahwa segala pekerjaan/tugas diserahkan kepadanya (diberi kekuasaan penuh untuk mengaturnya), dan bukan diatur oleh (orang-orang yang fajir atau penguasa yang kafir tersebut, pen.). Sehingga, ia akan mengatur sesuai dengan apa yang dia kehendaki (untuk hal yang baik dan bermanfaat). Adapun kalau pekerjaan tersebut harus berdasarkan pada kemauan dan kehendak orang yang fajir atau (penguasa yang kafir), menuruti hawa nafsu dan kekufurannya (di bawah aturan mereka), hal yang demikian ini tidak diperbolehkan.

Sebagian mereka berpendapat, perihal ini (bekerja untuk orang buruk/ penguasa yang kafir) khusus hanya untuk Nabi Yusuf q saja. Adapun sekarang tidak diperbolehkan. Pendapat yang pertama lebih kuat (boleh dan bukan kekhususan), dengan syarat yang telah disebutkan tadi.

Al-Mawardi t berkata: “Apabila yang berkuasa adalah orang yang zalim, para ulama berbeda pendapat tentang boleh dan tidaknya, seorang untuk bekerja dengannya.

Pendapat pertama, membolehkan. Apabila seorang bekerja dengan baik dan benar (memenuhi hak), pada perkara yang telah diserahkan penuh kepadanya (untuk mengaturnya). Karena dalam ayat ini, Nabi Yusuf q bekerja (menerima pekerjaan) dari raja (Fir’aun)1. Pertimbangan ini berdasarkan pekerjaan (kemampuan) beliau dan bukan pada orang lain.

Pendapat kedua, tidak membolehkan. Hal ini berdasarkan adanya bentuk/unsur menolong atas kezaliman yang mereka lakukan. Memuji mereka, dengan meniru (melakukan) perbuatannya.

Para ulama yang berpendapat membolehkan bekerja dengan orang yang zalim, menjawab perihal yang terjadi pada Nabi Yusuf ketika menerima pekerjaan dari Fir’aun, dengan dua jawaban:

Pertama, Fir’aun (raja)-nya Nabi Yusuf waktu itu seorang yang shalih (muslim). Adapun Fir’aun yang membangkang (kafir), adalah Fir’aun (raja)-nya Nabi Musa q.

Kedua, hal ini melihat pada kekuasaan dan bukan pada pekerjaannya.”

Al-Mawardi berkata: “Yang benar dalam hal ini adalah merinci masalah menjadi tiga kesimpulan:

1. Boleh bagi orang yang memiliki kemampuan dan keahlian untuk melakukannya. Dengan catatan, tidak ada unsur berijtihad (berpendapat) dalam melaksanakan tugasnya seperti menyalurkan shadaqah dan zakat.

Boleh seseorang menerima pekerjaan dan tugas dari orang yang zalim. Karena, adanya nash/dalil yang menerangkan kepada siapa shadaqah dan zakat itu disalurkan telah mencukupi, sehingga tidak memerlukan lagi adanya ijtihad. (Maka kebebasan bertindak dalam hal ini, telah menjadi cukup baginya [terbebaskan] dari mengikuti perintah [peraturan orang zalim tersebut, pen.]).

2. Keadaan di mana seseorang tidak diperbolehkan untuk bertindak sendiri, adanya keharusan untuk berijtihad (berpendapat, berinisiatif) dalam mengatur urusan, seperti menangani harta rampasan.

Keadaan seperti ini tidak boleh bagi seseorang untuk menerima penugasan dari orang yang zalim. Hal ini dikarenakan ia telah melakukan tindakan yang tidak benar dan berijtihad (berpendapat, mengatur) pada perkara yang tidak berhak untuk melakukannya.

3. Keadaan yang boleh melimpahkan tugas kepada orang yang ahli dan boleh baginya berijtihad, seperti menangani hukum dan pidana. Apabila terjadi kesepakatan dari kedua belah pihak dan tidak ada yang dipaksa, (maka boleh baginya bekerja untuk orang yang zalim, pen.). Namun apabila terjadi pemaksaan, tidak diperbolehkan.

