Tafsir Al Baqarah Ayat 154-162

Ayat 154-157: Pengarahan kepada kaum mukmin, dan ujian dari Allah kepada mereka dengan berbagai bentuk ujian agar Dia membalas mereka dengan balasan yang paling baik

وَلا تَقُولُوا لِمَنْ يُقْتَلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتٌ بَلْ أَحْيَاءٌ وَلَكِنْ لا تَشْعُرُونَ (١٥٤) وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الأمْوَالِ وَالأنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ (١٥٥) الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ (١٥٦) أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ (١٥٧

154.[1] Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang terbunuh di jalan Allah, (bahwa mereka) mati. Sebenarnya (mereka) hidup[2], tetapi kamu tidak menyadarinya.


[1] Setelah Allah Subhaanahu wa Ta'aala memerintahkan kita agar menjadikan sabar dan shalat sebagai penolong untuk menghadapi semua masalah, Dia menyebutkan contoh permasalahan yang patut dihadapi dengan sabar, yaitu jihad fii sabilillah. Jihad merupakan keta'atan badan yang paling utama dan paling berat bagi jiwa karena membawa kepada kematian, padahal orang-orang mencintai dunia karena ingin hidup di sana, bahkan tindakan sehari-hari yang mereka lakukan juga bertujuan agar dapat hidup di sana. Sudah menjadi maklum, bahwa hal yang dicintai tidaklah ditinggalkan oleh orang-orang yang berakal selain untuk memperoleh hal yang lebih dicintai lagi, maka Allah Subhaanahu wa Ta'aala memberitahukan bahwa orang yang berperang di jalan Allah agar kalimat Allah menjadi tinggi dan agar agama-Nya menjadi tegak, pada hakikatnya ia tidak kehilangan kehidupan yang dicintainya itu, bahkan ia memperoleh kehidupan yang lebih besar dan lebih sempurna dari apa yang kita perkirakan. Para syuhada sebagaimana disebutkan dalam surat Ali Imran: 169-171, adalah orang-orang yang hidup di sisi Allah, memperoleh rezki serta bergembira karena karunia yang diberikan-Nya dan tidak lagi khawatir dan bersedih. Kehidupan apa yang lebih baik daripada kehidupan seperti ini; dekat dengan sisi Allah, memperoleh rezki bagi badan berupa makanan dan minuman yang enak, memperoleh rezki bagi ruh berupa kegembiraan, hilangnya rasa takut dan kesedihan. Mereka hidup di alam Barzakh. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memberitahukan dalam haditsnya bahwa ruh para syuhada berada di perut-perut burung hijau, di mana burung-burung itu mendatangi sungai-sungai surga dan memakan buah-buahannya, kemudian pulang ke lampu-lampu yang menempel di 'Arsy. Dalam ayat ini terdapat anjuran untuk berjihad fii sabilillah dan bersabar di atasnya. Jika sekiranya orang-orang mengetahui balasan yang diperoleh para syuhada, tentu tidak akan ada seorang pun yang meninggalkannya. Akan tetapi, karena tidak adanya ilmu yang yakin akhirnya ia tidak mau berjihad. Bahkan jika sekiranya manusia memiliki seribu nyawa, lalu masing-masing nyawa itu melayang satu-persatu tentu tidak akan dapat mengalahkan pahala yang besar ini. Oleh karena itu, tidak ada yang diinginkan para syuhada' setelah mereka melihat langsung pahala Allah dan balasannya selain ingin kembali ke dunia agar mereka terbunuh lagi beberapa kali.

[2] Hidup di alam barzakh memperoleh kenikmatan yang luar biasa. Ayat ini menunjukkan adanya nikmat kubur.

155.[3] Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit[4] ketakutan[5], kelaparan, kekurangan harta[6], jiwa[7] dan buah-buahan[8]. Berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.[9]


[3] Allah Subhaanahu wa Ta'aala menerangkan bahwa Dia pasti akan menguji hamba-hamba-Nya agar terlihat jelas siapa yang jujur hatinya dan siapa yang dusta, siapa yang sabar dan siapa yang keluh kesah. Ini merupakan sunnatullah yang berlaku pada hamba-hamba-Nya. Hal itu, karena jika kesenangan senantiasa didapatkan oleh mereka yang beriman dan tidak diuji tentu akan terjadi percampuran antara yang benar-benar beriman dengan yang tidak. Hikmah Allah menghendaki untuk memisahkan siapa orang yang baik dan siapa orang yang buruk. Inilah tujuan dari ujian. Bukan untuk menyingkirkan keimanan yang ada pada diri orang mukmin dan bukan untuk mengeluarkan mereka dari agama, karena Allah tidak akan menyia-nyiakan iman mereka.

[4] Kata-kata "sedikit" menunjukkan tidak banyak. Karena jika banyak atau seluruh hidupnya adalah ketakutan atau senantiasa lapar, tentu manusia akan binasa. Hal ini, karena ujian bertujuan untuk menyaring, bukan untuk membinasakan.

[5] Seperti ada ancaman dari musuh.

[6] Seperti sulitnya mencari rezki atau hilangnya rezki itu baik karena ada musibah dari langit, hilang, dirampas oleh orang-orang zhalim dsb.

[7] Seperti dicabutnya nyawa orang yang dicintainya baik itu anaknya, kerabatnya, kawannya maupun dengan tertimpa penyakit pada badannya atau badan orang yang dicintainya atau pun syahid fii sabilillah.

[8] Misalnya hasil panennya gagal karena musibah dari langit seperti turunnya hujan yang besar sehingga menggenangkan hasil panennya, atau terbakar atau dimakan belalang dsb.

[9] Ujian-ujian seperti yang disebutkan di atas pasti terjadi karena diberitakan oleh Allah yang Maha Mengetahui. Ketika terjadi, ada dua kelompk manusia dalam hal cara menghadapinya: ada yang keluh kesah dan ada yang bersabar. Orang yang berkeluh kesah akan mendapatkan dua musibah, yaitu: hilangnya apa yang dicintai dan tidak memperoleh pahala yang besar, bahkan ia memperoleh kerugian, imannya melemah, kesabaran, ridha dan rasa syukurnya hilang dan musibah tersebut terasa semakin berat. Adapun orang yang diberi taufiq oleh Allah untuk bersabar ketika mendapatkan musibah ini, ia tidak keluh kesah baik dalam ucapannya maupun dalam tindakannya serta mengharapkan pahala dari Alllah, ia juga mengetahui bahwa pahala yang diperolehnya lebih besar daripada musibah yang menimpanya, maka ia hanya merasakan satu musibah, dan musibah tersebut akan menjadi ringan, bahkan nikmat baginya, karena musibah itu merupakan cara untuk memperoleh hal yang lebih baik dan bermanfa'at. Oleh karena itu, Allah Subhaanahu wa Ta'aala menyampaikan berita gembira kepada mereka yang sabar, yakni mereka akan memperoleh pahala tanpa tanggung-tanggung serta surga-Nya, dan kemudian Allah Subhaanahu wa Ta'aala menyebutkan ciri mereka seperti yang disebutkan pada ayat selanjutnya.

156. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah[10], mereka berkata, "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun" (Sesungguhnya Kami adalah milik Allah[11] dan kepada-Nya-lah Kami kembali[12]).


[10] Musibah adalah semua yang membuat hati, badan atau kedua-duanya terasa sakit atau pedih.

[11] Maksudnya: kita milik Allah, di bawah pengaturan dan tindakan-Nya, Dia berbuat kepada milik-Nya apa yang Dia kehendaki, kita tidak memiliki apa-apa terhadap jiwa dan harta sedikit pun. Oleh karena itu, jika Dia menimpakan ujian kepada kita, maka sesungguhnya itu merupakan tindakan dari Yang Maha Penyayang kepada milik-Nya, maka tidak boleh diprotes. Bahkan termasuk sempurnanya pengabdian seorang hamba adalah dia merasakan bahwa musibah yang menimpanya berasal dari Pemilik dirinya, Tuhan yang Maha Bijaksana yang lebih sayang kepada dirinya daripada sayangnya seorang hamba kepada dirinya sendiri. Oleh karena itu, sikap yang harus dilakukan adalah ridha, bersyukur karena diatur oleh-Nya kepada hal yang lebih baik bagi dirinya meskipun ia tidak menyadari.

[12] Di samping kita sebagai milik-Nya, kita juga akan kembali kepada-Nya pada hari kiamat, lalu masing-masing akan diberi balasan sesuai amalnya. Jika kita bersabar dan mengharap pahala dari Allah Subhaanahu wa Ta'aala, maka kita akan mendapatkan pahala secara penuh di sisi-Nya, sedangkan jika kita berkeluh kesah, maka tidak ada yang kita peroleh selain keluh kesah, musibah dan hilangnya pahala. Memahaminya seorang hamba bahwa dirinya adalah milik Allah dan akan kembali kepada-Nya merupakan sebab terkuat untuk memperoleh kesabaran.



* Semua itu harus dihadapi dengan kesabaran. Hati menerima, lisan mengucapkan " Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji'ûn " (Sesungguhnya kita ini milik Allâh Azza wa Jalla dan sesungguhnya hanya kepada-Nya kita semua akan kembali menghadap pengadilan-Nya), dan anggota badan pun tidak melakukan perbuatan yang dilarang agama, seperti menjerit, menampar pipi, merobek baju dan semacamnya.

157. Mereka itulah yang memperoleh ampunan[13] dan rahmat dari Tuhannya[14], dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk[15].

[13] Ada yang mengartikan "pujian".

[14] Di antara rahmat-Nya kepada mereka adalah dengan memberikan taufiq untuk bersabar, di mana dengannya mereka memperoleh pahala yang sempurna.

[15] Yakni orang-orang yang mengetahui yang hak, dan dalam hal ini adalah pengetahuan mereka bahwa mereka milik Allah dan akan kembali kepada-Nya dan mereka mengamalkannya, yaitu dengan bersabar karena Allah. Allah Subhaanahu wa Ta'aala juga akan memberi petunjuk kepada hatinya untuk bersabar sebagaimana dalam firman-Nya "wa may yu'min billah yahdi qalbah" (lihat surat At Taghaabun: 11).

