Tafsir An Nur Ayat 32-40


Rp 35.000/Bungkus Yuk Order => https://nasi-kebuli-instan.business.site/

Ayat 32-34: Anjuran menikah, peringatan terhadap zina dan perkara keji.

وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ (٣٢) وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّى يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَالَّذِينَ يَبْتَغُونَ الْكِتَابَ مِمَّا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ فَكَاتِبُوهُمْ إِنْ عَلِمْتُمْ فِيهِمْ خَيْرًا وَآتُوهُمْ مِنْ مَالِ اللَّهِ الَّذِي آتَاكُمْ وَلا تُكْرِهُوا فَتَيَاتِكُمْ عَلَى الْبِغَاءِ إِنْ أَرَدْنَ تَحَصُّنًا لِتَبْتَغُوا عَرَضَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَنْ يُكْرِهُّنَّ فَإِنَّ اللَّهَ مِنْ بَعْدِ إِكْرَاهِهِنَّ غَفُورٌ رَحِيمٌ (٣٣) وَلَقَدْ أَنْزَلْنَا إِلَيْكُمْ آيَاتٍ مُبَيِّنَاتٍ وَمَثَلا مِنَ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ وَمَوْعِظَةً لِلْمُتَّقِينَ (٣٤)

Terjemah Surat An Nur Ayat 32-34

32. Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang[1] di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah)[2] dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberikan kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya[3]. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui[4].

[1] Maksudnya, hendaklah laki-laki yang belum menikah atau tidak beristri atau wanita-wanita yang tidak bersuami, dibantu agar mereka dapat menikah.

* Islam menganjurkan dan memotivasi kaum muslimin agar segera menikah.

Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ


“Wahai para pemuda, siapa diantara kalian yang sudah mampu menanggung nafkah, hendaknya dia menikah. Karena menikah akan lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Sementara siapa yang tidak mampu, hendaknya dia berpuasa. Karena itu bisa menjadi tameng syahwat baginya.” (HR. Bukhari 5065 dan Muslim 1400).

Islam juga menganjurkan agar kaum muslimin saling bekerja sama untuk mewujudkan pernikahan. Ketika ada diantara mereka yang belum menikah, yang lain dianjurkan untuk membantunya agar bisa segera menikah.

[2] Lafaz shalih di ayat tersebut bisa diartikan yang baik agamanya, dan bisa juga diartikan yang layak. Jika diartikan yang baik agamanya, maka berarti majikan diperintahkan menikahkan hamba sahaya yang saleh laki-laki maupun perempuan sebagai balasan terhadap kesalehannya, dan lagi karena orang yang tidak saleh karena berzina dilarang menikahkannya, sehingga maknanya menguatkan apa yang disebutkan di awal surah, yaitu menikahi laki-laki pezina dan perempuan pezina diharamkan sampai ia bertobat. Bisa juga diartikan dengan yang layak menikah lagi butuh kepadanya dari kalangan hamba sahaya laki-laki dan perempuan. Makna ini diperkuat oleh keterangan bahwa sayyid (majikan) tidak diperintahkan menikahkan budaknya sebelum ia butuh menikah. Kedua makna ini tidaklah begitu jauh, wallahu a’lam.

[3] Oleh karena itu, anggapan bahwa apabila menikah seseorang dapat menjadi miskin karena banyak tanggungan tidaklah benar. Dalam ayat ini terdapat anjuran menikah dan janji Allah akan memberikan kecukupan kepada mereka yang menikah untuk menjaga dirinya.

* Islam hanya menetapkan syarat, seorang muslim disyariatkan agar segera menikah ketika dia sudah mampu. Mampu secara finansial, sehingga bisa menanggung nafkah keluarganya, mampu dalam menyediakan kehidupan yang layak bagi keluarganya.

[4] Dia mengetahui siapa yang berhak mendapat karunia agama maupun dunia atau salah satunya dan siapa yang tidak, sehingga Dia berikan masing-masingnya sesuai ilmu-Nya dan hikmah-Nya.

33. [5]Dan orang-orang yang tidak mampu menikah[6] hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sampai Allah memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya[7]. Dan jika hamba sahaya yang kamu miliki menginginkan perjanjian (kebebasan), hendaklah kamu buat perjanjian kepada mereka[8], jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu[9]. [10]Dan janganlah kamu paksa hamba sahaya perempuanmu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan kehidupan duniawi[11]. [12]Barang siapa memaksa mereka, maka sungguh, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) setelah mereka dipaksa[13].

[5] Ayat ini berkenaan dengan orang yang tidak mampu menikah, Allah memerintahkannya untuk menjaga kesucian dirinya dan mengerjakan sebab-sebab yang dapat menyucikan dirinya, seperti mengalihkan pikirannya dengan menyibukkan dirinya dan melakukan saran Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu berpuasa.

[6] Baik karena miskinnya mereka (tidak sanggup menyiapkan mahar atau memberikan nafkah), atau miskinnya.wali atau sayyid mereka atau karena keengganan mereka (wali atau sayyid) menikahkan mereka.

[7] Sehingga mereka dapat menikah.

[8] Salah satu cara dalam agama Islam untuk menghilangkan perbudakan adalah mukatabah, yaitu seorang hamba sahaya boleh meminta kepada tuannya untuk dimerdekakan, dengan perjanjian bahwa budak itu akan membayar jumlah uang yang ditentukan. Pemilik budak itu hendaklah menerima perjanjian itu kalau budak itu menurut pandangannya sanggup melunasi perjanjian itu dengan harta yang halal.

[9] Untuk mempercepat lunasnya perjanjian itu hendaklah budak-budak itu ditolong baik oleh tuannya dengan diringankan sedikit bebannya atau oleh orang lain dengan harta yang diambilkan dari zakat atau dari harta mereka. Disebutkan, “Harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu” untuk mengingatkan bahwa harta yang ada di tangan kita adalah berasal dari Allah, oleh karena itu berbuat baiklah kepada hamba-hamba Allah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepada kita. Syaikh As Sa’diy berkata, “Mafhum ayat ini adalah, bahwa seorang hamba sahaya apabila tidak meminta mukatabah, maka majikannya tidak diperintahkan memulai menawarkan mukatabah, dan bahwa apabila dia tidak mengetahui kebaikan pada budaknya, bahkan yang diketahui malah sebaliknya, seperti ia tidak punya usaha sehingga menjadi beban orang lain, terlantar, atau ada sesuatu yang dikhawatirkan jika dimerdekakan seperti membuatnya melakukan kerusakan, maka majikannya tidak diperintahkan melakukan mukatabah, bahkan dilarang melakukannya karena di dalamnya terdapat sesuatu yang dikhawatirkan tersebut.”

[10] Imam Muslim meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Jabir, ia berkata, “Abdullah bin Ubay bin Salul berkata kepada hamba sahayanya yang perempuan, “Pergilah! Lakukanlah pelacuran untuk kami.” Maka Allah menurunkan ayat, “Dan janganlah kamu paksa hamba sahaya perempuanmu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan kehidupan duniawi.”

[11] Yakni memperoleh upah dari pelacuran itu, karena di zaman Jahiliyyah terkadang wanita budak dipaksa melakukan pelacuran agar majikannya memperoleh upah.

[12] Selanjutnya Allah Subhaanahu wa Ta'aala mengajak orang yang telah memaksa tersebut untuk bertobat.

[13] Oleh karena itu, hendaknya dia bertobat kepada Allah dan menghentikan perbuatannya itu. Apabila dia telah bertobat dan berhenti dari melakukan hal itu, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya dan merahmatinya.