Asy-Syaikh As-Sa’di t dalam Taisir Al-Lathiful Mannan, berkata setelah menyebutkan ayat di atas: “Pada ayat ini terdapat keutamaan ilmu, ilmu syar’i dan hukum, ilmu ta’bir mimpi, ilmu mengatur dan mengurusi negara, serta ilmu kepemerintahannya. Yang menjadi salah satu sebab Nabi Yusuf q memperoleh kedudukan yang tinggi di dunia dan di akhirat kelak, yaitu adanya ilmu yang beragam dan banyak (mengetahui berbagai macam ilmu). Hal ini juga menunjukkan bahwa ilmu ta’bir mimpi termasuk bagian dari fatwa. Maka tidak boleh bagi siapapun untuk mena’birkan suatu mimpi dan memastikannya, sebelum mengetahui secara pasti. Sebagaimana halnya (dalam hukum/perkara), tidak boleh bagi siapapun berfatwa dalam hal apapun tanpa ilmu. Karena dalam surat Yusuf ini, Allah l menamai kemampuan mena’birkan mimpi, dengan nama ilmu, sebagaimana firman Allah l:

“Dan demikianlah Rabbmu, memilih kamu (untuk menjadi nabi) dan diajarkan-Nya kepadamu sebagian dari ta’bir mimpi-mimpi.” (Yusuf: 6)

Ayat ini juga menerangkan, tidak mengapa seseorang memberitakan tentang dirinya, berupa sifat-sifat yang baik dan sempurna, berilmu pengetahuan dan yang lainnya. Hal ini boleh dilakukan selama membawa maslahat, selamat dari berdusta, dan tidak bermaksud untuk memperlihatkan diri (riya’). Seperti yang tersebut dalam ayat: Berkatalah Yusuf: “Jadikanlah aku bendahara negara (Mesir). Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.” (Yusuf: 55)

Related Posts:

Tafsir Al Baqarah Ayat 62

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَىٰ وَالصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

Sesungguhnya orang-orang Mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Shâbi’un, siapa saja di antara mereka yang beriman kepada Allâh dan hari akhir serta beramal shaleh mereka akan menerima pahala dari Rabb mereka; tidak ada kekhawatiran bagi mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. [al-Baqarah/2:62]

SABAB NUZUL AYAT
as-Suddy rahimahullah mengatakan, “Ayat ini turun membahas tentang kawan-kawan Salmân al-Fârisy Radhiyallahu anhu, waktu itu Salman menceritakan keadaan kawan-kawannya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengatakan, bahwa mereka dulu melaksanakan puasa, melaksanakan shalat, beriman kepadamu dan mereka juga bersaksi bahwa kamu akan diutus sebagai Nabi. Setelah Salman memuji mereka tersebut, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepadanya, “Wahai Salman mereka termasuk penduduk neraka”. Jawaban tersebut sangat menyedihkan hatinya, maka Allâh Azza wa Jalla menurunkan ayat tersebut sebagai jawabannya, yang pada intinya bahwa keimanan orang-orang Yahudi adalah dengan berpegang teguh terhadap Taurat dan tuntunan Nabi Musa sampai datang Isa. Ketika Nabi Isa datang, mereka yang berpegang teguh dengan Injil dan syariat Isa telah berada diatas keimanan yang sah sampai datang Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Barangsiapa tidak mengikuti Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah kedatangannya dan tidak meninggalkan syariat Nabi Isa dan Injil maka dia akan celaka. Dan diriwayatkan pula dari Sa’id bin Jubair[1].

KORELASI AYAT DENGAN AYAT SEBELUMNYA
Dalam ayat sebelumnya, Allâh Azza wa Jalla menyebutkan keadaan orang-orang Yahudi dan prilaku nenek moyang mereka, serta balasan yang mereka dapatkan sebagai pelajaran bagi generasi setelah mereka [2] . Allâh berfirman dalam ayat ke-61,

وَإِذْ قُلْتُمْ يَا مُوسَىٰ لَنْ نَصْبِرَ عَلَىٰ طَعَامٍ وَاحِدٍ فَادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُخْرِجْ لَنَا مِمَّا تُنْبِتُ الْأَرْضُ مِنْ بَقْلِهَا وَقِثَّائِهَا وَفُومِهَا وَعَدَسِهَا وَبَصَلِهَا ۖ قَالَ أَتَسْتَبْدِلُونَ الَّذِي هُوَ أَدْنَىٰ بِالَّذِي هُوَ خَيْرٌ ۚ اهْبِطُوا مِصْرًا فَإِنَّ لَكُمْ مَا سَأَلْتُمْ ۗ وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ وَالْمَسْكَنَةُ وَبَاءُوا بِغَضَبٍ مِنَ اللَّهِ ۗ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا يَكْفُرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَيَقْتُلُونَ النَّبِيِّينَ بِغَيْرِ الْحَقِّ ۗ ذَٰلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ

"Dan (ingatlah), ketika kamu berkata, "Hai Musa, kami tidak bisa sabar (tahan) dengan satu macam makanan saja, oleh sebab itu mohonkanlah untuk kami kepada Rabbmu, agar Dia mengeluarkan bagi kami dari apa yang ditumbuhkan bumi, yaitu sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya, kacang adasnya, dan bawang merahnya." Musa berkata, "Maukah kamu mengambil yang lebih rendah sebagai ganti dari yang lebih baik ? Pergilah kamu ke suatu kota, pasti kamu memperoleh apa yang kamu minta !" Lalu ditimpahkanlah kepada mereka kenistaan dan kehinaan, serta mereka mendapat murka dari Allâh. Hal itu (terjadi) karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allâh dan membunuh para nabi tanpa sebab yang benar. Yang demikian itu (terjadi) karena mereka selalu berbuat durhaka dan melampaui batas." [al-Baqarah/2:61]

Lalu dalam selanjutnya, Allâh Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan bahwa nasab (keturunan, seperti Bani Israil maupun yang lainnya) tidak ada harganya dihadapan Allâh Azza wa Jalla . Yang berharga adalah keimanan dan amal shalih yang mensucikan ruh manusia. Oleh karena itu kaum Muslimin dan kaum Yahudi, Nasrani, Sabi’un maupun yang lainnya seperti kaum Majusi, barang siapa yang beriman kepada Allâh Azza wa Jalla dan hari akhir dengan keimanan yang sebenarnya serta melakukan amal shalih yang disyariatkan maka tidak ada rasa takut baginya setelah mereka bertaubat dan tidak ada kesedihan yang menimpa mereka disaat mereka mati.[3]

PENJELASAN AYAT
Dalam ayat ini Allâh Azza wa Jalla menjelaskan bahwa para pemeluk agama itu tidak akan mendapatkan suatu keutamaan dan kebaikan kecuali jika mereka beriman kepada Allâh Azza wa Jalla dan kepada hari akhir serta melakukan amal shalih yang diridhai Allâh Azza wa Jalla . Dan termasuk amal shalih adalah beriman kepada Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam karena iman seseorang tidak dianggap sah kecuali dengannya.[4]

Jika demikian keadaannya, maka baginya pahala yang besar, dan tidak ada kekhawatiran bagi mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. Adapun orang yang inkar dan kufur terhadap itu semua maka mereka akan ditimpa kekhawatiran dan kesedihan [5].

Ada satu permasalahan yang berhubungan dengan ayat di atas, yaitu di awal ayat Allâh Azza wa Jalla berfirman إِنَّ الَّذِيْنَ آمَنُوْا dan di akhirnya Allâh berfirman مَنْ آمَنَ بِاللهِ apa maksud dari pengulangan kata iman disini ? Dalam menjawab pertanyaan ini para Ulama berbeda pendapat, setidaknya ada dua pendapat secara garis besarnya:

Pendapat pertama, yang dimaksud إِنَّ الَّذِيْنَ آمَنُوْا adalah orang-orang yang beriman dengan keimanan yang sebenarnya.[6] Kemudian mereka berselisih pendapat dalam menentukan siapa mereka itu ?

1. Ada yang mengatakan, “Mereka adalah orang yang beriman di zaman fathrah (masa kekosongan rasul) dan mereka adalah para pencari agama. Pada saat yang sama mereka juga berlepas diri dari kebatilan agama Yahudi dan Nasrani, seperti Habîb al-Najjâr, Quss bin Sâ’idah, Zaid bin ‘Amr bin Nufail, Waraqah bin Naufal, Bahira Sang Pendeta, Salmân al-Farisy, Abu Dzar al-Ghifary, dan utusan al-Najâsyi.[7] Sebagian diantara mereka ada yang sempat bertemu dengan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mengikutinya sementara sebagian yang lainnya tidak bertemu. Maka seakan-akan Allâh Azza wa Jalla berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman sebelum diutusnya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta orang-orang yang dahulunya para pemeluk agama yang batil dan yang telah dirubah seperti Yahudi, Nasrani, dan Shabi’un, barang siapa yang beriman kepada Allah, hari akhir dan kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka baginya pahala di sisi Rabbnya.[8]

2. Ada pula yang mengatakan, “Mereka adalah orang yang beriman dari umat ini.[9]

3. Ada pula yang mengatakan, “Mereka adalah orang-orang yang beriman kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[10]

Pendapat kedua, keimanan yang disebutkan pada permulaan ayat tersebut adalah keimanan yang tidak sebenarnya iman. Kemudian mereka berselisih pendapat dalam menentukan subtansinya :

1. Ada yang mengatakan mereka yang beriman kepada Para Nabi terdahulu dan tidak beriman kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam [11].

2. Ada yang mengatakan, “Mereka itu adalah orang-orang munafik yang beriman dengan lisan mereka, akan tetapi hati mereka tidak beriman,[12] oleh sebab itu mereka di kelompokkan dengan kaum Yahudi, Nasrani dan Shabi’un.[13] Seakan-akan Allâh Azza wa Jalla berfirman, “Mereka semuanya jika beriman dengan iman yang sebenarnya maka mereka mendapatkan predikat Mukmin di sisi Allâh Azza wa Jalla ."[14]

Diantara sekian banyak pendapat tersebut, menurut penulis jika hal itu dilihat dari keumuman lafadz ayat, maka semuanya dapat saling melengkapi, dan yang demikian itu menunjukkan betapa cakupan makna ayat tersebut sangat luas. Dan jika dilihat dari kekhususan sabab nuzul (sebab turun)nya, maka yang selaras dengan sabab nuzûl ayat tersebut adalah pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan orang yang beriman di awal ayat tersebut adalah “Mereka yang beriman kepada Para Nabi terdahulu dan tidak beriman kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah beliau diutus. Karena ayat tersebut turun sebagai jawaban atas pertanyaan Salman al-Fârisy tentang kawan-kawannya yang dulunya beriman kepada para rasul dan kepada Rasûlullâh sebelum beliau diutus, akan tetapi setelah beliau diutus mereka mengingkarinya, oleh karena itu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Mereka masuk Neraka”, wallahua’lam bishshawab.

APAKAH SEMUA AGAMA SAMA ?
Sebagian orang memahami ayat diatas dengan pemahaman yang tidak benar, mereka menganggap bahwa ayat diatas telah melegitimasikan (membenarkan) agama-agama selain Islam, artinya menurut mereka semua agama adalah sama, sehingga muncul suatu kesimpulan bahwa boleh bagi seseorang untuk memeluk Islam, esok hari masuk agama Yahudi, lusa masuk Nasrani dan seterusnya.

Pemahaman tersebut tidaklah benar, karena tidak didasarkan pada dasar pijakan yang kuat. Ayat tersebut jika dipahami secara mendalam, sama sekali tidak menunjukkan hal itu, bahkan pemahaman tersebut bertentangan dengan ayat itu sendiri, sebagaimana yang telah disebutkan oleh penulis diatas. Meskipun banyak penafsiran para Ulama tentang إن الذين آمنوا akan tetapi tidak satupun diantara mereka yang menafsirkan bahwa Islam, Yahudi, Nasrani dan yang lainnya adalah sama. Apakah para Ulama’ tafsir kurang memahami bahasa arab dengan baik dan benar ? Atau kurang mengetahui sabab nuzulnya ? Atau kurang mengetahui ayat-ayat yang lainnya yang mendukung penafsiran mereka? Atau kurang mengetahui kaidah-kaidah penafsiran ? Sehingga tidak satupun penafsiran mereka mendukung pemahaman yang dianggap benar tersebut. Semua pertanyaan itu cukup dijawab dengan jawaban singkat “tidak”!, Bahkan sebaliknya, tidak adanya penafsiran para Ulama yang sesuai dengan pemahaman tersebut adalah bukti dangkalnya pemahaman tersebut. Adapun salah satu penafsiran Ulama yang mengatakan orang yang beriman di awal ayat tersebut adalah mereka yang beriman dari umat ini atau mereka yang beriman kepada Rasûlullâh, maka hal itu sama sekali tidaklah menyamakan antara mereka dengan para pemeluk agama lainnya. Karena perintah untuk beriman bagi mereka diakhir ayat adalah perintah agar mereka tetap dalam keadaan beriman sampai akhir hayat.

Di sisi lain pemahaman tersebut juga bertentangan dengan ayat-ayat yang lainnya, diantaranya :

1. Ayat yang menunjukkan bahwa agama yang benar disisi Allâh Azza wa Jalla adalah Islam, Allâh Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ

Sesungguhnya agama yang benar disisi Allâh adalah Islam [Ali Imran/3:19]

Ibn Juraij mengatakan, “Tidak ada agama milik Allâh Azza wa Jalla kecuali Islam.”[15]

Dari Ibn Sirin dari Abi al-Rabab al-Qusyairy dalam menafsiri ayat di atas ia mengatakan, “Allâh Azza wa Jalla memerintahkan kepada manusia untuk memeluk agama Islam dan melarang mereka memeluk agama yang lain.”[16]

Dalam ayat yang lain Allâh Azza wa Jalla juga berfirman :

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi. [Ali ‘Imrân/3:85]

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Ayat ini menjelaskan bahwa tidak ada satu agama pun yang diterima disisi Allâh Azza wa Jalla dari seseorang kecuali Islam.[17]

Kedua ayat tersebut menunjukkan bahwa semua agama tidaklah sama, dan Islamlah agama yang benar disisi Allâh Azza wa Jalla . Barangsiapa memeluk agama selain Islam setelah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus, maka agamanya itu tidak akan diterima oleh Allâh Azza wa Jalla .

2. Bertentangan dengan ayat yang menunjukkan bahwa pemeluk agama Yahudi, Nasrani maupun kaum musyrikin adalah kafir.

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ أُولَٰئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ

Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) neraka jahannam, mereka kekal di dalamnya, mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk. [al-Bayyinah/98:6]

Abu Ja’far al-Thabary rahimahullah mengatakan, “sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allâh dan Rasul-Nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta mengingkari kenabiannya dari orang-orang Yahudi, Nasrani maupun orang-orang musyrik, mereka semuanya akan masuk neraka dan tinggal di dalamnya selama-lamanya.[18]

Di ayat yang lain Allâh Azza wa Jalla berfirman.

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ ۘ وَمَا مِنْ إِلَٰهٍ إِلَّا إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۚ وَإِنْ لَمْ يَنْتَهُوا عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

"Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan, “Bahwasanya Allâh salah satu dari tiga tuhan”, padahal sekali-kali tidak ada ilah (yang berhak diibadahi) selain Allâh Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih." [al-Maidah/5:73]

Kedua ayat diatas menunjukkan bahwa tidaklah sama antara Muslim dengan kafir.

3. Bertentangan pula dengan ayat yang menunjukkan keumuman risalah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

Dan Kami tidak mengutus kamu kecuali kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa kabar gembira dan sebagai pemberi peringatan, akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. [Saba/34:28]

Fakhruddin al-Razi mengatakan ayat ini menunjukkan bahwa Allâh Subhanahu wa Ta’ala menjadikan agama Islam sebagai penghapus atas agama-agama sebelumnya.[19]

Jika suatu agama telah dihapus dan dibatalkan oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala Rabb semesta alam dengan Islam, maka tidaklah pantas sebagai makhluk Allâh Azza wa Jalla mengesahkan dan membenarkan agama tersebut setelah di naskh (dibatalkan) oleh Allâh .

Pemahaman di atas juga bertolak belakang dengan fakta sejarah dakwah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengajak ahlu kitab untuk masuk Islam dengan cara mengirim surat kepada mereka. Diantaranya beliau mengutus Dihyah bin Khalifah al-Kalby untuk mengirim surat kepada raja Romawi, dan juga mengutus ‘Abdullah bin Hudzafah al-Sahmi kepada raja Persia, dan mengutus ‘Amr bin ‘Umaiyyah al-Dhamry kepada Najasyi (sebutan raja) Habasyah, dan mengutus Hathib bin Abi Balta’ah kepada al-Muqaiqis raja Mesir, dan juga mengutus Sulaith bin ‘Amr al-‘Amury kepada Haudzah bin ‘Ali al-Hanafy di Yamamah.[20]

Ini menunjukkan bahwa pemeluk agama Nasrani dan lainnya adalah bagian dari obyek dakwah yang harus diajak masuk Islam dan meninggalkan agama lama yang ia yakini sebelumnya. Karena agama mereka jika dianggap benar dan sah atau sama dengan Islam setelah diutusnya Rasûlullâh, maka untuk apa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersusah-payah mengajak mereka masuk Islam?

PELAJARAN DARI AYAT
Dari keterangan diatas dapat diambil pelajaran, diantaranya:
1. Para pemeluk agama samawi sebelum datangnya Islam, mereka yang beriman kepada Allâh dan hari akhir, dan tidak berbuat syirik, atau mereka yang beriman kepada Rasûlullâh setelah beliau diutus, maka mereka akan mendapatkan keberuntungan. Adapun mereka yang berbuat syirik atau beriman kepada Allâh dan hari akhir akan tetapi setelah diutusnya Rasûlullâh mereka inkar dan tidak beriman kepadanya maka mereka akan celaka.

2. Islam adalah agama terakhir yang menghapus agama sebelumnya.

3. Agama yang benar di sisi Allâh Subhanahu wa Ta’ala adalah agama Islam.

4. Rasûlullâh diutus oleh Allâh Azza wa Jalla keseluruh lapisan umat, berbeda dengan Nabi Musa dan Isa, mereka diutus hanya kepada Bani Israil saja sebelum datanya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Bahkan Nabi Isa nanti ketika turun ke bumi ia akan mengikuti syariat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

5. Paham pluralisme agama yang menyatakan bahwa semua agama sama adalah paham yang bathil dan tidak sejalan dengan ajaran Islam.

Washallallahu alaa Nabiyinaa Muhammad wa ‘ala aalihi washahbihi wasallam

Ustadz Nur Kholis bin Kurdian

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XV/1433H/2012M. ]
_______
Footnote
[1]. Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, ‘Abdur Rahman bin Muhammad bin Idris al-Razy Ibn Abi Hatim (w. 327 H), Juz 1 (KSA; Maktabah Mushtafa Baz, 1419 H), hlm. 127. Lihat Asbâb Nuzûl al-Qur’an, ‘Ali bin Ahmad bin Muhammad al-Wahidy (w. 468 H), (Dammam; Dar al-Ishlah, 1992 M / 1412 H), hlm. 24. Riwayat Dari Mujahid. Lihat Lubâbun Nuqûl fi Asbâbin Nuzûl, ‘Abdur Rahman bin Abi Bakr Jalal al-Dien al-Suyuthy (w. 911 H), (Lebanon; Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tanpa tahun), hlm. 9. Riwayat Dari Mujahid. Lihat al-Durr al-Mantsûr fit Tafsîr bil Ma’tsûr, al-Suyuthy, juz 1 (Beirut; Dar al-Fikr, tanpa tahun), hlm. 128. Dari Mujahid.
[2]. at-Tafsîrul Munîr fil ‘Aqîdah was Syarî’ah wal Manhaj, Dr. Wahbah bin Musthafa al-Zuhaily, Juz 1 (Damaskus; Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1418 H), hlm. 177-178. Lihat al-Bahrul Muhîth fit Tafsîr, Abu Hayyan Muhammad bin Yusuf al-Andalusy, juz 1 (Beirut; Dar al-Fikr, 1420 H), hlm. 389.
[3]. Aisarut Tafâsîr li Kalâmil ‘Aliyyil Kabîr, Jabir bin Musa Abu Bakr al-Jazairy, juz 1 (Madinah Munawwarah; Maktabah Ulum wa al-Hikam, 1424 H/ 2003 M), hlm. 65.
[4]. Lubâbut Ta’wîl fi Ma’âniit Tanzîl, ‘Ali bin Muhammad Abu al-Hasan al-Khazin (w. 741 H), Juz 2 (Beirut; Dar al-Kutub, 1415 H), hlm. 64.
[5]. Taisîrul Karîmir Rahman fi Tafsîr Kalâmil Mannan, Abdur Rahman bin Nasir al-Sa’dy (w. 1376 H), (Bairut; Muassasah al-Risalah, 1420 H / 2000 M), hlm. 54.
[6]. Lubâbut Ta’wîl, 1/50
[7]. Mafâtihul Ghaib, Muhammad bin ‘Umar al-Razi (w. 606 H), juz 3 (Beirut; Dar Ihya’ Turats al-‘Araby, 1420 H), hlm. 536. Lihat Tafsir al-Qur’an, Manshur bin Muhammad Abu Mudzaffar al-Sam’any (w. 489 H), Juz 1 (Riyadh; Dar al-Wathan, 1418 H / 1997), hlm. 88.
[8]. Lubâbut Ta’wîl …, hlm. 50.
[9]. Zâdul Masir fi ‘Ilm al-Tafsîr, ‘Abdur Rahman bin ‘Ali Abu al-Faraj Ibn al-Jauzi (w. 597 H), Juz 1 (Beirut; Dar al-Kitab al-‘Araby, 1422 H), hlm. 72. Lihat Taisîrul Karîmir Rahmân …, al-Sa’dy, hlm. 54.
[10]. Jâmi’ul Bayân fi Ta’wîlil Qur’ân, Muhammad bin Jarir Abu Ja’far al-Thabary (w. 301), juz 2 (Beirut; Muassasah al-Risalah, 1420 H/ 2000 M), hlm. 143. Lihat al-Jâmi’ li Ahkâmil Qur’ân, Muhammad bin Ahmad al-Qurthuby (w. 671 H), Juz 1 (Mesir; Dar al-Kutub al-Misriyyah, 1384 H/ 1964 M), hlm. 432. Lihat Fathul Qadîr, Muhammad bin ‘Ali al-Syaukany (w. 1250 H), juz 1 (Beirut; Dar Ibn Katsir, 1414 H), hlm. 110. Lihat Tafsîrul Manâr, Muhammad Rasyid bin ‘Ali Ridha (w. 1354 H), juz 1 (Mesir; al-Hai’ah al-Misriyyah al-‘Ammah li al-Kitab, 1990 M), hlm. 278. Lihat Tafsir al-Munir…, hlm. 178. Lihat Tafsîrul Qur’ânil ‘Azhîm, Isma’il bin ‘Umar bin Kathir (w. 774), Juz 1 (Riyadh; Dar al-Taibah, 1420 H/ 1999 M), hlm. 284. Lihat Bahrul ‘Ulûm, Nashr bin Muhammad al-Samarqandy (w. 373 H), Juz 1(tanpa disebutkan nama, tempat dan tahun cetakan), hlm. 59.
[11]. al-Wajîz fi Tafsîr al-kitâb al-‘Aziz, ‘Ali bin Ahmad al-Wahidy (w. 468 H), (Beirut; Dar al-Qalam, 1415 H), hlm. 110. Lihat Lubab al-Ta’wil…, hlm. 50.
[12]. Al-Kasysyaf ‘an Haqaiq Ghawamidh al-Tanzil, Mahmud bin ‘Amr al-Zamakhsyary (w. 538), juz 1 (Beirut; Dar al-Kitab al-‘Araby, 1407 H), hlm. 146. Lihat Madarik al-Tanzil wa Haqaiq al-Ta’wil, ‘Abdullah bin Ahmad al-Nasafy (w. 710 H), Juz 1 (Beirut; Dar Kalim al-Tayyib, 1419 H/ 1998 M), hlm. 94. Lihat Irsyad al-‘Aql al-Salim ila Mazaya al-Kitab al-Karim, Muhammad bin Muhammad Abu al-Su’ud (w. 982 H), juz 3 (Beirut; Dar Ihya’ al-Kitab al-‘Araby, tanpa tahun cetakan), hlm. 62.
[13]. al-Jâmi’ li Ahkâmil Qur’ân…, hlm. 432.
[14]. Lubâbut Ta’wîl…, hlm. 50.
[15]. Jâmi’ul Bayân…,6/503.
[16]. Tafsîr al-Qur’anil ‘Azhîm, ‘Abdur Rahman bin Muhammad Ibn Abi Hatim al-Razi (w. 327 H), Juz 2 (Arab Saudi; Maktabah Nizar Musthafa al-Baz, 1419 H), hlm. 617.
[17]. Tafsîr al-Qur’anil ‘Azhîm …,juz 2, hlm. 25.
[18]. Jâmi’ul Bayân 24/542.
[19]. Mafâtihul Ghaib…, 6/523.
[20]. al-Sirah al-Nabawiyah al-Shahihah, Dr. Akram Dhiya’ al-‘Umary, juz 2 (Riyadh; Maktabah al-‘Ubeikan, 1424 H/2003 H), hlm. 454.

Related Posts: