Tafsir Al Hadid Ayat 13-21

Ayat 13-15: Membicarakan tentang orang-orang munafik, bagaimana mereka bertindak tanpa petunjuk di kegelapan di akhirat sebagaimana mereka di dunia berada dalam kegelapan kebodohan, kesesatan dan keraguan.

يَوْمَ يَقُولُ الْمُنَافِقُونَ وَالْمُنَافِقَاتُ لِلَّذِينَ آمَنُوا انْظُرُونَا نَقْتَبِسْ مِنْ نُورِكُمْ قِيلَ ارْجِعُوا وَرَاءَكُمْ فَالْتَمِسُوا نُورًا فَضُرِبَ بَيْنَهُمْ بِسُورٍ لَهُ بَابٌ بَاطِنُهُ فِيهِ الرَّحْمَةُ وَظَاهِرُهُ مِنْ قِبَلِهِ الْعَذَابُ (١٣) يُنَادُونَهُمْ أَلَمْ نَكُنْ مَعَكُمْ قَالُوا بَلَى وَلَكِنَّكُمْ فَتَنْتُمْ أَنْفُسَكُمْ وَتَرَبَّصْتُمْ وَارْتَبْتُمْ وَغَرَّتْكُمُ الأمَانِيُّ حَتَّى جَاءَ أَمْرُ اللَّهِ وَغَرَّكُمْ بِاللَّهِ الْغَرُورُ (١٤) فَالْيَوْمَ لا يُؤْخَذُ مِنْكُمْ فِدْيَةٌ وَلا مِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا مَأْوَاكُمُ النَّارُ هِيَ مَوْلاكُمْ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ (١٥)

Terjemah Surat Al Hadid Ayat 13-15

13. [1]Pada hari orang-orang munafik laki-laki dan perempuan berkata kepada orang-orang yang beriman, "Tunggulah kami! Kami ingin mengambil cahayamu[2].” (Kepada mereka) dikatakan, "Kembalilah kamu ke belakang dan carilah sendiri cahaya (untukmu).” Lalu di antara mereka dipasang dinding (pemisah) yang berpintu. Di sebelah dalam ada rahmat[3] dan di luarnya hanya ada azab[4].

14. Orang-orang munafik memanggil orang-orang mukmin, "Bukankah kami dahulu bersama kamu?"[5] Mereka menjawab, "Benar[6], tetapi kamu mencelakakan dirimu sendiri[7], dan kamu hanya menunggu (kekalahan kami), meragukan (janji Allah) dan ditipu oleh angan-angan kosong[8] sampai datang ketetapan Allah[9]; dan penipu (setan) datang memperdaya kamu tentang Allah[10].

15. Maka pada hari ini tidak akan diterima tebusan dari kamu[11] maupun dari orang kafir. Tempat kamu di neraka. Itulah tempat berlindungmu, dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.”

Ayat 16-17: Peringatan kepada kaum mukmin agar tidak berhati keras; hati yang tidak menerima nasihat dan tidak tunduk kepada janji dan ancaman-Nya.

أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الأمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ (١٦) اعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يُحْيِي الأرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ (١٧)

Terjemah Surat Al Hadid Ayat 16-17

16. [12] [13]Belum tibakah waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk secara khusyu’ mengingat Allah dan mematuhi kebenaran yang telah diwahyukan (kepada mereka)[14] dan janganlah mereka (berlaku) seperti orang-orang yang telah menerima kitab sebelum itu, kemudian mereka melalui masa yang panjang[15] sehingga hati mereka menjadi keras[16]. Dan banyak di antara mereka menjadi orang-orang fasik.

17. Ketahuilah bahwa Allah yang menghidupkan bumi setelah matinya (kering)[17]. Sungguh, telah Kami jelaskan kepadamu tanda-tanda (kebesaran Kami) agar kamu mengerti[18].

Ayat 18-21: Pahala orang yang mengorbankan jiwa dan hartanya untuk menegakkan agama Allah, dan gambaran kehidupan dunia agar manusia tidak tertipu dengannya.

