Tafsir An Nur Ayat 1-10

Surah An Nuur (Cahaya)

Surah ke-24. 64 ayat. Madaniyyah

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

Ayat 1-5: Penjelasan bahwa yang menetapkan syariat adalah Allah Subhaanahu wa Ta'aala, penjelasan hukum-hukum zina, qadzaf (menuduh) dan hukumannya.

سُورَةٌ أَنْزَلْنَاهَا وَفَرَضْنَاهَا وَأَنْزَلْنَا فِيهَا آيَاتٍ بَيِّنَاتٍ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ (١) الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ وَلا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ (٢) الزَّانِي لا يَنْكِحُ إلا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لا يَنْكِحُهَا إِلا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ (٣) وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (٤) إِلا الَّذِينَ تَابُوا مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ وَأَصْلَحُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (٥

Terjemah Surat An Nur Ayat 1-5

1. (Inilah) suatu surah yang Kami turunkan[1] dan Kami wajibkan[2] (menjalankan hukum-hukumnya), dan Kami turunkan di dalamnya ayat-ayat yang jelas[3], agar kamu ingat[4].

[1] Yakni karena rahmat-Nya kepada hamba-hamba-Nya.

[2] Bisa juga diartikan, “Kami tetapkan”, yakni Kami tetapkan di dalamnya apa yang Kami tetapkan seperti masalah hudud, persaksian, dsb.

[3] Maksudnya, hukum-hukum yang jelas, perintah dan larangan dan hikmah-hikmah yang agung.

[4] Yakni ketika Kami terangkan. Pada ayat selanjutnya Allah Subhaanahu wa Ta'aala menerangkan hukum-hukum yang telah diisyaratkan itu.

2. [5]Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah[6] masing-masing dari keduanya seratus kali[7], dan janganlah rasa belas kasihan[8] kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama (hukum) Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian; dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang yang beriman.

[5] Hukum ini berlaku pada pezina laki-laki dan perempuan yang belum menikah, yakni bahwa keduanya didera seratus kali. Sedangkan yang sudah menikah, maka As Sunnah menerangkan, bahwa hadnya adalah dengan dirajam.

[6] Yakni memukul kulitnya (mencambuk).

[7] Ditambah dengan diasingkan setahun berdasarkan As Sunnah. Adapun budak setengah dari hukuman itu.

[8] Atau hubungan kerabat dan persahabatan.

3. [9]Pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina perempuan, atau dengan perempuan musyrik; dan pezina perempuan tidak boleh menikah kecuali dengan pezina laki-laki atau dengan laki-laki musyrik[10]; dan yang demikian itu[11] diharamkan bagi orang-orang mukmin[12].

[9] Tirmidzi meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada ‘Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya, ia berkata, “Ada seseorang yang bernama Martsad bin Abi Martsad. Ia adalah seorang yang biasa membawa para tawanan dari Mekah dan membawanya ke Madinah. Di Mekah ada seorang wanita pelacur bernama ‘Anaq yang menjadi temannya. Ia pernah berjanji akan membawa salah seorang tawanan yang berada di Mekah untuk dibawanya (ke Madinah). Martsad berkata, “Aku pun datang, sehingga sampai di salah satu bayangan dinding di antara dinding-dinding Mekah di malam yang terang bulan. ‘Anaq kemudian datang, dia melihat hitam bayanganku dari balik dinding. Ketika ia sampai kepadaku, ia pun mengenaliku dan berkata, “(Apakah ini) Martsad?” Aku menjawab, “Martsad.” Ia berkata, “Selamat datang, bermalamlah dengan kami malam ini.” Aku berkata, “Wahai ‘Anaq, Allah mengharamkan zina.” Maka ‘Anaq berkata, “Wahai penghuni kemah! Inilah orang yang akan membawa para tawananmu.” Maka aku dikejar oleh delapan orang, dan aku pun menempuh jalan Khandamah hingga aku sampai ke sebuah gua dan masuk ke dalamnya. Mereka pun datang sampai berdiri di atas kepalaku lalu buang air kecil sehingga menimpa ke kepalaku, namun Allah membutakan mereka sehingga tidak melihatku. Mereka pun balik dan aku kembali kepada kawanku dan membawanya, sedangkan dia adalah seorang yang cukup berat hingga aku sampai di rerumputan idzkhir, lalu aku lepas rantainya, aku pun membawanya dan ia cukup memberatkanku sehingga aku sampai ke Madinah. Aku pun datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, bolehkah aku menikahi ‘Anaq. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pun diam dan tidak menjawab apa-apa kepadaku sehingga turun ayat, “Pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina perempuan, atau dengan perempuan musyrik; dan pezina perempuan tidak boleh menikah kecuali dengan pezina laki-laki atau dengan laki-laki musyrik; dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang mukmin.” Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Wahai Martsad, Pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina perempuan, atau dengan perempuan musyrik; dan pezina perempuan tidak boleh menikah kecuali dengan pezina laki-laki atau dengan laki-laki musyrik.” Maka janganlah engkau nikahi.” (Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan gharib, tidak diketahui kecuali dari jalan ini. Hadits ini diriwayatkan pula oleh Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Jarir dan dalam sanad tersebut menurutnya ada orang yang mubham (tidak jelas namanya), Hakim secara singkat, Hakim berkata, “Shahih isnadnya.” Dan didiamkan oleh Adz Dzahabi).

[10] Syaikh As Sa’diy berkata, “Ayat ini menjelaskan buruknya perbuatan zina, dan bahwa ia dapat mengotori kehormatan pelakunya dan kehormatan orang yang menemani dan mencampurinya tidak seperti dosa-dosa yang lain. Allah memberitahukan, bahwa pezina laki-laki tidak ada yang maju menerima nikahnya dari kalangan wanita selain wanita pezina juga yang keadaannya sama atau wanita yang menyekutukan Allah, tidak beriman kepada kebangkitan, dan tidak beriman kepada pembalasan, serta tidak memegang teguh perintah Allah. Demikian juga pezina perempuan, tidak ada yang mau menikahinya selain pezina laki-laki atau laki-laki musyrik.”

[11] Menikahi wanita pezina, atau menikahkan puterinya dengan laki-laki pezina.