Beberapa ayat di atas (dari ayat 155-157) menunjukkan bahwa barangsiapa yang tidak bersabar, maka ia akan memperoleh kebalikannya. Ia akan memperoleh celaan dari Allah, hukuman, kesesatan dan kerugian. Sungguh sangat berbeda dua golongan tersebut, sungguh ringan beban orang yang bersabar dan sungguh berat beban orang yang berkeluh kesah. Ayat di atas juga mempersiapkan jiwa seseorang agar siap menghadapi musibah dengan bersabar meskipun belum terjadi, menerangkan beberapa sebab yang membantu kesabaran, pahala yang diperoleh bagi mereka yang bersabar, menerangkan keadaan orang yang bersabar, menerangkan beberapa macam musibah dan bahwa ujian dan cobaan merupakan sunnatullah pada hamba-hamba-Nya, di mana kita tidak akan mendapati adanya perubahan dalam sunnatullah.

Ayat 158: Bersa’i antara Shafa dan Marwah, dan penjelasan pentingnya haji dan umrah

إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَإِنَّ اللَّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ (١٥٨

158.[16] Sesungguhnya Shafa dan Marwah merupakan sebagian syi'ar Allah[17]. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, tidak ada dosa baginya[18] mengerjakan sa'i antara keduanya. Barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan[19] dengan kerelaan hati[20], maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri[21] lagi Maha mengetahui[22].

[16] Imam Bukhari meriwayatkan dari Urwah, bahwa ia berkata: Aku pernah bertanya kepada Aisyah radhiyallahu 'anha, "Beritahukanlah kepadaku firman Allah Ta'ala, "Innash shafa wal marwata…dst. sampai ay yaththawwafa bihimaa." Demi Allah, (yang demikian menunjukkan) tidak ada dosa bagi seseorang untuk tidak bersa'i antara Shafa dan Marwah." Aisyah menjawab, "Buruk sekali apa yang kamu katakan, wahai putera saudariku! Sesungguhnya ayat ini jika seperti apa yang kamu tafsirkan, maka berarti tidak ada dosa bagi seseorang untuk tidak bersa'i antara Shafa dan Marwah. Akan tetapi, ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang Anshar, di mana mereka sebelum masuk Islam berihlal (bertalbiyah) untuk berhala Manat yang mereka sembah di Musyallal. Di antara orang yang berihlal itu merasa berdosa bersa'i antara Shafa dan Marwah. Ketika mereka telah masuk Islam, mereka bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tentang hal itu. Mereka bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami merasa berdosa bersa'i antara Shafa dan Marwah," maka Allah menurunkan ayat, "Innash shafaa wal marwata min sya'aairillah..dst." Aisyah berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah menetapkan bersa'i antara Shafa dan Marwah, oleh karena itu tidak boleh bagi seorang pun meninggalkan bersa'i antara Shafa dan Marwah." Kemudian Aisyah memberitahukan kepada Abu Bakar bin Abdurrahman, lalu Abu Bakar berkata, "Sesungguhnya ilmu ini belum pernah aku dengar. Bahkan aku mendengar beberapa orang ahli ilmu menyebutkan, bahwa orang-orang –selain yang disebutkan Aisyah yang berihlal dengan Manat- mereka bersa'i di Shafa dan Marwah. Karena Allah Ta'ala hanya menyebutkan thawaf di Baitullah, dan tidak menyebutkan bersa'i antara Shafa dan Marwah dalam Al Qur'an, mereka berkata, "Wahai Rasulullah, kami bersa'i antara Shafa dan Marwah, padahal yang Allah turunkan (dalam kitab-Nya) adalah berthawaf di Baitullah dan tidak menyebutkan Shafa dan Marwah. Oleh karena itu, apakah kami berdosa jika kami bersa'i di Shafa dan Marwah?" Maka Allah menurunkan ayat, "Innash shafaa wal marwata min sya'aairillah..dst." Abu Bakar berkata, "Dengarkanlah ayat ini, ia turun berkenaan kedua pihak itu; tentang orang-orang yang merasa berdosa bersa'i antara Shafa dan Marwah di zaman Jahiliyyah dan orang-orang yang berthawaf (di Baitullah) kemudian mereka merasa berdosa bersa'i antara Shafa dan Marwah karena Allah Ta'ala hanya memerintahkan thawaf di Baitullah dan tidak menyebutkan bersa'i di Shafa sehingga bersa'i disebutkan setelah diterangkan thawaf di Baitullah."

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Anas, bahwa ia pernah ditanya tentang (bersa'i) antara Shafa dan Marwah, lalu ia menjawab, "Kami memandang, bahwa (bersa'i) antara Shafa dan Marwah termasuk perkara Jahiliyyah. Ketika Islam datang, kami pun menahan diri (tidak melakukannya), maka Allah menurunkan ayat, "Innash shafaa wal marwata min sya'aairillah..dst."

Namun demikian, tidak ada yang bahwa ayat tersebut turun berkenaan kedua pihak itu.

[17] Syi'ar Allah adalah tanda-tanda agama yang nampak atau tempat beribadah kepada Allah. Karena sebagai syi'ar-Nya, maka kita diperintahkan untuk memuliakannya, wa may yu'azzhim sya'aairallah fa innahaa min taqwal quluub (dan barangsiapa yang memuliakan syi'ar-syi'ar Allah, maka hal itu timbul dari ketakwaan yang ada di dalam hati).

[18] Allah mengungkapkan dengan perkataan "tidak ada dosa" (padahal hukumnya wajib) sebab sebagian sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam merasa keberatan mengerjakannya sa'i di situ, karena tempat itu bekas tempat berhala. dan di masa jahiliyah pun tempat itu digunakan sebagai tempat sa'i. Untuk menghilangkan rasa keberatan itu, Allah menurunkan ayat ini.

[19] Yakni yang disyari'atkan Allah, seperti shalat, puasa, hajji, umrah, thawaf dsb. Hal ini menunjukkan bahwa barangsiapa yang mengerjakan perkara yang tidak disyari'atkan (bid'ah), maka tidak ada yang diperoleh selain kelelahan, bukan kebaikan, bahkan bisa menjadi keburukan jika ia melakukannya dengan sengaja dan mengetahui bahwa hal itu tidak disyari'atkan.

[20] Yakni ikhlas karena Allah. Ada pula yang mengartikan "mengerjakan amalan yang tidak wajib baginya".

[21] Allah mensyukuri hamba-Nya: memberi pahala terhadap amal-amal hamba-Nya, jika sedikit dibalas-Nya dengan balasan yang banyak, Dia tidak menyia-nyiakan amalan hamba-hamba-Nya, dan tidak mengurangi meskipun seberat dzarrat (debu). Jika seorang hamba mengerjakan perintah-Nya Dia akan membantu, memujinya dan akan memberikan balasan berupa cahaya, iman dan kelapangan di hatinya, pada badannya akan diberikan kekuatan dan semangat dan pada semua keadaannya akan diberikan keberkahan dan tambahan, sedangkan pada amalnya akan ditambah lagi dengan taufiq-Nya. Pada hari kiamat, pahala yang diperoleh seorang hamba tersebut akan dipenuhkan dan tidak akan dikurangi. Di antara syukur-Nya kepada hamba-Nya adalah bahwa barangsiapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik. Barangsiapa yang mendekat kepada-Nya sejengkal, maka Allah akan mendekat kepadanya sehasta, barangsiapa yang mendekat kepada-Nya sehasta, maka Dia akan mendekat kepada orang itu sedepa dan barangsiapa yang mendekat kepada-Nya sambil berjalan, maka Dia akan mendekat kepadanya sambil berlari.

[22] Allah Subhaanahu wa Ta'aala juga mengetahui siapa yang berhak memperoleh pahala yang sempurna sesuai niat, iman dan ketakwaannya, Dia mengetahui amalan-amalan yang dikerjakan hamba-hamba-Nya, oleh karenanya Dia tidak akan menyia-nyiakannya, bahkan hamba-hamba-Nya akan memperoleh balasan yang lebih banyak dari apa yang merekjakerjakan sesuai niat mereka yang diketahui oleh Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Ayat 159-162: Wajibnya menyebarkan ilmu dan tidak menyembunyikannya sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani sehingga mereka mendapatkan laknat dan kemurkaan

إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ أُولَئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللاعِنُونَ (١٥٩)إِلا الَّذِينَ تَابُوا وَأَصْلَحُوا وَبَيَّنُوا فَأُولَئِكَ أَتُوبُ عَلَيْهِمْ وَأَنَا التَّوَّابُ الرَّحِيمُ (١٦٠) إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا وَمَاتُوا وَهُمْ كُفَّارٌ أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ (١٦١)خَالِدِينَ فِيهَا لا يُخَفَّفُ عَنْهُمُ الْعَذَابُ وَلا هُمْ يُنْظَرُونَ (١٦٢

159. Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami jelaskan kepada manusia dalam Kitab, mereka itulah yang dilaknat Allah dan dilaknat (pula) oleh mereka yang melaknat[23],

[23] Ayat ini meskipun menerangkan tentang keadaan ahli kitab berupa sikap mereka menyembunyikan isi Taurat atau Injil yang menerangkan tentang keadaan rasul terakhir (Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam) dan sifatnya, namun ayat ini umum mengena kepada siapa saja yang menyembunyikan apa yang Allah turunkan berupa keterangan-keterangan yang jelas dan petunjuk. Karena Allah Subhaanahu wa Ta'aala telah mengambil perjanjian kepada ahli ilmu agar mereka menerangkan kepada manusia nikmat yang Allah berikan berupa pengetahuan agama. Barangsiapa yang malah menyembunyikannya, maka ia telah mengerjakan dua mafsadat, yaitu menyembunyikan apa yang Allah turunkan dan menipu hamba-hamba Allah. Mereka akan dilaknat Allah, yakni dijauhkan dari rahmat dan dekat dengan-Nya serta akan dilaknat oleh mereka yang melaknat, yaitu semua makhluk karena telah melakukan penipuan dan merusak agama mereka. Mafhum ayat ini, bahwa orang yang mengajarkan kebaikan dan menerangkan kepada manusia apa yang Allah turunkan, maka Allah akan memberikan shalawat (rahmat dan ampunan) dan malaikat akan mendo'akannya, bahkan tidak hanya malaikat, ikan-ikan yang ada di laut pun mendo'akannya karena tindakannya untuk mengadakan perbaikan kepada makhluk dan memperbaiki agama mereka serta mendekatkan mereka dengan rahmat Allah Azza wa Jalla.