إِنَّ الْمُصَّدِّقِينَ وَالْمُصَّدِّقَاتِ وَأَقْرَضُوا اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا يُضَاعَفُ لَهُمْ وَلَهُمْ أَجْرٌ كَرِيمٌ (١٨) وَالَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ أُولَئِكَ هُمُ الصِّدِّيقُونَ وَالشُّهَدَاءُ عِنْدَ رَبِّهِمْ لَهُمْ أَجْرُهُمْ وَنُورُهُمْ وَالَّذِينَ كَفَرُوا وَكَذَّبُوا بِآيَاتِنَا أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ (١٩) اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الأمْوَالِ وَالأوْلادِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا وَفِي الآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلا مَتَاعُ الْغُرُورِ (٢٠) سَابِقُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا كَعَرْضِ السَّمَاءِ وَالأرْضِ أُعِدَّتْ لِلَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ (٢١)

Terjemah Surat Al Hadid Ayat 18-21

18. Sesungguhnya orang-orang yang bersedekah[19] baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah dengan pinjaman yang baik[20], akan dilipatgandakan (balasannya) bagi mereka[21]; dan mereka akan mendapat pahala yang mulia[22].

19. Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya[23], mereka itu orang-orang shiddiqin[24]. Dan para syuhada di sisi Tuhan mereka, berhak mendapat pahala dan cahaya[25]. Tetapi orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami[26], mereka itu penghuni-penghuni neraka[27].

20. [28]Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurau, perhiasan[29] dan saling berbangga di antara kamu[30] serta berlomba dalam kekayaan dan anak keturunan[31], [32]seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian (tanaman) itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya[33]. Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang palsu[34]. Ayat Semisal : (Al-Ahqaf: 20)

+ show / hide Dalil Hadits

21. [35]Berlomba-lombalah kamu untuk mendapatkan ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya. Itulah karunia Allah, yang diberikan kepada siapa yang Dia kehendaki[36]. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.

KANDUNGAN AYAT

[1] Ketika itu cahaya orang-orang munafik padam dan mereka berada dalam kegelapan sambil merasa heran, sedangkan mereka melihat cahaya orang-orang mukmin tetap bersinar dan mereka berjalan dengannya, maka mereka berkata kepada orang-orang mukmin seperti yang disebutkan dalam ayat di atas.

[2] Agar kami dapat selamat dari azab.

[3] Yaitu yang berada dekat orang-orang mukmin.

[4] Yaitu yang dekat dengan orang-orang munafik.

[5] Yakni di dunia, kami sama seperti kamu mengucapkan Laailaahaillallah, kami shalat, kami puasa dan beramal seperti amal kamu?

[6] Ya, benar secara zhahir amalmu sama seperti amal kami, akan tetapi amalmu adalah amal orang-orang munafik yang tidak didasari iman dan niat yang benar.

[7] Dengan berbuat munafik.

[8] Bahwa kamu akan mendapatkan seperti yang didapatkan kaum mukmin, namun kamu tidak yakin.

[9] Yaitu kematian, sedangkan kamu dalam keadaan seperti itu.

[10] Setan telah menghias kekafiran dan keragu-raguan kepada kamu, lalu kamu merasa tenang dengannya dan kamu percayai janjinya yang dusta dan membenarkan beritanya.

[11] Meskipun kamu menebus dirimu dengan emas sepenuh bumi.

[12] Menurut penyusun tafsir Al Jalaalain, bahwa ayat ini turun berkenaan dengan para sahabat yang terlalu banyak bercanda.

[13] Ketika Allah Subhaanahu wa Ta'aala menyebutkan keadaan kaum mukmin laki-laki dan perempuan serta keadaan kaum munafik laki-laki dan perempuan di akhirat, dimana hal tersebut mendorong hati untuk khusyu’ kepada Tuhannya dan tunduk kepada kebesaran-Nya, maka Allah Subhaanahu wa Ta'aala mencela kaum mukmin karena tidak seperti itu.