[12] Maksud ayat ini menurut Syaikh As Sa’diy adalah, “Bahwa barang siapa yang berbuat zina laki-laki atau wanita dan tidak bertobat daripadanya, maka orang yang maju menikahinya sedangkan Allah mengharamkannya, tidak lepas kemungkinan orangnya tidak berpegang teguh dengan hukum Allah dan Rasul-Nya, dan tidak ada yang seperti itu kecuali orang musyrik, bisa juga ia berpegang dengan hukum Allah dan Rasul-Nya, lalu ia memberanikan diri menikahinya padahal ia tahu orang itu sebagai pezina, maka pernikahan itu sesungguhnya zina, dan orang yang menikahinya adalah pezina. Kalau ia beriman kepada Allah dengan benat, tentu ia tidak akan maju melakukannya. Ini merupakan dalil yang tegas haramnya menikahi wanita pezina sampai ia bertobat dan demikian pula haramnya menikahkan (puteri kita) kepada laki-laki pezina sampai ia bertobat, karena hubungan suami dengan istrinya dan istri dengan suaminya adalah hubungan yang paling kuat dan paling sepasang. Allah Ta’ala telah berfirman, “(Kepada malaikat diperintahkan), "Kumpulkanlah orang-orang yang zalim beserta teman sejawat mereka…dst,” (terj. Ash Shaffaat: 22) yakni teman penyerta mereka. Allah mengharamkan yang demikian karena di dalamnya terdapat keburukan yang besar, dan di sana menunjukkan sedikitnya rasa kecemburuan, menghubungkan anak-anak yang bukan berasal dari suami, dan karena pezina tidak akan menjaga istrinya karena sibuk dengan wanita lain, di mana sebagian ini sudah cukup menjadikannya haram. Dalam ayat ini terdapat dalil bahwa pezina bukanlah seorang mukmin (mutlak), sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, “Tidaklah berzina seorang pezina sedangkan dia adalam keadaan mukmin.” Pezina meskipun bukan musyrik, namun tidak diberikan gelar yang terpuji, yaitu iman yang mutlak.”

4. [13]Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik[14] (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi[15], maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali[16], dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Mereka itulah orang-orang yang fasik[17].

[13] Setelah Allah Subhaanahu wa Ta'aala menerangkan begitu besarnya keburukan perkara zina sehingga wajib didera, dan dirajam jika sudah menikah, demikian pula tidak boleh menemaninya serta bergaul dengannya yang seseorang dapat terimbas oleh keburukannya, maka Allah Subhaanahu wa Ta'aala menerangkan besarnya keburukan merusak kehormatan orang lain dengan menuduhnya berzina.

[14] Yang dimaksud wanita-wanita yang baik di sini adalah wanita-wanita yang suci, akil (berakal), balig dan muslimah. Tetapi jika wanita yang dituduh itu bukan muhshan, yakni kurang baik, maka cukup penuduhnya diberi ta’zir, demikian menurut Syaikh As Sa’diy.

[15] Yang melihat langsung perzinaan itu.

[16] Yakni dengan cambuk yang pertengahan, yang membuatnya merasakan sakit tetapi tidak membuatnya binasa.

[17] Karena mengerjakan dosa besar itu, di mana di dalamnya terdapat pelanggaran terhadap larangan Allah, merusak kehormatan saudaranya, menyebarkan isu buruk terhadapnya serta memutuskan persaudaraan yang telah Allah ikat serta berkeinginan agar perbuatan keji tersebar di tengah-tengah kaum mukmin. Ayat ini menunjukkan bahwa menuduh zina merupakan dosa yang besar.

5. Kecuali mereka yang bertobat setelah itu[18] dan memperbaiki (amalnya)[19], maka sungguh, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

[18] Menurut Syaikh As Sa’diy, tobat dalam hal ini adalah dengan ia mendustakan dirinya sendiri, mengakui bahwa ucapanya dusta, dan hal ini wajib baginya, yakni mendustakan dirinya meskipun ia merasa yakin terjadi perbuatan itu, karena ia tidak mendatangkan empat orang saksi. Jika penuduh itu telah bertobat dan memperbaiki amalnya, maka ia ganti perbuatan buruknya dengan perbuatan baik, sehingga kefasikannya pun hilang. Demikian pula persaksiannya akan kembali diterima menurut pendapat yang sahih, karena Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, Dia mengampuni dosa-dosa semuanya bagi orang yang bertobat dan kembali. Dideranya si penuduh ini, jika ia tidak mendatangkan empat orang saksi dan jika ia bukan suaminya. Apabila ia sebagai suaminya, maka berlaku hukum yang lain baginya, yaitu li’an sebagaimana diterangkan dalam ayat selanjutnya.

[19] Dengan inilah kefasikan mereka hilang dan persaksiannya diterima.

Ayat 6-10: Hukum Li’an antara suami dan istri, dan disyariatkannya hal itu untuk memelihara kehormatan dan menjaga nasab.

وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلا أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ (٦) وَالْخَامِسَةُ أَنَّ لَعْنَةَ اللَّهِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ مِنَ الْكَاذِبِينَ (٧) وَيَدْرَأُ عَنْهَا الْعَذَابَ أَنْ تَشْهَدَ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الْكَاذِبِينَ (٨) وَالْخَامِسَةَ أَنَّ غَضَبَ اللَّهِ عَلَيْهَا إِنْ كَانَ مِنَ الصَّادِقِينَ (٩) وَلَوْلا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ وَأَنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ حَكِيمٌ (١٠

Terjemah Surat An Nur Ayat 6-10

6. [20]Dan orang-orang yang menuduh istrinya[21] (berzina), padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri[22], maka kesaksian[23] masing-masing orang itu ialah empat kali bersaksi dengan nama Allah, bahwa sesungguhnya dia termasuk orang yang berkata benar[24].

[20] Imam Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Sahl bin Sa’ad, bahwa ‘Uwaimir datang kepada ‘Ashim bin ‘Addiy tokoh Bani ‘Ajlan, ia berkata, “Bagaimana menurutmu tentang seorang laki-laki yang mendapati istrinya bersama laki-laki lain, apakah ia perlu membunuhnya sehingga kamu membunuhnya atau bagaimana yang ia lakukan? Tanyakanlah tentang hal itu kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam untukku.” Maka ‘Ashim mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah,” Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (tampak) tidak suka terhadap pertanyaan itu, maka ‘Uwaimir menanyakan (hal tersebut) kepadanya (‘Ashim), ‘Ashim menjawab, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak suka pertanyaan itu dan mencelanya.” ‘Uwaimir berkata, “Demi Allah, saya tidak akan berhenti sampai saya bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tentang hal itu.” ‘Uwaimir pun datang dan berkata, “Wahai Rasulullah, ada seseorang yang mendapati istrinya bersama laki-laki lain, apakah ia harus membunuh sehingga kamu membunuhnya atau apa yang ia lakukan?” Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Allah telah menurunkan Al Qur’an tentang dirimu dan istrimu.” Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan mereka berdua melakukan li’an sesuai yang Allah sebutkan dalam kitab-Nya, lalu ‘Uwaimir melakukannya. Kemudian ‘Uwaimir berkata, “Wahai Rasulullah, jika aku menahannya, maka aku sama saja telah menzaliminya,” ia pun menalaknya, dan hal itu pun menjadi sunnah bagi orang-orang setelahnya yang melakukan li’an. Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Lihatlah! Jika anak itu lahir dalam keadaan berkulit hitam dan matanya lebar dan hitam, besar bokongnya, dan berisi (gemuk) betisnya, maka aku mengira bahwa ‘Uwaimir berkata benar tentangnya. Tetapi jika anaknya agar kemerah-merahan seperti (warna) waharah (binatang sejenis tokek), maka menurutku ‘Uwaimir dusta. Ternyata anak itu lahir sesuai yang disifatkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang menunjukkan kebenaran ‘Uwamir, oleh karenanya anak itu dinasabkan kepada ibunya.”

Imam Bukhari juga meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, bahwa Hilal bin Umayyah pernah menuduh istrinya berbuat serong dengan Syarik bin Sahmaa’ di hadapan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Mana buktinya, atau jika tidak ada maka punggungmu diberi had?” Hilal berkata, “Wahai Rasulullah, apakah apabila seseorang di antara kami melihat ada orang lain yang berjalan dengan istrinya butuh mendatangkan bukti?” Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tetap berkata, “Mana buktinya, atau jika tidak ada maka punggungmu diberi had?” Hilal berkata, “Demi Allah yang mengutusmu dengan kebenaran, sesungguhnya aku benar-benar jujur. Alah tentu akan menurunkan ayat yang menghindarkan had dari punggungku.” Jibril kemudian turun dan menurunkan kepada Beliau ayat, “Walladziiyna yarmuuna azwaajahum…dst. sampai in kaana minash shaadiqin.” Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pergi dan mengirimkan orang kepadanya (Hilal dan istrinya), maka Hilal datang, lalu bersaksi, sedangkan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah mengetahui bahwa salah seorang di antara kamu berdua ada yang berdusta, adakah yang mau bertobat?” Lalu istrinya bangkit dan bersaksi. Ketiika ia bersaksi pada yang kelimanya, maka orang-orang menghentikannya dan berkata kepadanya, bahwa ucapan itu akan menimpanya. Ibnu Abbas berkata, “Istrinya agak lambat dan hampir mundur sehingga kami mengira bahwa ia akan mundur, lalu ia berkata, “Aku tidak akan mempermalukan kaumku sepanjang hari.” Maka ia melanjutkan (persaksian yang kelima). Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Lihatlah wanita itu, jika anaknya lahir dalam keadaan matanya seperti bercelak, besar bokongnya dan berisi (gemuk) kedua betisnya, maka ia anak Syarik bin Sahma’, ternyata anak itu lahir seperti itu. Lalu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Kalau bukan karena apa yang berlaku di kitab Allah, tentu antara aku dengan wanita itu ada urusan.”

Disebutkan dalam ‘Aunul Ma’bud menukil dari Fathul Bari, “Para imam berselisih tentang hal ini. Di antara mereka ada yang menguatkan, bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan ‘Uwaimir, di antara mereka ada yang menguatkan, bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan Hilal, dan di antara mereka ada yang menggabung antara kedua hadits itu, bahwa kejadian pertama menimpa pada Hilal dan ternyata bersamaan dengan kedatangan ‘Uwaimir, sehingga ayat tersebut turun berkenaan dengan keduanya dalam waktu yang sama. Imam Nawawi lebih cenderung kepadanya, dan sebelumnya Al Khathib telah mendahului, ia berkata, “Mungkin keduanya sama-sama datang secara bersamaan dalam waktu yang sama. Tidak ada penghalang dengan adanya beberapa kisah namun turunnya hanya satu. Bisa juga, bahwa ayat tersebut telah lebih dulu turun karena sebab Hilal. Ketika ‘Uwaimir datang, sedangkan dia belum mengetahui peristiwa yang menimpa Hilal, maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memberitahukan hukumnya. Oleh karena itu, dalam kisah Hilal disebutkan, “Jibril pun turun.”, sedangkan dalam kisah ‘Uwaimir disebutkan, “Sungguh, Allah telah menurunkan berkenaan denganmu”, Maksud, “Sungguh, Allah telah menurunkan berkenaan denganmu” yakni berkenaan orang-orang yang sepertimu. Inilah yang dijawab oleh Ibnu Shabbagh dalam Asy Syaamil, dan Al Qurthubi lebih cenderung bahwa mungkinnya ayat tersebut turun dua kali. Al Haafizh berkata, “Kemungkinan-kemungkinan ini meskipun dipandang jauh lebih layak didahulukan daripada menyalahkan rawi-rawi yang hafizh.” (Demikianlah perkataan Al Haafizh secara singkat).

[21] Yang merdeka, bukan budak.

[22] Persaksian suami terhadap istrinya dapat menolak had qadzaf, karena biasanya suami tidaklah berani menuduh istrinya yang sesungguhnya juga mengotori dirinya, kecuali apabila ia benar, dan lagi ia memiliki hak di sana serta karena takut dinisbatkan anak kepadanya padahal bukan anaknya, dsb.

[23] Allah sebut syahadah (kesaksian) karena ia menduduki posisi para saksi.

[24] Yaitu dengan mengatakan, “Aku bersaksi dengan nama Allah, sesungguhnya aku sungguh benar dalam tuduhanku kepadanya.”

7. (Persaksian) yang kelima bahwa laknat Allah akan menimpanya, jika dia termasuk orang yang berdusta[25].

[25] Setelah bersaksi dengan nama Allah empat kali persaksian, bahwa dia adalah benar dalam tuduhannya itu. Kemudian dia bersaksi sekali lagi bahwa dia akan terkena laknat Allah jika dia berdusta. Masalah ini dalam fiqih dikenal dengan Li'an. Dengan cara seperti ini, si penuduh terlepas dari had qadzaf (menuduh). Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah ditegakkan had terhadap wanita itu karena li’an dari suaminya dan si wanita mundur dari persaksiannya atau cukup dipenjarakan? Dalam masalah ini ada dua pendapat ulama, namun yang ditunjukkan oleh dalil adalah bahwa kepada wanita itu ditegakkan had (jika mundur) berdasarkan ayat 8.