34. [14]Dan sungguh, Kami telah menurunkan kepada kamu ayat-ayat yang memberi penjelasan[15], dan contoh-contoh dari orang-orang yang terdahulu sebelum kamu[16] dan sebagai nasehat[17] bagi orang-orang yang bertakwa[18].

[14] Ayat ini merupakan pengagungan terhadap ayat-ayat Al Qur’an ini yang diturunkan-Nya kepada hamba-hamba-Nya agar mereka mengetahui kedudukannya dan melaksanakan haknya.

[15] Terhadap semua yang kamu butuhkan, baik perkara ushul (dasar) maupun furu’ (cabang) sehingga tidak ada lagi kemusykilan dan syubhat (kesamaran).

[16] Baik yang saleh maupun yang tidak dan menerangkan sifat amal mereka serta apa yang menimpa mereka agar kamu menjadikannya pelajaran, bahwa orang yang melakukan hal yang sama akan mendapatkan balasan yang serupa.

[17] Seperti nasehat-Nya agar rasa belas kasihan tidak menghalanginya dari menegakkan hukum Allah, dan nasehat agar tidak berburuk sangka kepada orang yang baik, dsb. Di samping itu, di dalamnya pun terdapat janji dan ancaman, targhib dan tarhib.

[18] Dikhususkan kepada orang-orang yang bertakwa, karena merekalah yang dapat mengambil manfaat daripadanya.

Ayat 35-38: Allah Subhaanahu wa Ta'aala sebagai sumber cahaya di langit dan bumi serta pujian Allah Subhaanahu wa Ta'aala kepada orang-orang yang memakmurkan masjid-masjid-Nya.

اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لا شَرْقِيَّةٍ وَلا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ نُورٌ عَلَى نُورٍ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الأمْثَالَ لِلنَّاسِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (٣٥) فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالآصَالِ (٣٦)رِجَالٌ لا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالأبْصَارُ (٣٧) لِيَجْزِيَهُمُ اللَّهُ أَحْسَنَ مَا عَمِلُوا وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ (٣٨

Terjemah Surat An Nur Ayat 35-38

35. Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi[19]. Perumpamaan cahaya-Nya[20], seperti sebuah lubang yang tidak tembus[21] yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam tabung kaca (dan) tabung kaca itu[22] bagaikan bintang yang berkilauan, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang diberkahi, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di timur dan tidak pula di barat[23], yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api[24]. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis)[25], [26]Allah memberi petunjuk kepada cahaya-Nya bagi orang yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia[27]. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu[28].


[19] Dia menyinari langit dan bumi baik secara hissiy (konkrit) maupun maknawi (abstrak). Yang demikian karena Allah Subhaanahu wa Ta'aala pada Zat-Nya bercahaya dan hijab-Nya –yang jika bukan karena kelembutan-Nya tentu cahaya zat-Nya akan membakar semua makhluk-Nya- juga cahaya. Dengan cahaya itu ‘Arsy dan Kursi bersinar, demikian pula matahari dan bulan serta cahaya dapat bersinar, dan dengannya pula surga bersinar. Dia juga yang memberikan cahaya secara maknawi, kitab-Nya bercahaya, syariat-Nya bercahaya, iman dan ma’rifat (mengenal Allah) di hati para rasul dan hamba-hamba-Nya adalah cahaya. Jika tidak ada cahaya-Nya, tentu yang ada kegelapan di atas kegelapan. Oleh karena itulah, setiap tempat yang tidak mendapatkan cahaya-Nya, maka jadi gelap.

[20] Yang menunjukkan kepada-Nya, yaitu cahaya iman dan Al Qur’an yang ada di hati seorang muslim.

[21] Yang dimaksud lubang yang tidak tembus (misykat) ialah suatu lobang di dinding rumah yang tidak tembus sampai ke sebelahnya, biasanya digunakan untuk tempat lampu, atau barang-barang lain.

[22] Karena bersih dan indahnya.

[23] Maksudnya, pohon zaitun itu tumbuh di puncak bukit, ia mendapat sinar matahari baik di waktu matahari terbit maupun di waktu matahari akan terbenam, sehingga pohonnya subur dan buahnya menghasilkan minyak yang baik.

[24] Jika tersentuh api, tentu sinarnya lebih terang lagi.

[25] Cahaya dari apinya dan cahaya dari minyaknya. Menurut Syaikh As Sadiy, inti pada perumpamaan yang dibuat Allah ini dan prakteknya pada keadaan orang mukmin dan pada cahaya Allah di hatinya adalah bahwa fitrah-Nya yang manusia diciptakan di atasnya seperti minyak yang bersih. Fitrahnya bersih dan siap menerima pengajaran dari Allah serta mengamalkannya. Jika ilmu sampai kepadanya, maka menyala cahaya yang ada di hatinya seperti halnya sumbu yang menyala di dalam lampu itu, hatinya bersih dari maksud yang buruk dan paham yang buruk. Apabila iman sampai kepadanya, maka akan bersinar lagi hatinya dengan sinar yang terang karena bersih dari kotoran, dan hal itu seperti bersihnya kaca yang berkilau, sehingga berkumpullah cahaya fitrah, cahaya iman, cahaya ilmu, dan bersihnya ma’rifat (mengenal Allah), sehingga cahaya tersebut di atas cahaya.

[26] Oleh karena cahaya tersebut berasal dari Allah Ta’ala, dan tidak setiap orang berhak mendapatkannya, maka Allah menerangkan bahwa Allah memberi petunjuk kepada cahaya-Nya bagi orang yang Dia kehendaki, di mana Dia mengetahui kebersihan dan kesucian dirinya.

[27] Agar mereka dapat lebih memahami sebagai kelembutan dan ihsan dari-Nya kepada mereka, dan agar kebenaran semakin jelas.



[28] Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Oleh karena itu, hendaklah kamu mengetahui bahwa perumpamaan itu adalah perumpamaan dari yang mengetahui hakikat segala sesuatu dan rinciannya, dan bahwa perumpamaan itu adalah untuk maslahat bagi hamba. Oleh karena itu, hendaknya kesibukanmu adalah memikirkannya dan memahaminya, tidak malah membantahnya dan mempertentangkannya, karena Dia mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui.

36. [29]Di masjid-masjid[30] yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya[31]. [32]Bertasbih[33] kepada Allah pada waktu pagi dan waktu petang[34],


[29] Oleh karena cahaya iman dan Al Qur’an sebabnya paling sering muncul di masjid, maka Allah menyebutkan masjid itu sambil meninggikannya.

[30] Masjid adalah tempat yang paling dicintai Allah Subhaanahu wa Ta'aala. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

« أَحَبُّ الْبِلاَدِ إِلَى اللَّهِ مَسَاجِدُهَا وَأَبْغَضُ الْبِلاَدِ إِلَى اللَّهِ أَسْوَاقُهَا » .

“Tempat yang paling dicintai Allah adalah masjid dan tempat yang paling dibenci Allah adalah pasar.” (HR. Muslim)

[31] Kedua hal ini “meninggikan dan menyebut nama Allah” adalah keseluruhan hukum-hukum masjid. Termasuk ke dalam meninggikannya adalah membangunnya, menyapunya, membersihkannya dari kotoran dan najis, serta menjaganya dari orang gila dan anak-anak yang biasa tidak menjaga dirinya dari najis (namun hadits yang memerintahkan menjauhkan orang gila dan anak kecil dari masjid adalah dha’if), demikian juga menjaganya dari orang kafir dan dari membuat kegaduhan di dalamnya serta mengeraskan suara selain dzikrullah. Termasuk ke dalam menyebut nama Allah adalah semua shalat, yang fardhu maupun yang sunat, membaca Al Qur’an, berdzikr, mendalami ilmu dan mengajarkannya, mudzaakarah (mengingat-ingat pelajaran) di sana, i’tikaf dan ibadah lainnya yang dilakukan di masjid. Oleh karena itu, memakmurkan masjid terbagi dua; memakmurkan dalam arti membangunkannya dan memeliharanya, dan memakmurkannya dengan dzikrullah, seperti shalat dan lain-lain. Yang kedua lebih utama, bahkan sebagai tujuannya. Oleh karenanya menurut sebagian ulama wajib shalat yang lima waktu dan shalat Jum’at di masjid (tidak di selain masjid), sedangkan menurut yang lain hanya sunat saja.

Faedah:

Sebagaimana dijelaskan, bahwa membangun masjid termasuk ke dalam makna ‘memakmurkan masjid’, maka dari itu pahala orang yang membangunnya begitu besar, Allah berjanji akan membangunkan rumah untuknya di surga sebagaimana dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim. Masjid memiliki peranan penting dalam membina umat dan masyarakat dan merupakan bangunan yang diberkahi, dari masjidlah kebaikan muncul dan tersebar. Oleh karena itulah, saat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam hijrah ke Madinah, maka bangunan yang pertama kali Beliau bangun adalah masjid. Di masjid itulah, Beliau mendidik umat, mengajarkan kepada mereka aqidah yang benar, ibadah yang benar, akhlak yang benar dan bermu'amalah yang benar sehingga para sahabat Beliau menjadi umat yang terbaik. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman, "Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah…dst." (Terj. Ali Imran: 110)

[32] Selanjutnya Allah Subhaanahu wa Ta'aala memuji orang-orang yang memakmurkannya dengan ibadah.

[33] Yang bertasbih ialah laki-laki yang tersebut pada ayat 37 berikut.

[34] Disebutkan kedua waktu ini secara khusus karena keutamaannya dan karena longgar dan mudahnya beribadah dilakukan di waktu itu. Oleh karena itu, disyariatkan dzikr pagi dan petang, yang di antaranya adalah mengucapkan subhaanallahi wa bihamdih sebanyak 100 kali. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

« مَنْ قَالَ حِينَ يُصْبِحُ وَحِينَ يُمْسِى سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ مِائَةَ مَرَّةٍ . لَمْ يَأْتِ أَحَدٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِأَفْضَلَ مِمَّا جَاءَ بِهِ إِلاَّ أَحَدٌ قَالَ مِثْلَ مَا قَالَ أَوْ زَادَ عَلَيْهِ » .

“Barang siapa yang berkata di waktu pagi dan sore hari, “Subhaanallahi wa bihamdih.” Sebanyak 100 kali, maka tidak ada seorang pun pada hari kiamat yang datang membawa amalan yang lebih utama daripada apa yang dia bawa kecuali seorang yang mengucapkan sebanyak itu atau lebih.” (Muslim)

Arti Subhaanallah bihamdih adalah aku menyucikan Allah dari semua kekurangan dan memuji-Nya dengan semua kesempurnaan.

Ada pula yang menafsirkan tasbih di sini dengan shalat. Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata, “Semua tasbih dalam Al Qur’an adalah shalat.”

37. Orang yang tidak dilalaikan oleh perdagangan[35] dan jual beli[36] dari mengingat Allah, melaksanakan shalat, dan menunaikan zakat. [37]Mereka takut kepada hari ketika hati dan penglihatan menjadi guncang (hari Kiamat),

[35] Mencakup semua bisnis dan usaha yang menghasilkan keuntungan.

[36] Dihubungkan yang khusus dengan yang umum sebelumnya, karena yang biasa terjadi adalah jual beli. Mereka itu meskipun berdagang dan berjual beli, namun tidak dibuat lalai olehnya sampai lupa mengingat Allah. Bahkan mereka menjadikan ketaatan kepada Allah sebagai tujuan dan maksud mereka, jika ada sesuatu yang menghalangi mereka dari menjalankan ketaatan kepada Allah, maka mereka tolak.

[37] Oleh karena meninggalkan dunia sangat berat bagi jiwa dan meraihkan keuntungan sangat dicintai olehnya dan berat untuk ditinggalkan, maka disebutkan targhib (pendorong) mereka melakukannya sekaligus tarhibnya. Mereka takut kepada hari yang saking dahsyatnya sampai membuat hati dan pandangan berguncang, sehingga mereka pun ringan dalam beramal dan meninggalkan kesibukannya.

38. (meraka melakukan itu) agar Allah memberi balasan amal mereka yang paling baik[38], dan agar Dia menambah karunia-Nya kepada mereka[39]. Dan Allah memberi rezeki kepada siapa saja yang Dia kehendaki tanpa batas[40].

[38] Yakni amal mereka yang saleh, karena amal saleh adalah amal mereka yang paling baik, di mana di antara amal mereka ada yang ibadah dan ada yang mubah, sedangkan pahala tentu diberikan karena amal yang menjadi ibadah, bukan yang mubah.

[39] Dengan tambahan yang banyak melebihi balasan yang sesuai amal mereka.

[40] Dia memberikan pahala kepada hamba-Nya melebihi amal yang dikerjakannya, bahkan melebihi harapannya, dan memberikan balasan tanpa tanggung-tanggung.

Ayat 39-40: Gambaran orang-orang kafir dan amal mereka, dan bahwa kekafiran adalah kegelapan sedangkan keimanan adalah cahaya.

وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ مَاءً حَتَّى إِذَا جَاءَهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئًا وَوَجَدَ اللَّهَ عِنْدَهُ فَوَفَّاهُ حِسَابَهُ وَاللَّهُ سَرِيعُ الْحِسَابِ (٣٩) أَوْ كَظُلُمَاتٍ فِي بَحْرٍ لُجِّيٍّ يَغْشَاهُ مَوْجٌ مِنْ فَوْقِهِ مَوْجٌ مِنْ فَوْقِهِ سَحَابٌ ظُلُمَاتٌ بَعْضُهَا فَوْقَ بَعْضٍ إِذَا أَخْرَجَ يَدَهُ لَمْ يَكَدْ يَرَاهَا وَمَنْ لَمْ يَجْعَلِ اللَّهُ لَهُ نُورًا فَمَا لَهُ مِنْ نُورٍ (٤٠

Terjemah Surat An Nur Ayat 39-40

39. [41]Dan orang-orang yang kafir[42], perbuatan mereka seperti fatamorgana di tanah yang datar[43], yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi apabila didatanginya tidak ada apa pun[44]. Dan didapatinya (ketetapan) Allah baginya. Lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan (amal-amal) dengan sempurna, dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya.

[41] Ayat ini dan setelahnya merupakan perumpamaan amal orang kafir dalam hal batal, sia-sia, dan ruginya mereka.

[42] Kepada Tuhan mereka dan mendustakan para rasul-Nya.

[43] Yang tidak ada tumbuhan dan pepohonan.

[44] Amal orang-orang kafir seperti fatamorgana yang dilihat dan disangka oleh orang yang tidak tahu sebagai air, mereka mengira amal mereka bermanfaat, dan mereka pun membutuhkannya sebagaimana butuhnya orang yang kehausan terhadap air, sehingga ketika ia mendatangi amalnya pada hari pembalasan, ternyata ia dapatkan dalam keadaan hilang dan tidak memperoleh apa-apa.