[14] Maksudnya, belumkah datang waktu bagi orang-orang yang beriman untuk lunak dan khusyu’ hati berdzikr mengingat Allah, yaitu dalam membaca Al Qur’an, tunduk kepada perintahnya dan menjauhi larangannya, serta kepada kebenaran yang dibawa Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Dalam ayat ini terdapat dorongan untuk berusaha menjadikan hati khusyu’ kepada Allah Subhaanahu wa Ta'aala dan kepada yang diturunkan-Nya berupa Al Qur’an dan As Sunnah, dan agar kaum mukmin dapat mengingat nasihat-nasihat ilahi dan hukum-hukum syar’i di setiap waktu serta menghisab diri mereka dengannya.

[15] Yakni janganlah mereka seperti orang-orang sebelum mereka dari kalangan Yahudi dan Nasrani yang telah Allah turunkan kepada mereka kitab yang mengharuskan mereka khusyu’ hatinya dan tunduk sikapnya, namun mereka malah tidak istiqamah di atasnya, bahkan masa yang panjang berlalu kepada mereka namun membuat mereka tetap lalai sehingga iman mereka sedikit demi sedikit terkikis.

[16] Tidak lunak ketika berdzikr kepada Allah Subhaanahu wa Ta'aala. Dengan demikian, hati terus-menerus butuh mengingat apa yang Allah turunkan dan tidak lalai terhadapnya, karena jika tidak demikian maka dapat menyebabkan hati menjadi keras.

[17] Dengan menjadikannya menumbuhkan tumbuhan. Demikian juga Dia berbuat terhadap hatimu dengan mengembalikan hatimu kepada kekhusyu’an.

[18] Hal itu, karena ayat-ayat itu menunjukkan kepada akal terhadap tuntutan-tuntutan ilahi. Allah Subhaanahu wa Ta'aala yang menghidupkan bumi setelah matinya tentu mampu menghidupkan orang-orang yang telah mati setelah mereka mati, lalu Dia memberi balasan terhadap amal mereka. Demikian pula karena Dia yang menghidupkan bumi setelah matinya dengan air hujan, maka Dia mampu pula menghidupkan hati-hati yang telah mati dengan kebenaran yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya. Ayat ini menunjukkan, bahwa tidak ada akal bagi orang yang tidak dapat mengambil petunjuk dari ayat-ayat Allah serta tidak tunduk kepada syariat-syariat Allah.

[19] Yakni orang-orang yang banyak bersedekah dan mengeluarkan infak yang diridhai.

[20] Yaitu dengan memberikan harta mereka ke jalan-jalan kebaikan yang menjadi simpanan bagi mereka di sisi Tuhan mereka.

[21] Satu kebaikan dilipat-gandakan menjadi sepuluh, lalu menjadi tujuh ratus dan menjadi kelipatan yang banyak melebihi itu.

[22] Yaitu yang Allah Subhaanahu wa Ta'aala siapkan untuk mereka di surga berupa kenikmatan yang tidak diketahui oleh jiwa.

[23] Syaikh As Sa’diy menerangkan, iman menurut Ahlussunnah wal Jamaah adalah ucapan hati dan lisan, demikian pula amalan hati, lisan dan anggota badan sehingga mencakup semua syariat agama yang tampak maupun yang tersembunyi. Orang yang menggabung antara perkara-perkara ini, maka mereka adalah shiddiqin yang kedudukan mereka di atas kedudukan kaum mukmin pada umumnya dan di bawah kedudukan para nabi.

[24] Yaitu mereka yang sangat teguh dan kuat keyakinannya kepada kebenaran rasul. Mereka ini termasuk di antara orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah sebagaimana yang disebutkan dalam surat Al Faatihah ayat 7.