160. Kecuali mereka yang telah bertobat[24], mengadakan perbaikan[25] dan menerangkan (kebenaran yang disembunyikannya), mereka itulah yang Aku terima tobatnya dan Akulah yang Maha Penerima tobat[26] lagi Maha Penyayang[27].


[24] Yakni yang rujuk dari perbuatan mereka selama ini disertai penyesalan, berhenti dan bertekad untuk tidak mengulangi lagi serta beristighfar kepada Allah dari kesalahan-kesalahan itu.

[25] Mengadakan perbaikan berarti melakukan perbuatan-perbuatan yang baik untuk menghilangkan akibat-akibat buruk dari kesalahan-kesalahan yang dilakukan.

[26] Dengan memaafkan dosa apabila mereka bertobat dan berbuat ihsan setelah dihalangi.

[27] Yang memiliki sifat rahmah (sayang) yang agung, saking luasnya rahmat itu sampai mengena kepada segala sesuatu. Di antara rahmat-Nya adalah memberi taufiq kepada mereka untuk bertobat dan kembali kepada-Nya, lalu Dia merahmati mereka dengan menerima tobatnya.

161. Sesungguhnya orang-orang kafir[28] dan mati dalam keadaan kafir, mereka itu mendapat laknat Allah, para malaikat dan manusia seluruhnya[29],


[28] Di samping kafir, mereka juga menyembunyikan kebenaran.

[29] "Manusia" di sini ada yang berpendapat umum, yakni semua manusia dan ada yang berpendapat bahwa yang melaknat adalah kaum mukmin.

Orang yang mendapatkan laknat dari para Malaikat adalah orang kafir yang mati dan tetap dalam keadaan kafir

162. Mereka kekal di dalamnya[30]; tidak akan diringankan siksanya[31] dan mereka tidak (pula) diberi penangguhan[32].

[30] Yakni di dalam laknat dan azab.

[31] Meskipun hanya sebentar atau hanya sekejap mata.

[32] Karena waktu penangguhan yaitu di dunia sudah mereka lewati tanpa bertobat, dan apabila sudah tiba ajal seseorang, maka Allah Subhaanahu wa Ta'aala tidak akan memberi tangguh lagi (lihat surat Al Munafiqun: 11).

Related Posts:

Tafsir Al Baqarah Ayat 146-153

Ayat 146-150: Informasi tentang Ahli Kitab, bagaimana mereka sampai menyembunyikan kebenaran dan menyelisihi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dengan sikap menentang dan sombong, dan dalam beberapa ayat ini terdapat dalil wajibnya menghadap ke Ka’bah dalam shalat

الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءَهُمْ وَإِنَّ فَرِيقًا مِنْهُمْ لَيَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ (١٤٦) الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ (١٤٧) وَلِكُلٍّ وِجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيهَا فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ أَيْنَمَا تَكُونُوا يَأْتِ بِكُمُ اللَّهُ جَمِيعًا إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (١٤٨) وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَإِنَّهُ لَلْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ (١٤٩) وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُمَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ لِئَلا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَيْكُمْ حُجَّةٌ إِلا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ فَلا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِي وَلأتِمَّ نِعْمَتِي عَلَيْكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ (١٥٠

146. Orang-orang yang telah Kami beri Al kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anak mereka sendiri[1]. Sesungguhnya sebagian mereka benar-benar menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui(nya).

[1] Allah Subhaanahu wa Ta'aala mengabarkan bahwa ahli kitab telah yakin dan mengetahui bahwa Muhammad adalah seorang rasul, dan apa yang Beliau bawa adalah hak (benar). Mereka meyakininya sebagaimana mereka meyakini anak-anak mereka sendiri dan mereka bisa membedakannya dengan yang lain. Oleh karena itu, pengetahuan mereka telah sampai kepada tingkatan yakin yang tidak dimasuki keraguan, akan tetapi kebanyakan mereka kafir kepada Beliau, menyembunyikan persaksian tersebut padahal mereka mengetahuinya. Dalam ayat di atas, terdapat hiburan bagi rasul dan kaum mukmin serta mengingatkan mereka agar berhati-hati terhadap tindakan jahat orang-orang ahli kitab dan syubhat mereka.


147. Kebenaran itu dari Tuhanmu, sebab itu janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) termasuk orang-orang yang ragu[2].


[2] Yakni jangan sampai masih menancap di hati keraguan meskipun sedikit.

Agar seseorang lebih yakin lagi hendaknya memikirkan isinya, karena dengan memikirkan isinya dapat menghilangkan keraguan dan memperoleh keyakinan.

148. Dan setiap umat mempunyai kiblat yang dia menghadap kepadanya[3]. Maka berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan[4]. Di mana saja kamu berada, pasti Allah akan mengumpulkan kamu semuanya (pada hari kiamat)[5]. Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.

[3] Masing-masing umat memiliki kiblat sendiri dalam ibadahnya. Menghadap kiblat tertentu termasuk syari'at yang bisa berubah tergantung situasi dan kondisi serta zamannya, ia bisa dimasuki oleh naskh dan mengalami perubahan dari arah tertentu kepada arah yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa yang menjadi tujuan utama adalah menta'ati perintah Allah Subhaanahu wa Ta'aala dan menjauhi larangan-Nya serta mendekatkan diri kepada-Nya, inilah tanda kebahagiaan.

[4] Perintah berlomba-lomba dalam kebaikan lebih dalam daripada sebatas perintah mengerjakan kebaikan. Dalam perintah ini mengandung perintah mengerjakannya, menyempurnakannya, melakukannya sebaik mungkin dan bersegera kepadanya. Barangsiapa yang bersegera kepada kebaikan ketika di dunia, maka dia adalah orang yang lebih dulu ke surganya. Oleh karena itu, mereka yang berlomba-lomba dalam kebaikan adalah orang yang paling tinggi derajatnya. Dan kata "kebaikan" di sini mencakup semua amalan fardhu maupun sunat, baik berupa shalat, puasa, zakat, hajji, Umrah, jihad, manfa'at bagi orang lain maupun sebatas untuk diri sendiri.


[5] Karena pendorong yang paling kuat agar seseorang dapat bersegera kepada kebaikan dan bersemangat kepadanya adalah pahala yang dijanjikan Allah Subhaanahu wa Ta'aala, maka Dia berfirman seperti yang disebutkan di atas; yakni Allah Subhaanahu wa Ta'aala akan mengumpulkan kita semuanya di mana saja kita berada dengan kekuasaan-Nya, dan Dia akan memberikan balasan kepada setiap orang yang beramal, jika amalnya buruk, maka Dia akan membalas sesuai amal yang dikerjakannya dan jika baik, maka Dia akan membalas dengan berlipat ganda dan memberikan balasan yang terbaik (surga). Ayat yang mulia ini juga mengandung perintah untuk segera melaksanakan kewajiban seperti shalat di awal waktu, segera membayar hutang puasa dan segera berhajji serta anjuran untuk melaksanakan amalan-amalan sunat.

149. Dan dari mana saja kamu keluar[6], hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil haram, sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu[7]. Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan[8].


[6] Yakni keluar bersafar atau keperluan lainnya, kemudian hendak mendirikan shalat.

[7] Pada ayat di atas menggunakan dua penguat, huruf "inna" dan "lam" (sesungguhnya dan benar-benar) agar tidak perlu lagi ragu dan agar tidak timbul perkiraan bahwa perintah menghadap ke Ka'bah itu hanyalah karena lebih enak, bahkan ia merupakan perintah yang sesungguhnya.

[8] Yakni bagaimana pun keadaan kita, Dia senantiasa memperhatikan dan melihatnya. Hal ini menghendaki agar kita tetap menjaga perintahnya dan menjauhi larangan-Nya.

150. Dan dari mana saja kamu (keluar), maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu (sekalian) berada, maka hadapkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia (untuk menentangmu)[9], kecuali orang-orang yang zalim di antara mereka[10]. Janganlah kamu takut kepada mereka[11], tetapi takutlah kepada-Ku[12], dan agar Aku-sempurnakan nikmat-Ku kepadamu[13], dan agar kamu mendapat petunjuk[14].


[9] Perintah menghadap ke kiblat adalah agar ahli kitab dan kaum musyrikin tidak memiliki alasan lagi untuk menentang Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Hal itu, karena jika tetap menghadap ke Baitul Maqdis tentu orang-orang ahli kitab akan menegakkan hujjah kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, karena yang disebutkan dalam kitab-kitab mereka adalah bahwa kiblat yang tetap bagi Beliau adalah Ka'bah Baitullah al haram. Sedangkan hujjah bagi orang-orang musyrikin ketika Beliau tetap menghadap ke Baitul Maqdis adalah perkataan yang akan timbul dari mereka, "Bagaimana Beliau berada di atas agama Nabi Ibrahim 'alaihis salam dan termasuk keturunannya, padahal Beliau tidak menghadap ke kiblatnya?!". Dengan demikian, setelah diadakan pemindahan kiblat, maka orang-orang ahli kitab dan kaum musyrikin sudah tidak memiliki hujjah lagi untuk menentang Beliau.

[10] Yakni hanya orang-orang yang zalim saja yang coba-coba berhujjah, namun hujjah mereka tidak bersandar selain kepada hawa nafsu sehingga tidak perlu diladeni, karena tidak ada manfa'atnya berbantah dengan mereka.

[11] Kita tidak perlu takut kepada mereka karena hujjah mereka batil, dan kita diperintahkan untuk takut kepada Allah Subhaanahu wa Ta'aala saja, karena takut kepada-Nya merupakan asas semua kebaikan. Oleh karena itu, orang yang tidak takut kepada Allah Azza wa Jalla, ia tidak akan berhenti bermaksiat dan tetap tidak mau mengikuti perintah-Nya.