40. Atau (keadaan amal orang-orang kafir) seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh gelombang demi gelombang, di atasnya ada (lagi) awan gelap[45]. Itulah gelap gulita yang berlapis-lapis. Apabila dia mengeluarkan tangannya, hampir tidak dapat melihatnya[46]. Barang siapa tidak diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah, maka dia tidak mempunyai cahaya sedikit pun[47].

[45] Dan berada dalam kegelapan malam.

[46] Padahal tangannya dekat dengannya, lalu bagaimana dengan yang berada jauh? Demikianlah orang-orang kafir, kegelapan di atas kegelapan menumpuk di hati mereka; gelapnya tabiat, di atasnya lagi gelapnya kekafiran, di atasnya lagi gelapnya kebodohan dan di atasnya lagi gelapnya amal yang muncul daripadanya. Sehingga mereka pun berada dalam kegelapan dan kebingungan, karena Allah telah meninggalkan mereka dan tidak memberikan cahaya-Nya. Kedua perumpamaan ditujukan kepada amal orang-orang kafir, atau yang satu untuk salah satu golongan orang kafir, sedangkan yang satu lagi untuk golongan yang lain; perumpamaan yang pertama ditujukan kepada orang-orang yang diikuti, sedangkan perumpamaan yang kedua ditujukan kepada orang-orang yang mengikuti, wallahu a’lam.

[47] Oleh karena itu, barang siapa yang tidak diberi petunjuk oleh Allah, maka ia tidak akan memperoleh petunjuk.

=========================================

 وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui..[An-Nur/24:32].     

Penjelasan Ayat. 
Perintah untuk menikahkan

وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنْكُمْ

Al-inkaah – dalam ayat di atas – bersinonim dengan kata at-tazwiij. Sehingga bermakna zawwijuuhum (nikahkahlah mereka)[1]. Perintah tersebut terarah kepada para wali (dan tuan-tuan pemilik budak).[2] Allah Azza wa Jalla al-Hakiim al-‘Aliim (Dzat Yang Maha Bijak dan Maha Mengetahui kemaslahatan) memerintahkan mereka agar menikahkan orang-orang yang berada di bawah perwaliannya yang masuk dalam kategori al-ayâmaAl-ayâma adalah bentuk plural kata al-ayyim.

Maksud al-ayâma di sini, ialah orang-orang yang tidak (belum) mempunyai pasangan hidup, baik dari kalangan kaum lelaki maupun perempuan. Entah pernah menikah – kemudian bercerai atau pasangan meninggal- maupun belum menjalani perkawinan[3]. Maka, wajib bagi kerabatnya dan wali anak yatim, untuk menikahkan orang yang membutuhkan pernikahan dari orang-orang nafkahnya menjadi tanggungan si wali dengan memberi bantuan dan kemudahan agar tidak tersisa bujang maupun lajang kecuali sedikit saja.[4]
Perintah dalam ayat di atas dalam tinjauan ilmu Ushul Fiqh bermakna wajib, karena tidak ada faktor lain yang memalingkannya. Demikian keterangan Syaikh al-Amîn asy-Syinqîthi rahimahullah dalam tafsirnya.[5]
Bila mereka (para wali) diperintahkan untuk menikahkan orang-orang yang berada di bawah tanggungan mereka, maka perintah kepada mereka untuk nikah lebih utama lagi agar dapat membentuk jiwa yang suci dan kebal dari perbuatan keji sekelas perzinaan.[6]
Firman Allah Azza wa Jalla :

وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ 

dan orang-orang yang layak (menikahdari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan :

Pengertian ash-shâlihîn adalah orang yang mempunyai keshalehan dalam beragama, hingga tidak melakukan perzinaan. Bila hamba sahaya yang dimiliki seseorang demikian adanya, maka sang pemilik diperintahkan untuk mencarikan pasangan hidup baginya. Sebagai balasan baik atas keshalehan pribadi yang dimiliki budak tersebut. Sebab, bila telah rusak lantaran perbuatan zina, sudah berarti hukumnya terlarang untuk menikahkannya. Dan ini berarti juga menguatkan kandungan hukum yang tertuang dalam ayat-ayat pertama surat an-Nûr. Bahwa pernikahan lelaki atau perempuan yang berbuat zina hukumnya haram sampai mereka bertaubat.

Makna kata ash-shâlihîn yang lain, orang-orang yang sudah pantas menikah, lagi membutuhkannya, baik para budak laki dan perempuan. Pengertian ini ditopang oleh realita bahwa seorang tuan tidak diperintahkan untuk menikahkan budaknya sebelum membutuhkan perkawinan.[7]Wallahu A`lam.

Janji Allah Azza wa Jalla Bagi Orang-Orang Menikah
Firman Allah Azza wa Jalla :

إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui..

Sebuah janji baik datang dari Allah Azza wa Jalla dan Allah Azza wa Jalla tidak pernah mengingkari janji-janji-Nya. Jika mereka miskin, yaitu para suami dan orang yang telah menikah,  Allah Azza wa Jalla akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Janganlah bayang-bayang kemiskinan karena memikul beban nafkah keluarga setelah menikah menjadi penghalang untuk menjalankan syariat Allah yang satu ini.[8] Sebuah realita yang menggelayuti benak sebagian orang. Cukuplah, janji Allah Azza wa Jalla di atas untuk menepis keraguan tersebut jauh-jauh.

Pada ayat ini, terkandung anjuran untuk menikah, dan janji Allah Azza wa Jalla kepada orang yang menikah dengan kecukupan setelah kondisi kefakirannya. Artinya, ayat ini seperti diungkap oleh Ibnul ‘Arabi rahimahullah memuat dalil (dasar) menikahkan lelaki yang fakir. Jangan sampai ia berkata, ‘bagaimana aku bisa menikah, uang saja tidak ada?’. Karena sungguh, rezeki dirinya dan keluarga menjadi tanggungan Allah Azza wa Jalla . Selanjutnya, beliau menyampaikan fakta, dahulu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahkan seorang lelaki yang tidak mempunyai harta kecuali izâr (pakaian). Demikian fakta yang beliau sampaikan.

Ada satu hal menarik yang tidak boleh dikesampingkan dari keterangan Syaikh asy-Syinqîthi rahimahullah dalam mengulas janji baik ini. Kata beliau: “Orang menikah yang diberi janji Allah Azza wa Jalla berupa kecukupan hidup, ialah orang yang mempunyai niat dengan pernikahannya supaya mendapat kemudahan menjalankan ketaatan kepada Allah  Azza wa Jalla dalam menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan[9]. Seperti telah dipaparkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ, مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

Wahai para pemuda, barang siapa yang telah sanggup untuk menikah maka menikahlah, dan barang siapa belum mampu, hendaknya ia berpuasa, karena puasa itu sebagai perisai.[10]
Apabila niatnya untuk menikah adalah merealisasikan kepatuhan kepada Allah Azza wa Jalla dengan menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan, maka dengan itulah janji berkecukupan akan teraih”.[11]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ثَلَاثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللهِ تَعَالَى عَوْنُهُمْ : الْمُجَاهِدُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ وَ الْمُكَاتَبُ الَّذِيْ يُرِيْدُ الْأَدَاءَ وَالنَّاكِحُ الَّذِيْ يُرِيْدُ الْعَفَافَ

“Ada tiga golongan, Allah mewajibkan atas Dzatnya untuk membantunya:  (yaitu) Orang yang berjihad di jalan Allah, orang yang menikah untuk menjaga kehormatan diri dan budak yang berusaha membeli dirinya sendiri hingga menjadi orang merdeka “.  [HR. Ahmad, at-Tirmidzi dll. Lihat Shahihul Jami’ no. 3050]

Demikianlah, Allah Azza wa Jalla menjanjikan pemberian rezeki bagi orang-orang yang taat kepada-Nya. Allah Azza wa Jalla membalas amal sholeh seorang muslim di dunia dan akhirat. Ayat-ayat pendukung tentang masalah ini banyak dalam al-Qur`an.[12]
وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Dan Allah Maha luas lagi Maha Mengetahui.

Kebaikan Allah Azza wa Jalla melimpah dan karunia-Nya sangat agung. Allah Azza wa Jalla mengetahui orang-orang yang berhak menerima karunia-Nya, baik yang berhubungan dengan agama ataupun duniawi atau hanya berhak memperoleh salah satunya saja, dan mengetahui pula orang-orang yang tidak berhak meraihnya. Maka, masing masing diberi berdasarkan apa yang telah Allah Azza wa Jalla ketahui dan sesuai dengan kandungan hukum-Nya.[13]
Mungkin terbetik pertanyaan, terkadang orang yang menikah hidup di bawah garis kecukupan?. Maka, jawabannya tidak mesti kondisi kecukupan berlangsung kontinyu. Bila sekali saja pernah terjadi, itu sudah menjadi petunjuk bahwa janji Allah Azza wa Jalla terbukti. Atau bisa juga dikatakan Allah Azza wa Jalla memberinya kebesaran jiwa (ghinan nafsi) melalui pernikahan yang telah ia jalani.[14]Wallahu a’lam.

Manfaat Pernikahan
Pernikahan adalah sunnatul anbiya (jalan hidup para nabi dan rasul). Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan…. [ar-Ra’du/13:38]

Pernikahan sudah tidak hanya menjadi kebutuhan manusia. Lebih dari itu. Dalam pernikahan terselip manfaat yang berharga lagi tujuan-tujuan yang luhur. Dengan pernikahan terbentuklah kesucian pribadi-pribadi muslim dan pada gilirannya terbentuklah sebuah masyarakat yang suci, yang menjunjung tinggi perkawinan dan memandang pergaulan dan hubungan bebas sebagai noda yang mesti dihapuskan. Karena itu, hidup tabattul (menjauhi pernikahan dalam rangka konsentrasi dalam beribadah) terlarang dalam Islam.

Pernikahan adalah ikatan syar’i yang menyatukan antara lelaki dan perempuan dengan syarat-syarat dan rukun-rukunnya yang telah dijelaskan buku-buku fiqih. Saking pentingnya, kebanyakan ulama hadits dan Fuqaha mendahulukannya ketimbang jihad. pasalnya, jihad tidak mungkin ditempuh kecuali dengan keberadaan kaum lelaki. Sementara itu, tidak ada jalan untuk melahirkan mereka kecuali melalui jalan pernikahan syar’i.[15]
Dalam kaca mata Fiqih Islam, hukum menikah kondisional, tergantung kondisi orang. Namun pada asalnya, hukumnya wajib atas orang yang telah mengkhawatirkan dirinya terjerembab ke jurang kenistaan (zina) bila tidak menikah. Apalagi, jika agama seseorang lemah dan banyaknya godaan serta fitnah.[16]
Berikut beberapa manfaat perkawinan secara singkat:

  1. Menjaga kelestarian kelangsungan bangsa manusia dari kepunahan.
  2. Pemenuhan dorongan syahwat pada diri manusia. Karena Allah Azza wa Jalla tatkala menciptakan manusia, telah menanamkan dorongan syahwat padanya, yang membutuhkan pemenuhan dengan lawan jenis.
  3. Menjaga kehormatan jiwa dan membentengi kemaluan.
  4. Pembentukan keluarga yang baik dan pemeliharaan garis-garis nasab.
  5. Penciptaan rasa ketentraman jiwa.
  6. Pernikahan yang syar’i merupakan salah satu faktor untuk memperbanyak populasi umat Islam.
  7. Adanya pendistribusian beban tanggung-jawab antara suami-istri yang akan mengakibatkan terbentuknya ketentraman dan kebahagiaan mereka berdua serta kerapian roda keluarga.

Manfaat pernikahan lebih dari apa yang disebutkan di atas. Bagi orang yang merenungkan syariat Ilahi ini, akan sampai pada kesimpulan bahwa pernikahan mendatangkan manfaat bagi pemeliharaan agama, jiwa, nasab dan kehormatan seseorang. Semestinya, jalan menuju pernikahan dipermudah. Karena merupakan thariq at-ta’affuf[17]. Dan para wali dan orang tua tergugah untuk segera menikahkan generasi Islam yang berada di bawah tanggung jawabnya. Apalagi, di masa perzinaan telah menggejala di tengah masyarakat, siap menerkam siapa saja yang lalai dan lengah. Ditambah lagi, adanya manusia-manusia berhati jelek yang juga telah memuluskan dan memudahkan akses menuju perzinaan dan perbuatan nista lainnya.

Dengan ini pula, dapat diraba betapa besar bahaya yang mengancam saat pernikahan syar’i ditinggalkan atau dianggap aral melintang dan pagar yang membatasi gerak-gerik bebas lelaki dan perempuan.

Sekedar sebagai bahan renungan, Imam Qatâdah bin Di’âmah as-Sadûsi rahimahullah  pernah berkata: “Dahulu telah tersebar ungkapan, jika anak telah baligh, namun ia belum dinikahkan oleh ayahnya, lantas ia berbuat zina, maka sang bapak telah berbuat dosa”. Riwayat Ibnu Abid Dun-ya rahimahullah, kitab al-‘Iyâl[18]Wallahu a’lam.           

Pelajaran dari ayat di atas.

  1. Seruan kepada kaum muslimin, penguasa atau rakyat untuk membantu pernikahan orang-orang yang sendirian.
  2. Orang tua wajib menikahkan anak-anaknya
  3. Anjuran untuk menikah.
  4. Janji Allah Azza wa Jalla dengan kecukupan bagi orang yang menikah.
  5. Kandungan ayat ini tidak berlaku bagi kaum kuffar (ahli dzimmah)
  6. Pernikahan salah satu jalan membendung perzinaan.

Wallahu a’lam

Maraaji’.

  1. Aisarut-Tafâsîr, Syaikh Abu Bakar Jâbir al-Jazâiri, Maktabah ‘Ulum wal-Hikam, Madinah.
  2. Adhwâ-ul Bayân fi Îdhâhil-Qur`ân bil-Qur`ân, Syaikh Muhammad al-Amin asy-Syinqîthi, Maktabah Ibnu Taimiyyah, Mesir, 1415 H – 1995M.
  3. Al-Jâmi li Ahkâmil-Qur`ân (Tafsir al-Qurthubi), Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshâri al-Qurthubi, Tahqîq: ‘Abdur-Razzâq al-Mahdi, Dârul-Kitâbil-‘Arabi, Cetakan IV, Tahun 1422 H – 2001M.
  4. Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm, al-Hâfizh Abul-Fidâ Ismâ’îl bin ‘Umar bin Katsîr al-Qurasyi, Tahqîq: Sâmi bin Muhammad as-Salâmah, Dar Thaibah, Cetakan I, Tahun 1422 H – 2002 M
  5. Taisîrul-Karîmir-Rahmân, ‘Allâmah Syaikh Abdur-Rahmân bin Nâshir as-Sa’di, Dârul-Mughni, Riyadh, Cet. I, Th. 1419 H – 1999M.
  6. Hirâsatul Fadhîlah, DR. Bakr bin Abdillah Abu Zaid Cet. VII Th. 1421H, tanpa penerbit