[25] Hal ini sebagaimana yang diterangkan dalam hadits shahih, bahwa di surga ada seratus derajat, dimana antara dua derajat jaraknya antara langit dan bumi. Allah Subhaanahu wa Ta'aala menyiapkannya untuk para mujahid di jalan-Nya. Ayat ini menunjukkan tingginya kedudukan mereka dan dekatnya mereka dengan Allah Subhaanahu wa Ta'aala.

[26] Yang menunjukkan keesaan Kami.

[27] Ayat ini dan dua ayat sebelumnya menerangkan beberapa golongan orang, dari mulai al mushshaddiqin (orang-orang yang banyak bersedekah), shiddiqin (orang-orang yang sangat membenarkan), syuhada’ dan As-habul Jahim (penghuni neraka). Al Mushshaddiqin adalah mereka yang sebagian besar amalnya adalah berbuat ihsan kepada makhluk, memberikan manfaat kepada mereka sesuai kemampuan, khususnya memberikan manfaat dengan mengeluarkan harta di jalan Allah.Shiddiqin adalah mereka yang telah sempurna tingkatan iman dan amal saleh, ilmu yang bermanfaat dan keyakinan yang benar. Sedangkan para syuhada adalah orang-orang yang berperang di jalan Allah untuk meninggikan kalimatullah serta mengorbankan diri dan harta mereka lalu mereka terbunuh. Adapun Ash-habul jahiim adalah orang-orang kafir yang mendustakan ayat-ayat Allah. Tinggallah golongan yang disebutkan dalam surah Fathir, yaitu al muqtashiduun (yang pertengahan), yaitu mereka yang mengerjakan kewajiban dan meninggalkan larangan, hanyasaja mereka melakukan pengurangan pada sebagian hak Allah dan hak hamba. Mereka ini tempat kembalinya adalah ke surga meskipun mereka mendapatkan hukuman terhadap sebagian amal yang mereka kerjakan.

[28] Allah Subhaanahu wa Ta'aala menerangkan hakikat dunia dan apa yang ada di atasnya, menerangkan akhirnya dan akhir para penghuninya, yaitu bahwa dunia merupakan permainan dan senda gurau, dimana jasad bermain-main dengannya dan hati terlalaikan olehnya. Hal ini seperti yang terjadi pada orang-orang yang mengejar dunia, dimana kita melihat mereka menghabiskan usia mereka dengan senda gurau serta lalai dari dzikrullah, demikian pula terhadap apa yang ada di hadapan mereka berupa janji Allah dan ancaman-Nya di akhirat. Bahkan kita melihat mereka menjadikan agama sebagai permainan dan senda gurau, berbeda dengan orang-orang yang sadar dan mengejar akhirat, dimana hati mereka dipenuhi mengingat Allah, mengenal dan mencintai-Nya, dan mereka menyibukkan waktu mereka dengan amal yang dapat mendekatkan mereka kepada Allah baik manfaatnya terbatas untuk diri mereka maupun mengena pula kepada orang lain.

+ show / hide Penjelasan Ulama

[29] Yakni berhias, baik dalam pakaian, makanan, minuman, kendaraan, rumah, kedudukan dan lainnya.

[30] Maksudnya, masing-masing penghuninya ingin berbangga di hadapan orang lain dan agar dia lebih unggul dalam urusannya serta masyhur keadaannya.

[31] Masing-masing ingin jika dia lebih banyak daripada yang lain dalam harta dan anaknya seperti yang kita saksikan pada orang-orang yang mencintai dunia dan merasa tenteram dengannya. Berbeda dengan orang-orang yang telah mengenal dunia dan hakikatnya, dimana dia menjadikannya sebagai perjalanan, bukan sebagai tempat menetap, maka dia pun berlomba-lomba dalam hal yang mendekatkan dirinya kepada Allah serta menggunakan sarana yang dapat mengantarkannya kepada Allah, dan ketika dia melihat orang-orang berlomba-lomba dalam hal harta dan anak, maka dia berlomba-lomba dalam amal saleh.