8. Istri itu terhindar dari hukuman[26] apabila dia bersaksi empat kali atas nama Allah bahwa dia (suaminya) benar-benar termasuk orang-orang yang berdusta[27],

[26] Yaitu had zina yang awalnya tetap berdasarkan persaksian suaminya.

[27] Istri dihindarkan dari had karena persaksian suaminya dilawan dengan persaksiannya yang sama kuat.

9. Dan (persaksian) yang kelima bahwa kemurkaan Allah akan menimpanya (istri) jika dia (suaminya) itu termasuk orang yang berkata benar[28].

[28] Apabila li’an telah sempurna, maka suami-istri itu dipisahkan untuk selamanya.

10. Dan sekiranya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu (niscaya kamu akan menemui kesulitan)[29]. Dan sesunguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Mahabijaksana.

[29] Jawab dari syarat (seandainya) menurut Syaikh As Sa’diy adalah, “Tentu akan menimpa kepada salah seorang yang berdusta di antara dua orang yang melakukan li’an doa buruk terhadapnya, dan di antara rahmat dan karunia-Nya adalah berlakunya hukum yang khusus terkait dengan suami-istri ini karena sangat diperlukan sekali, demikian pula Dia menerangkan betapa buruknya perbuatan zina, dan menuduh orang lain berzina, dan Dia pun mensyariatkan tobat dari dosa besar ini, dan dosa besar lainnya.”

======================

RINGKASAN TAFSIR [An-Nur/24:1–2]

“ (Ini adalah) satu surat yang Kami turunkan,” Ini adalah surat yang termasuk Kitab Allâh, Kami turunkan kepada hamba Kami dan Rasul Kami, yaitu Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . “Dan Kami wajibkan dia,” kami wajibkan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya kepada umat Islam. “Dan Kami turunkan di dalamnya ayat ayat yang jelas, agar kalian selalu mengingatnya,” yaitu agar kalian bisa mengambil pelajaran dan mengamalkan kandungan surat ini yang berupa perintah, larangan, adab dan akhlak.

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina,” maksudnya barangsiapa berzina dengan seorang laki-laki dan keduanya merdeka (bukan budak), belum menikah dan tidak dimiliki oleh orang lain, “maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera,” maksudnya pukulah di kulit punggungnya dengan tongkat yang tidak menyebabkan luka, tidak mematahkan tulang dan tidak mememarkan. Dan ditambahkan di dalam hadits, dengan hukuman pengasingan selama satu tahun.

“Dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allâh ,” maksudnya janganlah kalian merasa kasihan kepada mereka berdua sehingga kalian membatalkan hudud (hukuman yang telah ditetapkan oleh Allâh ) [1] dan kalian menahan mereka berdua untuk mendapatkan pembersihan dosa dengan hudud ini, karena hudud adalah penghapus dosa untuk para pelakunya.

“Jika kalian beriman kepada Allâh dan hari akhirat,” maksudnya adalah laksanakanlah oleh kalian hudud tersebut kepada mereka berdua.

“Dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman,” maksudnya pelaksanaan tersebut disaksikan oleh tiga orang atau lebih. Jika disaksikan oleh empat orang maka itu lebih utama, karena persaksian dalam perzinaan hanya bisa ditetapkan dengan empat orang saksi. Jika jumlahnya lebih banyak maka lebih utama.[2]

PENJABARAN AYAT
Firman Allâh Azza wa Jalla :

سُورَةٌ أَنْزَلْنَاهَا وَفَرَضْنَاهَا وَأَنْزَلْنَا فِيهَا آيَاتٍ بَيِّنَاتٍ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

Satu surat yang Kami turunkan dan Kami wajibkan dia (menjalankan hukum-hukum yang ada di dalamnya), dan Kami turunkan di dalamnya ayat ayat yang jelas, agar kalian selalu mengingatnya.

“Satu surat” maksudnya, surat an-Nûr ini.

Perkataan Allâh Azza wa Jalla :

أَنْزَلْنَاهَا وَفَرَضْنَاهَا

“Yang Kami turunkan dan Kami wajibkan dia” terdapat dua qiraat. Ibnu Katsir dan Abu ‘Amr membacanya dengan râ’ yang ditasydid, yaitu:

أَنْزَلْنَاهَا وَفَرَّضْنَاهَا

Adapun yang lainnya membaca dengan tanpa ditasydid, seperti dicantumkan di atas.

APAKAH TERJADI PERBEDAAN MAKNA?
Sebagian Ulama tafsir memandang terdapat perbedaan antara arti keduanya. Jika dibaca (وَفَرَضْنَاهَا) maka artinya adalah Kami wajibkan hukum-hukum yang terdapat di dalamnya dan kami wajibkan untuk diamalkan. Sedangkan makna dari (وَفَرَّضْنَاهَا) adalah Kami rincikan dan jelaskan hukum-hukum yang terdapat di dalamnya.

Dan sebagian Ulama tafsir memandang tidak ada perbedaan makna dari keduanya, yang berarti Kami wajibkan hukum-hukum yang terdapat di dalamnya dan kami wajibkan untuk diamalkan. Hanya saja lafaz yang kedua, yaitu (وَفَرَّضْنَاهَا) menunjukkan bahwa kewajiban yang terdapat di dalam surat ini sangat banyak.[3] Karena memang kita dapatkan banyak sekali hukum-hukum yang terkandung dalam surat ini. Di antara hukum yang disebutkan adalah: hukuman bagi orang yang berzina, orang yang menuduh orang lain berzina, saling melaknat, hukum memasuki rumah seseorang, menundukkan pandangan, pernikahan, aurat dll.

Firman Allâh Azza wa Jalla :

الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera.”

SIAPAKAH ORANG YANG BERZINA YANG DIMAKSUD DALAM AYAT INI?
Yang dimaksud dalam ayat ini adalah pezina yang belum pernah menikah, karena itu disebutkan hukumannya yaitu didera (dipukul/dicambuk) sebanyak 100 kali. Adapun untuk orang yang sudah menikah maka hukumannya dirajam.

HUKUMAN BAGI ORANG YANG BERZINA YANG BELUM MENIKAH
Para Ulama sepakat bahwa orang yang berzina yang belum menikah dihukum dengan 100 kali dera, tetapi mereka berselisih pendapat tentang penambahan hukuman pengasingan di daerah lain selama satu tahun. Jumhur Ulama memandang bahwa selain didera sebanyak 100 kali maka dia juga harus diasingkan ke daerah lain selama satu tahun. Namun, Abu Hanifah t berpendapat bahwa pengasingan selama setahun itu adalah hukuman yang ditentukan oleh sang hakim. Jika hakim memandang perlu untuk dilakukan maka dilaksanakan pengasingan dan jika tidak, maka tidak dilaksanakan.

Pendapat yang kuat adalah pendapat jumhur Ulama, karena pengasingan disebutkan dalam beberapa hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , di antaranya adalah:

Hadits Pertama: Hadits Abu Hurairah dan Zaid bin Khalid Radhiyallahu anhu, beliau berdua berkata:

كُنَّا عِنْدَ النَّبِيِّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ: أَنْشُدُكَ اللَّهَ إِلاَّ قَضَيْتَ بَيْنَنَا بِكِتَابِ اللهِ, فَقَامَ خَصْمُهُ وكَانَ أَفْقَهَ مِنْهُ فَقَالَ: اقْضِ بَيْنَنَا بِكِتَابِ اللهِ وَأْذَنْ لِي؟ قَالَ: قُلْ. قَالَ: إِنَّ ابْنِي كَانَ عَسِيفًا عَلَى هَذَا فَزَنَى بِامْرَأَتِهِ فَافْتَدَيْتُ مِنْهُ بِمِئَةِ شَاةٍ وَخَادِمٍ, ثُمَّ سَأَلْتُ رِجَالاً مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ فَأَخْبَرُونِي أَنَّ عَلَى ابْنِي جَلْدَ مِئَةٍ وَتَغْرِيبَ عَامٍ، وَعَلَى امْرَأَتِهِ الرَّجْمَ. فَقَالَ النَّبِيُّ -صلى الله عليه وسلم-: وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لأَقْضِيَنَّ بَيْنَكُمَا بِكِتَابِ اللهِ -جَلَّ ذِكْرُهُ- الْمِائَةُ شَاةٍ وَالْخَادِمُ رَدٌّ، وَعَلَى ابْنِكَ جَلْدُ مِئَةٍ وَتَغْرِيبُ عَامٍ. وَاغْدُ يَا أُنَيْسُ عَلَى امْرَأَةِ هَذَا فَإِنِ اعْتَرَفَتْ فَارْجُمْهَا. فَغَدَا عَلَيْهَا فَاعْتَرَفَتْ فَرَجَمَهَا.

“Dulu kami berada di sisi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berdirilah seorang laki-laki dan berkata, ‘Saya memohon kepadamu dengan mengangkat suaraku agar engkau menghukumi di antara kami dengan menggunakan Kitab Allâh . Kemudian berdirilah orang yang berselisih dengannya – dan dia lebih paham darinya – dan berkata, ‘Hukumilah kami dengan menggunakan Kitab Allâh dan izinkanlah saya berbicara!’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Bicaralah!’ Dia berkata, ‘Sesungguhnya anakku dipekerjakan oleh orang ini kemudian dia berzina dengan istrinya. lalu saya menebusnya dengan 100 ekor kambing dan seorang pembantu. Kemudian saya bertanya kepada para lelaki di kalangan ahli ilmu bahwa hukuman bagi anakku adalah didera sebanyak 100 kali dan diasingkan selama setahun dan hukuman untuk istrinya adalah dirajam.’ Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Demi Yang jiwaku berada di tangan-Nya, saya akan menghukumi antara kalian dengan Kitab Allâh -jalla dzikruhu-. Adapun 100 ekor kambing dan pembantu maka dikembalikan (kepadamu), hukuman untuk anakmu adalah didera sebanyak 100 kali dan diasingkan selama satu tahun. Pergilah ya Unais ke istri orang ini! Apabila dia mengakuinya maka rajamlah dia!’ Kemudian Unais pun pergi menemuinya dan dia mengakuinya, kemudian dia merajamnya.” [4]

Hadits Kedua: Hadits ‘Ubadah bin ash-Shamit Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

خُذُوا عَنِّى, خُذُوا عَنِّى, قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلاً. الْبِكْرُ بِالْبِكْرِ جَلْدُ مِائَةٍ وَنَفْىُ سَنَةٍ, وَالثَّيِّبُ بِالثَّيِّبِ جَلْدُ مِائَةٍ وَالرَّجْمُ.

“Ambillah dariku! Ambillah dariku! Sesungguhnya Allâh telah menjadikan untuk mereka (para wanita yang berzina) jalan keluar [5]. Perzinaan antara yang belum menikah dengan yang belum menikah adalah didera sebanyak 100 kali dan diasingkan selama setahun, sedangkan perzinaan antara orang yang sudah menikah dengan yang sudah menikah adalah didera sebanyak 100 kali dan dirajam.” [6]

Dengan kedua hadits di atas kita memahami bahwa hukuman bagi orang yang berzina yang belum menikah adalah didera sebanyak 100 kali dan diasingkan ke negeri lain selama satu tahun dan hukuman bagi orang yang berzina yang muhshan adalah dirajam. Orang yang muhshan adalah orang yang sudah menggauli pasangannya setelah terjadi pernikahan yang sah.

BAGAIMANA CARA MENDERANYA?
Para Ulama fiqh sepakat bahwa yang didera atau di-jald/dipukul adalah orang yang sehat dan kuat untuk didera (dipukul) adapun yang tidak kuat maka tidak didera. Kemudian dideranya menggunakan cambuk yang sedang, tidak basah dan tidak juga sangat kering, tidak tipis sehingga tidak menyakiti dan tidak juga tebal sehingga membuat luka. Yang menderanya tidak mengangkat tangannya sampai di atas kepalanya, sehingga terlihat ketiaknya. Kemudian tidak boleh memukul wajah, kelamin dan anggota tubuh yang mematikan (jika dipukul). Menurut Jumhur Ulama pakaian tidak perlu dilepas dan laki-laki didera dengan berdiri sedangkan wanita duduk, sedangkan menurut Imam Malik rahimahullah, pakaiannya harus dilepas dan laki-laki dan wanita didera dengan duduk.[7]

BAGAIMANA CARA PENGASINGANNYA SELAMA SETAHUN?
Menurut madzhab al-Malikiyah, asy-Syafi’iyah dan al-Hanabilah pengasingannya adalah ke tempat yang boleh meng-qashar shalat jika bersafar ke sana atau lebih jauh dari itu. Pendapat inilah yang diamalkan sebelumnya oleh Al-Khulafâ’ Ar-Râsyidîn dan tidak diketahui ada yang menyelisihinya.

Menurut madzhab asy-Syafi’iyah dan al-Hanabilah pengasingan tersebut dilakukan tanpa memenjarakan orang yang diasingkan tersebut, tetapi orang tersebut harus terus diawasi agar tidak kembali ke negerinya. Pengasingan ini dilakukan baik untuk orang yang berzina laki-laki maupun wanita, hanya saja jika dia wanita, maka wanita tersebut harus ditemani oleh mahramnya. Sedangkan menurut madzhab al-Malikiyah pengasingan tersebut disertai dengan memenjarakannya, hanya berlaku untuk laki-laki dan tidak berlaku untuk wanita.[8]

Allâhu a’lam, pendapat asy-Syafi’iyah dan al-Hanabilah lebih cocok dengan yang disebutkan pada zahir hadits.

Adapun di Saudi Arabia, penulis pernah bertanya kepada seorang teman yang beliau adalah penduduk asli kota Madinah, tentang penerapan pengasingan ini, beliau berkata, “Dia dikirim ke kota lain, kemudian dia wajib melaporkan dirinya ke polisi setiap hari dan dia tidak ditahan.” Di negara kita hal seperti ini dikenal dengan istilah “tahanan kota” dan “wajib lapor”.

BAGAIMANA CARA MERAJAMNYA?
Hukuman rajam adalah hukuman dengan dilempar dengan batu oleh orang banyak sampai orang yang dihukum meninggal. Batu yang digunakan adalah batu sebesar genggaman tangan, bukan batu yang sangat besar sehingga cepat meninggalnya dan bukan juga batu yang kecil sehingga terlalu lambat meninggalnya. Ketika melemparkan batu, maka diajuhi dari melempar wajah, karena kemuliaan wajah. Laki-laki yang dirajam, dirajam dalam keadaan berdiri, tidak diikat dan tidak dikubur sampai setengah dadanya. Adapun wanita yang dirajam, dirajam dengan dikubur sampai setengah dadanya agar tidak tersingkap auratnya.

Orang-orang yang melemparnya mengelilingi orang yang akan dirajam, kemudian mereka ber-shaf-shaf. Setelah shaf pertama selesai, dilanjutkan dengan shaf berikutnya. Mereka melemparinya sampai meninggal.[9]

BENARKAH HUKUMAN RAJAM TIDAK ADA DI DALAM AL-QUR’AN?
Allâh Azza wa Jalla pernah menurunkan ayat tentang rajam, kemudian Allâh hapuskan penulisannya di dalam al-Qur’an, tetapi hukumnya tetap berlaku dan dikerjakan di zaman Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para al-Khulafâ’ ar-Râsyidîn.

Terdapat sebuah atsar dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, beliau berkata:

قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَهُوَ جَالِسٌ عَلَى مِنْبَرِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِنَّ اللَّهَ قَدْ بَعَثَ مُحَمَّدًا -صلى الله عليه وسلم- بِالْحَقِّ وَأَنْزَلَ عَلَيْهِ الْكِتَابَ فَكَانَ مِمَّا أُنْزِلَ عَلَيْهِ آيَةُ الرَّجْمِ, قَرَأْنَاهَا وَوَعَيْنَاهَا وَعَقَلْنَاهَا, فَرَجَمَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَرَجَمْنَا بَعْدَهُ, فَأَخْشَى إِنْ طَالَ بِالنَّاسِ زَمَانٌ أَنْ يَقُولَ قَائِلٌ مَا نَجِدُ الرَّجْمَ فِى كِتَابِ اللَّهِ, فَيَضِلُّوا بِتَرْكِ فَرِيضَةٍ أَنْزَلَهَا اللَّهُ. وَإِنَّ الرَّجْمَ فِى كِتَابِ اللَّهِ حَقٌّ عَلَى مَنْ زَنَى إِذَا أَحْصَنَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ إِذَا قَامَتِ الْبَيِّنَةُ أَوْ كَانَ الْحَبَلُ أَوْ الاِعْتِرَافُ.

“Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu pernah berkata ketika beliau duduk di atas mimbar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ‘Sesungguhnya Allâh telah mengutus Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan haq dan telah menurunkan Al-Kitab kepadanya. Dan dulu yang termasuk yang diturunkan adalah ayat tentang rajam. Kami dulu membacanya, memahami dan mengerti kandungannya. Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menerapkan rajam dan kami juga pernah menerapkannya sepeninggal Beliau. Saya takut jika manusia melalui zaman lama, ada seseorang yang berkata, ‘Kami tidak mendapatkan tentang rajam di Kitab Allâh ,’ sehingga mereka tersesat karena meninggalkan suatu kewajiban yang Allâh turunkan. Sesungguhnya rajam terdapat di Kitab Allâh , dia adalah kewajiban (yang harus dihukumkan) kepada orang yang berzina yang telah menikah dari kalangan laki-laki dan wanita, apabila telah tegak bukti atau (didapatkan wanita) sedang hamil atau adanya pengakuan (berzina).”[10]

Pada hadits-hadits di atas disebutkan dengan jelas tentang adanya syariat rajam untuk orang yang berzina yang sudah menikah. Begitu pula rajam pernah dilakukan di zaman Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seorang wanita al-Ghâmidiyah, kepada seorang laki-laki yang bernama Mâ’iz dan kepada yang lainnya.

APAKAH ORANG YANG BERZINA YANG SUDAH MENIKAH JUGA DI DERA SELAIN DIRAJAM?
Para Ulama berbeda pendapat dalam hal ini, menurut madzhab Imam Ahmad, hukuman untuknya ada dua, yang pertama adalah didera, kemudian dirajam. Diriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu bahwasanya didatangkan kepada beliau seorang wanita bernama Syurâhah yang telah berzina dan dia telah menikah, kemudian beliau menderanya di hari Kamis dan merajamnya di hari Jumat. Kemudian beliau berkata:

جَلَدْتُهَا بِكِتَابِ اللهِ ، وَرَجَمْتُهَا بِسُنَّةِ رَسُولِ اللهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-.

“Saya dera dia dengan Kitab Allâh dan saya rajam dia dengan Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .”[11]

Adapun madzhab Imam Abu Hanifah, Malik dan Asy-Syafî memandang bahwa orang tersebut tidak perlu didera tetapi langsung dirajam, karena tidak didapatkan dalil dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggabungkan rajam dengan dera. Allâhu a’lam. Pendapat yang dipegang oleh Imam Ahmad lebih berhati-hati, karena ini:

1. Disebutkan pada hadits kedua, hadits ‘Ubadah bin Ash-Shamit Radhiyallahu anhudi atas bahwasanya orang yang sudah menikah mendapatkan dua hukuman, yaitu didera kemudian dirajam.

2. Termasuk sunnah dari ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu(salah satu al-Khulafâ’ ar-Râsyidîn) yang kita diperintahkan untuk mengikutinya.

3. Tidak ada kabar bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menderanya, tidak menjadi dalil akan tidak adanya dera, karena al-mutsbit muqaddam ‘alan-nâfi (yang menetapkan didahulukan dari yang mentiadakan) Allâhu a’lam.

Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ

“Dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allâh , jika kalian beriman kepada Allâh dan hari akhirat.”

Para Ulama berselisih pendapat dalam mengartikan “Dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allâh,” di antara pendapat yang disebutkan adalah sebagai berikut [12]:

1. Janganlah kalian kasihan kepada mereka berdua sehingga kalian mentiadakan dan tidak menegakkan hudud (hukuman yang telah ditetapkan oleh Allâh ). Ini adalah pendapat Mujahid, ‘Ikrimah, ‘Atha’, Sa’id bin Jubair, an-Nakha’i dan asy-Sya’bi rahimahumullâh.

Ini juga sesuai dengan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi:

تَعَافَوُا الْحُدُودَ فِيمَا بَيْنَكُمْ, فَمَا بَلَغَنِى مِنْ حَدٍّ فَقَدْ وَجَبَ

“Saling memaafkanlah kalian di dalam perkara hudud di antara kalian. Adapun jika salah satu hudud telah sampai kepadaku maka hukumnya menjadi wajib.”[13]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa wajib menjalankan hudud jika perkara tersebut sudah sampai kepada sang hakim, sehingga sang hakim tidak boleh menunda-nunda penyelesaiannya.

2. Janganlah kalian kasihan ketika melaksanakan prosesi hukuman tersebut, sehingga kalian memelankan pukulan, tetapi pukulah dia dengan pukulan yang menyakitkan. Ini adalah pendapat Sa’id bin al-Musayyab dan al-Hasan al-Bashri rahimahumallâh.

3. Terdapat atsar dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhu yang diriwayatkan anaknya yang bernama ‘Ubaidullah, beliau berkata:

أَنَّ جَارِيَةً لِابْنِ عُمَرَ زَنَتْ، فَضَرَبَ رِجْلَيْهَا، -قَالَ نَافِعٌ: أَرَاهُ قَالَ: وَظَهْرَهَا-، قَالَ: قُلْتُ: وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ. قَالَ: يَا بُنَيَّ جَلْدُهَا فِي رَأْسِهَا، وَقَدْ أَوْجَعْتُ حَيْثُ ضَرَبْتُ.

“Sesungguhnya seorang budak wanita Ibnu Umar telah berzina, kemudian beliau memukul kedua kakinya -Nafi’ (perawi hadits) berkata, ‘Menurut saya dia juga berkata, ‘dan punggungnya’.’ (Ubaidullah berkata), Kemudian saya berkata, ‘dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allâh .’ Kemudian beliau pun mengatakan, ‘Wahai anak kecilku, saya telah men-jald-nya (memukulnya) di kepalanya dan saya telah menyakitinya ketika saya pukul.’.”[14]

Atsar ini menunjukkan bahwa yang lebih tepat adalah pendapat yang kedua (pendapat Sa’id bin al-Musayyab dan al-Hasan al-Bashri), karena ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah bin ‘Umar menggunakan dalil ini ketika terjadi prosesi dera tersebut dan Ibnu ‘Umar tidak mengingkari pemahamannya terhadap ayat tersebut. Allâhu a’lam.

Firman Allâh Azza wa Jalla :

إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ

“Jika kalian beriman kepada Allâh dan hari akhirat.

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Lakukanlah hal tersebut, yaitu tegakkanlah hudud kepada orang yang berzina dan keraskanlah ketika memukulnya, tetapi jangan sampai membuat memar, agar dia berhenti dan berhenti juga orang yang melakukan hal serupa dengan perbuatan tersebut.”[15]

Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ

“Dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.”

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Di dalam ayat ini terdapat hukuman kepada orang yang berzina, ketika dia di-jald (didera), maka disaksikan oleh orang-orang. Hukuman ini jika disaksikan oleh orang banyak, maka sangat berguna untuk orang yang berzina agar tidak mengulanginya. Ini jika sebagai bentuk penghinaan atas apa yang telah mereka lakukan jika disaksikan oleh orang banyak.”[16]

Para Ulama berselisih tentang berapa jumlah minimal saksi yang menyaksikan prosesi penghukuman ini, di antara pendapat-pendapat yang disebutkan adalah sebagai berikut[17]:
Paling sedikit disaksikan oleh satu orang. Ini adalah pendapat Ibnu ‘Abbas, Mujahid dan an-Nakha’i.
Paling sedikit disaksikan oleh dua orang. Ini adalah pendapat ‘Ikrimah, Sa’id bin Jubair dan ‘Atha’.
Paling sedikit disaksikan oleh tiga orang. Ini adalah pendapat az-Zuhri dan Qatadah.
Paling sedikit disaksikan oleh empat orang, karena ini sejumlah saksi dalam persaksian zina. Ini adalah pendapat Malik dan Ibnu Zaid.
Paling sedikit disaksikan oleh lima orang. Ini adalah pendapat ar-Rabi’ah. Dan disebutkan pendapat yang lain. Rahimahumullâh al-jamî’.

HUKUMAN BAGI PELAKU ZINA DI AKHIRAT
Orang yang berzina diancam akan diazab oleh Allâh Azza wa Jalla di neraka dengan azab yang pedih jika dia tidak bertaubat kepada Allâh. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menceritakan mimpinya kepada para sahabat –dan mimpi beliau layaknya wahyu-. Beliau menceritakan bahwa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dibawa oleh dua malaikat, yaitu Jibril dan Mikail untuk menyaksikan berbagai jenis manusia. Kemudian tibalah beliau di sebuah lubang seperti tempat pemanggangan roti, bagian atasnya sempit dan bagian bawahnya luas, di bawahnya dinyalakan api. Ketika api tersebut mendekat atau menyambar maka orang-orang di dalamnya pun terangkat hingga hampir keluar darinya. Kemudian apabila apinya mulai memadam, maka mereka pun kembali masuk di dalamnya. Di dalam lubang itu ada laki-laki dan wanita-wanita telanjang. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Siapakah orang-orang itu?” Tetapi tidak dijawab oleh mereka berdua. Kemudian Beliau pun beralih ke tempat lain. Hingga akhirnya, Malaikat Jibril pun memberitahukan, “Adapun orang-orang yang engkau lihat di lubang tadi, mereka adalah para pezina.”[18]

Demikianlah hukuman yang Allâh berikan kepada para pezina di akhirat nanti. Akan tetapi, perlu kita pahami, jika seorang muslim berzina dan mati dalam keadaan belum bertaubat dari perbuatan tersebut, maka dia telah melakukan dosa besar, apabila Allâh ingin mengazabnya maka Allâh akan azab dia, tetapi jika Allâh ingin mengampuninya maka itu adalah hak Allâh untuk mengampuninya. Tetapi selama dia masih beragama Islam, jika ternyata dia masuk ke dalam neraka, maka dia tidak akan kekal di dalamnya, dan akhirnya dia juga akan dimasukkan ke dalam surga.

Dengan demikian kita tidak boleh melontarkan kata-kata yang tidak pantas kepada orang yang telah ketahuan berzina, seperti mengatakan, “Dia itu adalah penghuni neraka,” atau dengan perkataan, “tidak mungkin dia masuk surga.”

KESIMPULAN
1. Surat an-Nûr memiliki banyak hukum di dalamnya dan Allâh mewajibkan umat Islam untuk mengamalkannya.
2. Hukuman bagi orang yang berzina yang belum menikah adalah didera/dicambuk sebanyak 100 kali dan diasingkan selama satu tahun di daerah lain yang bisa mengqashar shalat jika bersafar ke sana.
3. Pengasingannya dilakukan seperti “tahanan kota” dan “wajib lapor”.
4. Hukuman bagi orang yang berzina yang sudah menggauli pasangannya setelah terjadi pernikahan yang sah adalah dirajam, yaitu dilempar oleh orang banyak dengan batu sampai meninggal. Tetapi sebelum dirajam, maka dia juga didera sebanyak 100 kali, menurut salah satu pendapat.
5. Adapun di akhirat orang-orang yang berzina akan dimasukkan ke dalam lubang seperti tempat pemanggangan roti, bagian atasnya sempit dan bagian bawahnya luas, di bawahnya dinyalakan api. Ketika api tersebut mendekat atau menyambar maka orang-orang di dalamnya pun terangkat hingga hampir keluar darinya. Kemudian apabila apinya mulai memadam, maka mereka pun kembali masuk di dalamnya. Mereka di sana tidak mengenakan pakaian sehelai pun.

Demikian tulisan ini. Semoga bermanfaat dan kita memohon kepada Allâh agar senantiasa menjaga kita dari fitnah syahwat dan tidaklah menyalurkannya kecuali pada suatu yang dihalalkan oleh Allâh Azza wa Jalla . Amin.

DAFTAR PUSTAKA
1. Aisarut-Tafâsîr li kalâm ‘Aliyil-Kabîr wa bihâmisyihi Nahril-Khair ‘Ala Aisarit-Tafâsîr. Jâbir bin Musa al-Jazâiri. 1423 H/2002. Al-Madinah: Maktabah Al-‘Ulûm Wal-Hikam.
2. Jâmi’ul-bayân fî ta’wîlil-Qur’ân. Muhammad bin Jarîr ath-Thabari. 1420 H/2000 M. Beirut: Muassasah Ar-Risâlah.
3. Ma’âlimut-tanzîl. Abu Muhammad Al-Husain bin Mas’ûd Al-Baghawi. 1417 H/1997 M. Ar-Riyâdh: Dâr Ath-Thaibah.
4. Tafsîr Al-Qur’ân Al-‘Adzhîm. Isma’îl bin ‘Umar bin Katsîr. 1420 H/1999 M. Ar-Riyâdh: Dâr ath-Thaibah.
5. Tafsir Ibni Abi Hatim. Abu Muhammad ‘Abdurrahman bin Abi Hatim Ar-Razi. Shîdâ: al-Maktabah al-‘Ashriyah.
6. Dan lain-lain. Sebagian besar telah tercantum di footnotes.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XX/1438H/2017M.]
_______
Footnote
* Pengajar di Darul-Qur’an Wal-Hadits OKU Timur, Sumatera Selatan (kuncikebaikan.com).
[1] Akan disebutkan pendapat lain tentang ini, di dalam penjabaran ayat.
[2] Lihat Aisar at-Tafâsîr, hlm. 990.
[3] Lihat Tafsîr Al-Baghawi VI/7.
[4] HR. Al-Bukhâri no. 6827 dan 6828 dan Muslim no. 1697/4435 dan 1698/4436.
[5] Ini adalah jawaban dari surat An-Nisa’ ayat 15.
[6] HR Muslim no. 1690/4414
[7] Lihat penjelasannya di al-Mausû’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah XV/247-248.
[8] Lihat penjelasannya di al-Mausû’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah 46/13.
[9] Lihat penjelasannya di al-Mausû’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah XXII/125.
[10] HR Muslim no. 1691/4418.
[11] HR Ahmad no. 942, 1185, 1190 dan 1317 dari Asy-Sya’bi rahimahullâh. Syaikh Syu’aib al-Arnauth dkk. Men-shahih-kannya.
[12] Lihat Tafsîr al-Baghawi VI/8-9 dan Tafsîr Ibni Katsîr VI/7-8.
[13] HR Abu Dawud no. 4378 dan an-Nasai no. 4886. Syaikh al-Albani menghukuminya hasan dalam Shahîh An-Nasâi.
[14] Tafsîr Ibni Abi Hâtim VIII/2518 no. 14095.
[15] Tafsîr Ibni Katsîr VI/8.
[16] Lihat Tafsîr Ibni Katsîr VI//8.
[17] Lihat Tafsîr Al-Baghawi VI/9 dan Tafsîr Ibni Katsîr VI/8-9.
[18] Lihat HR al-Bukhâri no. 1386.




Related Posts:

0 Response to "Tafsir An Nur Ayat 1-10"

Post a Comment