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XII/1429/2008M. ]
_______
Footnote
[1]  Adhwâ-ul Bayân (6/218)
[2]  Ahkâmul Qur`ân (3/294), at-Taisîr hal. 612
[3]  Silahkan lihat Ahkâmul Qur`ân (3/292), al- Adhwâ (6/218), at-Taisîr. hal. 612
[4]  al-Aisar (2/845)
[5]  Adhwâ-ul Bayân (6/216)
[6]  at-Taisîr 612, Hirâsatul Fadhîlah hal. 99
[7]  at-Taisîr hal. 612
[8]  Lihat at-Taisîr hal. 612
[9]  Surat an-Nûr ayat 30-31
[10] HR. al-Bukhâri (5065) dan Muslim (1400) dari hadits Ibnu Mas`ûd.
[11]  Adhwâ-ul Bayân (6/218)
[12]  Ibid 217-218
[13]  at-Taisiir hal. 612
[14]  Al-Jâmi li Ahkâmil-Qur`ân (12/220), Ahkâmul Qur`ân (3/295)
[15]  Hirâsatul Fadhîlah hal. 101
[16]  Ibid hal. 100
[17]  Al-Jâmi li Ahkâmil-Qur`ân (12/218)
[18]  Nukilan dari al-Hiraasah 108


=================================================
TAFSIR RINGKAS [An-Nûr/24:37-38]

“Laki-laki” Pada ayat ini disebut hanya laki-laki, karena merekalah yang memakmurkan masjid. Para wanita tidak diwajibkan untuk mengerjakan shalat Jumat dan shalat berjamaah di masjid.

“Yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allâh.”

Dalam ayat ini Allâh hanya menyebutkan perniagaan, karena perniagaanlah yang paling banyak melalaikan manusia dari mengerjakan shalat dan ketaatan, sehingga mereka tidak mendatangi masjid untuk mendirikan shalat.

“Dan (dari) mendirikan shalat,” maksudnya dia tidak terlalaikan dari mengerjakan shalat tepat pada waktunya secara berjamaah.

“Dan (dari) membayarkan zakat,” Apabila datang waktu membayar zakat, mereka membayarnya dan tidak menahannya.

“Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.” Peristiwa ini terjadi di hari kiamat. Hati dan penglihatan mereka menjadi goncang, karena hati mereka bergoncang-goncang antara ketakutan, pengharapan dan kecemasan akan kebinasaan diri mereka, dan karena pandangan-pandangan mereka menoleh ke kanan dan ke kiri, apakah akan dimasukkan ke golongan kanan ataukah golongan kiri, atau apakah mereka akan menerima catatan amalnya dengan tangan kanan ataukah dengan tangan kirinya.

“Supaya Allâh memberikan balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan,” berupa zikrullâh, mengerjakan shalat dan membayar zakat, dibalas sesuai dengan amal-amal shalih yang telah mereka kerjakan. Adapun keburukan-keburukan yang telah mereka lakukan tidak dibalas oleh Allâh Azza wa Jalla .

“Dan supaya Allâh menambah karunia-Nya kepada mereka,” berupa anugerah yang sebenarnya mereka tidak berhak mendapatkannya jika ditimbang dengan apa yang telah mereka lakukan.[1]

“Dan Allâh memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas,” Allâh Azza wa Jalla memberikannya balasan yang lebih tanpa perhitungan dan tanpa takaran. Ini adalah ungkapan yang menunjukkan bahwa balasan tersebut sangat banyak.[2]

PENJABARAN AYAT

Firman Allâh Azza wa Jalla :

رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ

Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allâh dan (dari) mendirikan shalat dan (dari) membayarkan zakat.

Setelah Allâh Azza wa Jalla menyebutkan pada ayat sebelumnya tentang rumah-rumah Allâh yang disyariatkan berzikir di dalamnya di waktu pagi dan petang, maka Allâh Azza wa Jalla menyebutkan sifat-sifat kaum lelaki dari kalangan Shahabat yang mereka tidak terlalaikan dari berzikir kepada Allâh Azza wa Jalla dan juga tidak terlalaikan dari menghadiri shalat lima waktu di masjid pada waktunya, meskipun mereka bekerja sebagai pedagang. Allâh Azza wa Jalla menyuruh orang-orang yang beriman agar tidak lalai dengan semua urusan dunia.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ ۚ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ

Hai orang-orang beriman! Janganlah harta kalian dan anak-anak kalian melalaikan kalian dari mengingat Allâh! Barangsiapa berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi. [Al-Munâfiqûn/63: 9]

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allâh dan tinggalkanlah jual beli yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. [Al-Jumu’ah/62:9]

Imam Ibnu Katsîr rahimahullah menjelaskan tentang ayat kita bahas ini, “Allâh Azza wa Jalla mengabarkan bahwa orang-orang yang disebutkan pada ayat tersebut tidak disibukkan dengan dunia serta keindahan dan kelezatannya dari mengingat Allâh. Mereka tahu bahwa apa-apa yang berada di sisi Allâh jauh lebih baik untuk mereka dan lebih bermanfaat daripada apa yang mereka miliki. Mereka menyadari bahwa harta-harta yang ada pada mereka akan lenyap sedangkan apa-apa yang di sisi Allâh akan kekal. Oleh karena itu, mereka lebih mengedepankan ketaatan dan kecintaan kepada Allâh Azza wa Jalla daripada kecintaan terhadap diri-diri mereka sendiri.”[3]

Imam al-Bukhâri rahimahullah mengatakan, “Qatâdah berkata, ‘Dulu suatu kaum berjual beli dan berniaga, tetapi jika ada hak di antara hak-hak Allâh menghampiri mereka, maka perniagaan dan jual beli tidak melalaikan mereka untuk berzikir kepada Allâh, mereka memenuhi hak tersebut kepada Allâh.”[4]

KEHARUSAN SHALAT BERJAMAAH DI MASJID BAGI LAKI-LAKI

Di antara hak-hak Allâh adalah memenuhi panggilan adzan yang dikumandangkan oleh muadzdzin. Kaum lelaki harus mengerjakan shalat wajib secara berjamaah di masjid. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِهِ ، فَلاَ صَلاَةَ لَهُ ، إِلاَّ مِنْ عُذْرٍ

Barangsiapa mendengar adzan kemudian dia tidak mendatanginya, maka tidak ada shalat baginya, kecuali jika ada uzur[5]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِالصَّلاَةِ فَتُقَامَ ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى مَنَازِلِ قَوْمٍ لاَ يَشْهَدُونَ الصَّلاَةَ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ

Saya telah benar-benar berniat menyuruh untuk dikerjakan shalat dan didirikan shalat tersebut, kemudian saya pergi ke rumah-rumah kaum yang tidak menghadiri shalat (berjamaah), kemudian saya bakar rumah-rumah mereka[6]

Imam at-Tirmidzi rahimahullah mengatakan, “Sebagian ahli ilmu mengatakan bahwa ini adalah bentuk ancaman berat dan keras, serta tidak ada keringanan bagi seorang pun untuk meninggalkan shalat berjamaah, kecuali dia memiliki uzur.”[7]

Dalil-dalil di atas menjelaskan bahwa shalat lima waktu harus dikerjakan oleh laki-laki di masjid, kecuali ada uzur. Dan uzur-uzur seseorang boleh meninggalkan shalat berjamaah tercantum di buku-buku fiqh.

Adapun para wanita, mereka mengerjakan shalat fardhu di rumah. Ini lebih afdhal bagi mereka. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

صَلاَةُ الْمَرْأَةِ فِى بَيْتِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلاَتِهَا فِى حُجْرَتِهَا وَصَلاَتُهَا فِى مَخْدَعِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلاَتِهَا فِى بَيْتِهَا

Shalat seorang wanita di dalam rumahnya lebih utama daripada shalat-nya di ruang tamunya. Shalat-nya di dalam ruang yang tertutup lebih baik daripada shalat-nya di dalam rumahnya.[8]

Meskipun demikian, wanita boleh shalat berjamaah di masjid jika tidak dikhawatirkan terjadi fitnah.

ANCAMAN UNTUK PARA PEDAGANG

Pedagang adalah pekerjaan yang sangat menyibukkan. Oleh karena itu, jika dia tidak mencari sebab-sebab yang dapat meningkatkan ketakwaannya, maka dia akan menjadi lalai dari berzikir kepada Allâh, dia akan terjatuh kepada hal-hal yang sia-sia dan dia akan terjerumus ke dalam perbuatan-perbuatan dosa, seperti: dusta, khianat, sumpah palsu, penipuan dan lain-lain.

Para pedagang akan mendapatkan banyak ujian ketika berdagang. Jika dia tidak memiliki benteng yang kuat, maka dia akan terjatuh kepada banyak perbuatan dosa. Oleh karena itu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyampaikan ancaman kepada mereka. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ التُّجَّارَ هُمُ الْفُجَّارُ قَالَ: قِيلَ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَوَلَيْسَ قَدْ أَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ؟ قَالَ: بَلَى، وَلَكِنَّهُمْ يُحَدِّثُونَ فَيَكْذِبُونَ ، وَيَحْلِفُونَ ، وَيَأْثَمُونَ

Sesungguhnya para pedagang adalah orang yang fajir (pelaku maksiat).” Beliau pun ditanya, “Bukankah Allâh telah menghalalkan jual beli?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Ya, tetapi mereka berbicara kemudian berdusta, dan mereka bersumpah dan berdosa.”[9]

Begitu pula sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِنَّ التُّجَّارَ يُحْشَرُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فُجَّارًا إِلا مَنِ اتَّقَى وَبَرَّ وَصَدَقَ

Sesungguhnya para pedagang akan dikumpulkan di hari kiamat sebagai orang yang fajir, kecuali orang yang bertakwa, berbuat kebajikan dan jujur[10]

CONTOH BENTUK KEATAATAN PARA SALAF KETIKA MEREKA BERDAGANG

Para Shahabat g adalah orang yang sangat bertakwa kepada Allâh Azza wa Jalla . Allâh Azza wa Jalla memilih mereka untuk menjadi para Shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dunia. Perdagangan tidak menyibukkan mereka dari berzikir kepada Allâh Azza wa Jalla dan dari mengerjakan shalat lima waktu di masjid.

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma bahwasanya beliau Radhiyallahu anhu menafsirkan ayat yang artinya “Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allâh” (beliau Radhiyallahu anhuma tafsirkan-red) dengan “tidak terlalaikan dari mengerjakan shalat yang diwajibkan.”[11]

Mereka mengerjakan shalat lima waktu di masjid, kecuali mereka memiliki uzur.

Banyak sekali nukilan-nukilan atau atsar-atsar di kitab-kitab tafsir menyebutkan hal tersebut.[12] Di antaranya adalah apa yang dikatakan oleh Imam Mathar bin Thahmaan al-Warrâq rahimahullah (wafat 125 H), beliau mengatakan, “Adapun mereka (para sahabat), dulu mereka membeli dan berjualan, akan tetapi, jika seorang di antara mereka mendengar adzan sedangkan timbangannya berada di tangannya, maka dia turunkan timbangan tersebut dan memenuhi panggilan shalat.”[13]

SAHABAT YANG SENGAJA BERDAGANG

Pujian Allâh Azza wa Jalla pada ayat ini sangatlah besar kepada para lelaki yang tidak terlalaikan oleh urusan dunia. Oleh karena itu, di antara Shahabat ada yang sengaja bekerja sebagai pedagang agar mendapatkan keutamaan yang disebutkan pada ayat ini. Di antaranya adalah Shahabat yang bernama Abu Dardâ’ Radhiyallahu anhu. Beliau Radhiyallahu anhu mengatakan:

إِنِّيْ قُمْتُ عَلَى هَذَا الدَّرَجِ أُبَايِعُ عَلَيْه، أَرْبَحُ كُلَّ يَوْمٍ ثَلَاثَمِائَةَ دِيْنَارٍ، أَشْهَدُ الصَّلَاةَ فِيْ كُلِّ يَوْمٍ فِيْ الْمَسْجِدِ، أَمَا إِنِّي لَا أَقُوْلُ: “إِنَّ ذَلِكَ لَيْسَ بِحَلَالٍ” وَلَكِنِّي أُحِبُّ أَنْ أَكُوْنَ مِنَ الَّذِيْنَ قَالَ اللهُ: { رِجَالٌ لا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ }.

Sesungguhnya saya berdiri di jalan ini untuk berjualan. Saya mendapatkan keuntungan tiga ratus dinar sehari. Saya shalat setiap hari di masjid. Saya tidak mengatakan bahwa harta tersebut tidak halal, tetapi saya ingin menjadi orang yang termasuk dalam firman Allâh (yang artinya), ‘Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allâh.[14]

CARA MENGHILANGKAN HAL-HAL YANG SIA-SIA KETIKA BERJUAL BELI

Jual beli itu penuh dengan banyak ujian, dosa dan perbuatan sia-sia. Oleh karena itu, seorang Mukmin harus memikirkan bagaimana cara menghapuskan dosa-dosa dalam perdagangannya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah memberikan arahan dalam hal ini. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh para pedagang untuk banyak bersedekah.

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَا مَعْشَرَ التُّجَّارِ إِنَّ الْبَيْعَ يَحْضُرُهُ اللَّغْوُ وَالْحَلِفُ فَشُوبُوهُ بِالصَّدَقَةِ

Wahai para pedagang! Sesungguhnya hal-hal yang sia-sia dan sumpah menghadiri jual beli. Oleh karena itu, bersihkanlah hal tersebut dengan bersedekah.[15]

Firman Allâh Azza wa Jalla :

يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ

Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.[An-Nur/24 : 37]

Mengapa mereka takut dengan hal tersebut? Karena hari kiamat adalah hari yang penuh dengan hal-hal yang menakutkan dan sangat menegangkan. Mereka memikirkan keselamatan diri-diri mereka dari pembalasan Allâh Azza wa Jalla . Apakah Allâh Azza wa Jalla akan membalas seluruh amal keburukan dan dosa yang pernah mereka lakukan ataukah Allâh akan mengampuninya?

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:

وَأَنْذِرْهُمْ يَوْمَ الْآزِفَةِ إِذِ الْقُلُوبُ لَدَى الْحَنَاجِرِ كَاظِمِينَ

Berilah mereka peringatan dengan hari yang dekat (hari kiamat yaitu) ketika hati (menyesak) sampai di kerongkongan dengan menahan kesedihan. [Ghâfir/40:18]

Begitu pula firman Allâh Azza wa Jalla :

وَلَا تَحْسَبَنَّ اللَّهَ غَافِلًا عَمَّا يَعْمَلُ الظَّالِمُونَ ۚ إِنَّمَا يُؤَخِّرُهُمْ لِيَوْمٍ تَشْخَصُ فِيهِ الْأَبْصَارُ

Dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira, bahwa Allâh lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim. Sesungguhnya Allâh memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak [Ibrâhîm/14:42]

Begitu pula firman Allâh Azza wa Jalla , yang artinya:

Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridaan Allâh, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. Sesungguhnya kami takut akan (azab) Rabb kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan. Lalu Allâh memelihara mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan kepada mereka kejernihan (wajah) dan kegembiraan hati. Dan Dia memberi balasan kepada mereka karena kesabaran mereka, (dengan) surga dan (pakaian) sutera. [Al-Insân/76:8-12]

Firman Allâh Azza wa Jalla :

لِيَجْزِيَهُمُ اللَّهُ أَحْسَنَ مَا عَمِلُوا

(Mereka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allâh memberikan balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan,

Allâh Azza wa Jalla berjanji akan menerima amalan-amalan shalih mereka dan membalasnya dengan balasan yang baik, serta Allâh Azza wa Jalla mengampuni dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan mereka di dunia.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ ۖ وَإِنْ تَكُ حَسَنَةً يُضَاعِفْهَا وَيُؤْتِ مِنْ لَدُنْهُ أَجْرًا عَظِيمًا

Sesungguhnya Allâh tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar dzarrah, dan jika ada kebajikan sebesar dzarrah, niscaya Allâh akan melipatgandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar. [An-Nisâ’/4:40]

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:

مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا ۖ وَمَنْ جَاءَ بِالسَّيِّئَةِ فَلَا يُجْزَىٰ إِلَّا مِثْلَهَا وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ

Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya. Dan barangsiapa yang membawa perbuatan jahat, maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikit pun tidak dianiaya (dirugikan). [Al-An’âm/6:160]

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:

مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً 

Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allâh, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allâh), maka Allâh akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. [Al-Baqarah/2:245]

Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ ۗ وَاللَّهُ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ

Dan supaya Allâh menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allâh memberi rezki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas.

Ketika menyebutkan ayat:

لِيُوَفِّيَهُمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ

Agar Allâh menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. [Fathir/35:30]

‘Abdullaah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu menafsirkan “pahala mereka” dengan “memasukkannya ke dalam surga”, dan “dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya” ditafsirkan dengan “memberikannya (hak untuk memberikan) syafaat kepada orang-orang yang berhak mendapatkan syafaat untuk orang-orang yang pernah berbuat kebaikan kepada mereka di dunia.”[16]

KESIMPULAN

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
Meskipun berdagang adalah pekerjaan yang sangat menyibukkan, sudah sepantasnya seorang Mukmin tidak terlalaikan dengannya. Dia harus ingat kepada Allâh dan tidak lupa untuk memenuhi hak-hak Allâh Azza wa Jalla .
Para Shahabat adalah panutan yang baik. Perdagangan tidak menyibukkan mereka dari berzikir kepada Allâh dan menghadiri shalat berjamaah pada waktunya.
Para pedagang harus memiliki benteng ketakwaan dan keimanan yang kuat, jika tidak, maka dia akan terjatuh kepada banyak perbuatan dosa dan dibangkitkan di hari kiamat sebagai orang yang fajir (pelaku maksiat).
Hari kiamat adalah hari yang penuh dengan hal-hal yang menakutkan dan sangat menegangkan.
Allâh Azza wa Jalla menjanjikan untuk menerima amalan-amalan shalih dari orang-orang yang tidak lalai mengingat-Nya dan membalasnya dengan balasan yang baik dan berlipat ganda, serta Allâh akan mengampuni dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan mereka di dunia.

Demikian tulisan ini. Mudahan bermanfaat. Mudah-mudahan Allâh l menerima dan melipatgandakan amalan-amalan shalih yang kita lakukan serta menghapuskan seluruh dosa-dosa kita dan tidak mencatat kita sebagai orang yang lalai. Aamiin.

DAFTAR PUSTAKA
Aisarut-Tafâsîr li kalâm ‘Aliyil-Kabîr. Jâbir bin Musa Al-Jazâiri. Al-Madinah: Maktabah Al-‘Ulûm wal-hikam
Al-Jâmi’ Li Ahkâmil-Qur’ân. Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi. Kairo: Dâr Al-Kutub Al-Mishriyah.
Jâmi’ul-bayân fî ta’wîlil-Qur’ân. Muhammad bin Jarîr Ath-Thabari. 1420 H/2000 M. Beirut: Muassasah Ar-Risâlah.
Ma’âlimut-tanzîl. Abu Muhammad Al-Husain bin Mas’ûd Al-Baghawi. 1417 H/1997 M. Riyâdh:Dâr Ath-Thaibah.
Tafsîr Al-Qur’ân Al-‘Adzhîm. Ismâ’îl bin ‘Umar bin Katsîr. 1420 H/1999 M. Riyâdh: Dâr Ath-Thaibah.
Taisîr Al-Karîm Ar-Rahmân. Abdurrahmân bin Nâshir As-Sa’di. Beirut: Muassasah Ar-Risâlah.
Tafsiir Ibni Abii Haatim. Abu Muhammad ‘Abdurrahman bin Abi Haatim Ar-Raazi. Shiidaa: Al-Maktabah Al-‘Ashriyah.
Dan lain-lain. Sebagian besar telah tercantum di footnotes.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XVIII/1436H/2015M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079 ]
_______
Footnote
[1] Lihat Tafsîr al-Baghawi VI/51.

[2] Lihat Tafsîr as-Sa’di, hlm. 569.

[3] Lihat Tafsîr Ibni Katsîr VI/68.

[4] Dicantumkan Imam al-Bukhâri dalam Shahîh-nya sebelum hadits no. 2060.

[5] HR. Ibnu Mâjah no. 793. Syaikh al-Albani menyatakan shahîh dalam al-Irwâ’ (II/337).

[6] HR. Al-Bukhâri, no. 2420

[7] Catatan beliau terhadap hadits no. 217 dalam Sunan at-Tirmidzi

[8] HR Abu Dawud no. 570. Syaikh al-Albani menyatakan shahih dalam Shahîh Sunan Abi Dawud.

[9] HR Ahmad no. 15530. Syaikh Syu’aib al-Arnauth dkk menyatakan, “Hadits ini shahih, sanadnya kuat.”

[10] HR. Ath-Thahâwi dalam Syarh Musykil al-Âtsâr X/331 no. 2083 dan at-Thabrâni dalam al-Mu’jam al-Kabîr no. 4411 dari Rifâ’ah dan al-Baihaqi dalam asy-Syu’ab VI/484 no. 4507 dari al-Barâ’ bin ‘Âzib. Syaikh al-Albani menyatakan shahiih dalam ash-Shahîhah no. 994 dan 1458.

[11] Tafsîr ath-Thabari IXX/193, no. 26358.

[12] Sengaja penulis hanya menukil satu perkataan saja, karena atsar-atsar yang terdapat di buku-buku tafsir tersebut yang berbicara tentang ayat, setelah penulis teliti, ternyata hampir seluruhnya lemah.

[13] Tafsîr Ibnu Abi Hâtim VIII/2608, no. 14653.

[14] Tafsîr Ibnu Abi Hâtim VIII/2607, no. 14648.

[15] HR Abu Dawud no. 3328, An-Nasai no. 4463 dan Ibnu Mâjah no. 2145. Syaikh al-Albani menyatakan shahih dalam Shahîh Sunan Ibni Mâjah.

[16] HR. At-Thabraani dalam al-Mu’jam al-Kabîr, no. 10310

Related Posts:

0 Response to "Tafsir An Nur Ayat 32-40"

Post a Comment