[32] Selanjutnya Allah Subhaanahu wa Ta'aala membuat permisalan terhadap dunia dengan air hujan yang turun mengena kepada bumi, lalu bercampur dengan tanaman-tanaman bumi yang kemudian menjadi makanan manusia dan hewan. Ketika bumi telah berhias dengan indahnya dan tanamannya menakjubkan para penanam, yang cita-cita dan harapannya terbatas hanya sampai dunia saja, tiba-tiba datang perkara dari perintah Allah yang membinasakannya sehingga tanaman itu menjadi kering menguning dan menjadi seperti belum pernah tumbuh sama sekali. Demikianlah dunia, ketika ia berhias untuk penduduknya, dimana apa saja yang diinginkan penghuninya dapat diperolehnya dan apa yang dituju oleh penghuninya, maka akan ditemukan pintu-pintu ke arahnya dalam keadaan terbuka, namun qadar (taqdir) menimpanya sehingga menghilangkannya dari tangannya dan menyingkirkan kepemilikannya dan tangannya pun menjadi hampa, dimana ia tidak berbekal apa-apa selain kain kafan. Oleh karena itu, sungguh rugi orang yang menjadikan dunia sebagai akhir cita-citanya, dimana untuknya dia beramal dan berbuat. Padahal beramal untuk akhirat, itulah yang bermanfaat, menjadi simpanan pemiliknya dan akan ikut bersama hamba selama-lamanya. Oleh karena itu, Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman, “Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya.”

[33] Maksudnya, keadaan di akhirat tidak lepas dari dua keadaan ini, bisa azab yang keras di neraka Jahannam, belenggu, rantai dan kedahsyatannya bagi orang yang menjadikan dunia sebagai cita-citanya dan akhir harapannya yang membuatnya berani bermaksiat kepada Allah, mendustakan ayat-ayat Allah dan mengingkari nikmat-nikmat Allah. Bisa juga mendapatkan ampunan dari Allah terhadap keburukannya, penyingkiran hukuman dan mendapatkan keridhaan-Nya bagi orang yang telah mengetahui hakikat dunia dan beramal untuk akhirat. Ini semua termasuk hal yang membantu untuk zuhud terhadap dunia dan berharap kepada akhirat.

[34] Tidak ada yang tertipu dan merasa tenang kepadanya selain orang-orang yang lemah akal yang ditipu oleh setan.

[35] Selanjutnya Allah Subhaanahu wa Ta'aala memerintahkan untuk berlomba-lomba menggapai ampunan Allah, keridhaan-Nya dan surga-Nya. Tentunya hal itu dicapai dengan mengerjakan sebab-sebab untuk mendapatkan ampunan berupa tobat nasuha, istighfar yang bermanfaat dan menjauhi dosa, serta berlomba-lomba menggapai keridhaan Allah dengan amal saleh serta berusaha terus mengerjakan perbuatan yang menjadikan Allah ridha berupa berbuat ihsan dalam beribadah kepada Allah dan berbuat ihsan kepada makhluk dengan berbagai bentuk manfaat.

[36] Maksudnya, inilah yang telah Kami terangkan kepada kamu berupa jalan-jalan menuju surga serta jalan-jalan yang mengarah kepada neraka, dan bahwa karunia Allah berupa pahala yang besar termasuk nikmat-Nya yang terbesar yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya.

+ show / hide Penjelasan Tambahan
===========================================================

TAFSIR AYAT [al-Hadîd/57:16]: 

Potret Ideal Mukmin, Khusyu’ Dan Takut Kepada Allâh Azza Wa Jalla Dan Tunduk Kepada Al-Haq
Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla telah menurunkan al-Qur`ân kepada manusia yang akan menepis dinding syahwat yang menyala-nyala dari penglihatan dan mata hati mereka, sehingga hati mereka akan tersinari oleh cahaya cinta dan pengagungan kepada Allâh Azza wa Jalla yang telah menciptakan diri mereka. Pada gilirannya, akan menyebabkan mereka menghinakan diri, tunduk, merasa tentram dan tenang di hadapan Rabb mereka al-Kabîr (Maha Besar) al-Muta’âl (Maha Tinggi).[1] 

Maka, turunlah teguran dari Allâh Azza wa Jalla kepada kaum Mukminin yang belum mencapai puncak kekhusyu’an. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ

Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah . . [al-Hadîd/57:16]

Imam Ibnu Katsîr rahimahullah berkata, “Belumkah tiba waktunya bagi kaum Mukminin untuk khusyu’ hati mereka ketika tengah mengingat Allâh Azza wa Jalla . Maksudnya, hati mereka menjadi melunak kala mengingat Allâh Azza wa Jalla , mendengar nasehat dan mendengar bacaan al-Qur`ân, sehingga memahaminya, patuh kepadanya dan menyimak dan menaatinya”.[2] 

Kata الْخُشُوْعُ secara etimologi bermakna tidak bergerak, tuma'nînah dan merendahkan diri. Sedang dalam terminologi syariat, bermakna rasa khasy-yah (takut) kepada Allâh Azza wa Jalla yang meliputi kalbu yang pengaruhnya tampak pada anggota tubuh dengan menundukkan diri dan tidak bergerak-gerak seperti kondisi orang yang tengah dilanda ketakutan.[3] 

Makna demikian ini ditunjukkan juga oleh firman Allâh Azza wa Jalla berikut:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ 

Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allâh gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Rabblah mereka bertawakkal.) [al-Anfâl/8:2]. 

Kata الْوَجَلُ (al-wajal) dan الْخَشْيَةُ (al-khasy-yah) bermakna sama. [4] 

Sementara Syaikh Abu Bakr al-Jazâiri hafizhahullâh dalam Tafsirnya mengarahkan pengertian ayat ini kepada orang-orang yang suka bercanda, “Apakah belum tiba saatnya bagi orang-orang yang terlalu banyak bercanda untuk khusyu’ hati mereka dengan mengingat Allah? Maksudnya, hati mereka menjadi lunak, tenang, tunduk dan tenteram dalam mengingat Allâh Azza wa Jalla , janji dan ancaman-Nya”. [5] 

Mengenai firman-Nya , yang artinya "Dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka)”, maksudnya ialah al-Qur`ân dan kandungan janji dan ancaman yang ada di dalamnya?”.[6] Karena, sesungguhnya kitab tersebut (al-Qur`ân) datang dengan membawa kebenaran, maka sudah sepantasnya hati seorang Mukmin menjadi khusyu’ ketika mengingat Allâh Azza wa Jalla dan terhadap kebenaran yang turun (kepada mereka).[7] 

Sementara itu, Syaikh as-Sa’di rahimahullah memaknai ‘dzikrullâh’ dalam ayat dengan al-Qur`ân sehingga khusyu’ di sini diartikan tunduk patuh terhadap semua perintah al-Qur`ân dan larangannya, sedang ‘kebenaran yang telah turun’ dengan risalah yang dibawa oleh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. [8] 

Hanya Sebagian Sahabat Yang Mendapatkan Teguran Melalui Ayat Ini
Berdasarkan keterangan az-Zajjâj rahimahullah, yang ditegur dalam ayat ini ialah sejumlah orang dari kalangan Mukminin waktu itu, bukan semuanya. Sebab, masih ada orang yang senantiasa khusyu’ sejak memeluk Islam hingga kembali kepada Rabbnya.[9] Pendapat yang menyatakan ayat ini turun untuk kaum munafiqin merupakan pendapat yang tidak tepat.[10] 

Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dengan sanadnya dari ‘Aun bin ‘Abdullâh dari ayahnya bahwa Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu berkata, “Rentang waktu antara keislaman kami dengan teguran Allâh Azza wa Jallaepada kami melalui ayat ini hanya berjarak empat tahun”. [HR. Muslim no.3027].

Teguran ini dialamatkan (pertama kali) kepada para generasi Sahabat, karena mereka adalah generasi kaum Mukminin pertama yang mengemban kewajiban menyampaikan manhaj rabbani kepada seluruh umat manusia. Sebab, mereka adalah generasi qudwah (menjadi teladan baik) yang telah tegak di bawah naungan bimbingan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, sang teladan terbaik.[11] 

Larangan Menyerupai Ahli Kitab
Selanjutnya, Allâh Azza wa Jalla memperingatkan kaum Mukminin agar tidak menyerupai kalangan Ahli Kitab yang menyepelekan ajaran-ajaran Allâh Azza wa Jalla , sehingga membuat hati mereka rusak dan keras membatu. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ

dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. [al-Hadîd/57:16]

Allâh Azza wa Jalla melarang kaum Mukminin menyerupai karakter orang-orang yang diberi tugas mengemban al-Kitab sebelum mereka, dari kalangan Yahudi dan Nasrani (yang memperoleh kitab taurat dan Injil). Tatkala masa antara mereka dan para nabi terlalu panjang berlalu, mereka merubah-rubah Kitabullah yang ada di tangan mereka dan menggadaikan (petunjuk-petunjuk) Kitabullah dengan harga sedikit. Mereka mencampakkan Kitab-Nya di belakang mereka dan justru lebih memilih mengikuti pikiran-pikiran yang bermacam-macam dan pendapat-pendapat yang aneh-aneh. Mereka pun sekedar mengikuti para tokoh dalam mempraktekkan agama. Mereka menjadikan para pendeta dan rahib sebagai tuhan-tuhan selain Allâh. Pada saat itulah, hati mereka menjadi mengeras, sehingga tidak bisa menerima mau’izhah, hati mereka tidak melunak dengan mendengar janji baik dan ancaman buruk (dari Allâh Azza wa Jalla ).[12] 

Banyak Ahli Kitab Yang Berbuat Kefasikan 
Tentang firman-Nya, وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُون Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik . Maksudnya, dan kebanyakan dari mereka telah keluar dari ajaran Allah, keluar dari syariat-Nya, tidak kenal perkara ma’ruf dan tidak mengingkari kemunkaran. [13]

Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, maksudnya (mereka telah fasik, melenceng) dalam perbuatan-perbuatan mereka. Hati mereka telah rusak dan amal perbuatan mereka batil, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla.

فَبِمَا نَقْضِهِمْ مِيثَاقَهُمْ لَعَنَّاهُمْ وَجَعَلْنَا قُلُوبَهُمْ قَاسِيَةً ۖ يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ ۙ وَنَسُوا حَظًّا مِمَّا ذُكِّرُوا بِهِ

"(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuki mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka merobah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya” [al-Mâidah/5:13]. 

Maksudnya, hati mereka sudah rusak, sehingga menjadi keras. Dan merubah-rubah perkataan (ayat-ayat Allâh Azza wa Jalla ) dari pemahaman semestinya menjadi salah satu karakter (buruk mereka). Mereka mengabaikan amalan-amalan yang diperintahkan kepada mereka dan (sebaliknya justru) melakukan perkara-perkara yang dilarang untuk mereka. Untuk itulah, Allâh Azza wa Jalla melarang kaum Mukminin untuk menyerupai mereka dalam perkara apapun baik perkara ushul atau furu’.[14] 

Kondisi buruk Ahli Kitab tersebut akibat kerasnya hati-hati mereka yang berdampak pada diabaikannya usaha saling mengingatkan dan mengarahkan di antara mereka, sehingga kebanyakan dari mereka telah berbuat fasik, keluar dari agama Allâh Azza wa Jalla dan menolak ajaran-ajaran-Nya. [15] 

Banyaknya jumlah Ahli Kitab yang berbuat fasik, juga ditegaskan dalam ayat-ayat lain. Di antaranya, firman Allâh Azza wa Jalla,

وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ ۚ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ

“Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” [Ali ‘Imrân/3:110]. 

Berkaca pada bahaya hati yang sudah mengeras, dapat diketahui bahwa hati manusia memang harus sering diingatkan tentang ajaran-ajaran yang telah diturunkan oleh Allâh Azza wa Jalla , agar tidak lalai yang berujung pada kerasnya hati [16]. 

Sebuah Keprihatinan Terhadap Realita Umat 
Syaikh al-‘Utsaimîn berkata tentang ayat di atas, “Allâh Azza wa Jalla melarang dan memperingatkan kita semua dari meniru orang-orang ahli kitab tersebut. Apabila kita perhatikan kondisi umat Islam, sebagian telah melakukan tindakan yang diperbuat oleh Ahli Kitab. Pada masa-masa sekarang ini, umat Islam telah jauh dari masa kenabian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hati kebanyakan orang telah keras, dan sebagian yang lain berbuat kefasikan. Umat Islam dipimpin manusia-manusia yang tidak layak memimpin mereka, penguasa yang fasik, bahkan ada yang sudah keluar dari Islam”.[17] 

Semoga Allâh Azza wa Jalla berkenan senantiasa mencurahkan hidayah-Nya kepada kita, dan membuka hati kita untuk menerimanya serta meningkatkan keimanan dan rasa takut kita kepada-Nya. 

Pelajaran Dari Ayat 
1. Peringatan dari ghaflah (lalai) dan melupakan dzikrullâh. 
2. Peringatan dari lalai dan melupakan kenikmatan dan siksa yang ada di sisi Allâh Azza wa Jalla . 
3. Kewajiban mengingatkan kaum Mukminin dengan nasehat, pengarahan dan pengajaran agar jangan sampai hati mereka menjadi keras sehingga mereka akan berbuat berbagai macam perbuatan fasik sebagaimana dilakukan oleh Ahli Kitab, dan menjadi kafir sebagaimana kaum Ahli Kitab sudah kafir. 
4. Hati harus diingatkan dan dinasehati agar tidak lalai dan jauh dari kebenaran. 
5. Manfaat mau’izhah hasanah (mengingatkan dengan cara yang baik) bagi hati manusia. 
6. Ajakan untuk mengkondisikan hati yang khusyu’ kepada Allâh Azza wa Jalla , kitab suci dan hikmah yang diturunkan-Nya. 
7. Hendaknya kaum Mukminin mengingat-ingat nasehat-nasehat ilahi dan hukum-ukum syariat setiap saat dan mengintrospeksi diri atas hal tersebut. Wallâhu a’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XVI/1434H/2013.]
_______
Footnote
[1]. Bahjatun Nâzhirîn, Syarhu Riyâdhi ash-Shâlihîn, Salîm al-Hilâli 1/631.
[2]. Tafsîru al-Qur`âni al-‘Azhîm 5/19. 
[3]. Adhwâ`ul Bayân 7/812. 
[4]. Adhwâ`ul Bayân 7/812. 
[5]. Aisaru at-Tafâsîr 2/1327.
[6]. Lihat Tafsir ath-Thabari 27/265, Rûhul Ma’âni 27/254, Aisaru at-Tafâsîr 2/1327. 
[7]. Syarhu Riyâdhi ash-Shâlihîn, al-‘Utsaimîn, 1/851.
[8]. Taisîrul Karimîr Rahmân hlm.921. 
[9]. Rûhul Ma’âni 27/253. 
[10]. Ibid.
[11]. Bahjatun Nâzhirîn, 1/631. 
[12]. Tafsîru al-Qur`âni al-‘Azhîm 5/20.
[13]. Aisaru at-Tafâsîr 2/1328. 
[14]. Tafsîru al-Qur`âni al-‘Azhîm 5/20. 
[15]. Lihat Aisaru at-Tafâsîr 2/1327. 
[16]. Lihat Taisîrul Karimîr Rahmân hlm.921. 
[17]. Syarhu Riyâdhi ash-Shâlihîn 1/852.

Related Posts:

0 Response to "Tafsir Al Hadid Ayat 13-21"

Post a Comment