Perlu diketahui, bahwa pemindahan arah kiblat merupakan fitnah yang besar. Fitnah itu diangkat-angkat oleh ahli kitab, kaum munafik dan kaum musyrikin, mereka banyak membicarakan masalah itu dan menyampaikan berbagai syubhat. Oleh karena itu, pada beberapa ayat di atas, Allah Subhaanahu wa Ta'aala menerangkannya secara gamblang dan meyakinkan rasul-Nya serta memperkuat kebenaran itu dengan berbagai penguat sebagaimana yang disebutkan di beberapa ayat atas, misalnya:

- Diulangi-Nya perintah menghadap kiblat berkali-kali

- Perintah itu tidak hanya ditujukan kepada Rasul saja, meskipun biasanya perintah kepada rasul sebagai perintah kepada umatnya, tetapi diperkuat lagi dengan perintah kepada umatnya sebagaimana firman-Nya "fa walluu wujuuhakum syathrah".

- Pada ayat di atas, Allah Subhaanahu wa Ta'aala membantah semua alasan batil yang dilemparkan oleh mereka yang zalim.

- Menghilangkan harapan bagi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam untuk mengikuti kiblat ahli kitab.

- Penguatan dengan berita yang disampaikan-Nya bahwa sesungguhnya hal itu benar-benar hak dari sisi Allah.

- Pemindahan kiblat tersebut disebutkan dalam kitab-kitab mereka (ahli kitab), namun mereka menyembunyikannya.

[12] Yakni dengan tetap menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

[13] Berupa penyempurnaan syari'at. Dengan demikian, setiap syari'at yang ditetapkan merupakan nikmat yang besar. Dasar nikmat adalah memperoleh hidayah untuk mengikuti agama-Nya, setelah itu nikmat-nikmat yang lain yang melengkapi dasar tersebut, dimulai dari sejak diutusnya Beliau sampai wafat hingga syari'at pun sempurna.

[14] Maksudnya: agar kita mengetahui yang hak dan dapat mengamalkannya. Allah Subhaanahu wa Ta'aala karena rahmat-Nya telah memudahkan kepada hamba-hamba-Nya sebab-sebab untuk memperoleh hidayah dan mengingatkan mereka untuk menempuhnya. Allah Subhaanahu wa Ta'aala juga menjelaskan hidayah itu sejelas-jelasnya, sampai-sampai ditetapkan untuk yang hak itu ada para penentangnya agar yang hak itu semakin jelas dan nampak serta yang batil semakin jelas kebatilannya. Hal itu, karena jika tidak ada kebatilan sebagai lawan yang hak tentu kebenaran itu akan samar bagi kebanyakan orang. Dengan ada lawannya maka segala sesuatu itu semakin jelas. Jika tidak ada malam tentu tidak akan diketahui kelebihan siang, jika tidak ada keburukan tentu tidak akan diketahui kelebihan yang baik, jika tidak ada kegelapan tentu tidak akan diketahui manfa'at cahaya, dan jika tidak ada kebatilan tentu kebenaran tidak akan jelas dan nampak, maka sehgala puji bagi Allah terhadap semua itu.

Ayat 151-153: Mengingatkan kaum mukmin terhadap nikmat Allah yang besar kepada mereka dengan diutus-Nya rasul terakhir, serta terdapat pengarahan untuk mereka agar menggunakan sabar dan shalat sebagai pembantu untuk mencapai tujuan

كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولا مِنْكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ (١٥١) فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلا تَكْفُرُونِ (١٥٢) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاةِ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ (١٥٣

151.[15] Sebagaimana (kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu seorang Rasul dari kalangan kamu yang membacakan ayat-ayat Kami[16], menyucikan kamu[17] dan mengajarkan kepadamu kitab (Al Qur'an) dan Al-Hikmah[18], serta mengajarkan apa yang belum kamu ketahui[19].

[15] Nikmat Allah untuk menghadap ke kiblat dan penyempurnaan syari'at bukanlah hal yang baru dan bukan pertama kali, bahkan Dia juga telah memberikan ushulun ni'am (asas nikmat) dan penyempurnanya, yaitu dengan mengutus seorang rasul yang sudah dikenal nasabnya, kejujurannya, amanahnya, kesempurnaan dan sikap nush-h(tulus)nya.

[16] Ayat-ayat tersebut menerangkan mana yang hak dan mana yang batil, mana petunjuk dan mana kesesatan, menerangkan tentang tauhid, tentang kebenaran Rasul-Nya serta kewajiban beriman kepadanya, menerangkan tentang hari kiamat dan hal-hal ghaib serta menerangkan syari'at untuk maslahat mereka di diunia sehingga mereka memperoleh hidayah yang sempurna dan ilmu yang yakin.

[17] Maksudnya: menyucikan akhlak dan jiwa mereka dengan mendidiknya di atas akhlak yang mulia dan membersihkannya dari akhlak yang tercela yang mengotori jiwa. Misalnya dengan membersihkan mereka dari syirk kepada tauhid, dari riya' kepada ikhlas, dari dusta kepada kejujuran, dari khianat kepada amanah, dari sombong kepada tawadhu' dan dari semua akhlak buruk kepada akhlak yang mulia serta perbaikan-perbaikan lainnya.

[18] As Sunnah dan hukum-hukum syari'at (fiqh).

[19] Seperti kisah para nabi dan kisah umat-umat terdahulu dan pengetahuan lainnya, di mana mereka sebelum diutusnya Beliau dalam kesesatan yang nyata, tidak ada ilmu apalagi amal. Oleh karena itu, ilmu maupun amal yang diketahui oleh umat ini adalah melalui tangan dan sebab Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam. Nikmat-nikmat ini merupakan ushulun ni'am (asas nikmat), bahkan ia merupakan nikmat terbesar yang menghendaki untuk disyukuri.

152. Maka ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu[20]. Bersyukurlah kepada-Ku[21], dan janganlah kamu ingkar[22] kepada-Ku.

[20] Dzikrullah yang paling utama adalah jika diucapkan oleh lisan dan meresap di hati, inilah dzikr yang membuahkan ma'rifatullah (mengenal Allah), kecintaan-Nya dan pahala yang besar. Allah Subhaanahu wa Ta'aala di ayat ini memerintahkan kita untuk mengingat-Nya dan Dia menjanjikan balasan yang besar bagi mereka yang mengingat-Nya sebagaimana firman-Nya dalam hadits Qudsi: "Jika ia mengingat-Ku di dalam dirinya, maka Aku akan mengingatnya di dalam diri-Ku. Jika ia mengingat-Ku di keramaian, maka Aku akan mengingatnya di keramaian yang lebih baik daripadanya." (Lihat Shahihul Jami' no. 8137)

Dzikr adalah pusat syukur, oleh karena itu di ayat ini diperintahkan secara khusus untuk berdzikr, kemudian setelahnya diperintahkan secara umum untuk bersyukur.

[21] Yakni atas nikmat-nikmat Allah yang diberikan dan dihindarkan-Nya dari berbagai musibah. Syukur itu bisa dengan hati, yakni dengan mengakuinya, bisa dengan lisan yaitu dengan memujinya dan dengan anggota badan yaitu dengan menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.

Disebutkan perintah bersyukur setelah nikmat-nikmat agama berupa ilmu, penyucian jiwa dan taufiq untuk beramal untuk menerangkan bahwa nikmat-nikmat agama merupakan nikmat yang paling besar, bahkan ia merupakan nikmat yang hakiki yang akan kekal ketika semuanya sirna, dan sepatutnya bagi mereka yang diberi taufiq mencari ilmu dan mengamalkannya bersyukur kepada Allah terhadap nikmat tersebut agar Allah menambahkan karunia-Nya dan agar mereka dijauhkan dari sifat ujub.

[22] Ingkar atau kufur yang dimaksud di sini adalah ingkar kepada nikmat dan tidak mensyukurinya. Bisa juga makna kufur di sini adalah umum, yang paling parahnya adalah kufur kepada Allah kemudian maksiat yang berada di bawah syirk.

153. Hai orang-orang yang beriman, Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu[23], Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar[24].

[23] Ada pula yang mengartikan: mintalah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan shalat. Allah Subhaanahu wa Ta'aala memerintahkan kaum mukmin untuk menghadapi urusan mereka baik terkait dengan agama maupun dunia dengan sabar dan shalat. Sabar artinya menahan diri terhadap hal-hal yang tidak disukai. Ia terbagi menjadi tiga bagian: Pertama, sabar dalam menjalankan perintah Allah. Kedua, sabar dalam menjauhi larangan Allah, dan ketiga, sabar dalam menghadapi musibah yang menimpa dengan tidak keluh kesah. Sabar berdasarkan ayat ini merupakan pertolongan yang paling besar dalam menghadap segala perkara.

Sedangkan shalat diperintahkan juga agar dijadikan sebagai penolong karena shalat adalah tiang agama dan cahaya kaum mukmin, ia merupakan sarana penghubung antara seorang hamba dengan Tuhannya. Jika shalat sesorang hamba sempurna, menggabungkan yang wajib dengan yang sunat, ia pun melaksanakannya dengan khusyu' dan merasakan sedang berdiri di hadapan Tuhannya sebagaimana berdirinya seorang hamba yang menjadi pelayan dengan memperhatikan adab yang baik, memperhatikan apa yang dia baca dan dia lakukan, maka sudah pasti shalat tersebut menjadi penolong terbesar dalam semua masalah. Shalat tersebut akan mencegahnya dari perbuatan keji dan munkar, dan shalat seperti inilah yang dapat membantu mengatasi berbagai masalah.

[24] Allah Subhaanahu wa Ta'aala bersama mereka yang memiliki akhlak dan sifat sabar dengan memberikan pertolongan dan taufiq-Nya, sehingga masalah-masalah sukar dan berat menjadi ringan.

@ Sifat sabar sebagai sebab turunnya pertolongan dan penjagaan dari Allâh Azza wa Jalla kepada hamba-Nya yang beriman.

@ Menetapi sifat sabar ketika menghadapi segala kesusahan, karena barangsiapa yang Allâh bersamanya, maka dia tidak akan takut (menghadapi) segala rintangan (apapun) meskipun (sebesar) gunung


Allâh Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk menjadikan sabar dan shalat sebagai penolong dalam (menghadapi) urusan-urusan agama dan dunia mereka, maka sifat sabar merupakan penolong besar dalam menghadapi segala urusan, maka tidak ada jalan bagi orang yang tidak bersabar untuk mencapai apa yang diinginkannya (karena tidak adanya pertolongan dari Allâh baginya)


Kebersamaan Allâh dalam ayat ini adalah kebersamaan khusus yang mengandung makna kecintaan, bantuan, pertolongan dan kedekatan Allâh

Related Posts:

Tafsir Al Baqarah Ayat 142-145

Ayat 142-145: Menerangkan tentang pemindahan kiblat dari Baitulmaqdis ke Ka’bah dalam shalat, sikap orang-orang Yahudi terhadapnya, bantahan terhadap mereka, dan bahwa informasi tentang sikap mereka sudah datang lebih dahulu sebelum terjadi pemindahan Kiblat sebagai mukjizat untuk Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam

سَيَقُولُ السُّفَهَاءُ مِنَ النَّاسِ مَا وَلاهُمْ عَنْ قِبْلَتِهِمُ الَّتِي كَانُوا عَلَيْهَا قُلْ لِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ (١٤٢) وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلا لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ (١٤٣) قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُمَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ (١٤٤) وَلَئِنْ أَتَيْتَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ بِكُلِّ آيَةٍ مَا تَبِعُوا قِبْلَتَكَ وَمَا أَنْتَ بِتَابِعٍ قِبْلَتَهُمْ وَمَا بَعْضُهُمْ بِتَابِعٍ قِبْلَةَ بَعْضٍ وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ إِنَّكَ إِذًا لَمِنَ الظَّالِمِينَ (١٤٥

142.[1] Orang-orang yang kurang akal[2] di antara manusia akan berkata, "Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblat (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka berkiblat kepadanya?" Katakanlah, "Milik Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus"[3].

[1] Ketika Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam berada di Mekah di tengah-tengah kaum musyirikin, Beliau berkiblat ke Baitul Maqdis, tetapi setelah 16 atau 17 bulan berada di Madinah di tengah-tengah orang Yahudi dan Nasrani beliau disuruh oleh Allah untuk menghadap ke arah ka'bah sebagai kiblat, terutama sekali untuk memberi pengertian bahwa dalam ibadah shalat itu bukanlah arah Baitul Maqdis dan ka'bah itu menjadi tujuan, tetapi tujuannya untuk menghadapkan diri kepada Allah, menjalankankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Di antara hikmah adanya kiblat adalah untuk persatuan umat Islam.

Ibnu Ishak meriwayatkan dari Al Barraa', ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam shalat menghadap Baitulmaqdis dan sering menghadap ke langit menunggu perintah Allah, maka Allah menurunkan ayat, "Qad naraa taqalluba wajhika fis samaa'…dst. lalu ada beberapa orang kaum muslimin yang berkata, "Kami senang sekali, jika kami mengetahui keadaan orang-orang yang wafat sebelum kami menghadap ke kiblat, maka Allah menurunkan ayat, "Wa maa kaanallahu liyudhii'a iimaanakum". Kemudian orang-orang yang kurang akal di antara manusia berkata, "Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblat (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka berkiblat kepadanya? Maka Allah menurunkan ayat, "Sayaquulus sufahaa' minan naas..dst.."

Ayat di atas mengandung beberapa hal, di antaranya: mukjizat, hiburan bagi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, penenteraman terhadap hati kaum mukmin, adanya tindakan I'tiradh (protes) serta jawabannya, sifat orang yang memprotes dan sifat orang yang tunduk menerima hukum Allah Ta'ala.

[2] Maksudnya: orang-orang yang kurang pikirannya sehingga tidak dapat memahami maksud dan hikmah pemindahan kiblat akan berkata seperti yang disebutkan di atas dengan nada mengolok-olok. Mereka disebut "sufaha" (kurang akal) karena tidak mengerti hal-hal yang bermaslahat terutama bagi diri mereka, mereka rela menjual keimanan dengan harga yang murah. Mereka yang akan berkata seperti ini adalah orang-orang Yahudi, Nasrani dan semisalnya, termasuk orang-orang yang suka memprotes hukum Allah dan syari'atnya seperti JIL (Jaringan Islam Liberal). Adapun orang-orang yang berakal dan cerdas -mereka adalah orang-orang mukmin- akan tunduk menerima hukum-hukum Tuhannya sebagaimana disebutkan dalam surat An Nisaa': 51:

"Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul memutuskan perkara di antara mereka ialah ucapan. "Kami mendengar dan kami ta'at". Mereka Itulah orang-orang yang beruntung."

Penyebutan "sufaha" untuk mereka sebenarnya terdapat bantahan terhadap perkataan mereka itu dan agar kita tidak menghiraukannya. Namun demikian, Allah Subhaanahu wa Ta'aala tidak membiarkan syubhat ucapan mereka itu, bahkan membantahnya agar tidak lagi terlintas di hati hamba-hamba-Nya yang mukmin sebagaimana disebutkan pada ayat di atas dan ayat setelahnya.

[3] Yakni mengapa mereka mengatakan seperti itu padahal milik Allah-lah timur dan barat, tidak ada satu arah yang keluar dari kepemilikan-Nya. Meskipun demikian, Dia tetap membimbing orang yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus, di antaranya dengan menghadapkan arah kiblat ke Ka'bah, di mana hal ini termasuk ajaran Nabi Ibrahim 'alaihis salam. Hal ini pun menunjukkan lebih dekatnya Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dan kaum mukmin dengan Nabi Ibrahim 'alaihis salam dibanding orang-orang Yahudi dan Nasrani.

143. Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam); umat pertengahan (yang adil dan pilihan)[4] agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menjadikan kiblat yang (dahulu) kamu berkiblat kepadanya melainkan agar Kami mengetahui[5] siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang[6]. Sungguh, (pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah[7], dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu[8] [9]. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.


[4] Umat Islam dijadikan umat pertengahan, yakni umat yang adil dan pilihan, karena mereka akan menjadi saksi atas perbuatan orang yang menyimpang dari kebenaran baik di dunia maupun di akhirat dan akan bersaksi di akhirat bahwa para rasul telah menyampaikan risalah kepada kaumnya, sebagaimana Nabi kita Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam akan menjadi saksi terhadap umatnya, bahwa Beliau telah menyampaikan riasalahnya.

Umat Islam adalah umat pertengahan, mereka pertengahan dalam masalah agama antara orang-orang yang ghuluw (berlebihan) dan orang-orang yang meremehkan. Contoh pertengahan umat Islam adalah mereka tidak seperti orang-orang Nasrani yang berlebihan kepada nabi mereka sampai menuhankannya, dan tidak seperti orang-orang Yahudi yang bersikap kasar kepada nabi-nabi mereka. Umat Islam beriman kepada semua nabi dan tidak membeda-bedakannya dalam beriman. Mereka juga diberikan beberapa kelebihan, di antaranya:

- Bumi seluruhnya dijadikan masjid selain kuburan dan kamar mandi, sedangkan orang-orang ahli kitab hanya boleh shalat di biara dan gereja mereka saja.

- Dihalalkan untuk umat Islam yang baik-baik dan diharamkan yang kotor, sedangkan kepada orang-orang yahudi diharamkan beberapa hal yang baik sebagai hukuman untuk mereka, adapun orang-orang Nasrani tidak menajiskan sesuatu, tidak mengharamkan sesuatu bahkan menghalalkan semua hewan yang merangkak tanpa pengecualian.

- Dihalalkan untuk umat Islam ghanimah

- Dll.

Umat Islam diberikan agama yang paling sempurna, akhlak yang paling mulia dan amal yang paling utama. Allah Subhaanahu wa Ta'aala memberikan kepada mereka ilmu, hilm (santun), adil dan ihsan yang tidak diberikan kepada umat selainnya. Oleh karena itu, mereka adalah umat yang adil dan pilihan agar mereka menjadi saksi bagi manusia karena keadilan, mereka menghukumi manusia tidak dihukumi dan oleh karenanya kesepakatan mereka juga maqbul (diterima).

Di antara persaksian umat Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap umat yang lain adalah ketika di hari kiamat, saat Allah Subhaanahu wa Ta'aala bertanya kepada para rasul tentang tugas mereka menyampaikan risalah, sedangkan kaum mereka mengaku belum pernah didatangi oleh rasul, maka para nabi mengangkat umat Islam sebagai saksi terhadap mereka bahwa mereka telah menyampaikan risalahnya.

Pada ayat ini juga terdapat dalil bahwa ijma' umat ini adalah hujjah dan ma'shum berdasarkan firman-Nya "wasathaa" dan berdasarkan firman-Nya juga "litakuunuu syuhadaa'a 'alan naas".

[5] Mengetahui di sini karena terkait dengan pahala dan siksa, yakni agar jelas asalannya mengapa orang ini berhak diberi pahala dan mengapa orang itu berhak disiksa, meskipun Allah Subhaanahu wa Ta'aala sudah mengetahui segala perkara sebelum terwujudnya. Hal ini menunjukkan keadilan-Nya dan penegakkan hujjah terhadap hamba-hamba-Nya.

[6] Allah Subhaanahu wa Ta'aala tidaklah mensyari'atkan menghadap ke Baitul Maqdis melainkan agar diketahui dan diuji-Nya siapa yang mengikuti Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, beriman kepadanya dan mengikuti Beliau dalam semua keadaan dengan orang yang malah berbalik. Di samping itu, Beliau adalah seorang hamba yang diperintah Allah dan diatur, dan lagi kitab-kitab terdahulu pun mengabarkan bahwa ia akan menghadap ke Ka'bah. Oleh karena itu orang yang sadar, di mana tujuannya adalah mengejar yang hak akan bertambah iman dan keta'atannya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Sebaliknya, orang yang malah berbalik, berpaling dari kebenaran dan mengikuti hawa nafsunya, maka ia akan bertambah kufur dan kufur, bingung dan bertambah bingung, termakan oleh hujjah yang batil yang didasari syubhat dan tidak ada hakikatnya.

[7] Mereka adalah orang-orang yang mengenal nikmat Allah, bersyukur dan mengakui ihsan-Nya yang menjadikan mereka menghadap ke rumah yang agung itu; rumah yang diutamakan-Nya di atas semua dataran bumi, dijadikan-Nya pergi ke rumah itu sebagai salah satu rukun Islam yang dapat menghapuskan dosa dan kesalahan. Oleh karena itu, bagi mereka hal ini terasa ringan dan mudah.

[8] Imam Bukhari meriwayatkan dalam bagian tafsir juz 9 hal. 237 dari Al Barra' radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam shalat menghadap Baitulmaqdis selama 16 atau 17 bulan. Beliau ingin sekali kiblatnya menghadap ke Baitullah (di Mekah). Pernah suatu ketika, Beliau melakukan shalat atau melakukan shalat Ashar menghadap Baitullah, dan ikut pula bersama Beliau beberapa orang sahabat, lalu seseorang yang ikut shalat bersama Beliau pergi setelah shalat dan melewati orang-orang yang berada di masjid yang ketika itu sedang ruku, maka ia berkata, "Aku bersaksi dengan nama Allah, sungguh aku telah shalat bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menghadap ke Mekah", maka mereka pun berputar (menghadap ke Mekah) sebagaimana mereka menghadap ke Baitulmaqdis. Di antara mereka ada beberapa orang yang meninggal terbunuh ketika kiblat belum dirubah, kami tidak mengetahui apa yang harus kami ucapkan terhadap mereka itu, maka Allah menurunkan ayat, "Wa maa kaanallahu liyudhii'a iimaanakum...dst." (Al Haafizh dalam Al Fat-h juz 1 hal. 104 berkata, "Penyusun (Imam Bukhari) dalam bagian tafsir menyebutkan dari jalan Ats Tsauri dari Abu Ishaq, "Bahwa aku mendengar Al Barra', sehingga menjadi amanlah dari tadlis yang dilakukan Abu Ishaq).

Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Simak dari Ikrimah dari Ibnu Abbas ia berkata, "Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menghadap ke Ka'bah, para sahabat berkata, "Wahai Rasulullah! Bagaimana keadaan saudara-saudara kita yang meninggal dalam keadaan masih shalat menghadap Baitulmaqdis?" Maka Allah menurunkan ayat, "Wa maa kaanallahu liyudhii'a iimaanakum...dst." (Imam Tirmidzi berkata, "Hadits ini hasan shahih", dan dalam periwayatan Simak dari Ikrimah terdapat idhthirab (kegoncangan), akan tetapi hadits ini memiliki syahid (penguat), yaitu hadits sebelumnya).

[9] Yakni shalatmu yang dahulu menghadap ke Baitul Maqdis. Dalam ayat ini terdapat dalil bagi Ahlussunnah bahwa amal termasuk bagian dari iman, karena shalat disebut dengan iman.

Dalam ayat ini terdapat berita gembira kepada orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah dengan Islam dan iman, yakni Allah Subhaanahu wa Ta'aala akan menjaga iman mereka dan tidak akan menyia-nyiakannya. Penjagaan-Nya terhadap iman, bisa berupa penjagaan-Nya agar tidak hilang dan batal dengan cara menjaganya dari semua yang bisa merusak, menghilangkan dan mengurangi berupa cobaan-cobaan yang menghanyutkan dan hawa nafsu yang biasa menghalangi. Demikian juga bisa berupa pengembangan-Nya kepada iman itu, memberinya taufiq kepada hal yang dapat menambah iman mereka dan menguatkan keyakinan mereka.

Firman-Nya "dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu" seakan-akan untuk menjaga anggapan-anggapan yang timbul dari firman-Nya "Kami tidak menjadikan kiblat yang (dahulu) kamu berkiblat kepadanya melainkan agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang" bahwa hal itu bisa menjadi sebab sebagian kaum mukmin meninggalkan imannya, maka anggapan ini ditolak dengan firman-Nya "dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu".

144.[10] Sungguh Kami melihat wajahmu (Muhammad) sering menengadah ke langit[11], maka akan Kami palingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai[12]. Hadapkanlah wajahmu[13] ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, hadapkanlah wajahmu ke arah itu[14]. Sesungguhnya orang-orang yang diberi Al kitab (Taurat dan Injil) tahu, bahwa (pemindahan kiblat) itu adalah kebenaran dari Tuhan mereka[15]. Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan[16].

[10] Imam Bukhari meriwayatkan dari Barraa' bin 'Azib, ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menghadap ke Baitulmaqdis selama 16 bulan. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ingin sekali menghadap ke Ka'bah, maka Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat, "Qad naraa taqalluba wajhika fis samaa'", maka Beliau menghadap ke Ka'bah, lalu orang-orang yang kurang akal, yakni orang-orang Yahudi berkata, "Apa yang memalingkan mereka dari kiblat (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka berkiblat kepadanya?" Kemudian Allah menurunkan ayat, "Qulliillahil masyriqu wal maghribu, yahdii mayyasyaa'u ilaa shiraathim mustaqiim", lalu ada seorang yang shalat bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian setelah shalat pergi dan melewati orang-orang Anshar yang sedang shalat Ashar menghadap ke Baitulmaqdis, lalu bersaksi bahwa dia telah shalat bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan bahwa Beliau menghadap ke Ka'bah, maka orang-orang pun berputar menghadap ke Ka'bah.

[11] Maksudnya: Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam sering melihat ke langit berdoa dan menunggu dengan harap turunnya wahyu yang memerintahkan beliau menghadap ke Baitullah Ka'bah.

[12] Kata-kata ini menunjukkan keutamaan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, di mana Allah Subhaanahu wa Ta'aala segera mengabulkan apa yang Beliau inginkan.

[13] Yakni badanmu, karena arti wajh adalah bagian depan badan dari atas sampai bawah.

[14] Dalam ayat ini terdapat dalil bahwa menghadap kiblat merupakan syarat shalat, dan jika seseorang tidak bisa menghadap langsung ke rumah itu, maka dengan menghadap ke arahnya.

[15] Yakni disebutkan dalam kitab-kitab mereka.

[16] Dalam firman-Nya ini terdapat ancaman terhadap mereka yang protes dan hiburan bagi kaum mukmin.

145.[17] Dan sesungguhnya jika kamu mendatangkan kepada orang-orang yang diberi Al kitab (Yahudi dan Nasrani) semua ayat (keterangan dan bukti), mereka tidak akan mengikuti kiblatmu, dan kamu pun tidak akan mengikuti kiblat mereka. Sebagian mereka pun tidak akan mengikuti kiblat sebagian yang lain[18]. Sesungguhnya jika kamu[19] mengikuti keinginan mereka[20] setelah sampai ilmu kepadamu[21], niscaya kamu termasuk orang-orang yang zalim.

[17] Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam karena tingginya harapan Beliau agar orang lain mendapatlkan hidayah telah mencurahkan segala tenaga dan mencari cara agar mereka memperoleh hidayah. Beliau berlemah lembut dalam berdakwah dan bersedih ketika orang yang didakwahinya itu tidak mau mengikuti. Di antara kaum kafir banyak yang tetap keras tidak mau mengikuti bahkan bersikap sombong terhadap Beliau, mereka ini orang-orang Yahudi dan Nasrani, mereka kafir kepada Beliau bukan karena kebodohan tetapi karena yakin terhadap kebenarannya, maka Allah Subhaanahu wa Ta'aala menerangkan bahwa meskipun bukti dan dalil dibawakan Beliau kepada mereka, niscaya mereka tetap tidak mau mengikuti. Mereka tidak mau mengikuti karena keadaan mereka yang mu'anidun, yakni mengetahui yang hak, tetapi malah meninggalkannya, padahal ayat dan dalil hanyalah akan bermanfa'at bagi mereka yang mencari yang hak namun masih samar, kepadanyalah bukti dan dalil diperlukan. Adapun orang yang bersikeras untuk tidak mau mengikuti kebenaran, maka tidak perlu mencari-cari terus jalan keluarnya. Dari sini kita mengetahui, apabila kita telah menerangkan kebenaran dengan dalil-dalilnya yang yakin kepada orang lain, ternyata ia menolak, maka kita tidak mesti membawakan lagi bukti-bukti lagi, karena tidak ada ujung-ujungnya.

[18] Yakni: di samping hal tersebut, mereka juga saling berselisih, masing-masing mereka tidak mengikuti kiblat yang lain.

[19] Termasuk juga kepada umat Beliau. Ayat ini merupakan ancaman bagi orang-orang yang lebih mengutamakan keridhaan manusia daripada keridhaan Allah.

[20] Di ayat ini menggunakan kata "ahwaa'ahum" (keinginan mereka) tidak menggunakan kata "diinahum" (agama mereka) karena apa yang mereka pegang selama ini hanyalah semata-mata hawa nafsu, bahkan mereka meyakini apa yang mereka pegang selama ini bukanlah agama. Oleh karena itu, orang yang meninggalkan agama yang benar, maka sebenarnya orang itu hanyalah mengikuti hawa nafsu belaka, meskipun mereka menamainya sebagai agama.

[21] Maksudnya: setelah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam mengetahui bahwa dirinya di atas yang hak, sedangkan mereka di atas yang batil.

Related Posts:

Tafsir Al Baqarah Ayat 135-141

Ayat 135-138: Menyebutkan bantahan terhadap orang-orang Yahudi dan Nasrani yang menyangka bahwa hidayah (petunjuk) terletak pada mengikuti mereka dan menerangkan, bahwa petunjuk yang sebenarnya terletak dalam mengikuti ajaran Islam

وَقَالُوا كُونُوا هُودًا أَوْ نَصَارَى تَهْتَدُوا قُلْ بَلْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ (١٣٥) قُولُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنْزِلَ إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالأسْبَاطِ وَمَا أُوتِيَ مُوسَى وَعِيسَى وَمَا أُوتِيَ النَّبِيُّونَ مِنْ رَبِّهِمْ لا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ (١٣٦) فَإِنْ آمَنُوا بِمِثْلِ مَا آمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللَّهُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ (١٣٧) صِبْغَةَ اللَّهِ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ صِبْغَةً وَنَحْنُ لَهُ عَابِدُونَ (١٣٨

135. Dan mereka berkata: "Jadilah kamu (penganut) agama Yahudi atau Nasrani, niscaya kamu mendapat petunjuk". Katakanlah: "Tidak, tetapi (kami mengikuti) agama Ibrahim yang lurus (Islam)[1] dan dia tidak termasuk golongan orang yang mempersekutukan tuhan."

[1] Mengikuti Nabi Ibrahim itulah seseorang akan mendapatkan petunjuk, di mana Beliau seorang yang bertauhid dan menjauhi syirk.

136.[2] Katakanlah (hai orang-orang mukmin)[3], "Kami beriman[4] kepada Allah[5] dan kepada apa yang diturunkan kepada kami[6], dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim[7], Isma'il, Ishaq, Ya'qub dan anak cucunya[8], dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhan mereka[9]. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka[10], dan Kami hanya tunduk patuh kepada-Nya"[11].

[2] Ayat yang mulia ini mengandung hal-hal yang wajib kita imani. Iman adalah pembenaran dari hati kepada dasar-dasar ini, iqrar (pengakuan di lisan) dan pengamalan dengan anggota badan. Berdasarkan arti ini, maka kata iman sudah termasuk ke dalamnya Islam, demikian juga termasuk ke dalam iman semua amal shalih. Amal shalih adalah bagian dari iman dan salah satu atsar (pengaruh) di antara atsar-atsarnya. Oleh karena itu, jika disebutkan iman secara mutlak, maka hal-hal tadi termasuk di dalamnya. Demikian juga kata "Islam", jika disebutkan secara mutlak, maka masuk juga ke dalamnya iman. Namun apabila disebut Iman dan Islam secara bersamaan, maka iman adalah sesuatu yang menancap di hati berupa pembenaran dan pengakuan, sedangkan Islam sebagai nama untuk amal-amal yang nampak di luar. Sama seperti ini, jika disebut iman dan amal shalih. Iman adalah sesuatu yang menancap di hati, sedangkan amal shalih adalah amalan yang nampak di luar.

[3] Maksudnya: perkataan yang dibenarkan oleh hati. Inilah perkataan yang sempurna yang akan diberi pahala. Sebaliknya, jika terbatas di lisan saja tanpa masuk ke dalam hati, maka hal itu merupakan nifak dan kekufuran. Perintah untuk mengatakan hal-hal di atas adalah isyarat untuk mengi'lankan (menampakkan secara terang-terangan) 'Aqidah Islam sekaligus mendakwahkan manusia kepadanya.

[4] Pada kata-kata ini "Kami beriman" dinisbatkan kepada umat Islam secara menyeluruh yang menunjukkan wajibnya mereka berpegang dengan agama Allah dan bersatu di atasnya serta larangan berpecah-belah. Ayat ini juga menunjukkan bahwa kaum mukmin itu seperti satu jasad.

[5] Kata-kata ini menunjukkan bolehnya seseorang menyebut dirinya beriman 'ala wajhit taqyid (secara tafshil, seperti: "saya beriman kepada Allah", "saya beriman kepada kitab-kitab Allah" dsb.), bahkan hal itu wajib. Berbeda jika mengatakan "saya seorang mukmin", maka harus disertakan istitsna' (kata Insya Allah) karena di dalamnya terdapat tazkiyah (anggapan suci terhadap diri) dan persaksian dirinya sebagai mukmin.

Beriman kepada Allah mencakup beriman bahwa Allah itu ada, Dia sebagai Rabbul 'alamin (Pencipta, Penguasa dan Pemberi rezeki alam semesta), Mahaesa, memiliki sifat sempurna, bersih dari sifat kekurangan dan cacat, yang satu-satunya berhak diibadahi dan tidak boleh disekutukan.

[6] Mencakup beriman kepada Al Qur'an dan As Sunnah, berdasarkan surat An Nisa': 113 yang di sana disebutkan "wa anzalallahu 'alaikal kitaaba wal hikmah". Oleh karena itu, dalam beriman kepada apa yang diturunkan Allah kepada kita mencakup beriman kepada isi Al Qur'an dan As Sunnah, seperti tentang sifat-sifat Allah, sifat-sifat rasul-Nya, tentang hari akhir, hal-hal ghaib yang telah lalu dan yang akan datang serta beriman kepada kandungan Al Qur'an dan As Sunnah berupa hukum-hukum syar'i yang berupa perintah dan larangan dan hukum-hukum jaza'i (pembalasan terhadap amal) dsb.

[7] Seperti shuhuf (lembaran-lembaran berisi wahyu).

[8] Mereka adalah para nabi yang berasal dari keturunan Ya'qub (Bani Israil).

[9] Dalam beriman kepada kitab-kitab Allah, kita mengimaninya secara ijmal dan tafshil. Secara ijmal (garis besar) maksudnya kita mengimani bahwa Allah Subhaanahu wa Ta'aala telah menurunkan kitab-kitab atau shuhuf kepada para nabi meskipun tidak diberitahukan kepada kita namanya seperti pada ayat di atas. Sedangkan secara tafshil (rinci) adalah kita mengimani kitab-kitab tersebut secara rinci, yakni yang disebutkan nama kitabnya dan siapa yang menerimanya karena kemuliaan mereka sehingga disebutkan namanya dalam Al Qur'an dan karena mereka datang membawa syari'at-syari'at yang agung. Misalnya: Mengimani Al Qur'an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, Zabur yang diturunkan kepada Nabi Dawud 'alaihis salam, Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa 'alaihis salam dan Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa 'alaihis salam.

Dari ayat ini kita juga mengetahui bahwa nikmat agama yang benar merupakan nikmat yang sangat besar karena terkait dengan bahagia atau sengsara seseorang di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, Allah Subhaanahu wa Ta'aala tidak menyuruh kita mengimani apa yang diberikan kepada para nabi berupa kerajaan, harta dsb. Akan tetapi, Dia memerintahkan kita beriman kepada apa yang diberikan kepada mereka berupa kitab-kitab dan syari'at mereka..

Disebutkan kata "Mirr rabbihim" (dari Tuhan mereka) terdapat isyarat bahwa termasuk kesempurnaan rububiyyah (kepengurusan) Allah kepada hamba-hamba-Nya adalah dengan menurunkan kepada mereka kitab-kitab dan mengutus para rasul, dan Rububiyyah-Nya kepada hamba-hamba-Nya menghendaki untuk tidak membiarkan mereka begitu saja dalam kebingungan.

Apabila yang diberikan kepada para nabi itu berasal dari Tuhan mereka, maka di sana terdapat perbedaan antara para nabi dengan orang-orang yang mengaku sebagai nabi, yaitu dengan melihat apa yang mereka dakwahkan. Para rasul tidaklah mendakwahkan selain kepada kebaikan dan tidak melarang kecuali dari perbuatan buruk, masing-masing mereka saling membenarkan tidak bertentangan karena memang sama-sama berasal dari Tuhan mereka, berbeda dengan orang yang mengaku sebagai nabi, pasti terjadi pertentangan antara berita yang mereka sampaikan, demikian juga pada perintah dan larangan sebagaimana hal itu diketahui oleh orang yang biasa mengkaji.

[10] Maksudnya: tidak membeda-bedakan dalam beriman, yakni semuanya mereka imani tidak seperti orang-orang Yahudi yang beriman hanya sampai kepada Nabi Musa 'alaihis salam dan tidak seperti orang-orang Nasrani yang beriman hanya sampai kepada Nabi Isa 'alaihis salam. Padahal kafir kepada seorang nabi, sama saja kafir kepada semua nabi.

[11] Setelah Allah Subhaanahu wa Ta'aala menyebutkan beberapa hal yang wajib diimani, baik secara umum maupun khusus, sedangkan ucapan tidak berhenti sampai di situ, bahkan membutuhkan kerja nyata atau amal, maka Allah Subhaanahu wa Ta'aala memerintahkan untuk menambahkan "dan Kami hanya tunduk patuh kepada-Nya", yakni tunduk kepada keagungan-Nya dan patuh beribadah kepada-Nya baik zhahir maupun batin sambil mengikhlaskan diri hanya kepada-Nya.

Ayat di atas meskipun ringkas, namun sebenarnya mencakup beberapa hal, di antaranya:

- Tauhid yang tiga; tauhid rububiyyah, tauhid uluhiyyah dan tauhid asma' wash shifat.

- Beriman kepada semua Rasul.

- Beriman kepada semua kitab.

- Disebutkan sebagian para rasul setelah menyebutkan beriman kepada para rasul secara umum menunjukkan keutamaan mereka di atas yang lain.

- Menjelaskan tentang hakikat iman yang menghendaki adanya pembenaran di hati, lisan dan anggota badan serta berbuat ikhlas lillah dalam semua itu.

- Menjelaskan mana rasul yang sesungguhnya dengan orang yang mengaku sebagai rasul padahal bukan rasul.

- Menjelaskan tentang ucapan yang diajarkan Allah Subhaanahu wa Ta'aala kepada hamba-hamba-Nya.

- Menunjukkan rahmat (kasih sayang) Allah Subhaanahu wa Ta'aala dan ihsan-Nya kepada hamba-hamba-Nya dengan memberikan nikmat agama yang menjamin kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat.



Maka Mahasuci Allah Subhaanahu wa Ta'aala yang menjadikan kitab-Nya sebagai penjelas segala sesuatu, sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.

137. Maka jika mereka[12] telah beriman sebagaimana yang kamu imani[13], sungguh mereka telah mendapat petunjuk. Tetapi jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (denganmu), maka Allah akan memelihara kamu dari mereka, dan Dia Maha mendengar lagi Maha mengetahui. [14]


[12] Yakni ahli kitab.

[13] Yakni dengan beriman kepada semua kitab dan semua rasul termasuk beriman kepada Al Qur'an dan kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam serta tunduk patuh kepada Allah Subhaanahu wa Ta'aala.

[14] Orang yang beriman seperti yang diimani kaum mukmin adalah orang-orang yang mendapat petunjuk kepada jalan yang lurus yang mengarah keppada surga. Oleh karena itu, tidak ada jalan untuk memperoleh petunjuk itu kecuali dengan beriman seperti di atas (ayat 136), tidak seperti yang dinyatakan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani bahwa untuk memperoleh petunjuk harus mengikuti agama Yahudi atau Nasrani. Padahal yang disebut dengan "petunjuk" adalah mengetahui kebenaran dan mengamalkannya. Kebalikannya adalah tersesat baik dengan tidak mengetahui yang hak maupun dengan tidak mengamalkannya setelah mengetahuinya. Keadaan seperti inilah, yakni berpaling dari petunjuk itu yang mengakibatkan mereka berada dalam syiqaq (permusuhan), dan biasanya jika sudah terjadi permusuhan, maka orang yang bermusuhan itu akan berupaya sekuat tenaga mengerahkan kemampuannya untuk menyakiti musuhnya, dan yang mereka musuhi dalam hal ini adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya, maka Allah Subhaanahu wa Ta'aala menjanjikan akan menjaga Beliau dari gangguan mereka; karena Dia mendengar semua pembicaraan dan Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan di belakang mereka, Dia mengetahui yang ghaib dan yang nampak, yang zhahir maupun yang tersembunyi. Jika demikian, maka cukuplah Allah sebagai penjaga Rasul-Nya dari gangguan musuhnya.



Allah Subhaanahu wa Ta'aala memenuhi janji-Nya, Dia menjaga Rasul-Nya dan rasul-Nya berhasil menyampaikan risalahnya semua tanpa ada yang dikurangi sedikit pun. Di dalam ayat ini pun terdapat mukjizat Al Qur'an, di mana Al Qur'an sudah mengabarkan sebelum terjadinya sesuatu dan kenyataannya sesuai dengan yang dikabarkan itu.

138. (Peganglah) Shibghah Allah[15], siapakah yang lebih baik shibghahnya daripada Allah? Dan (katakanlah) hanya kepada-Nya Kami menyembah[16].

[15] Shibghah artinya celupan. Shibghah Allah: celupan Allah yang berarti iman kepada Allah yang tidak disertai dengan kemusyrikan, bisa juga diartikan fitrah atau agama Allah, yakni "Peganglah agama Allah, di mana Dia menciptakan kalian di atasnya." Memegang agama Allah ini menghendaki untuk melaksanakan ajaran Islam baik amalan tersebut terkait dengan zhahir maupun batin serta memegang 'aqidah Islam di setiap waktu sehingga hal itu menjadi shibghah dan sifat yang melekat pada diri seseorang. Jika sudah melekat, tentu kita akan senantiasa tunduk kepada perintah-Nya dengan sikap rela, cinta dan sebagai pilihan bukan karena terpaksa. Pengamalan ajaran Islam pun menjadi tabi'at dirinya seperti celupan yang merubah warna pakaian sebelumnya. Dirinya akan memiliki akhlak mulia, amalan yang indah dan mendahulukan perkara utama. Oleh karena itu, Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman dengan rasa takjub yang membuat orang-orang yang berakal terpesona, "siapakah yang lebih baik shibghahnya daripada Allah?" yakni tidak ada yang dapat merubah orang lain sehingga menjadi indah dipandang selain syari'at Allah Subhaanahu wa Ta'aala. Untuk mengetahui kehebatan shibghah Allah, cobalah bandingkan antara seorang hamba yang beriman kepada Allah dengan iman yang benar, tentu akan membekas dalam dirinya rasa tunduk baik dari hati maupun anggota badannya kepada Allah, ia senantiasa memiliki sifat mulia, seperti jujur lisannya, banyak kebaikannya, sedikit bicara, banyak berbuat, sedikit sekali tergelincir, tidak berlebihan dalam sesuatu selain dalam hal yang memberinya manfa'at seperti ibadah, berbakti kepada orang tua dan menyambung tali silaturrahim, sopan, sabar, memiliki rasa syukur yang tinggi, tidak lekas marah, memenuhi janji, menjaga dirinya dari yang haram, tidak suka melaknat, memaki, tidak mengadu domba serta ghibah (menggunjing orang), tidak tergesa-gesa, tidak dendam, tidak bakhil dan dengki, menampakkan wajah yang senang dan berseri-seri, cinta karena Allah dan benci pun karena-Nya, ridha karena Allah serta marah pun karena-Nya. Kemudian bandingkan dengan seorang yang jauh dari syari'at Allah; akhlaknya buruk seperti suka berdusta, khianat, suka menipu, buruk ucapan dan tindakannya, tidak ikhlas kepada Allah dan tidak suka berbuat ihsan kepada orang lain.

[16] Ayat ini menerangkan tentang bagaimana memperoleh shibghah ini, yaitu dengan melaksanakan dua asas; ikhlas dan mutaba'ah (mengikuti Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam). Mengapa diambil kesimpulan demikian? Hal itu, karena ibadah adalah istilah untuk semua perkara yang dicintai Allah dan diridhai-Nya berupa ucapan dan amalan yang nampak maupun tersembunyi, dan hal itu tidak akan diperoleh kecuali dengan mengikuti contoh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Sedangkan arti ikhlas adalah tujuan seorang hamba dalam melakukan semua itu untuk mencari keridhaan Allah dan Inilah ibadah.

Pada ayat tersebut ada penggunaan isim fa'il (pelaku), yaitu 'aabiduun yang menunjukkan tetapnya mereka di atas ibadah tersebut, di atas sifat itu dan hal itu sudah menjadi shibghah (melekat) pada diri mereka.

Ayat 139-141: Menerangkan bantahan terhadap orang-orang yang menyangka bahwa Ibrahim dan anak cucunya adalah orang-orang Yahudi atau Nasrani, serta menerangkan bahwa sangkaan ini hanyalah sikap mengingkari, keras kepala dan jauh dari kenyataan

قُلْ أَتُحَاجُّونَنَا فِي اللَّهِ وَهُوَ رَبُّنَا وَرَبُّكُمْ وَلَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُخْلِصُونَ (١٣٩) أَمْ تَقُولُونَ إِنَّ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالأسْبَاطَ كَانُوا هُودًا أَوْ نَصَارَى قُلْ أَأَنْتُمْ أَعْلَمُ أَمِ اللَّهُ وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ كَتَمَ شَهَادَةً عِنْدَهُ مِنَ اللَّهِ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ (١٤٠) تِلْكَ أُمَّةٌ قَدْ خَلَتْ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَلَكُمْ مَا كَسَبْتُمْ وَلا تُسْأَلُونَ عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ (١٤١

139. Katakanlah[17]: "Apakah kamu hendak berdebat dengan kami tentang Allah, Padahal Dia adalah Tuhan Kami dan Tuhan kamu[18]. Bagi Kami amalan Kami, dan bagi kamu amalan kamu dan hanya kepada-Nya Kami dengan tulus mengabdikan diri.


[17] Yakni kepada ahli kitab.

[18] Berdebat atau disebut dalam bahasa Arab muhaajjaah artinya berdebat dalam masalah yang diperselisihkan, di mana masing-masing pihak berusaha memenangkan pendapatnya dan membatalkan pendapat lawannya. Dalam hal ini, kita diperintahkan dengan cara yang baik, yakni dengan cara yang bisa menarik orang yang tersesat kepada kebenaran dan menegakkan hujjah kepada orang yang susah diajak, menerangkan yang hak dan menjelaskan yang batil. Jika keluar dari hal tersebut, maka ia bukanlah mujadalah (berdebat) tetapi sebagai miraa' (debat kusir) yang tidak ada kebaikan di dalamnya, dan malah menimbulkan keburukan.

Orang-orang ahli kitab menganggap bahwa mereka lebih dekat dengan Allah daripada kaum muslim. Anggapan jelas membutuhkan bukti dan dalil. Padahal Tuhan semua manusia hanya satu yaitu Allah, Dia bukan Tuhan mereka saja, bahkan Tuhan kita juga. Oleh karena itu, kita dan mereka adalah sama, karena membedakan antara hal yang sama tanpa ada sesuatu pembeda adalah batil. Bahkan berbedanya antara yang satu dengan yang lain hanyalah tergantung pengikhlasan amal untuk-Nya semata, dan ternyata keadaan seperti ini hanya ada pada orang-orang mukmin, maka tentu mereka lebih dekat dengan Allah dibanding yang lain. Ikhlas inilah yang membedakan antara wali Allah dengan wali setan. Dalam ayat ini, terdapat petunjuk yang halus cara berdebat dan bahwa masalah itu didasari atas menyamakan hal yang memang sama dan membedakan hal yang memang beda.

140. Ataukah kamu (hai orang-orang Yahudi dan Nasrani) mengatakan bahwa Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'qub dan anak cucunya adalah penganut agama Yahudi atau Nasrani?[19] Katakanlah: "Kamukah yang lebih tahu atau Allah, dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang menyembunyikan syahadah dari Allah[20] yang ada padanya?" dan Allah sekali-kali tidak lengah terhadap apa yang kamu kerjakan[21].


[19] Pernyataan ini muncul karena anggapan mereka bahwa mereka lebih dekat (dalam mengikuti) dengan para rasul tersebut (Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'qub dan anak cucunya), padahal para rasul tersebut diutus dan wafat sebelum turunnya Taurat dan Injil, maka Allah Subhaanahu wa Ta'aala membantah mereka dengan firman-Nya "Kamukah yang lebih tahu atau Allah", padahal Allah Subhaanahu wa Ta'aala menyatakan dalam firman-Nya di ayat lain:

"Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah Dia Termasuk golongan orang-orang musyrik." (Terj. Ali Imran: 67)

Pertanyaan " Kamukah yang lebih tahu atau Allah " meskipun tidak disebutkan secara tegas jawabannya, tetapi pada kata-kata tersebut sudah jelas sekali jawabannya sehingga tidak perlu dijawab sebagaimana kata-kata "Malam itu lebih terang ataukah siang?" atau "Api itu lebih panas ataukah air?" "Syirk lebih baik ataukah tauhid?" dsb.

[20] Syahadah dari Allah ialah persaksian Allah yang disebutkan dalam Taurat dan Injil bahwa Ibrahim 'alaihis salam dan anak cucunya bukan penganut agama Yahudi atau Nasrani dan bahwa Allah akan mengutus Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.

[21] Allah Subhaanahu wa Ta'aala akan menjumlahkan semua amal yang mereka kerjakan dan akan memberikan balasan terhadapnya.

Demikianlah cara Al Qur'an dalam menerangkan, di dalamnya terdapat wa'd (janji) dan ancaman, targhib (dorongan) dan tarhib (ancaman), menyebutkan Asma'ul Husna setelah menerangkan hukum, yakni bahwa perkara agama dan pembalasan merupakan atsar (pengaruh) dari nama-nama-Nya.

141. Itulah umat yang telah lalu. Baginya apa yang telah diusahakannya dan bagimu apa yang kamu usahakan, dan kamu tidak akan diminta pertanggungjawaban tentang apa yang dahulu mereka kerjakan[22].

[22] Dalam ayat di atas terdapat pemutusan hubungan ketergantungan kepada makhluk, iman dan amal mereka tidak bisa dilimpahkan kepada yang lain sebagaimana dosa orang lain tidak dilimpahkan kepadanya. Demikian juga agar kita tidak tertipu oleh nasab, bahkan yang dinilai adalah iman dan amal shalih, bukan amal nenek moyang kita.

Related Posts: