Tafsir At Taubah Ayat 75-93

Ayat 75-80: Ikrar orang munafik tidak dapat dipercaya, pengingkaran yang dilakukan orang munafik terhadap perjanjian, dan bahwa Allah Subhaanahu wa Ta'aala tidak akan mengampuni mereka

وَمِنْهُمْ مَنْ عَاهَدَ اللَّهَ لَئِنْ آتَانَا مِنْ فَضْلِهِ لَنَصَّدَّقَنَّ وَلَنَكُونَنَّ مِنَ الصَّالِحِينَ (٧٥) فَلَمَّا آتَاهُمْ مِنْ فَضْلِهِ بَخِلُوا بِهِ وَتَوَلَّوْا وَهُمْ مُعْرِضُونَ (٧٦) فَأَعْقَبَهُمْ نِفَاقًا فِي قُلُوبِهِمْ إِلَى يَوْمِ يَلْقَوْنَهُ بِمَا أَخْلَفُوا اللَّهَ مَا وَعَدُوهُ وَبِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ (٧٧) أَلَمْ يَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ سِرَّهُمْ وَنَجْوَاهُمْ وَأَنَّ اللَّهَ عَلامُ الْغُيُوبِ (٧٨)الَّذِينَ يَلْمِزُونَ الْمُطَّوِّعِينَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ فِي الصَّدَقَاتِ وَالَّذِينَ لا يَجِدُونَ إِلا جُهْدَهُمْ فَيَسْخَرُونَ مِنْهُمْ سَخِرَ اللَّهُ مِنْهُمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ (٧٩) اسْتَغْفِرْ لَهُمْ أَوْ لا تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ إِنْ تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ سَبْعِينَ مَرَّةً فَلَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَهُمْ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاللَّهُ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ (٨٠

Terjemah Surat At Taubah Ayat 75-80

75. Dan di antara mereka (orang munafik) ada orang yang telah berjanji kepada Allah, "Sesungguhnya jika Allah memberikan sebagian dari karunia-Nya kepada kami[1], niscaya kami akan bersedekah dan niscaya kami termasuk orang-orang yang saleh[2].”

76. Ketika Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karunia-Nya, mereka menjadi kikir[3] dan berpaling (dari ketaatan), dan selalu menentang (kebenaran).

77. Maka Allah menanamkan kemunafikan dalam hati mereka sampai pada waktu mereka menemui-Nya (hari kiamat), karena mereka telah mengingkari janji yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan (juga) karena mereka selalu berdusta[4].

78. Tidakkah mereka (orang-orang munafik) mengetahui bahwa Allah mengetahui rahasia dan bisikan mereka[5], dan bahwa Allah mengetahui segala yang ghaib[6].

79.[7] (Orang-orang munafik) yaitu mereka yang mencela orang-orang beriman yang memberikan sedekah dengan sukarela dan yang (mencela) orang-orang yang hanya memperoleh (untuk disedekahkan) sekadar kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka, dan mereka akan mendapat azab yang pedih.


80. (Sama saja) engkau (Muhammad) memohonkan ampunan bagi mereka atau tidak memohonkan ampunan bagi mereka. Walaupun engkau memohonkan ampunan bagi mereka tujuh puluh kali, Allah tidak akan memberi ampunan kepada mereka. Yang demikian itu karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya[8]. Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.

Ayat 81-85: Bergembiranya kaum munafik ketika tidak ikut berperang dan balasan untuk mereka, serta larangan menyalatkan jenazah orang munafik

فَرِحَ الْمُخَلَّفُونَ بِمَقْعَدِهِمْ خِلافَ رَسُولِ اللَّهِ وَكَرِهُوا أَنْ يُجَاهِدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَقَالُوا لا تَنْفِرُوا فِي الْحَرِّ قُلْ نَارُ جَهَنَّمَ أَشَدُّ حَرًّا لَوْ كَانُوا يَفْقَهُونَ (٨١)فَلْيَضْحَكُوا قَلِيلا وَلْيَبْكُوا كَثِيرًا جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ (٨٢)فَإِنْ رَجَعَكَ اللَّهُ إِلَى طَائِفَةٍ مِنْهُمْ فَاسْتَأْذَنُوكَ لِلْخُرُوجِ فَقُلْ لَنْ تَخْرُجُوا مَعِيَ أَبَدًا وَلَنْ تُقَاتِلُوا مَعِيَ عَدُوًّا إِنَّكُمْ رَضِيتُمْ بِالْقُعُودِ أَوَّلَ مَرَّةٍ فَاقْعُدُوا مَعَ الْخَالِفِينَ (٨٣) وَلا تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا وَلا تَقُمْ عَلَى قَبْرِهِ إِنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَاتُوا وَهُمْ فَاسِقُونَ (٨٤) وَلا تُعْجِبْكَ أَمْوَالُهُمْ وَأَوْلادُهُمْ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُعَذِّبَهُمْ بِهَا فِي الدُّنْيَا وَتَزْهَقَ أَنْفُسُهُمْ وَهُمْ كَافِرُونَ (٨٥)

Terjemah Surat At Taubah Ayat 81-85

81. Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut berperang ke Tabuk), merasa gembira dengan duduk-duduk diam sepeninggal Rasulullah[9]. Mereka tidak suka berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah dan mereka berkata, "Janganlah kamu berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini[10].” Katakanlah (Muhammad), "Api neraka Jahannam lebih panas," jika mereka mengetahui.

82. Maka biarkanlah mereka tertawa sedikit[11] dan menangis yang banyak[12], sebagai balasan terhadap apa yang selalu mereka perbuat[13].

83. Maka jika Allah mengembalikanmu (Muhammad) kepada suatu golongan dari mereka (orang-orang munafik)[14], kemudian mereka minta izin kepadamu untuk keluar (pergi berperang), maka katakanlah, "Kamu tidak boleh keluar bersamaku selama-lamanya dan tidak boleh memerangi musuh bersamaku. Sesungguhnya kamu telah rela tidak pergi (berperang) sejak semula. Karena itu duduklah (tinggallah) bersama orang-orang yang tidak ikut (berperang)."[15]

84.[16] Dan janganlah engkau (Muhammad) melaksanakan shalat (jenazah) untuk seorang yang mati di antara mereka (orang-orang munafik), selama-lamanya dan janganlah engkau berdiri (mendoakan) di atas kuburnya. Sesungguhnya mereka ingkar kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik.

85. Dan janganlah engkau (Muhammad) kagum terhadap harta dan anak-anak mereka[17]. Sesungguhnya dengan itu Allah hendaki menyiksa mereka di dunia[18] dan agar nyawa mereka melayang, sedang mereka dalam keadaan kafir.

Ayat 86-87: Celaan kepada kaum munafik yang kaya karena enggan berjihad dan penjelasan tentang keadaan mereka

وَإِذَا أُنْزِلَتْ سُورَةٌ أَنْ آمِنُوا بِاللَّهِ وَجَاهِدُوا مَعَ رَسُولِهِ اسْتَأْذَنَكَ أُولُو الطَّوْلِ مِنْهُمْ وَقَالُوا ذَرْنَا نَكُنْ مَعَ الْقَاعِدِينَ (٨٦) رَضُوا بِأَنْ يَكُونُوا مَعَ الْخَوَالِفِ وَطُبِعَ عَلَى قُلُوبِهِمْ فَهُمْ لا يَفْقَهُونَ (٨٧)

Terjemah Surat At Taubah Ayat 86-87

86. Dan apabila diturunkan suatu surah[19] (yang memerintahkan kepada orang-orang munafik), "Berimanlah kepada Allah dan berjihadlah bersama Rasul-Nya.” Niscaya orang-orang yang kaya dan berpengaruh di antara mereka meminta izin kepadamu (untuk tidak berjihad) dan mereka berkata, "Biarkanlah kami berada bersama orang-orang yang duduk (tinggal di rumah)"[20].

87. Mereka rela[21] berada bersama orang-orang yang tidak pergi berperang[22], dan hati mereka yang telah tertutup, sehingga mereka tidak memahami (kebahagiaan beriman dan berjihad)[23].

Ayat 88-89: Sikap Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan kaum mukmin terhadap jihad fii sabilillah, dan besarnya pahala mujahid dunia dan akhirat

لَكِنِ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ جَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ وَأُولَئِكَ لَهُمُ الْخَيْرَاتُ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (٨٨) أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ (٨٩

Terjemah Surat At Taubah Ayat 88-89

88.[24] Tetapi Rasul dan orang-orang yang beriman bersama dia, mereka berjihad dengan harta dan jiwa. Mereka itu memperoleh kebaikan[25]. Mereka itulah orang-orang yang beruntung[26].

89. Allah telah menyediakan bagi mereka surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang agung[27].

Ayat 90-93: Menerangkan tentang orang-orang yang mendapatkan uzur dan celaan kepada orang-orang yang tidak ikut berjihad tanpa ada uzur

وَجَاءَ الْمُعَذِّرُونَ مِنَ الأعْرَابِ لِيُؤْذَنَ لَهُمْ وَقَعَدَ الَّذِينَ كَذَبُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ سَيُصِيبُ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ (٩٠) لَيْسَ عَلَى الضُّعَفَاءِ وَلا عَلَى الْمَرْضَى وَلا عَلَى الَّذِينَ لا يَجِدُونَ مَا يُنْفِقُونَ حَرَجٌ إِذَا نَصَحُوا لِلَّهِ وَرَسُولِهِ مَا عَلَى الْمُحْسِنِينَ مِنْ سَبِيلٍ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (٩١) وَلا عَلَى الَّذِينَ إِذَا مَا أَتَوْكَ لِتَحْمِلَهُمْ قُلْتَ لا أَجِدُ مَا أَحْمِلُكُمْ عَلَيْهِ تَوَلَّوْا وَأَعْيُنُهُمْ تَفِيضُ مِنَ الدَّمْعِ حَزَنًا أَلا يَجِدُوا مَا يُنْفِقُونَ (٩٢) إِنَّمَا السَّبِيلُ عَلَى الَّذِينَ يَسْتَأْذِنُونَكَ وَهُمْ أَغْنِيَاءُ رَضُوا بِأَنْ يَكُونُوا مَعَ الْخَوَالِفِ وَطَبَعَ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ فَهُمْ لا يَعْلَمُونَ (٩٣)

Terjemah Surat At Taubah Ayat 90-93

90. Dan di antara orang-orang Arab baduwi datang (kepada Nabi) mengemukakan alasan[28], agar diberi izin (untuk tidak pergi berperang), sedang orang-orang yang mendustakan Allah dan Rasul-Nya, duduk berdiam[29]. Kelak orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa azab yang pedih.

91.[30] Tidak ada dosa (karena tidak pergi berperang) atas orang yang lemah[31], orang yang sakit[32] dan orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka infakkan[33], apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada alasan apa pun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik[34]. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang[35],

92. Dan tidak ada (pula) dosa atas orang-orang yang datang kepadamu (Muhammad), agar engkau memberi kendaraan kepada mereka[36], lalu engkau berkata, "Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu," lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena sedih[37], disebabkan mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka infakkan (untuk ikut berperang)[38].

93. Sesungguhnya alasan (untuk menyalahkan) hanyalah terhadap orang-orang yang meminta izin kepadamu (untuk tidak ikut berperang) padahal mereka orang kaya[39]. Mereka rela berada bersama orang-orang yang tidak ikut berperang dan Allah telah mengunci hati mereka[40], sehingga mereka tidak mengetahui (akibat perbuatan mereka).

KANDUNGAN AYAT

[1] Yakni melapangkan rezeki-Nya kepada kami dan mengayakan kami.

[2] Seperti melakukan sedekah, menyambung tali silaturrahim, menjamu tamu, membantu pembela kebenaran dan mengerjakan amal saleh lainnya.

Faedah/catatan:

Sebagian ahli tafsir menyebutkan, bahwa ayat ini turun berkenaan dengan seseorang yang bernama Tsa’labah, ia datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam agar didoakan menjadi orang yang kaya. Ia berjanji kepada Allah, jika Allah menjadikannya kaya, maka ia akan bersedekah, menyambung tali silaturrahim, dan menolong penegak kebenaran, maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mendoakannya. Ia memiliki seekor kambing yang kemudian berkembang biak menjadi banyak yang membuatnya sibuk sampai tidak hadir shalat berjama’ah kecuali beberapa waktu saja, dan kemudian ia bertambah sibuk sampai tidak sempat shalat berjama’ah selain shalat Jum’at saja, dan bertambah sibuk lagi sampai ia tidak shalat Jum’at dan shalat berjamaah. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mencarinya dan mengirimkan orang untuk mengambil zakat darinya, namun Tsa’labah tidak memberikan. Ketika ayat ini urun, maka sebagian keluarganya menyampaikan ayat ini kepadanya, maka ia pun datang membawa zakatnya, namun Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menerimanya. Setelah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam wafat, maka ia datang membawa zakat kepada Abu Bakar, namun Abu Bakar tidak menerimanya, dan kemudian kepada Umar, namun ia juga tidak menerimanya. Kisah ini meskipun masyhur, namun sesungguhnya tidak shahih. Kisah ini didha’ifkan oleh para pakar ahli hadits, seperti Ibnu Hazm, Baihaqi, Qurthubi, Haitsami, Al ‘Iraqi, Ibnu Hajar, As Suyuthi, Al Manawi dan lainnya. Mereka menerangkan bahwa dalam isnadnya terdapat Ali bin Zaid seorang yang dha’if, sebagaimana di antara perawinya ada yang bermana Ma’aan bin Rifaa’ah dan Al Qaasim bin Abdurrahman, di mana keduanya adalah dha’if (lihat ta’liq Abdurrahman bin Mu’allaa Al Luwaihiq terhadap kitab tafsir As Sa’diy pada tafsir ayat 75-78 dari surat At Taubah).

[3] Dan tidak memenuhi janjinya.

[4] Oleh karena itu, seorang mukmin harus berhati-hati, jangan sampai ketika ia berjanji kepada Allah, bahwa jika keinginannya dikabulkan Allah, maka ia akan melakukan ini dan itu, lalu ia tidak melakukannya, karena bisa saja Allah menanamkan kemunafikan dalam hatinya sebagaimana yang menimpa mereka. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ : إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ

“Tanda orang munafik itu tiga; apabila berbicara berdusta, apabila berjanji mengingkari, dan apabila dipercaya khianat.” (HR. Bukhari-Muslim)

Nah, orang tersebut melakukan yang demikian, ia berjanji namun mengingkari dan berbicara namun berdusta. Berdasarkan ayat ini, maka perbuatan-perbuatan tersebut meskipun sebagai nifak ‘amali namun bisa menjadi jembatan ke arah nifak akbar, yaitu nifa i’tiqadiy, nas’alullahs salaamah wal ‘aafiyah. Oleh karena itu, dalam ayat selanjutnya Allah mengancam mereka yang memiliki sifat-sifat itu.

[5] Seperti bisikan mereka yang isinya mencela Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat, serta mencela agama Islam.

[6] Sehingga Dia akan membalas semua amal mereka meskipun tersembunyi bagi orang lain.

[7] Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Mas’ud radhiyallahu 'anhu ia berkata: Ketika turun ayat sedekah, kami berusaha mengangkutkan barang (agar memperoleh imbalan untuk disedekahkan), lalu datang seseorang yang bersedekah dengan jumlah yang besar, maka mereka (orang-orang munafik) menimpali, “Orang ini riya’.” Kemudian datang seseorang yang bersedekah dengan satu sha’ (gantang), mereka pun menimpali, “Sesungguhnya Allah tidak butuh terhadapnya.” Maka turunlah ayat, “Alladziina yalmizuuna…dst.”

Dalam celaan mereka terhadap kaum mukmin terdapat beberapa keburukan, di antaranya:

- Mencari-cari sikap orang mukmin agar dapat mencela mereka,

- Celaan mereka kepada orang mukmin karena iman yang ada dalam diri mereka merupakan kekufuran kepada Allah Ta’ala dan benci terhadap agama,

- Mencela sendiri merupakan perkara haram, bahkan dosa besar dalam urusan dunia, dan jika dalam perkara taat, maka lebih besar lagi dosanya.

- Orang yang taat kepada Allah dan melakukan amalan secara sukarela seharusnya dibantu dan didorong, bukan malah dilemahkan.

- Buruk sangka yang tinggi terhadap orang yang berbuat baik.

Oleh karena itulah, Allah akan menghina mereka sebagai balasan penghinaan mereka terhadap orang-orang mukmin, dan bagi mereka azab yang pedih.

[8] Sehingga permintaan ampun untuk mereka dan amal mereka tidak bermanfaat.

[9] Hal ini menunjukkan ketidakadaan iman dalam hati mereka dan lebih memilih kekufuran daripada keimanan. Perbuatan mereka ini mengandung banyak perkara dosa, dari mulai takhalluf (meninggalkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam), ridha di atas sikap itu dan bergembira.

[10] Mereka lebih suka istirahat yang sebentar daripada istirahat yang kekal

[11] Di dunia.

[12] Di akhirat.

[13] Berupa kekufuran, kemunafikan dan tidak mau taat kepada perintah Tuhan mereka.

[14] Disebutkan suatu golongan, karena di antara mereka ada yang bertobat dari kemunafikan dan menyesali sikap mereka meninggalkan berperang, maka sebagai hukuman bagi mereka, mereka tidak diizinkan ikut berperang.

[15] Setelah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam selesai dari perang Tabuk dan kembali ke Madinah lalu bertemu segolongan orang-orang munafik yang tidak ikut perang, mereka meminta izin kepada Beliau untuk ikut berperang pada peperangan yang lain, maka Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dilarang oleh Allah untuk mengabulkan permintaan mereka, karena mereka sejak awal tidak mau berperang sebagai hukuman bagi mereka, di samping itu ikut sertanya mereka menimbulkan mafsadat.

[16] Ayat ini turun ketika Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam menyalatkan Abdullah bin Ubay bin Salul, tokoh munafik. Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma, bahwa ketika Abdullah bin Ubay wafat, maka anaknya datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, berikanlah gamismu agar aku kafankan dia dengannya. Salatkanlah dia dan mintakanlah ampunan untuknya.” Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan gamisnya dan bersabda, “Beritahukan saya (jika sudah selesai dikafankan), agar saya menyalatkannya.” Maka diberitahukanlah kepada Beliau. Ketika Beliau hendak menyalatkannya, maka Umar radhiyallahu 'anhu menarik Beliau dan berkata, “Bukankah Allah melarang engkau menyalatkan orang-orang munafik?” Beliau bersabda, “Aku berada di antara dua pilihan. Dia berfirman, “(Sama saja) engkau (Muhammad) memohonkan ampunan bagi mereka atau tidak memohonkan ampunan bagi mereka. Walaupun engkau memohonkan ampunan bagi mereka tujuh puluh kali, Allah tidak akan memberi ampunan kepada mereka.” Maka Beliau pun menyalatkannya, kemudian turunlah ayat kepada Beliau, “Wa laa tushalli ‘alaa ahadim minhum...dst.”

[17] Yakni jangan tertipu hanya karena mereka diberikan harta dan anak, yang demikian bukanlah karamah untuk mereka, bahkan penghinaan dari-Nya untuk mereka.

[18] Sehingga mereka bersusah payah untuk memperolehnya, takut jika apa yang mereka peroleh hilang, dan tidak merasa nikmat dengannya. Lebih dari itu, mereka senantiasa memperoleh kepenatan dan kesusahan. Harta dan anak mereka juga membuat mereka sibuk dan lupa dari mengingat Allah dan mengingat akhirat, sehingga mereka meninggalkan dunia dalam keadaan kafir, wal ‘iyaadz billah.

[19] Ada yang mengatakan, bahwa maksudnya adalah surat At Taubah ini.

[20] Maksudnya: bersama orang-orang yang tidak ikut berperang dari kalangan orang-orang yang beruzur, seperti orang-orang yang lemah dan orang yang sakit menahun.

[21] Karena kemunafikan mereka dan karena apa yang ada dalam hati mereka berupa penyakit, keraguan, dan sifat pengecut sehingga membuat mereka senang meninggalkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

[22] Yaitu wanita-wanita, anak-anak, orang-orang lemah, orang-orang yang sakit dan orang-orang yang sudah tua.

[23] Mereka tidak memahami hal yang bermaslahat bagi mereka dan tidak ada lagi keinginan untuk mengerjakan perbuatan yang di sana terdapat kebaikan dan keberuntungan.

[24] Yakni, jika orang-orang munafik itu enggan berjihad, maka sesungguhnya Allah tidak butuh kepada mereka, dan Allah memiliki hamba-hamba pilihan-Nya yang siap mengemban tugas itu. Hal ini sama seperti ayat, “Jika orang-orang (Quraisy) itu mengingkarinya, maka sesungguhnya Kami akan menyerahkannya kepada kaum yang sekali-kali tidak akan mengingkarinya.” (Terj. Al An’aam: 89)

[25] Yakni kebaikan yang banyak; baik di dunia maupun di akhirat.

[26] Merekalah orang-orang yang memperoleh apa yang mereka cita-citakan.

[27] Oleh karena itu, rugilah bagi mereka yang tidak menginginkan seperti yang mereka inginkan.

[28] Orang-orang Arab baduwi yang kurang peduli terhadap agama datang menghadap Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam agar mereka diberi izin untuk tidak berperang. Mereka tidak peduli dengan alasan yang mereka kemukakan karena sifat kasar mereka, serta sifat tidak punya malu dan karena iman mereka yang lemah. Kata-kata “mu’adzdzirun” juga bisa berarti orang-orang yang mempunyai alasan yang sesungguhnya tidak bisa dijadikan alasan agar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memberi izin mereka, dan kebiasaan Beliau adalah memberi izin mereka yang mengemukakan alasan.

[29] Yakni golongan yang lain dari kalangan kaum munafik Arab baduwi. Mereka duduk-duduk saja dan sama sekali tidak mengemukakan ‘uzur.

[30] Setelah Allah menyebutkan tentang orang-orang yang memiliki uzur, dan bahwa mereka terbagi menjadi dua bagian; ada orang yang tidak dapat diterima uzurnya dan ada pula yang diterima uzurnya menurut syara’, maka di ayat ini Allah Subhaanahu wa Ta'aala menyebutkan tentang mereka yang diterima uzurnya menurut syara’.

[31] Seperti orang yang lemah badan (sudah tua) dan lemah penglihatannya (buta), di mana mereka tidak memiliki kekuatan lagi untuk pergi berperang.

[32] Penyakit ini mencakup penyakit yang membuat orangnya tidak sanggup berangkat perang, seperti pincang, buta, demam, penyakit pada lambung (dzaatul janbi), lumpuh, dsb.

[33] Yakni mereka tidak memiliki bekal dan kendaraan yang dapat digunakan untuk berangkat, maka tidak ada dosa bagi mereka dengan syarat mereka berlaku tulus kepada Allah dan Rasul-Nya, yaitu imannya benar, dalam hati mereka ada keinginan bahwa jika mereka mampu, maka mereka akan berjihad dan akan melakukan hal yang mampu mereka lakukan, seperti memberikan dorongan kepada yang lain untuk berjihad, tidak melemahkan dan tetap taat.

[34] Baik terhadap hak Allah maupun hak hamba-hamba Allah. Apabila seorang hamba telah berbuat baik sesuai kesanggupannya, maka gugurlah darinya sesuatu yang tidak disanggupinya. Syaikh As Sa’diy rahimahullah menerangkan, bahwa dari ayat ini dapat diambil kaidah, yaitu barang siapa berbuat ihsan terhadap orang lain, baik pada diri orang lain maupun hartanya, dsb. kemudian ada yang kurang atau rusak, maka dia tidak menanggungnya karena telah berbuat baik. Demikian juga dapat diambil kaidah, bahwa orang yang tidak baik, seperti mereka yang meremehkan (padahal mempunyai tugas memperhatikannya), maka ia wajib menanggung.

[35] Karena Dia Maha Pengampun dan Penyayang, Dia memaafkan orang-orang yang tidak sanggup, dan membalas mereka dengan balasan yang sama seperti orang yang mampu dan melakukan.

[36] Mereka adalah tujuh orang Anshar, ada yang mengatakan, bahwa mereka adalah Bani Muqarrin.

[37] Maksudnya mereka bersedih hati karena tidak mempunyai harta yang akan diinfakkan dan kendaraan untuk membawa mereka pergi berperang.

[38] Mereka memiliki niat baik dan berusaha melakukannya semampunya, namun niatnya tidak tercapai, maka ia dianggap seperti orang yang melakukannya secara sama.

[39] Lagi mampu berperang.

[40] Sehingga tidak mungkin dimasuki oleh kebaikan dan tidak mengetahui hal yang bermaslahat bagi mereka baik agama maupun dunia.

Related Posts:

Tafsir At Taubah Ayat 62-74

Ayat 62-66: Kaum munafik berusaha membuat manusia ridha kepadanya meskipun dengan sumpah yang dusta, sedangkan kaum mukmin berusaha mencari keridhaan Allah Subhaanahu wa Ta'aala, dan haramnya menjadikan agama sebagai bahan olok-olokkan meskipun bercanda

يَحْلِفُونَ بِاللَّهِ لَكُمْ لِيُرْضُوكُمْ وَاللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَقُّ أَنْ يُرْضُوهُ إِنْ كَانُوا مُؤْمِنِينَ (٦٢) أَلَمْ يَعْلَمُوا أَنَّهُ مَنْ يُحَادِدِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَأَنَّ لَهُ نَارَ جَهَنَّمَ خَالِدًا فِيهَا ذَلِكَ الْخِزْيُ الْعَظِيمُ (٦٣) يَحْذَرُ الْمُنَافِقُونَ أَنْ تُنَزَّلَ عَلَيْهِمْ سُورَةٌ تُنَبِّئُهُمْ بِمَا فِي قُلُوبِهِمْ قُلِ اسْتَهْزِئُوا إِنَّ اللَّهَ مُخْرِجٌ مَا تَحْذَرُونَ (٦٤) وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ (٦٥) لا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِنْ نَعْفُ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ (٦٦)

Terjemah Surat At Taubah Ayat 62-66

62. Mereka bersumpah kepada kamu (wahai kaum mukmin) dengan (nama) Allah untuk menyenangkan kamu[1], padahal Allah dan Rasul-Nya lebih pantas mereka mencari keridhaan-Nya[2] jika mereka orang mukmin.

63. Tidakkah mereka (orang munafik) mengetahui bahwa barang siapa menentang Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya neraka Jahannamlah baginya, dia kekal di dalamnya. Itulah kehinaan yang besar.

64.[3] Orang munafik itu takut jika diturunkan suatu surah yang menerangkan apa yang tersembunyi di dalam hati mereka[4]. Katakanlah (kepada mereka), "Teruskanlah berolok-olok (terhadap Allah dan rasul-Nya)." Sesungguhnya Allah akan mengungkapkan apa yang kamu takuti itu.

@ Nifak akbar menyebabkan rasa takut dalam hati

65.[5] Dan jika kamu tanyakan kepada mereka, niscaya mereka akan manjawab, "Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja[6]." Katakanlah, "Mengapa kepada Allah, dan ayat-ayat-Nya serta Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?"

66. Tidak perlu kamu meminta maaf, karena kamu telah kafir setelah beriman[7]. Jika Kami memaafkan sebagian dari kamu (karena telah bertobat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain)[8] karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang (selalu) berbuat dosa[9].

Ayat 67-68: Di antara akhlak kaum munafik dan kejahatan mereka, dan ancaman azab untuk mereka

الْمُنَافِقُونَ وَالْمُنَافِقَاتُ بَعْضُهُمْ مِنْ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمُنْكَرِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمَعْرُوفِ وَيَقْبِضُونَ أَيْدِيَهُمْ نَسُوا اللَّهَ فَنَسِيَهُمْ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (٦٧) وَعَدَ اللَّهُ الْمُنَافِقِينَ وَالْمُنَافِقَاتِ وَالْكُفَّارَ نَارَ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا هِيَ حَسْبُهُمْ وَلَعَنَهُمُ اللَّهُ وَلَهُمْ عَذَابٌ مُقِيمٌ (٦٨

Terjemah Surat At Taubah Ayat 67-68

67.[10] Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, satu dengan yang lain adalah sama, mereka menyuruh berbuat yang mungkar[11] dan mencegah perbuatan yang ma'ruf[12] dan mereka menggenggamkan tangannya (kikir)[13]. Mereka telah melupakan Allah[14], maka Allah melupakan mereka (pula)[15]. Sesungguhnya orang-orang munafik itulah orang-orang yang fasik.

68. Allah menjanjikan (mengancam) orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang kafir dengan neraka Jahannam. Mereka kekal di dalamnya. Cukuplah neraka itu bagi mereka[16]. Allah melaknat mereka[17]; dan mereka mendapat azab yang kekal[18],

@ Nifak akbar mendatangkan laknat Allâh Azza wa Jalla.

Ayat 69-70: Pentingnya mengambil pelajaran dari umat-umat terdahulu yang telah binasa

كَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ كَانُوا أَشَدَّ مِنْكُمْ قُوَّةً وَأَكْثَرَ أَمْوَالا وَأَوْلادًا فَاسْتَمْتَعُوا بِخَلاقِهِمْ فَاسْتَمْتَعْتُمْ بِخَلاقِكُمْ كَمَا اسْتَمْتَعَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ بِخَلاقِهِمْ وَخُضْتُمْ كَالَّذِي خَاضُوا أُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ (٦٩) أَلَمْ يَأْتِهِمْ نَبَأُ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ قَوْمِ نُوحٍ وَعَادٍ وَثَمُودَ وَقَوْمِ إِبْرَاهِيمَ وَأَصْحَابِ مَدْيَنَ وَالْمُؤْتَفِكَاتِ أَتَتْهُمْ رُسُلُهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ فَمَا كَانَ اللَّهُ لِيَظْلِمَهُمْ وَلَكِنْ كَانُوا أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ (٧٠

Terjemah Surat At Taubah Ayat 69-70

69.[19] (Keadaan kamu kaum munafik dan musyrikin) seperti orang-orang sebelum kamu, mereka lebih kuat daripada kamu, dan lebih banyak harta dan anak-anaknya. Maka mereka telah menikmati bagiannya, dan kamu telah menikmati bagianmu sebagaimana orang-orang yang sebelummu menikmati bagiannya, dan kamu mempercakapkan (hal-hal yang batil)[20] sebagaimana mereka mempercakapkannya. Mereka itu sia-sia amalnya di dunia dan di akhirat. Mereka itulah orang-orang yang rugi.

70. Apakah tidak sampai kepada mereka berita tentang orang-orang yang sebelum mereka, (yaitu) kaum Nuh, 'Aad, Tsamud, kaum Ibrahim, penduduk Madyan, dan (penduduk) negeri-negeri yang telah musnah?[21]. Telah datang kepada mereka rasul-rasul dengan membawa bukti-bukti yang nyata (mukjizat)[22]; Allah tidak menzalimi mereka[23], tetapi merekalah yang menzalimi diri mereka sendiri[24].

Ayat 71-72: Sifat-sifat kaum mukmin dan pahala yang disiapkan untuk mereka

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (٧١)وَعَدَ اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَمَسَاكِنَ طَيِّبَةً فِي جَنَّاتِ عَدْنٍ وَرِضْوَانٌ مِنَ اللَّهِ أَكْبَرُ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ (٧٢

Terjemah Surat At Taubah Ayat 71-72

71. Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang ma'ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sungguh, Allah Mahaperkasa[25] lagi Mahabijaksana[26].

72. Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya, dan (mendapat) tempat yang baik di surga 'Adn[27]. Dan keridhaan Allah lebih besar (dari semua itu). Itulah kemenangan yang agung[28].

Ayat 73-74: Perintah berjihad dan bersikap tegas dengan orang-orang kafir dan orang-orang munafik serta penjelasan tentang sebab kemunafikan mereka, dan bahayanya mereka terhadap umat Islam

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ (٧٣) يَحْلِفُونَ بِاللَّهِ مَا قَالُوا وَلَقَدْ قَالُوا كَلِمَةَ الْكُفْرِ وَكَفَرُوا بَعْدَ إِسْلامِهِمْ وَهَمُّوا بِمَا لَمْ يَنَالُوا وَمَا نَقَمُوا إِلا أَنْ أَغْنَاهُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ مِنْ فَضْلِهِ فَإِنْ يَتُوبُوا يَكُ خَيْرًا لَهُمْ وَإِنْ يَتَوَلَّوْا يُعَذِّبْهُمُ اللَّهُ عَذَابًا أَلِيمًا فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَمَا لَهُمْ فِي الأرْضِ مِنْ وَلِيٍّ وَلا نَصِيرٍ (٧٤

Terjemah Surat At Taubah Ayat 73-74

73. Wahai Nabi! Berjihadlah (melawan) orang-orang kafir[29] dan orang-orang munafik[30], dan bersikap keraslah terhadap mereka[31]. Tempat mereka adalah neraka Jahannam. Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.

74.[32] Mereka (orang-orang munafik) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakiti Muhammad). Sungguh, mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran[33], dan telah menjadi kafir setelah Islam, dan menginginkan apa yang mereka tidak dapat mencapainya[34]; dan mereka tidak mencela (Allah dan Rasul-Nya), kecuali karena Allah dan Rasul-Nya telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka[35]. Maka jika mereka bertobat[36], itu adalah lebih baik bagi mereka, dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan mengazab mereka dengan azab yang pedih di dunia[37] dan akhirat[38]; dan mereka tidak mempunyai pelindung dan tidak (pula) penolong di bumi.


[1] Dalam perkara yang sampai kepada kamu dari mereka berupa menyakiti Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, yakni bahwa mereka tidak melakukannya, agar kamu tidak membenci mereka.

[2] Dengan menaatinya. Disebutkan dhamirnya dengan bentuk mufrad karena talazumnya (terikat bersama) dua keridhaan.

[3] Surat At Taubah disebut sebagai surat Al Faadhihah (membuka aib), karena dalam surat ini disebutkan rahasia-rahasia yang disembunyikan oleh kaum munafik. Allah Subhaanahu wa Ta'aala senantiasa menyebutkan, “Dan di antara mereka… dst.”, menyebutkan sifat-sifat mereka, hanya saja Dia tidak menyebutkan secara ta’yin (orang perorang) karena beberapa faedah, di antaranya:

- Allah Subhaanahu wa Ta'aala adalah As Sittir, Dia suka menutupi aib hamba-hamba-Nya.

- Celaan yang Allah sebutkan tidak hanya mengena kepada kaum munafik di waktu itu saja, tetapi mengena pula kepada selain mereka (kaum munafik yang datang setelahnya) sampai hari kiamat.

- Tidak membuat mereka berputus asa dari bertobat.

[4] Berupa kemunafikan.

[5] Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhuma ia berkata, “Suatu hari ada seseorang yang berkata dalam perang Tabuk di sebuah majlis, “Saya belum pernah melihat orang yang lebih rakus perutnya, lebih dusta lisannya dan lebih pengecut ketika menghadapi musuh daripada para pembaca Al Qur’an ini, “ lalu ada seseorang yang berkata di majlis itu, “Engkau dusta, engkau adalah munafik, saya akan menyampaikan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.” Maka sampailah berita itu kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan ayat Al Qur’an pun turun. Abdullah berkata, “Saya melihat orang itu berpegangan dengan sabuk unta Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam keadaan tersandung oleh batu, sambil berkata, “Wahai Rasulullah, kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja.” Sedangkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Mengapa kepada Allah, dan ayat-ayat-Nya serta Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?" (Hadits ini para perawinya adalah para perawi kitab shahih selain Hisyam bin Sa’ad, maka Muslim tidak memakainya selain hanya sebagai syahid (penguat) sebagaimana diterangkan dalam Al Mizan. Hadits ini disebutkan pula oleh Thabari dari jalannya juz 10 hal. 172. Hadits ini memiliki syahid yang hasan dalam riwayat Ibnu Abi Hatim juz 4 hal. 64 dari hadits Ka’ab bin Malik).

[6] Untuk mengisi waktu kosong di perjalanan dan tidak sengaja mengucapkan demikian.

[7] Hal itu, karena mengolok-olok Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya merupakan kekafiran yang mengeluarkan dari Islam, karena agama dibangun di atas dasar pengagungan kepada Allah, agama-Nya dan Rasul-Nya, sedangkan mengolok-olok bertentangan dengan dasar ini dan sangat berlawanan sekali. Oleh karena itulah, ketika kaum munafik itu datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam meminta maaf terhadap ucapan ini, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam membacakan ayat di atas, “Mengapa kepada Allah, dan ayat-ayat-Nya serta Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok? Tidak perlu kamu meminta maaf, karena kamu telah kafir setelah beriman" Beliau tidak menoleh kepadanya dan tidak berkata lebih.

Ayat ini juga menunjukkan bahwa di antara permintaan maaf, ada yang tidak pantas diterima maafnya, yakni jika dimaafkan bukan malah memperbaiki dirinya, tetapi malah semakin jauh dari kebaikan. Meskipun hukum asalnya, jika ada yang meminta maaf harus dikasihani dan dimaafkan, namun orang yang seperti ini tidak layak dimaafkan.

* Ini menunjukkan bahwa orang yang mengucapkan kalimat-kalimat kufur bukan karena terpaksa, bisa menjadi kafir, meskipun dia menganggap sedang bermain, bergurau atau demi menghibur orang lain. Ini juga sebagai bantahan terhadap golongan Murji’ah yang berpendapat bahwa seseorang tidak bisa kafir dengan sebab perkataan semata kecuali kalau perkataan itu disertai keyakinan dalam hati.

[8] Yakni tidak bisa dima’afkan semuanya dan segolongan di antara kamu perlu dihukum. Meskipun kalau mereka bertobat, maka tobatnya diterima. Dalam ayat ini juga terdapat dalil bahwa barang siapa yang membicarakan secara rahasia yang isinya membuat makar terhadap agama, mengolok-olok Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya, maka Allah Subhaanahu wa Ta'aala akan menampakkannya dan membuka aibnya serta menghukumnya dengan hukuman yang berat. Demikian pula terdapat dalil bahwa mengolok-olok salah satu dari kitabullah atau sunnah Rasul-Nya yang sahih, melecehkanya, merendahkannya, atau mengolok-olok Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam atau merendahkannya, maka dia kafir kepada Allah. Di samping itu, ayat di atas juga menunjukkan bahwa tobat diterima dalam semua dosa meskipun besar.

[9] Selalu berbuat kufur dan nifak.

[10] Dalam ayat ini terdapat sesuatu yang mendorong kaum mukmin untuk tidak berwala’ (mencintai dan membela) kepada mereka (orang-orang munafik).

[11] Yaitu kekafiran dan kemaksiatan.

[12] Yaitu keimanan, ketaatan, amal yang saleh, akhlak yang mulia, dan adab yang baik.

[13] Dari bersedekah dan dari mengeluarkan harta di jalan-jalan kebaikan.

[14] Yakni meninggalkan ketaatan kepada-Nya atau mereka tidak mengingat-Nya kecuali karena terpaksa dan bermalas-malasan melakukannya.

[15] Membiarkan mereka; tidak memberi rahmat-Nya, tidak memberi mereka taufik kepada kebaikan, dan di akhirat mereka akan dibiarkan di dalam siksaan tidak dipedulikan.

[16] Sebagai balasan untuk mereka.

[17] Yakni menjauhkan mereka dari rahmat-Nya.

[18] Allah Subhaanahu wa Ta'aala mengumpulkan kaum munafik dan orang-orang kafir di dalam neraka karena mereka berkumpul di atas kekafiran ketika di dunia, menentang Allah dan Rasul-Nya serta kafir kepada ayat-ayat-Nya.

[19] Dalam ayat ini, Allah Subhaanahu wa Ta'aala memperingatkan kaum munafik agar mereka menyadari bahwa jika mereka tetap di atas sikapnya itu, mereka bisa memperoleh azab seperti yang menimpa generasi sebelum mereka yang mendustakan para rasul.

[20] Termasuk di antaranya mencela Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

[21] 'Aad adalah kaum Nabi Hud, Tsamud adalah kaum Nabi Shaleh; Madyan adalah kaum Nabi Syu'aib, dan penduduk negeri yang telah musnah adalah kaum Nabi Luth alaihimus salam.

[22] Lalu mereka mendustakannya, maka Allah membinasakan mereka.

[23] Dengan mengazab tanpa dosa.

[24] Dengan mengerjakan dosa.

[25] Dia kuasa mewujudkan janji dan ancaman-Nya.

[26] Dia tidak meletakkan sesuatu kecuali pada tempatnya.

[27] Di antaranya adalah kamar yang jernih dan indah, bagian luar dapat terlihat dari dalam dan bagian dalam dapat terlihat dari luar. ‘Adn artinya tinggal (iqamah), yakni mereka berada di surga tanpa ada keinginan pindah darinya, bahkan senang menetap di sana.

[28] Ya Allah, masukkanlah kami ke dalam surga-Mu dan jauhkanlah kami dari neraka, masukkan pula ya Allah ke dalam surga, anak dan istri kami, bapak dan ibu kami serta saudara-saudara kami. Kumpulkanlah kami di sana.

[29] Dengan perang.

[30] Dengan lisan dan hujjah.

[31] Dengan bentakan dan sikap marah.

[32] Ibnu Jarir berkata: telah menceritakan kepadaku Ayyub bin Ishaq bin Ibrahim, ia berkata: telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Rajaa’, ia berkata: telah menceritakan kepada kami Israil dari Simak dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah duduk di bawah naungan sebuah pohon dan bersabda, “Sesungguhnya akan datang kepada kalian seseorang yang memandang dengan kedua mata setan. Apabila dia datang, maka janganlah berbicara dengannya.” Tidak lama kemudian datanglah seorang laki-laki yang nampak biru, lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memanggilnya dan bersabda, “Atas dasar apa kamu dan kawan-kawanmu memakiku?” Maka orang itu pun pergi dan kembali dengan membawa kawan-kawannya. Mereka pun bersumpah dengan nama Allah, bahwa mereka tidak mengucapkannya dan tidak melakukannya, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memaafkan mereka. Alah Subhaanahu wa Ta'aala lantas menurunkan ayat, “Yahlifuuna billahi maa qaaluu…dst.” kemudian menyifai mereka semua sampai akhir ayat.

Dalam Ash Shahihul Musnad oleh Syaikh Muqbil disebutkan, “Ayyub bin Ishaq bin Ibrahim bin Safiri adalah guru At Thabari. Ibnu Abi Hatim berkata, “Kami mencatat tentangnya ketika di Ramalah, dan saya sebutkan kepada bapak saya, lantas ia mengenalinya dan berkata, “Ia seorang yang sangat jujur.” Sedangkan Abdullah bin Raja’ Abu ‘Amr, Abu Zur’ah berkata, “Hasan haditsnya dari Israil,” Abu Hatim berkata, “Tsiqah”, dan Ya’qub bin Sufyan berkata, “Tsiqah.”

[33] Seperti perkataan mereka, “Sungguh, orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah.” Orang-orang yang lemah yang mereka maksud adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Demikian pula olok-olokkan mereka kepada Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya.

* Seseorang bisa murtad dengan sebab perkataan jika dia mengucapkan kalimat kufur atau syirik, bukan dalam keadaan terpaksa, baik serius, gurau atau bercanda. Jika ada orang yang mengucapkan kufur, maka dia dihukumi murtad, kecuali jika dia terpaksa mengucapkannya.

[34] Maksudnya mereka ingin membunuh Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam sepulang dari Tabuk. Jumlah mereka ketika itu dua belas orang. Mereka mencoba membunuh Beliau pada malam ‘Aqabah ketika Beliau pulang dari Tabuk, di mana ketika itu, Beliau melewati ‘aqabah (jalan di atas bukit), sedangkan para sahabat yang lain melewati jalan lembah. Ketika itu, ‘Ammar bin Yasir dan Hudzaifah bin Al Yaman bersama Beliau memegang unta Beliau dan mengarahkannya. Tiba-tiba mereka mendengar serangan orang-orang yang meutup muka dari belakang, maka Beliau mengirim Hudzaifah, kemudian Hudzaifah memukul muka unta-unta mereka dengan tongkatnya, maka Allah menaruh rasa takut ke dalam hati mereka dan mereka pun lari ketakutan. Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan nama-nama mereka itu dan maksud mereka melakukan hal itu kepada Hudzaifah, oleh karenanya Hudzaifah disebut shaahib sir (orang yang mendapat rahasia) Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.


[35] Sungguh aneh, mengapa mereka mencela Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam; orang yang menjadi sebab keluarnya mereka dari kebodohan kepada cahaya, menjadikan mereka kaya setelah sebelumnya miskin. Bukankah seharusnya orang yang berjasa kepada mereka dimuliakan, dipercayai dan dihormati; tidak dicela, dan pantaskah air susu dibalas dengan air tuba?

[36] Dari kemunafikan dan beriman kepadamu. Di ayat ini, Allah Subhaanahu wa Ta'aala menawarkan mereka untuk bertobat meskipun mereka telah melakukan perbuatan yang demikian buruk.

[37] Dengan mendapatkan kesedihan, kegelisahan dan kekecewaan karena menangnya agama Allah dan apa yang mereka harapkan tidak tercapai.

[38] Dengan dimasukkan ke dalam neraka.

Related Posts:

Tafsir At Taubah Ayat 50-61

Ayat 50-52: Gembiranya kaum munafik terhadap apa yang menimpa kaum mukmin berupa cobaan atau kekalahan, dan memperkuat hubungan kaum mukmin dengan Tuhan mereka

إِنْ تُصِبْكَ حَسَنَةٌ تَسُؤْهُمْ وَإِنْ تُصِبْكَ مُصِيبَةٌ يَقُولُوا قَدْ أَخَذْنَا أَمْرَنَا مِنْ قَبْلُ وَيَتَوَلَّوْا وَهُمْ فَرِحُونَ (٥٠) قُلْ لَنْ يُصِيبَنَا إِلا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلانَا وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ (٥١) قُلْ هَلْ تَرَبَّصُونَ بِنَا إِلا إِحْدَى الْحُسْنَيَيْنِ وَنَحْنُ نَتَرَبَّصُ بِكُمْ أَنْ يُصِيبَكُمُ اللَّهُ بِعَذَابٍ مِنْ عِنْدِهِ أَوْ بِأَيْدِينَا فَتَرَبَّصُوا إِنَّا مَعَكُمْ مُتَرَبِّصُونَ (٥٢

Terjemah Surat At Taubah Ayat 50-52

50. Jika engkau (Muhammad) mendapat kebaikan[1], mereka tidak senang; tetapi jika engkau ditimpa bencana, mereka (kaum munafik) berkata, "Sungguh, sejak semula kami telah berhati-hati (tidak pergi perang).” Dan mereka berpaling dengan perasaan gembira.

51. Katakanlah (Muhammad), "Tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah bagi kami[2]. Dialah pelindung kami[3], dan hanya kepada Allah bertawakkallah orang-orang yang beriman[4]."

52. Katakanlah (Muhammad)[5], "Tidak ada yang kamu tunggu-tunggu bagi kami, kecuali salah satu dari dua kebaikan (menang atau mati syahid). Dan kami menunggu-nunggu bagi kamu bahwa Allah akan menimpakan azab kepadamu dari sisi-Nya[6], atau (azab) melalui tangan kami[7]. Maka tunggulah[8], sesungguhnya kami menunggu (pula)[9] bersamamu."



Ayat 53-54: Allah Subhaanahu wa Ta'aala tidak menerima sedekah kecuali yang ikhlas dan baik

قُلْ أَنْفِقُوا طَوْعًا أَوْ كَرْهًا لَنْ يُتَقَبَّلَ مِنْكُمْ إِنَّكُمْ كُنْتُمْ قَوْمًا فَاسِقِينَ (٥٣) وَمَا مَنَعَهُمْ أَنْ تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلا أَنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَبِرَسُولِهِ وَلا يَأْتُونَ الصَّلاةَ إِلا وَهُمْ كُسَالَى وَلا يُنْفِقُونَ إِلا وَهُمْ كَارِهُونَ (٥٤

Terjemah Surat At Taubah Ayat 53-54

53. Katakanlah (Muhammad), "Infakkanlah[10] hartamu baik dengan sukarela maupun dengan terpaksa, namun infakmu tidak akan diterima. Sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang fasik;

54. Dan yang menghalang-halangi infak mereka untuk diterima adalah karena mereka kafir (ingkar) kepada Allah dan Rasul-Nya[11] dan mereka tidak melaksanakan shalat, melainkan dengan malas dan tidak (pula) menginfakkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan (terpaksa)[12].



Ayat 55-59: Peringatan agar tidak merasa kagum dengan harta dan anak yang dimiliki kaum munafik serta tidak tertipu oleh mereka, dan bagaimana sikap mereka (orang-orang munafik) terhadap pembagian sedekah

فَلا تُعْجِبْكَ أَمْوَالُهُمْ وَلا أَوْلادُهُمْ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُعَذِّبَهُمْ بِهَا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَتَزْهَقَ أَنْفُسُهُمْ وَهُمْ كَافِرُونَ (٥٥) وَيَحْلِفُونَ بِاللَّهِ إِنَّهُمْ لَمِنْكُمْ وَمَا هُمْ مِنْكُمْ وَلَكِنَّهُمْ قَوْمٌ يَفْرَقُونَ (٥٦) لَوْ يَجِدُونَ مَلْجَأً أَوْ مَغَارَاتٍ أَوْ مُدَّخَلا لَوَلَّوْا إِلَيْهِ وَهُمْ يَجْمَحُونَ (٥٧) وَمِنْهُمْ مَنْ يَلْمِزُكَ فِي الصَّدَقَاتِ فَإِنْ أُعْطُوا مِنْهَا رَضُوا وَإِنْ لَمْ يُعْطَوْا مِنْهَا إِذَا هُمْ يَسْخَطُونَ (٥٨) وَلَوْ أَنَّهُمْ رَضُوا مَا آتَاهُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ سَيُؤْتِينَا اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَرَسُولُهُ إِنَّا إِلَى اللَّهِ رَاغِبُونَ (٥٩

Terjemah Surat At Taubah Ayat 55-59

55. Maka janganlah harta dan anak-anak mereka membuatmu kagum[13]. Sesungguhnya maksud Allah dengan itu adalah untuk menyiksa mereka dalam kehidupan dunia[14] dan kelak akan mati dalam keadaan kafir[15].

56. Dan mereka (orang-orang munafik) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa sesungguhnya mereka termasuk golonganmu; namun mereka bukanlah dari golonganmu, tetapi mereka orang-orang yang sangat takut (kepadamu)[16].

57. Sekiranya mereka memperoleh tempat perlindungan, gua-gua atau lubang-lubang (dalam tanah), niscaya mereka pergi (lari) ke sana dengan secepat-cepatnya[17].

58.[18] Dan di antara mereka ada yang mencelamu tentang (pembagian) sedekah (zakat)[19]; jika mereka diberi bagian, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi bagian, tiba-tiba mereka marah.

59. Dan sekiranya mereka benar-benar ridha dengan apa yang diberikan kepada mereka oleh Allah dan Rasul-Nya[20], dan berkata, "Cukuplah Allah bagi kami[21], Allah akan memberikan kepada kami sebagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya[22]. Sesungguhnya kami orang-orang yang berharap kepada Allah[23]."

Ayat 60-61: Menjelaskan tentang tempat pengalihan zakat, dan menjelaskan bagaimana kaum munafik menyakiti Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam baik dengan mencela maupun memindahkan ucapan Beliau

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (٦٠) وَمِنْهُمُ الَّذِينَ يُؤْذُونَ النَّبِيَّ وَيَقُولُونَ هُوَ أُذُنٌ قُلْ أُذُنُ خَيْرٍ لَكُمْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَيُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِينَ وَرَحْمَةٌ لِلَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ رَسُولَ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ (٦١

Terjemah Surat At Taubah Ayat 60-61

60. Sesungguhnya sedekah (zakat)[24] itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mu’allaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan[25], sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana[26].

61. Di antara mereka (orang munafik) ada orang-orang yang menyakiti Nabi (Muhammad)[27] dan mengatakan[28], "Nabi mempercayai semua apa yang didengarnya[29]." Katakanlah, "Dia mempercayai semua yang baik bagi kamu[30], dia beriman kepada Allah, mempercayai orang-orang mukmin[31], dan menjadi rahmat bagi orang-orang yang beriman di antara kamu[32]." Dan orang-orang yang menyakiti Rasulullah[33] akan mendapat azab yang pedih[34].


[1] Seperti kemenangan dan ghanimah.

[2] Dalam Al Lauhul Mahfuzh.

[3] Yakni Pengatur urusan kami, baik yang terkait dengan agama maupun dunia. Oleh karena itu, sikap kami adalah ridha dengan qadar-Nya, dan kami tidak berkuasa apa-apa.

[4] Hanya kepada Alah kaum mukmin bersandar dalam menarik maslahat dan menghindarkan madharat serta mempercayakan kepada-Nya dalam mewujudkan apa yang mereka inginkan. Oleh karena itu, tidak akan kecewa orang-orang yang bertawakkal, sedangkan orang-orang yang tidak bertawakkal kepada-Nya, maka ia akan kecewa dan tidak memperoleh apa yang diharapkannya.

[5] Kepada orang-orang munafik.

[6] Dengan adanya bencana atau tanpa ada usaha melalui tangan kami.

[7] Dengan izin dari-Nya untuk memerangi kamu.

[8] Yakni kebaikan untuk kami.

[9] Keburukan untuk kamu.

[10] Perintah di sini memberi arti khabar (berita), bahwa infak mereka tidak diterima.

[11] Sedangkan iman merupakan syarat diterimanya amal.

[12] Mereka menganggap infak sebagai kerugian. Dalam ayat ini terdapat peringatan bagi kaum mukmin agar tidak menyerupai mereka, seperti malas beribadah, infak dengan hati yang kesal, dsb.

Faedah/catatan:

Perlu diketahui, bahwa nifak terbagi dua:

q Nifaq Akbar (Nifaq I’tiqaadiy)

Nifaq Akbar yaitu menampakkan keislaman di luar dan menyembunyikan kekafiran di dalam dirinya. Nifaq ini mengeluarkan seseorang dari Islam, dan Allah mengancam pelakunya dengan neraka di lapisan paling bawah. Nifak Akbar ini ada beberapa macam bentuknya, ada yang berupa mendustakan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, ada yang berupa mendustakan apa yang Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bawa, ada yang berupa membenci Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, ada yang berupa membenci apa yang dibawa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, ada yang berupa senang jika agama Islam tidak berkembang dan ada yang berupa tidak suka jika agama Islam menang.

q Nifaq Ashghar/kecil (nifaq ‘amali)

Nifaq Ashghar adalah nifak yang kaitannya dengan amalan, di mana amal tersebut biasanya dilakukan oleh orang-orang munafik. Nifak ini tidak mengeluarkan dari Islam, namun bisa menjadi jembatan ke arah Nifaq Akbar. Contoh Nifaq Ashghar adalah jika dipercaya khianat, jika berbicara berdusta, jika berjanji mengingkari, jika bertengkar melakukan tindakan yang kejam, tidak mau mengerjakan shalat berjamaah, menunda-nunda shalat hingga hampir habis waktuya, malas beribadah, sangat berat melakukan shalat terlebih shalat Subuh dan 'Isya, dsb.

[13] Karena yang demikian hanya sebagai istidraj (lihat pula surat Al An’am: 44).

[14] Di mana mereka merasakan kepayahan dan penderitaan dalam mengumpulkan dan memperolehnya, oleh karenanya jika kesenangan itu dihadapkan dengan penderitaan, maka kesenangan itu tidak ada apa-apanya.

[15] Sehingga Allah akan mengazabnya di akhirat dengan azab yang pedih.

[16] Mereka takut jika kamu memberlakukan mereka seperti terhadap orang-orang kafir, sehingga mereka bersumpah sebagai taqiyah (menjaga diri).

[17] Sambil menaruh kebencian dan dendam kepada kaum mukmin.

[18] Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Sa’id, ia berkata: Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam membagi-bagikan (zakat), Abdullah bin Dzul Khuwaishirah At Tamimi datang dan berkata, “Berlaku adillah, wahai Rasulullah!” Beliau menjawab, “Celaka kamu, siapakah yang akan berlaku adil jika saya tidak berlaku adil?” Umar bin Khaththab berkata, “Biarkanlah saya memenggal lehernya.” Beliau menjawab, “Biarkanlah dia, karena dia memiliki kawan-kawan yang kamu akan merasakan shalatmu sedikit jika dibanding shalatnya, demikian pula puasamu dibanding mereka. Mereka lepas dari agama sebagaimana lepasnya panah (tembus keluar) dari binatang buruannya. Dilihat bulu panahnya, maka tidak terdapat apa-apa, dilihat mata panahnya, maka tidak terlihat apa-apa, dilihat rishaf(tempat dimasukkan mata panah)nya ternyata tidak ada apa-apa, dilihat anak panahnya, maka tidak terlihat apa-apa, padahal telah melewati kotoran hewan dan darahnya (namun tidak membekas apa-apa pada panah itu). Tanda-tanda mereka adalah bahwa salah satu tangannya --atau bersabda: “Salah satu dadanya seperti dada wanita-- atau seperti sepotong daging yang bergoyang-goyang. Mereka keluar ketika terjadi perpecahan di antara manusia.” Abu Sa’id berkata, “Aku bersaksi, bahwa aku mendengar dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, dan aku bersaksi bahwa Ali memerangi mereka, sedangkan saya ikut bersamanya. Dihadapkan orang yang disebutkan sifatnya itu oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Tentang orang itulah turun ayat, “Wa minhum may yalmizuka fish shadaqaat…dst.”

[19] Celaan tersebut dimaksudkan agar mereka mendapatkan bagian, padahal keadaan seperti ini tidak patut ada dalam diri seorang hamba, di mana senang dan marahnya mengikuti hawa nafsunya.

[20] Sedikit atau banyak, baik dari ghanimah maupun lainnya.

[21] Yakni kami ridha dengan pembagian-Nya, sambil kami berharap kepada karunia dan ihsan-Nya.

[22] Dari ghanimah yang lain.

[23] Agar Dia memberikan kecukupan kepada kami. Jawaban kalimat di atas adalah, “Tentu yang demikian lebih baik bagi mereka” atau “tentu mereka akan selamat dari kemunafikan serta akan ditunjukkan kepada keimanan dan keadaan-keadaan yang utama.”

[24] Sedekah di sini maksudnya adalah zakat, karena sedekah sunat tidak hanya ditujukan kepada delapan asnaf ini.

[25] Yang berhak menerima zakat adalah:
Orang yang fakir

Orang fakir yaitu orang yang tidak mampu/sengsara (tidak memiliki harta untuk mencukupi kebutuhan dirinya dan kebutuhan orang yang ditanggungnya) disamping tidak punya tenaga untuk memenuhi penghidupannya, seperti orang tua jompo dan yang cacat badannya.
Orang yang miskin

Orang miskin adalah orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam keadaan kekurangan, tidak pandai bekerja dan tidak mau meminta-minta.

Ibnu Jarir dan ulama lainnya memilih mengatakan bahwa orang fakir adalah orang yang menjaga diri dan tidak meminta-minta kepada manusia (padahal ia sangat butuh), sedangkan orang miskin adalah orang yang meminta-minta, berkeliling dan mencari manusia (agar diberi). Menurut yang lain, bahwa fakir adalah orang yang tidak memiliki harta untuk mencukupi kebutuhannya dan tidak mampu bekerja untuk menutupi kebutuhannya, sedangkan orang miskin adalah orang yang lebih ringan kebutuhannya daripada orang fakir.

Singkatnya, orang miskin posisinya di bawah orang fakir dari sisi kebutuhannya, ia mampu mencari nafkah, tetapi penghasilannya tidak mencukupi baik bagi diri maupun keluarganya.

Catatan: Ukuran seseorang dikatakan fakir dan miskin adalah ketika ia tidak memiliki harta seukuran senishab zakat setelah dikurangkan dengan kebutuhan pokoknya baik bagi dirinya maupun anak-anaknya berupa makan, minum, pakaian, tempat tinggal, kendaraan, perangkat untuk kerjanya dan sebagainya yang diperlukan olehnya.
Amilin/pengurus zakat

Orang yang diberi tugas menarik zakat dari masyarakat, dan yang menyalurkannya kepada yang berhak atau orang yang sibuk mengurus zakat. Termasuk orang yang sibuk mengurus zakat adalah penjaga, pengurus maupun pencatatnya. Kecuali jika mereka mendapat gaji dari pemerintah terhadap tugas itu, maka tidak diberikan.
Mu’allaf (orang yang dibujuk ke dalam Islam agar masuk Islam atau untuk mengokohkan imannya atau menghindarkan gangguan darinya ataupun untuk menarik manfaat dengan diberikan zakat kepadanya seperti menjadikan yang lain ikut masuk Islam)

Mu’allaf ini terbagi dua; ada yang muslim dan ada yang kafir. Mu’allaf yang muslim terdiri dari 4 golongan:

q Tokoh masyarakat dari kalangan kaum muslimin.

q Tokoh masyarakat yang masih lemah imannya, di mana ia sangat disegani oleh masyarakat, dengan diberikan zakat kepadanya diharapkan imannya semakin kuat.

q Kaum muslimin yang tinggal di perbatasan antara negeri kaum muslimin dan negeri musuh. Diharapkan dengan diberikan zakat kepada mereka, mereka mau membela kaum muslimin ketika musuh menyerang.

q Kaum muslimin yang memiliki pengaruh, apabila diberikan zakat kepada mereka, maka yang lain akan mengeluarkan zakatnya sehingga mempermudah untuk memungut zakat.

Sedangkan mu’allaf yang kafir terdiri dari 2 golongan:

q Orang-orang yang diharapkan masuk Islam dengan diberikannya zakat kepada mereka.

q Orang-orang yang dikhawatirkan kejahatannya, dengan diberikannya zakat kepada mereka diharapkan mereka tidak berbuat jahat kepada kaum muslimin.
Untuk memerdekakan budak ( Fir Riqab )

Yakni budak-budak mukaatab (yaitu budak yang mengadakan perjanjian dengan tuannya, apabila ia (yakni budak tersebut) membayar uang sejumlah sekian maka ia akan bebas), maka agar mereka dapat lepas dari perbudakan dibantu dari zakat.
Orang islam yang terlilit hutang ( Gharimin )

Ghaarimin adalah orang yang berhutang dan tidak sanggup membayarnya, mereka ada beberapa macam: Ada yang memikul hutang, ada juga yang menjamin hutang orang lain sehingga hartanya habis atau membuatnya jadi berhutang, atau orang yang berhutang untuk suatu maksiat kemudian bertobat dan tidak ada biaya untuk melunasi hutangnya. Demikian pula orang yang berhutang untuk mendamaikan dua pihak yang bersengketa, lalu orang itu maju menengahi mereka dengan berjanji akan memberikan harta kepada salah seorang di antara mereka atau semuanya. Maka orang ini diberikan bagian dari zakat, meskipun ia kaya.
Dalam perjuangan di jalan Allah (fi sabilillah)

Di antaranya adalah para mujahidin yang sukarela berjuang menegakkan agama Allah atau untuk kepentingan pertahanan Islam dan kaum muslimin di mana mereka tidak mendapat gaji dari negara (baik mereka orang kaya maupun orang miskin). Adapula di antara ulama yang menggolongkan penuntut ilmu ke dalam fii sabilillah. Adapun pembangunan masjid, penggalian sungai atau kepentingan umum lainnya maka menurut Abu ’Ubaid dalam Al Amwal, zakat tidak bisa diberikan kepadanya.
Ibnu Sabil (musafir)

Ibnu Sabil adalah orang yang kehabisan perbekalan dalam perjalanan yang bukan maksiat sehingga tidak bisa melanjutkan perjalanan. Diberikan kepadanya zakat agar ia bisa kembali ke tempat asalnya.

Faedah:

Delapan golongan yang disebutkan di atas jika disimpulkan menjadi dua bagian:

- Mereka yang diberikan zakat untuk memenuhi kebutuhan pribadinya (hajat khashshsah), seperti orang fakir, miskin, dsb.

- Mereka yang diberikan zakat untuk kebutuhannya, di mana agama Islam memperoleh manfaat darinya (hajat ‘ammah).

Sungguh besar sekali manfaat zakat, di mana jika disalurkan sesuai syar’i, maka akan berkurang kemiskinan dan agama Islam menjadi tegak dan terjaga.

Golongan yang tidak Berhak Menerima Zakat

Orang-orang yang tidak berhak menerima zakat adalah :

q Orang kafir (Namun boleh diberikan kepada orang kafir sedekah sunat, bukan sedekah wajib (zakat)), dikecualikan apabila tergolong mu’allafah quluubuhum (lihat no. 4 tentang orang yang berhak menerima zakat).

q Keluarga Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam (yaitu istri Beliau dan keturunannya, juga setiap muslim dan muslimah keturunan Bani Hasyim dan Bani Muththalib, seperti keluarga Ali, keluarga Ja’far, keluarga ‘Aqiil, keluarga Al Harits dan keluarga Abbas dst. ke bawah termasuk pula maula (orang yang dimerdekakan) mereka) baik zakat maupun sedekah sunat.

q Orang-orang yang kaya (kecuali apabila sebagai ‘amil zakat, membelinya dari orang miskin, orang yang berhutang, orang yang berperang di jalan Allah atau zakat yang diberikan dari orang miskin kepada si kaya). Seseorang disebut “kaya”apabila memiliki harta mencapai satu nishab setelah dikurangkan dengan kebutuhan mendesak dan hutangnya.

q Orang yang kuat dan mampu berusaha untuk mencukupi kebutuhannya.

q Orang yang nafkahnya di bawah tanggungjawabnya, seperti kedua orang tua, istri dan anak.

q Orang kafir dan fasik seperti yang meninggalkan shalat dan yang mengejek syari’at Islam.

[26] Dalam tindakan-Nya. Oleh karena itu, zakat tidak boleh dialihkan kepada selain mereka yang disebutkan itu, dan salah satu golongan di antara 8 golongan itu tidak dihalangi memperolehnya ketika ada, maka dari itu, imam membagikannya secara sama (semuanya memperolehnya), namun ia juga boleh melebihkan sebagiannya di atas yang lain. Menurut penyusun tafsir Al Jalaalain, huruf lam (yakni pada kata lil fuqaraa’) menunjukkan bahwa masing-masing golongan harus memperoleh zakat, akan tetapi tidak wajib bagi pemilik harta ketika membagikannya harus memberikan kepada masing-masingnya karena yang demikian menyulitkan, bahkan ia cukup memberikan paling sedikit tiga golongan daripadanya (tidak kurang daripadanya) berdasarkan shighat (bentuk) jama’nya.

Catatan: Untuk zakat fitri lebih diutamakan kepada orang-orang fakir dan miskin.

[27] Dengan kata-kata buruk, mencela Beliau dan mencela agamanya.

[28] Ketika mereka dilarang dari perbuatan demikian agar tidak sampai kepada Beliau.

[29] Yakni mempercayai semua perkataan dan menerimanya. Oleh karena itu, jika kami bersumpah bahwa kami tidak mengucapkannya, niscaya Beliau membenarkan kami.

[30] Tidak yang buruk. Oleh karena itu, Beliau hanya menerima perkataan yang baik dan benar terhadap Beliau. Sikap berpaling Beliau (tidak menanggapi) dan tidak bersikap keras terhadap sebagian besar kaum munafik yang mengemukakan uzur yang dusta adalah karena akhlaknya yang mulia dan tidak perhatian terhadap mereka serta mengikuti firman Allah Ta’ala, “Kelak mereka akan bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apabila kamu kembali kepada mereka, agar kamu berpaling dari mereka (tidak mencela mereka). Maka berpalinglah dari mereka; karena sesungguhnya mereka itu adalah najis dan tempat mereka Jahannam; sebagai Balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.” (Terj. At Taubah: 95)

[31] Dalam semua kabar yang mereka (kaum mukmin) sampaikan, tidak selain mereka.

[32] Di mana melalui Beliau, mereka mendapatkan petunjuk dan dengan akhlaknya yang mulia mereka dapat meniru.

[33] Baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan.

[34] Di dunia dan akhirat, termasuk azab yang pedih pula adalah hukuman mati kepada mereka yang mencaci maki Beliau.

============================
Pengertian Fi Sabîlillâh [At-Taubah/9:60]






Para fuqaha` (Ulama ahli fikih) sepakat bahwa orang-orang yang sedang berperang di jalan Allâh Azza wa Jalla masuk dalam kategori fi sabîlillâh,[1] sedangkan selain orang-orang yang sedang berperang masih diperselisihkan oleh para Ulama, apakah mereka masuk dalam fi sabîlillâh ataukah tidak? Kemudian perbedaan pendapat ini semakin melebar di zaman-zaman ini dan terbagi menjadi lima pendapat:

Maksud dari fi sabîlillâh adalah perang saja. Ini adalah pendapat Abu Yûsuf rahimahullah dari kalangan Hanafiyah,[2] juga pendapat madzhab Mâlikiyah,[3] Syâfi’iyah[4] dan salah satu riwayat dari Hanâbilah[5] yang dirajihkan oleh Ibnu Qudâmah rahimahullah.[6]

Dalil pendapat ini adalah:
Yang dimaksud dengan fi sabîlillâh secara mutlak adalah perang dan kebanyakaan penggunaan kalimat ini dalam al-Qur`ân adalah dalam arti berperang.[7]

Dalil ini tidak bisa diterima, karena seharusnya pada saat tidak ada nukilan dari syari’at tentang pengertiannya, maka kita harus mengambil maknanya secara bahasa. Dan kalimat fi sabîlillâh dalam konteks ini menunjukkan makna umum.[8]
Hadits Abu Said al-Khudriy Radhiyallahu anhu yang marfu’:

لاَ تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ إِلاَّ لِخَمْسَةٍ : لِغَازٍ فِي سَبِيْلِ اللهِ أَوْ لِعَامِلٍ عَلَيْهَا أَوْ لِغَارِمٍ أَوْ لِرَجُلٍ اِشْتَرَاهَا بِمَالِهِ أَوْ لِرَجُلٍ كَانَ لَهُ جَارٌ مِسْكِينٌ فَتَصَدَّقَ عَلىَ المِسْكِيْنِ فَأَهْدَاهَا المِسْكِيْنُ لِلْغَنِي

Zakat itu tidak halal untuk orang kaya kecuali lima orang (kaya-red) : orang yang berperang di jalan Allâh atau amil zakat atau gharim atau orang yang membelinya dengan hartanya atau orang yang memiliki tetangga miskin, dia memberikan zakat kepada tetangga tersebut lalu tetangga yang miskin tersebut menghadiahkannya kepada orang kaya.[9]

Sisi pengambilan dalil dari hadits ini yaitu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan ghâzi (orang yang sedang berperang) diantara lima orang yang disebutkan dalam hadits di atas, padahal diantara delapan golongan orang penerima zakat yang disebutkan dalam ayat di atas tidak ada yang bisa diberikan kepada orang yang berperang kecuali bagian fi sabîlillâh.[10]

Namun sisi pendalilan ini juga terbantah, karena dalil di atas paling maksimal menunjukkan bahwa seorang yang sedang berjihad diberi bagian zakat dari pos fi sabîlillâh sekalipun dia orang yang kaya, sementara jalan-jalan Allâh banyak, tidak hanya terbatas pada arti perang di jalan Allâh Azza wa Jalla .[11]

Maksud dari fi sabîlillâh adalah berperang, haji dan umrah. Ini adalah pendapat Muhammad bin al-Hasan[12] dari Hanafiyah dan sebuah madzhab di kalangan Hanâbilah.[13]

Dalil dari pendapat kedua ini adalah:
Hadits Ummu Ma’qil Radhiyallahu anha mengatakan bahwa Abu Ma’qil Radhiyallahu anhu berangkat haji bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika dia pulang, Ummu Ma’qil Radhiyallahu anhaberkata, “Saya tahu bahwa saya wajib haji.” Lalu keduanya berangkat menuju Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saat sampai di depan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Ummu Ma’qil Radhiyallahu anhaberkata, “Wahai Rasûlullâh! Sesungguhnya saya wajib haji sementara Abu Ma’qil Radhiyallahu anhu sendiri memiliki unta muda.” Abu Ma’qil Radhiyallahu anhu menjawab, “Kamu benar, tetapi aku telah menjadikannya untuk di jalan Allâh.” Lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَعْطِهَا فَلتَحُجَّ عَلَيْهِ فَإِنّهُ فِي سَبِيلِ اللهِ

Berikanlah kepadanya agar dia bisa haji, karena itu termasuk fi sabîlillâh[14]

Namun dalil ini pun dibantah dengan beberapa hal berikut:

Pertama, hadits ini dhaif.[15]

Kedua, zakat hanya diberikan kepada satu di antara dua orang :
Orang yang membutuhkannya seperti orang fakir, miskin, hamba sahaya dan orang yang berhutang untuk membayar hutangnya
Orang yang dibutuhkan oleh kaum Muslimin seperti amil zakat, orang yang berperang, mu`allaf (orang yang baru masuk Islam), gharîm (orang yang menanggung hutang) demi mendamaikan dua pihak yang bertikai.

Sementara haji untuk orang miskin tidak mendatangkan manfaat bagi kaum Muslimin secara umum. Kaum Muslimin tidak membutuhkan ibadah haji orang miskin tersebut dan orang fakir sendiri juga tidak membutuhkan ibadah haji itu, karena orang fakir tidak ada kewajiban ibadah haji. Juga tidak ada kemaslahatan bagi orang fakir jika diwajibkan melaksanakan ibadah haji, atau dibebani dengan kesulitan yang telah Allâh angkat darinya dan kewajiban yang telah diringankan. Sementara memberikan senilai biaya haji untuk orang fakir tersebut kepada golongan-golongan lain yang membutuhkan atau memberikannya demi kemaslahatan kaum Muslimin itu lebih patut dan lebih utama.[16]
Atsar-atsar mauqûf yang menunjukkan bahwa haji termasuk fi sabîlillâh, seperti atsar yang diriwayatkan dari Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu yang diriwayatkan Abu Ubaid Radhiyallahu anhu dengan sanadnya dari jalan Abu Mu’âwiyah dari al-A’masy dari Hasan bin al-Asyras dari Mujâhid rahimahullah dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu bahwa dia membolehkan seseorang memberikan zakatnya untuk menunaikan haji dan memerdekakan budak. Demikian juga atsar dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma ketika ditanya tentang seorang wanita yang mewasiatkan tiga puluh dirham di jalan Allâh, maka Ibnu Umar Radhiyallah anhuma ditanya, “Bolehkan ia dipakai untuk haji?” Dia menjawab, “Ia termasuk fi sabîlillâh.” Abu Ubaid dalam al-Amwâl, 1/723 berkata, “Aku mendengar Ismâ’il bin Ibrâhim dan Muâdz menyampaikannya dari Ibnu Aun dari Anas bin Sîrin dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma.

Dalil ini pun dibantah dengan menyatakan bahwa atsar Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu tidak shahih, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bâri, 3/389, “Al-Khallâl rahimahullah berkata, ‘Ahmad bin Hâsyim rahimahullah mengabarkan kepada kami, dia berkata bahwa Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata, ‘Aku pernah berpendapat boleh memerdekakan budak dari harta zakat, tetapi setelah itu aku menahan diri darinya, karena aku melihatnya tidak shahih.” Harb rahimahullah berkata, lalu seseorang menyebutkan hujjah atasnya dengan hadits Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu , maka Ahmad rahimahullah berkata, ‘Ia goncang(Sanadnya kacau).’ Ahmad menyatakan atsar ini goncang karena perbedaan pada sanadnya dari al-A’masy sebagaimana yang engkau lihat, oleh karena itu al-Bukhâri tidak menyampaikannya dengan lafazh pasti (al-jazm).”

Adapun atsar Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma, sekalipun menunjukkan haji itu termasuk fi sabîlillâh, hanya saja kalimat sabîlullâh yang ada dalam ayat di atas bukan maksudnya haji, namun jihad di jalan Allâh Azza wa Jalla , karena makna ini adalah makna umum secara mutlak.[17]

Maksud dari fi sabîlillâh adalah segala perkara kebaikan dan ketaatan. Ini adalah pendapat yang dinisbatkan oleh al-Qaffâl kepada sebagian fuqaha` tanpa menyebut nama mereka, sebagaimana yang dinukil oleh ar-Râzi dalam tafsirnya 16/90 dari beliau. Al-Kasani memilih pendapat ini, sekalipun dia membatasinya pada orang-orang yang membutuhkan.[18] Pendapat ini diterima oleh banyak Ulama di zaman ini.[19]

Dalil dari pendapat ini adalah kata fi sabîlillâh bersifat umum, tidak boleh dibatasi pada sebagian maknanya kecuali dengan berdasarkan dalil yang shahih, padahal tidak ada dalil shahih yang membatasi maknanya.[20]

Dalil ini tidak bisa diterima, karena keumuman tersebut dibatasi dengan konteks penggunaannya. Jika pendapat ini diterima, maka konsekuensinya adalah semua orang yang melakukan kebaikan dan ketaatan seperti shalat, puasa, sedekah dan lain sebagainya berhak menerima zakat, karena mereka telah melakukan kebaikan dan masuk dalam kategori fi sabîlillâh. Inilah konsekuensi hukumnya, padahal tidak seorang pun Ulama yang terkenal keulamaannya berpendapat seperti itu.[21]

Maksud dari fi sabîlillâh adalah kemaslahatan umum. Ini adalah pendapat sebagian Ulama zaman ini.[22]

Dalil pendapat ini adalah:
Tidak dikenal dalam al-Qur`an kalimat sabîlillâh kecuali bermakna kebaikan umum yang menyeluruh.[23]

Dalil ini juga tidak bisa diterima, karena kalimat fi sabîlillâh disebutkan dengan beberapa makna, sekalipun banyak digunakan untuk kalimat yang bermakna jihad di jalan Allâh.[24]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membayar diyat seorang Sahabat yang tidak diketahui pembunuhnya dari unta zakat.[25] Ini tercantum dalam hadits Sahal bin Abu Hatsmah al-Anshari Radhiyallahu anhu bahwa dia berkata:

فَكَرِهَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُبْطِلَ دَمَهُ، فَوَدَاهُ مِائَةً مِنْ إِبِلِ الصَّدَقَةِ

Lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ingin darahnya sia-sia, maka Beliau membayar diyatnya seratus unta dari unta zakat. (Muttafaq alaihi)[26]

Ibnu Hajar dalam Fathul Bâri, 12/244 berkata, “Sebagian Ulama memahaminya sesuai dengan zhahirnya. Qâdhi Iyâdh rahimahullah menyampaikan dari sebagian Ulama tentang dibolehkan membayar zakat untuk kepentingan umum.”

Sisi pengambilan dalil dari hadits ini: Bila membayar diyat korban pembunuhan dari zakat dibolehkan demi meredam pertikaian dan demi menjaga ketertiban umum, maka lebih utama lagi untuk dibolehkan menggunakan zakat demi menjaga keamanan masyarakat dan kehidupan mereka di negeri Islam serta menjaga kemaslahatan umum mereka.[27]

Dalil di atas dibantah dengan bantahan berikut:
Hadits ini disebutkan dalam shahih al-Bukhâri dengan lafazh yang berbeda. Dalam lafazh itu disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membayar diyat dari dirinya.

Mayoritas Ulama telah mengkompromikan antara dua riwayat tersebut dengan mengatakan bahwa Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli unta-unta zakat dari para penerima zakat setelah mereka memilikinya, kemudian menyerahkannya kepada keluarga korban.
Kalau pun bisa diterima bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membayar diyatnya dari harta zakat, tetap saja bukan termasuk kemaslahatan umum.
Maksud dari pembayaran diyat bukan hanya meredam pertikaian semata, sebaliknya ia hanyalah bagian dari illat (sebab hukum). Mendamaikan di antara dua pihak yang bertikai dan membuat jiwa keluarga korban mau menerima juga termasuk tujuan-tujuan syari’at di balik pembayaran diyat.

Kemudian alasan menjaga keamanan masyarakat tidak terwujud pada seluruh kemaslahatan umum.[28]

Maksud dari kalimat fi sabîlillâh adalah jihad dalam arti umum, baik jihad dengan tangan, harta maupun lisan. Dengan demikian, ini mencakup perang di jalan Allâh dan dakwah kepada Allâh. Ini adalah keputusan al-Mujamma’ al-Fiqhi al-Islami[29] dan an-Nadwah li Qadhaya az-Zakah al-Mu’âshirah yang pertama.[30]

Dalil pendapat ini adalah:
Yang diinginkan dari penyebutan kalimat fi sabilillah dalam ayat tentang zakat adalah maknanya yang khusus yaitu jihad atau yang semakna dengannya. Inilah yang terfahami dari gaya bahasa penyampaiannya yang diawali dengan pembatasan.[31] Jika pengertian kalimat fi sabîlillâh dibawa kepada pengertian umum, maka cakupannya sangat banyak dan ini bertentangan dengan gayabahasa pembatasan yang hanya membatasi pembagian zakat pada delapan golongan saja.[32]
Jihad dalam Islam tidak terbatas pada perang militer dengan senjata semata. Dalam sebuah riwayat shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Beliau ditanya, “Jihad apakah yang paling utama?” Maka Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ

Kalimat haq di depan pemimpin zhalim.[33]

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

جَاهِدُوا المُشْرِكِينَ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ وَأَلْسِنَتِكُمْ

Berjihadlah melawan orang-orang musyrik dengan harta, jiwa dan lisan kalian[34]
Kalaupun dakwah kepada Allâh tidak termasuk dalam jihad di jalan Allah berdasarkan dalil itu, namun dakwah tetap bisa masuk ke dalam jihad melalui jalur atau metode qiyas, karena keduanya memiliki tujuan yang sama yaitu mendukung agama Allâh dan menjunjung tinggi kalimat-Nya.[35]

Pendapat yang kelima inilah pendapat yang rajih. Yaitu pendapat yang mengatakan bahwa maksud dari fi sabîlillâh adalah maknanya yang khusus yaitu jihad dalam pengertian luas, mencakup semua aktifitas dalam rangka menolong agama Allah Azza wa Jalla. Pendapat ini yang rajih karena dalil-dalilnya yang kuat dan beberapa hal berikut ini:
Kata fi sabîlillâh banyak digunakan dengan makna jihad. Fakta ini membuat makna ini lebih dekat dari makna lainnya. Kata fi sabîlillâh disebutkan lima puluh kali; Tiga puluh delapan kali disebutkan beriringan dengan jihad dan perang; Di delapan tempat disebutkan bersama infak, tujuh dari delapan ini disebutkan bersama infak dan perang sementara yang kedelapan disebutkan pada ayat zakat; Dan empat yang tersisa sehingga genap lima puluh disebutkan bersama kalimat hijrah yang berarti pergi ke negeri Islam demi menjunjung tinggi kehormatan agama. Dari sini diketahui bahwa kalimat fi sabîlillâh disebutkan dikebanyakan tempat dengan makna jihad.[36]
Penafsiran golongan fi sabîlillâh dengan jihad merupakan pendapat mayoritas Ulama salaf dan jumhur Fuqaha` (mayoritas Ulama ahli fikih-red) zaman dulu dan zaman sekarang.
Seluruh ayat yang disebut kalimat fi sabîlillâh yang terkait jihad dengan jiwa juga disebutkan di tempat yang sama tentang jihad dengan menggunakan harta. Ini menunjukkan adanya perluasan makna jihad fi sabîlillâhkepada makna yang lebih umum, artinya jihad fi sabîlillâh tidak hanya bermakna perang,[37] sebagaimana penggunaan kalimat jihad pada beberapa nash dengan makna yang lebih luas, tidak hanya bermakna perang, seperti firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

وَجَاهِدْهُمْ بِهِ جِهَادًا كَبِيرًا

Dan berjihadlah terhadap mereka dengan al-Quran dengan jihad yang besar [Al-Furqân/25: 52]

Dan sebagian hadits yang menetapkan hal ini telah dijelaskan pada dalil-dalil pendapat kelima.
Tujuan dari peperangan itu adalah menolong agama dan mengusir orang-orang kafir yang berlaku zhalim. Tujuan ini juga bisa terwujud melalui jihad dengan harta dan lisan dengan cara menjelaskan kebenaran, mendakwahnya, membantah dan menolak kebatilan. Terutama di zaman-zaman ini, di mana media informasi telah menyebar luas hingga menjangkau seluruh pelosok bumi dan memiliki pengaruh yang signifikan dalam membentuk pola pikir masyarakat dan merubah pemahaman mereka. Bahkan perang informasi melalui media massa lebih besar dampaknya daripada perang militer. Fakta ini semakin menegaskan pentingnya sikap yang tidak memilah-milah antara satu bentuk jihad dengan bentuk jihad lainnya dalam masalah penyaluran zakat kaum Muslimin kepada mereka yang berjihad, selama tujuannya adalah menegakkan kebenaran dan menghancurkan kebatilan.
Pendapat ini mewujudkan sinkronisasi antara gaya bahasa pembatasan dalam ayat zakat dengan adanya perluasan makna fi sabîlillâh yang terdapat dalam al-Qur`ân dan Sunnah. Yaitu dengan memahaminya tidak sebagai sebuah pengkhususan yang sempit tapi juga tidak melebar ke makna yang terlalu umum. Jadi sebuah pengkhususan makna fi sabîlillâh disertai perluasan makna namun tidak keluar dari makna fi sabîlillâh yang sering dipergunakan dan tidak hanya sebatas makna secara bahasa semata.

Pendapat ini didukung oleh keputusan al-Mujamma’ al-Fiqhi al-Islâmi di Makkah, teks keputusan tersebut adalah:

Setelah terjadi tukar pendapat dan kajian terhadap dalil kedua pendapat, maka majlis menetapkan berdasarkan suara mayoritas sebagai berikut:
Mempertimbangkan bahwa pendapat kedua telah diucapkan oleh beberapa Ulama kaum Muslimin dan memiliki sisi pertimbangan dukungan dari sebagian ayat-ayat yang mulia seperti firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ لَا يُتْبِعُونَ مَا أَنْفَقُوا مَنًّا وَلَا أَذًى ۙ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allâh, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Rabb mereka. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Al-Baqarah/2:262), dan dari hadits-hadits yang mulai. Salah satu dari hadits-hadits itu adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawûd bahwa seorang laki-laki telah menjadikan untanya di jalan Allâh, lalu istrinya ingin haji, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya,

اِرْكَبِيْهَا فَإِنَّ الحَجَّ فِي سَبِيلِ اللهِ

Naikilah unta itu, karena haji termasuk fi sabîlillâh.
Mempertimbangkan bahwa tujuan dari jihad dengan senjata adalah meninggikan kalimat Allâh Subhanahu wa Ta’ala , sementara meninggikan kalimat Allâh Azza wa Jalla sebagaimana bisa dengan perang, bisa juga dengan dakwah ke jalan Allâh Subhanahu wa Ta’ala serta menyebarkan agamanya dengan menyiapkan para da’i dan mendukung mereka serta membantu mereka dalam menunaikan tugas. Oleh karena itu, kedua perkara tersebut adalah jihad, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, an-Nasa`i dan dishahihkan oleh al-Hâkim dari Anas Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

جَاهِدُوا المُشْرِكِينَ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ وَأَلْسِنَتِكُمْ

Berjihadlah melawan orang-orang musyrikin dengan harta, jiwa dan lisan kalian.
Mempertimbangkan bahwa agama Islam ini diperangi dengan perang pemikiran dan akidah oleh orang-orang menyimpang, Yahûdi, Nasrani dan musuh-musuh agama yang lain. Para musuh tersebut mendapatkan dukungan moril dan meteriil, maka kaum Muslimin harus menghadapi mereka dengan senjata yang sama dengan mereka atau bahkan kalau bisa dengan senjata yang lebih kuat dari itu.
Mempertimbangkan bahwa peperangan di negeri-negeri Islam telah memiliki kementerian khusus dan mempunyai anggaran finansial di setiap Negara. Lain halnya, dengan jihad melalui dakwah, ia tidak memiliki anggaran secara khusus yang menopang dan mendukungnya di kebanyakan negara Islam.

Dari sini maka majlis menetapkan dengan suara mayoritas bahwa dakwah kepada Allâh Azza wa Jalla, perkara yang mendukung dan menunjang prosesnya termasuk dalam makna fi sabîlillâh dalam ayat zakat yang mulia.[38]

Keputusan yang terkait dengan masalah ini secara khusus juga ada dalam keputusan an-Nadwah li Qadhaya az-Zakah al-Mu’âshirah yang pertama tentang golongan fi sabîlillâh, sebagai berikut:

Maksud dari golongan fi sabîlillâh (yang berhak menerima zakat-red) adalah jihad dengan maknanya yang luas yang ditetapkan oleh para fuqaha` di mana tujuannya adalah melindungi agama dan meninggikan kalimat Allâh. Disamping bermakna perang, dakwah kepada Islam, upaya menjadikan syariat Allâh sebagai undang-undang hukum, menepis syubhat-syubhat yang dilontarkan oleh musuh Islam, menghadang arus-arus yang berlawanan dengannya juga masuk dalam kategori fi sabîlillâh. Dengan ini jihad tidak sebatas gerakan militer semata, hal-hal berikut juga termasuk ke dalam jihad dengan maknanya yang umum:
Mendukung secara finansial gerakan-gerakan jihad militer yang menjunjung panji Islam dan menghadang permusuhan terhadap kaum Muslimin di berbagai negeri mereka.
Mendukung secara finansial pusat-pusat dakwah kepada Islam yang dikelola oleh kaum Muslimin yang jujur lagi amanah di negeri-negeri kafir dengan tujuan menyebarkan Islam melalui segala cara yang shahih yang sejalan dengan zaman, termasuk dalam hal ini adalah setiap masjid yang didirikan di negeri kafir untuk dijadikan sebagai pusat dakwah Islam.
Mendukung secara finansial upaya-upaya peneguhan Islam di antara minoritas kaum Muslimin di negeri-negeri di mana kaum kafir berkuasa atas kaum Muslimin, di mana kaum Muslimin yang minoritas tersebut menghadapi upaya-upaya penghapusan identitas mereka di negeri-negeri tersebut.”[39]

PENERAPAN KONTEMPORER DARI POS “FI SABILILLAH”

Dari keterangan di atas diketahui bahwa yang dimaksud dengan fi sabîlillâh adalah menolong agama melalui jihad dengan jiwa, harta dan lisan. Tentu ini mencakup semua urusan dakwah dan sekaligus menjelaskan bahwa di antara lahan yang patut untuk didanai melalui jalur fi sabîlillâh adalah :

Pertama, segala aktifitas untuk mewujudkan persiapan jihad yang diperintahkan oleh Allâh Azza wa Jalla dalam firman-Nya:

وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ ۚ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تُظْلَمُونَ

Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allâh dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allâh mengetahuinya. apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allâh niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).” [Al-Anfâl/8:60].

Diantara wujudnya:
Mendirikan dan mendanai pabrik-pabrik militer yang memproduksi alat-alat militer, berat maupun ringan dan membeli persenjataan bila diperlukan.
Mendirian akademi-akademi militer yang mendidik para pemuda kaum Muslimin untuk menggunakan senjata dan berperang demi membela negeri kaum Muslimin.
Mencetak buku-buku dan majalah-majalah militer yang memberikan arahan dan informasi kepada kaum Muslimin terkait dengan perkara-perkara yang mereka butuhkan dalam jihad.
Mendirian pusat-pusat riset dan penelitian yang mengkaji langkah-langkah musuh.[40]

Lahan-lahan di atas bisa didanai dari zakat melalui pos fi sabîlillâh bila Ulama umat menetapkan bahwa itu telah memenuhi kriteria syar’i.

Kedua, perkara yang mewujudkan jihad dan menolong agama Allah melalui jalan dakwah. Ini memiliki beberapa bentuk, di antaranya:
Mendirikan kantor-kantor (pusat-pusat) dakwah dan bimbingan dan memenuhi kebutuhannya seperti sarana prasarana, gaji para pegawainya dan biaya operasional lainnya.[41]
Mencetak buku-buku dan buletin-buletin yang bertujuan menyebarkan ilmu syar’i dan dakwah kepada Allâh serta mengedarkan kaset-kaset Islam yang membawa misi dakwah.
Mendukung halaqah-halaqah hafalan al-Qur`ân dan mendanai biaya operasionalnya. Dengan ini sebuah tujuan mulia akan terwujudkan yaitu mengajarkan kitabullah lalu mengamalkannya. Ini termasuk pintu jihad yang paling besar, karena ayat tentang jihad yang pertama kali turun adalah jihad dengan al-Qur`ân, sebagaimana Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَجَاهِدْهُمْ بِهِ جِهَادًا كَبِيرًا

Dan berjihadlah terhadap mereka dengan al-Quran dengan jihad yang besar. [Al-Furqân/25:52].
Membuat dan mendanai website di dunia internet yang menjelaskan kebenaran, membimbing manusia dan berdakwah kepada Allâh dengan hikmah dan nasehat yang baik. Terutama di zaman ini di mana teknologi telah menjadi sarana komunikasi paling efektif antara satu orang dengan lainnya.
Mendirikan jaringan TV Islam yang mengajak kepada Allâh dan mendukungnya demi mewujudkan visi dan misinya. Ini termasuk sarana jihad dengan menggunakan lisan yang paling agung, karena dia memiliki pengaruh yang besar. Karena sarana ini memiliki daya tarik dan pengaruh yang tinggi. Perang di jalur ini lebih besar dampaknya daripada perang militer, karena berdampak secara khusus terhadap akal manusia. Berbeda dengan perang militer, ia hanya mengusai hal-hal riil dan terkadang tidak menyentuh akal dan akidah.
Mendirikan yayasan-yayasan dakwah yang memperhatikan dakwah Islam, baik dakwah kepada orang-orang kafir agar masuk Islam atau dakwah kepada kaum Muslimin dengan memahamkan mereka terhadap agamanya dan memperteguh keyakinan mereka, terutama yang baru masuk Islam.
Mendirikan dan membuat radio-radio Islam serta mendanainya, agar suara kebenaran menjangkau seluruh penjuru bumi. Jangkauan radio itu melebihi jangkauan televisi, karena lebih mudah diakses. Ini memungkinkan seluruh lapisan masyarakat untuk menyimaknya, sebagaimana membawa radio dan mendengarkannya relatif mudah di berbagai tempat, berbeda dengan jaringan TV, mobilitasnya terbatas.
Mendirikan majalah-majalah dan koran-koran Islam yang bertunjuan dakwah yang benar kepada kitab Allâh dan sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , menjelaskan kebenaran dan menumpas kebatilan.

Sarana-sarana modern lainnya yang bisa membantu mewujudkan tujuan dakwah kepada Allâh Azza wa Jalla dengan menjelaskan hidayah dan agama yang benar, karena hal itu termasuk jihad dengan lisan dan termasuk sarana mendukung agama dan membimbing manusia yang menjadi tujuan disyariatkanya jihad. Oleh karena itu ada perintah berjihad dalam artianyang luas, sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

جَاهِدُوا المُشْرِكِينَ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ وَأَلْسِنَتِكُمْ

“Berjihadlah melawan orang-orang musyrikin dengan harta, jiwa dan lisan kalian”.

Dan yang lebih utama dari itu adalah mendahulukan dakwah kepada selain kaum muslimin, karena lebih dekat kepada makna jihad di samping dampaknya yang besar.

Wallahu a’lam.

(Diangkat dari Nawazil az-Zakat oleh DR. Abdullah Manshur al-Ghufaili)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XIX/1436H/2015.]
_______
Footnote

[1] Lihat Badâ`i’ ash-Shanâ`i’ 73/2; Raddul Muhtâr, 3/260; al-Isyrâf ala Nukat Masâ`il al-Khilâf, 1/422; Adz-Dzakhîrah 3/148; Al-Bayân 3/326; Raudhah ath-Thâlibîn, 2/321; Al-Furû’ 2/612 dan Kasysyâf al-Qannâ’ 2/107.

[2] Lihat Badâ`i’ ash-Shanâ`i’ 2/73; Raddul Muhtâr 3/260. Beliau rahimahullah mengkhususkannya pada orang-orang miskin yang berjihad.

[3] Lihat al-Isyrâf ala Nukat Masâ`il al-Khilâf 1/422 dan adz-Dzakhîrah 3/148.

[4] Lihat al-Bayân 3/426 dan Raudhah ath-Thâlibîn 2/321.

[5] Lihat al-Furû’ 2/612 dan Kasysyâf al-Qannâ’ 2/107.

[6] Lihat al-Mughnî 9/326.

[7] Lihat al-Majmu’ 6/200.

[8] Lihat ar-Raudhah an-Nadiyyah, 1/206; Mashraf fi Sabîlillâh bainal Umum wal Khusûs, hlm. 38

[9] Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam sunan Abi Dawud, no. 1635 dan al-Hâkim dalam al-Mustadrak 1/566 no. 1481, juga Ahmad dalam al-Musnad 3/56, Syaikh al-Arnauth berkata dalam tahqiqnya, “Hadits shahih, rawi-rawinya adalah rawi-rawi ash-Shahihain.”

[10] Lihat asy-Syarhul Kabîr 7/250.

[11] Makalah fi Sabîlillâh, salah satu makalah Hai`ah Kibâr al-Ulamâ` di Kerajaan Saudi Arabiah 1/131.

[12] Lihat Badâ`i’ ash-Shanâ`I, 73/2 dan Hasyiyah Raddul Muhtâr 3/260.

[13] Lihat al-Furû’ 2/612 dan Kasysyâf al-Qannâ’ 2/107.

[14] Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 1988 dan Ahmad no. 27151, 6/375. Dikatakan dalam Aunul Ma’bûd 5/323, “Hadits Ummu Ma’qil memiliki beberapa jalan periwayatan dan sanad, namun tidak luput dari idhthirâb(kegoncangan) dalam matan dan sanad.”

[15] Lihat al-Majmû’ 6/200.

[16] Lihat al-Mughni 9/329.

[17] Lihat asy-Syarhul Kabîr 7/250.

[18]Lihat al-Bada`i’ 2/73

[19] Lihat keputusan al-Mujamma’ al-Fiqhi no. 3 hlm. 211 keputusan no. 4.

[20] Lihat Mashraf fi Sabilillah baina al-Umûm wal Khusûs, hlm. 52.

[21] Makalah Fi Sabilillah, salah satu makalah Hai`ah Kibar al-Ulama` di Kerajaan Saudi Arabiah 1/135.

[22] Di antara yang berpendapat demikian adalah as-Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dan Syaikh Mahmud Syaltut, lihat Tafsir al-Manar 10/504 dan al-Islam Aqidah wa Syari’ah, hlm. 124

[23] Lihat Tafsir al-Qur`an karya Syaltut, hlm. 651.

[24] Lihat Masymulat Mashraf fi Sabîlillâh bi Nazhrah Mu’âshirah 2/788, dalam kumpulan makalah fikih fi Qadhâyâ az-Zakah al-Mu’âshirah.

[25] Hal itu tercantum dalam hadits Basyir bin Yasar dari Sahal bin Abu Hatsmah al-Anshâri bahwa dia berkata, “Lalu Rasûlullâh n tidak ingin darahnya sia-sia, maka Beliau membayar diyatnya seratus unta dari unta zakat.” Muttafaq alaihi. Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhâri dalam Kitab ad-Diyat Bab al-Qasamah no. 6502 dan Muslim Kitab al-Qasamah wal Muharibin wal Qishash wad Diyat Bab al-Qasamah no. 1669 dan ini adalah lafazh Muslim.

Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 12/244 berkata, “Sebagian Ulama memahaminya sesuai dengan zhahirnya. Qadhi Iyadh menyampaikan dari sebagian Ulama dibolehkannya membayar zakat untuk kepentingan umum.”

[26] Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhâri no. 6502 dan Muslim no. 1669 dan ini adalah lafazh Muslim.

[27] Lihat Infaq az-Zakah fil Mashalih al-Ammah, hlm. 102.

[28] Lihat Masymulat Mashraf fi Sabîlillâh bi Nazhrah Mu’âshirah 2/788, dalam kumpulan makalah fikih fi Qadhaya az-Zakah al-Muashirah.

[29] Lihat keputusan al-Mujamma’ al-Fiqhi al-Islami di Makkah no. 3 hlm. 210.

[30] Lihat Fatawa wa Taushiyat Nadawat Qadhaya az-Zakah al-Muashirah hal. 25.

[31] Yang dimaksudkan adalah firman Allâh Azza wa Jalla yang artinya, “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk …. (QS. At-Taubah/9:60)-red

[32] Lihat Fiqhu az-Zakah 2/703.

[33] Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnadnya 4/314 no. 18850, an-Nasa`i no. 4209 secara mursal. Namun hadits ini diriwayatkan secara maushûl dari riwayat Athiyah al-Aufi dari Abu Said al-Khudri, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan lafazh, “Jihad paling utama adalah kalimat adil di depan pemimpin yang zhalim.” Dalam sunan Abu Dawud no. 4344 dan at-Tirmidzi no. 4011. Riwayat ini dishahihkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya 4/99 dan al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahîhah no. 491, 1/886.

[34] Hadits shahih riwayat Abu Dawud dan an-Nasaa’I dan dishahihkan al-Albani dalam al-Misykah no. 3821.

[35] Lihat Fiqhu az-Zakah 2/704.

[36] Lihat Masymulat Mashraf fi Sabîlillâh bi Nazhrah Mu’âshirah 2/848, dalam kumpulan makalah fikih fi Qadhaya az-Zakah al-Muashirah.

Lihat untuk menambah maklumat tentang kajian terhadap dalil-dalil yang menyebutkan fi sabîlillâh makalah Mashraf fi Sabilillah bainal Umum wal Khusus, hlm. 15.

[37] Lihat Mashraf fi Sabilillah bainal Umum wal Khusus, hlm. 20

[38] Keputusan keempat tentang pengumpulan dan pembagian zakat dan pajak di Pakistan pada daurah kedelapan, no. 3 hlm. 211 keputusan no. 4.

[39] Fatâwâ wa Tausiyât Nadawat Qadhâya az-Zakah al-Mu’âshirah, hlm. 25.

[40] Lihat Masymulat Mashraf fi Sabîlillah bi Nazhrah Mu’âshirah 2/854.

[41] Lihat at-Taqrîr wat Tahbîr 1/326 dan al-Mustashfa hlm. 67.

Related Posts: