Tafsir At Taubah Ayat 25-35

Ayat 25-27: Senjata dan perlengkapan tidaklah dipandang dalam peperangan, tetapi keimanan yang benar, ikhlas kepada Allah Subhaanahu wa Ta'aala dan cinta para sahabat kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam itulah yang dipandang

لَقَدْ نَصَرَكُمُ اللَّهُ فِي مَوَاطِنَ كَثِيرَةٍ وَيَوْمَ حُنَيْنٍ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنْكُمْ شَيْئًا وَضَاقَتْ عَلَيْكُمُ الأرْضُ بِمَا رَحُبَتْ ثُمَّ وَلَّيْتُمْ مُدْبِرِينَ (٢٥) ثُمَّ أَنْزَلَ اللَّهُ سَكِينَتَهُ عَلَى رَسُولِهِ وَعَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَأَنْزَلَ جُنُودًا لَمْ تَرَوْهَا وَعَذَّبَ الَّذِينَ كَفَرُوا وَذَلِكَ جَزَاءُ الْكَافِرِينَ (٢٦) ثُمَّ يَتُوبُ اللَّهُ مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ عَلَى مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (٢٧

Terjemah Surat At Taubah Ayat 25-27

25. Sungguh, Allah telah menolong kamu (mukminin) di banyak medan perang[1], dan (ingatlah) perang Hunain[2], ketika jumlahmu yang besar itu membanggakan kamu, tetapi (jumlah yang banyak itu) sama sekali tidak berguna bagimu, dan bumi yang luas itu terasa sempit bagimu, kemudian kamu berbalik ke belakang dan lari tunggang langgang.

26. Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang yang beriman, dan Dia menurunkan bala tentara (para malaikat) yang tidak terlihat olehmu, dan Dia menimpakan azab kepada orang-orang kafir[3]. Itulah balasan bagi orang-orang kafir[4].

27. Setelah itu Allah menerima tobat orang yang Dia kehendaki[5]. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang[6].

Ayat 28-29: Larangan bagi kaum musyrik memasuki Masjidil Haram dan wajibnya memerangi orang-orang kafir yang melakukan permusuhan

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَذَا وَإِنْ خِفْتُمْ عَيْلَةً فَسَوْفَ يُغْنِيكُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ إِنْ شَاءَ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (٢٨) قَاتِلُوا الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلا بِالْيَوْمِ الآخِرِ وَلا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ (٢٩

Terjemah Surat At Taubah Ayat 28-29

28. Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis[7], karena itu janganlah mereka mendekati Masjidilharam[8] setelah tahun ini[9]. Dan jika kamu khawatir menjadi miskin[10] (karena orang kafir tidak datang), maka Allah nanti akan memberikan kekayaan kepadamu dari karunia-Nya[11], jika Dia menghendaki[12]. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana[13].

29.[14] Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, mereka yang tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya[15] dan mereka yang tidak beragama dengan agama yang benar (agama Islam)[16], (Yaitu orang-orang) yang telah diberikan kitab[17], hingga mereka membayar jizyah (pajak)[18] dengan patuh[19] sedang mereka dalam keadaan tunduk[20].

Ayat 30-31: Rusaknya ‘aqidah Ahli Kitab karena menisbatkan anak kepada Allah Subhaanahu wa Ta'aala, dan bahwa Dia bersih dari sekutu dan serupa dengan makhluk-Nya

وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللَّهِ ذَلِكَ قَوْلُهُمْ بِأَفْوَاهِهِمْ يُضَاهِئُونَ قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَبْلُ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ (٣٠) اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لا إِلَهَ إِلا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ (٣١

Terjemah Surat At Taubah Ayat 30-31

30.[21] Orang-orang Yahudi berkata, "Uzair itu putera Allah."[22] Dan orang-orang Nasrani berkata, "Al Masih putera Allah.” Itulah ucapan yang keluar dari mulut mereka[23]. Mereka meniru ucapan orang-orang kafir yang terdahulu[24]. Allah melaknat mereka; bagaimana mereka sampai berpaling[25]?

31. Mereka menjadikan orang-orang alim, dan rahib-rahibnya (ahli ibadahnya) sebagai tuhan selain Allah[26], dan (juga) Al Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh[27] menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Mahasuci Dia dari apa yang mereka persekutukan.

Ayat 32-33: Sikap orang-orang kafir terhadap agama Allah dan usaha batil mereka untuk memadamkan cahaya Allah, serta janji Allah untuk menolong agama-Nya

يُرِيدُونَ أَنْ يُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللَّهُ إِلا أَنْ يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ (٣٢) هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ (٣٣)

Terjemah Surat At Taubah Ayat 32-33

32.[28] Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, tetapi Allah menolaknya[29], malah berhendak menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang kafir itu tidak menyukai.

33.[30] Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk (Al-Quran)[31] dan agama yang benar[32] untuk diunggulkan atas segala agama[33], walaupun orang-orang musyrikin tidak menyukai.

Ayat 34-35: Peringatan terhadap ulama jahat dan para pemimpin kesesatan di setiap waktu dan tempat, dan pentingnya mengeluarkan zakat mal

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الأحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ (٣٤) يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَذَا مَا كَنَزْتُمْ لأنْفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُونَ (٣٥

Terjemah Surat At Taubah Ayat 34-35

34. Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya banyak dari orang-orang alim dan rahib-rahib mereka benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil[34], dan (mereka) menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah[35]. Dan[36] orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menginfakkannya di jalan Allah[37], maka berikanlah kabar gembira kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) azab yang pedih,

35.[38] (ingatlah) pada hari ketika emas dan perak dipanaskan dalam neraka Jahannam, lalu dengan itu diseterika dahi, lambung dan punggung mereka (seraya dikatakan) kepada mereka, "Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah (akibat dari) apa yang kamu simpan itu[39]."

@ Bila mereka tidak bersyukur, maka seluruh harta tersebut akan berubah menjadi petaka dan siksa baginya.

KANDUNGAN AYAT

[1] Seperti pada perang Badar, Bani Quraizhah dan Bani Nadhir.

[2] Hunain adalah nama sebuah lembah yang berada di antara Mekah dan Tha’if. Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menaklukkan Mekah, Beliau mendengar bahwa kabilah Hawazin sedang berkumpul untuk memerangi Beliau, maka Beliau berangkat bersama para sahabat yang ikut menaklukkan Mekah serta bersama beberapa orang yang baru masuk Islam, sehingga jumlah mereka 12.000 orang (10.000 dari kaum muslimin yang berangkat dari Madinah untuk Fat-hu Makkah dan 2000 orang penduduk Makkah yang masih baru masuk Islam), sedangkan musuh berjumlah 4.000 orang. Lalu sebagian kaum muslimin merasa bangga dengan jumlah mereka sampai-sampai mereka berkata, “Pada hari ini kita tidak akan dikalahkan karena jumlah yang sedikit”. Pada hari Sabtu 6 Syawwal tahun 8 Hijriah, Beliau bersama pasukannya berangkat menuju ke tempat musuh. Orang-orang Hawazin dan Tsaqif telah memilih tempat yang strategis, yaitu tanah pegunungan yang berbukit-bukit dan berliku-liku. Mereka bersembunyi di balik bukit-bukit menunggu tentara kaum muslimin lewat di jalan sempit bawahnya. Ketika kaum muslimin tiba di tempat tersebut yang bernama lembah Hunain, datanglah serbuan yang mendadak dari musuh. Tentara kaum muslimin menjadi panik dan lari bercerai berai. Adapun Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tetap berada di atas bagalnya yang putih, dan tidak ada yang bersamanya selain urang lebih 100 orang yang tetap di tempatnya melawan kaum musyrik. Sedangkan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri mengarahkan bagalnya kepada kaum musyrik sambil berkata, “Saya Nabi tidak berdusta! Saya putera Abdul Muththalib.” Namun Abu Sufyan dan Abbas menahan bagal Beliau agar tidak segera maju. Kemudian Beliau berusaha menghimpun kembali pasukan kaum muslimin yang kacau balau itu. Beliau memerintahkan Abbas bin Abdul Muththalib seorang yang keras suaranya untuk menyeru kaum muslim. Beliau bersabda, “Wahai Abbas! Panggil orang-orang yang berbai’at di bawah pohon (Bai’atur ridhwan),” Lalu Abbas berkata dengan suara keras, “Di mana orang-orang yang berbai’at di bawah pohon (Bai’atur ridhwan)?”, maka ketika kaum muslimin mendengar suaranya, mereka pun berbalik seperti berbaliknya sapi mendatangi anak-anaknya, serangan pembalasan kemudian dilancarkan sampai musuh dapat dikalahkan. Sisa pasukan musuh yang kalah, melarikan diri ke Tha’if. Dalam benteng Tha’if inilah musuh mempertahankan diri. Beberapa waktu lamanya musuh mempertahankan diri, namun tidak berhasil juga ditundukkan. Akhirnya Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam pulang ke Ja’ranah, tempat tawanan dan rampasan-rampasan, meninggalkan benteng itu, tetapi sudah memblokir daerah sekitarnya. Di Ja’ranah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam didatangi oleh delegasi (utusan) Hawazin. Mereka menyatakan tobat kepada Allah dan masuk Islam. Hawazin meminta kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam agar harta benda dan kaum keluarga mereka yang ditawan dibebaskan dan dikembalikan kepada mereka. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan kaum muslimin tidak keberatan memenuhi permintaan mereka; semua tawanan dan rampasan dari mereka pun dikembalikan seluruhnya. Sedangkan penduduk Tha’if, karena tidak tahan menderita akibat pemblokiran kaum muslimin akhirnya mereka mengirimkan delegasi kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menyampaikan keinginan mereka memeluk Islam. Dengan demikian berakhirlah peperangan dengan kabilah Tsaqif itu.

[3] Dengan mengalahkan dan menjadikan mereka terbunuh, dan menjadikan kaum muslimin menguasai istri, anak dan harta mereka.

[4] Di dunia Allah mengazab mereka seperti yang sudah diterangkan, sedangkan di akhirat mereka dikembalikan kepada azab yang pedih. Na’uudzu billahi min dzaalik tsumma na’uudzu billah.

[5] Dengan menjadikan mereka masuk Islam dan mengembalikan kepada mereka harta rampasan yang sebelumnya diambil.

[6] Allah memiliki ampunan yang luas dan rahmat yang merata, Dia memaafkan dosa-dosa besar bagi orang-orang yang bertobat dan merahmati mereka dengan memberinya taufiq untuk bertobat dan taat, memaafkan tindakan buruk mereka dan menerima tobat mereka. Oleh karena itu, janganlah ada seorang yang berputus asa dari ampunan dan rahmat-Nya meskipun ia telah melakukan dosa yang demikian besar dan banyak.

[7] Dalam aqidah dan amalnya. Aqidah mereka syirk, sedangkan amal mereka adalah menentang Allah, menghalangi manusia dari jalan Allah, membela yang batil, menolak yang hak, mengadakan kerusakan di bumi dan tidak memperbaikinya. Oleh karena itu, hendaknya kamu bersihkan rumah yang paling mulia di muka bumi dari mereka itu (orang-orang musyrik).

Perlu diketahui, bahwa najis di sini bukan berarti bahwa badan mereka bernajis, karena orang kafir sebagaimana yang lainnya suci badannya, alasannya karena Allah Ta’ala membolehkan menggauli wanita Ahli Kitab dan tidak memerintahkan untuk membasuh bagian yang terkena olehnya, demikian juga karena kaum muslimin senantiasa bersentuhan badan dengan orang-orang kafir, dan tidak ada nukilan bahwa mereka menganggapnya jijik sebagaimana mereka menganggap jijik barang najis. Oleh karena itu, najis di sini adalah najis maknawi karena perbuatan syirk, sebagaimana tauhid dan iman merupakan kesucian, sedangkan syirk adalah najis.

[8] Maksudnya tidak dibenarkan mengerjakan haji dan umrah. Menurut pendapat yang lain, bahwa kaum musyrikin itu tidak boleh masuk ke tanah Haram baik untuk keperluan haji dan umrah atau untuk keperluan yang lain.

[9] Maksudnya setelah tahun 9 Hijrah, ketika Abu Bakar memimpin jamaah haji kaum muslimin, dan ketika itu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengutus Ali bin Abi Thalib untuk membacakan ayat “bara’ah” pada hari haji akbar, ia juga diperintahkan menyerukan bahwa, “Orang musyrik tidak boleh berhaji setelah tahun ini, dan tidak boleh bertawaf dengan telanjang.”

[10] Karena mencegah orang musyrikin mengerjakan haji dan umrah atau mendekati Masjidilharam, sehingga pencaharian orang-orang Muslim boleh jadi berkurang, dan kaum musyrikin tidak berbelanja lagi kepada kaum muslimin.

[11] Karena sesungguhnya rezeki-Nya tidak terbatas hanya melalui satu pintu, bahkan tidaklah satu pintu ditutup kecuali akan dibukakan pintu-pintu lainnya yang banyak, karena karunia Allah begitu luas terlebih bagi mereka yang meninggalkan sesuatu karena Allah, dan lagi Allah Subhaanahu wa Ta'aala telah mengayakan mereka dengan berbagai fath (penaklukkan) dan jizyah (pajak). Dan Allah Subhaanahu wa Ta'aala telah memenuhi janji-Nya, Dia telah mengayakan kaum muslimin dengan karunia-Nya dan membuka lebar-lebar rezeki kepada mereka, sehingga mereka menjadi orang-orang yang kaya.

[12] Kata-kata “Jika Dia menghendaki” menunjukkan pengkaitan kaya jika dikehendaki-Nya. Hal itu, karena kaya di dunia bukan termasuk lawazim (hal yang menempel) dengan keimanan, dan tidak menunjukkan kecintaan Allah. Oleh karena itu, Dia mengaitkannya dengan kata-kata “Jika Dia menghendaki”, karena sesungguhnya Allah memberikan dunia kepada orang yang Dia cintai dan orang yang tidak Dia cintai, dan tidak memberikan iman dan agama selain kepada orang yang Dia cintai.

[13] Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, Dia mengetahui orang yang layak menjadi kaya dan yang tidak layak, serta meletakkan sesuatu pada tempatnya.

[14] Ayat ini memerintahkan untuk memerangi orang-orang kafir dari kalangan Yahudi dan Nasrani.

[15] Mereka tidak mengikuti syari’at-Nya dalam mengharamkan perkara-perkara haram, seperti menghalalkan khamr atau minuman keras.

[16] Karena agama mereka sudah dirubah atau sudah dimansukh dengan syari’at Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, sedangkan berpegang dengan yang sudah dimansukh tidak boleh.

[17] Yaitu orang-orang Yahudi dan Nasrani.

[18] Jizyah ialah pajak per-kepala yang dipungut oleh pemerintah Islam dari orang-orang yang bukan Islam agar mereka tidak diperangi dan dapat mukim dengan aman di tengah-tengah kaum muslimin. Pajak tersebut diambil dari mereka setiap tahun sesuai keadaannya; kaya, miskin, atau pertengahan sebagaimana yang dilakukan Amirul Mukminin Umar bin Khaththab dan lainnya dari kalangan umara (pemerintah) kaum muslimin.

[19] Kata-kata ‘an yadin” bisa berarti patuh, dan bisa berarti bahwa mereka menyerahkannya dengan tangan mereka tanpa mewakilkan kepada yang lain atau menyerahkannya dalam keadaan hina.

[20] Yakni dalam keadaan hina dan tunduk kepada hukum Islam. Jika keadaan mereka seperti ini, mereka meminta kaum muslimin mengakui mereka dengan membayar jizyah, sedangkan mereka berada di bawah hukum dan keuasaan kaum muslimin, mereka juga tunduk kepada syarat-syarat yang diberlakukan kaum muslimin untuk menghilangkan ‘izzah mereka dan kesombongan mereka, maka wajib bagi imam atau wakilnya melakukan akad jizyah dengan mereka. Jumhur ulama berdalih dengan ayat ini, bahwa jizyah tidaklah diambil kecuali dari Ahli Kitab, karena Allah tidak menyebutkan pemungutan jizyah selain dari mereka. Adapun selain mereka, maka tidak disebutkan selain memerangi mereka sampai masuk Islam. Namun dihubungkan dengan Ahli Kitab dan dibiarkan tinggal di tengah kaum muslimin adalah orang-orang Majusi, karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengambil jizyah dari Majusi Hajar, lalu Umar radhiyallahu 'anhu memungut pula dari orang-orang Persia yang beragama Majusi. Di antara ulama ada pula yang berpendapat, bahwa jizyah dipungut pula dari semua orang kafir, baik Ahli Kitab maupun selain mereka, karena ayat ini turun setelah selesai memerangi orang-orang Arab yang musyrik dan mulai memerangi Ahli Kitab dan yang semisal mereka sehingga batasan hanya kepada Ahli Kitab hanya bersifat pengabaran dengan kenyataan, dan tidak diambil mafhumnya. Hal ini ditunjukkan pula oleh pemungutan jizyah dari orang-orang Majusi padahal mereka bukan Ahli Kitab, demikian juga karena telah mutawatir dari kaum muslimin yang mereka terima dari para sahabat dan setelah mereka, bahwa mereka mengajak orang-orang yang mereka perangi kepada tiga hal; masuk Islam, membayar jizyah atau perang tanpa membedakan apakah mereka Ahli Kitab atau bukan.

[21] Setelah Allah Subhaanahu wa Ta'aala memerintahkan memerangi Ahli Kitab, Allah menyebutkan di antara perkataan mereka yang kotor yang mendorong kaum mukmin yang memiliki kecemburuan kepada Allah dan kepada agama mereka untuk memerangi mereka dan mengerahkan tenaga semampunya dala memerangi mereka.

[22] Ucapan ini meskipun tidak diucapkan oleh semua orang-orang Yahudi, namun diucapkan oleh sebagian mereka yang menunjukkan bahwa di dalam orang-orang Yahudi terdapat kekotoran dan keburukan yang membuat mereka berani berkata seperti ini dan mencacatkan keagungan Allah Subhaanahu wa Ta'aala. Ada yang berpendapat, bahwa sesbab mereka mengatakan Uzair putera Allah adalah karena ketika Allah memberikan kekuasaan kepada raja-raja untuk menguasa Bani Israil dan menghancurkan mereka sehancur-hancurnya, serta mereka bunuh para pemikul Taurat, lalu mereka menemukan ‘Uzair yang hapal kitab itu atau sebagian besarnya, lalu ia mengimla (mendikte)kan melalui hapalannya, dan orang-orang menyalinnya, maka mereka pun mengatakan kata-kata keji itu, Mahasuci Allah dari perkataan yang keji itu.

[23] Tanpa berdasar sama sekali.

[24] Yakni bertaqlid dengan mereka atau bertaqlid dengan orang-orang musyrik yang mengatakan bahwa para malaikat adalah puteri Allah, hati mereka sama sehingga ucapannya pun tidak jauh beda.

[25] Yakni bagaimana mereka bisa dipalingkan dari kebenaran padahal keterangan dan buktinya jelas. Sungguh aneh, mengapa umat yang besar bisa sepakat terhadap suatu perkataan yang jelas batilnya berdasarkan akal pikiran jika mereka mau berpikir. Sudah barang tentu, ada sebab yang membuat mereka berkata seperti itu, yaitu karena mereka menjadikan ulama mereka dan ahli ibadah mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah sebagaimana diterangkan dalam ayat selanjutnya.

[26] Maksudnya mereka mematuhi ajaran orang-orang alim dan rahib-rahib mereka dengan membabi buta, meskipun orang-orang alim dan rahib itu menyuruh berbuat maksiat atau mengharamkan yang halal atau mensyari’atkan sesuatu yang tidak disyari’atkan atau mengatakan kata-kata yang menyalai agama para rasul. Mereka juga berbuat ghuluw (berlebihan) terhadap para tokoh mereka dan memuliakan mereka secara berlebihan, serta menjadikan kuburan mereka sebagai sembahan-sembahan selain Allah, di mana kepadanya sembelihan, doa dan permohonan ditujukan. Inilah sebabnya mengapa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang umatnya menjadikan kuburnya sebagai masjid.

# ketika para ulama dan ahli ibadah itu menghalalkan untuk mereka apa yang diharamkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, mereka mengikuti penghalalan tersebut. Ketika mereka mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, mereka juga mengikuti pengharaman tersebut. Bahkan, ketika para ulama dan ahli ibadah tersebut menetapkan suatu syariat yang baru dalam agama mereka yang bertentangan dengan ajaran para rasul itu, mereka juga mengikutinya.

[27] Dalam Taurat dan Injil, serta melalui lisan rasul-rasul.

[28] Setelah jelas, bahwa mereka tidak memiliki hujjah terhadap apa yang mereka katakan dan tidak memiliki keterangan yang mereka jadikan sebagai pijakan, bahkan perkataan itu hanya semata-mata mengada-ada dan membuat kedustaan, maka dalam ayat ini Allah Subhaanahu wa Ta'aala memberitahukan, bahwa mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut-mulutnya. Cahaya di sini adalah agama-Nya yang disampaikan oleh para rasul-Nya, dan yang disebutkan dalam kitab-kitab yang diturunkan-Nya, berupa syari’at dan penguatnya (bukti-buktinya). Allah menamainya sebagai cahaya, karena ia merupakan cahaya yang menerangi gelapnya kebodohan dan agama-agama yang batil. Agama tersebut mengandung pengetahuan terhadap kebenaran dan pengamalannya, adapun selainnya adalah kesesatan. Nah, orang-orang Yahudi, Nasrani dan orang-orang yang serupa dengan mereka yang terdiri dari kaum musyrik ingin memadamkan cahaya Allah melalui perkataan mereka yang sama sekali tidak memiliki dasar.

[29] Meskipun mereka berkumpul bersama untuk memadamkanya.

# Bagaimanapun usaha kaum kafirin, kaum munafikin, dan siapapun yang mengikuti jejak mereka untuk menjatuhkan dan menghinakan Islam, sungguh Islam takkan terpengaruh, Islam akan tetap terjaga dengan baik, karena Allah telah menjamin untuk menjaganya.yakinlah bahwa usaha mereka akan sia-sia, mereka semua akan hilang sebagaimana para pendahulunya, dan Islam akan tetap tegak berdiri di muka bumi ini.Agama yang dijamin Allah akan selalu hidup sempurna di muka bumi
[30] Di ayat ini, Allah memperjelas kembali, bahwa cahaya itu akan disempurnakan-Nya dan akan dijaga-Nya.

[31] Bisa juga berarti ilmu.

[32] Yakni amal saleh. Oleh karena itu, isi agama yang dibawa Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam adalah menerangkan kebenaran, baik dalam nama Allah, sifat-Nya maupun perbuatan-Nya, hukum-hukum–Nya, berita-berita-Nya dan memerintahkan semua yang memberikan maslahat bagi hati, ruh dan badan berupa ikhlas, cinta kepada Allah dan beribadah kepada-Nya, memerintahkan akhlak mulia, amal yang saleh dan adab-adab yang baik, serta melarang semua yang bertentangan dengan itu berupa akhlak dan amal yang buruk lagi membahayakan hati, ruh dan badan di dunia dan akhirat.

[33] Dengan ilmu dan senjata meskipun orang-orang musyrik membenci dan telah membuat tipu daya yang besar untuk memusnahkannya, karena sesungguhnya makar yang buruk tidaklah menimpa selain kepada pembuatnya, dan Allah telah berjanji untuk menyempurnakan cahaya-Nya, maka pasti akan sempurna.

[34] Seperti menerima risywah (sogokan) dalam masalah hukum atau berfatwa dan memutuskan tidak sesuai dengan apa yang Allah turunkan karena diberi sogokan.

[35] Yakni dari agama-Nya.

[36] Imam Bukhari meriwayatkan dari Zaid bin Wahb, ia berkata, “Saya melewati Rabdzah, dan ternyata bertemu dengan Abu Dzar radhiyallahu 'anhu, aku pun berkata kepadanya, “Apa yang menjadikan kamu menempati tempat ini?” Ia menjawab, “Aku berada di Syam, lalu aku berselisih dengan Mu’awiyah tentang ayat, “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak serta tidak menginfakkannya di jalan Allah…” Mu’awiyah berkata, “Ayat ini turun berkenaan Ahli Kitab”, sedangkan aku berkata, “Ayat ini turun berkenaan dengan kita dan mereka.” Itulah masalah yang terjadi antara aku dengannya.” Ia pun menuliskan surat kepada Utsman radhiyallahu 'anhu mengeluhkan tentang aku, maka Utsman mengirim surat kepadaku yang isinya, “Datanglah ke Madinah”, maka aku pun datang, lalu banyak orang yang mengerumuniku seakan-akan mereka belum pernah melihatku sebelumnya, kemudian aku terangkan hal itu kepada Utsman, lalu ia berkata kepadaku, “Jika engkau mau, engkau menjauh, namun engkau dekat.” Itulah yang menjadikan aku menempati tempat ini, dan jika sekiranya mereka memerintahkan aku sebagai penduduk Habasyah, maka aku akan mendengar dan taat.”

Dalam hadits ini terdapat beberapa faedah, di antaranya:

- Hendaknya para umara bersikap lembut kepada ulama dan tidak bersikap gegabah, karena Mu’awiyah tidak segera mengingkarinya sampai ia surat-menyurat dengan orang yang berada di atasnya, yaitu Utsman radhiyallahu 'anhu.

- Ancaman menyelisihi dan keluar dari ketaatan kepada penguasa.

- Dorongan untuk taat kepada Ulil Amri.

- Melakukan yang kalah utama agar tidak timbul mafsadat. Imam Ahmad dan Abu Ya’la meriwayatkan dari jalan Abu Harb bin Abil Aswad dari pamannya dari Abu Dzar, “Bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “Apa yang akan engkau lakukan apabila engkau diusir darinya (yakni dari Masjid Nabawi)?” Abu Dzar menjawab, “Aku akan pergi ke Syam.” Beliau bertanya lagi, “Apa yang engkau lakukan apabila engkau diusir darinya?” Abu Dzar menjawab, ”Aku akan kembali kepadanya (yakni ke Masjid Nabawi).” Beliau bertanya lagi, “Apa yang akan engkau lakukan apabila engkau diusir darinya (dari Masjid Nabawi)?” Abu Dzar menjawab, “Aku akan menggunakan pedangku (untuk melawannya).” Beliau bersabda, “Maukah kamu aku tunjukkan hal yang lebih baik bagimu dan lebih dekat kepada petunjuk? Yaitu kamu mendengar dan taat serta mengikuti ke mana mereka mengarahkan kamu.”

- Bolehnya berbeda pendapat dalam masalah ijtihad.

- Bersikap tegas dalam beramar ma’ruf meskipun sampai mengakibatkan keluar dari tempat tinggalnya.

- Mendahulukan menolak mafsadat daripada mengambil maslahat, hal itu karena jika Abu Dzar tetap di tempatnya tentu ada maslahat besar, yaitu menyebarkan ilmunya ke tengah-tengah penuntut ilmu, namun menurut Utsman mafsadat yang ditimbulkan dari madzhabnya yang agak keras lebih baik didahulukan untuk ditolak, dan Utsman radhiyallahu 'anhu tidak memerintahkannya kembali karena masing-masing mereka berijtihad.

[37] Maksudnya tidak mengeluarkan zakatnya atau nafkah yang wajib seperti kepada keluarga atau nafkah di jalan Allah ketika menjadi wajib karena dibutuhkan sekali.

[38] Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ صَاحِبِ ذَهَبٍ وَلَا فِضَّةٍ لاَ يُؤَدِّيْ مِنْهَا حَقَّهَا إِلاَّ إِذَا كاَنَ يَوْمُ اْلقِيَامَةِ صُفِّحَتْ لَهُ صَفَائِحُ مِنْ نَارٍ فَأُحْمِيَ عَلَيْهَا فِيْ نَارِ جَهَنَّمَ فَيُكْوَى بِهَا جَنْبُهُ وَجَبِيْنُهُ وَظَهْرُهُ كُلَّمَا بَرَدَتْ أُعِيْدَتْ لَهُ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ حَتَّى يُقْضَى بَيْنَ اْلعِبَادِ

“Tidaklah pemilik emas maupun perak yang enggan membayar zakatnya kecuali pada hari kiamat akan dibuatkan untuknya lempengan-lempengan dari api, lalu dipanaskan kemudian dibakarkan dahi, lambung dan punggungnya dengannya. Setiap kali menjadi dingin, maka diulangi lagi dalam sehari yang lamanya 50.000 tahun sampai diputuskan masalah di kalangan manusia.” (HR. Muslim)

[39] Dalam kedua ayat di atas, Allah Subhaanahu wa Ta'aala menyebutkan penyimpangan manusia dalam hartanya, yaitu dengan mengeluarkannya untuk yang batil, seperti untuk maksiat atau mengeluarkannya untuk menghalangi manusia dari jalan Allah, atau dengan menahan hartanya dengan tidak mengeluarkannya pada yang wajib, seperti zakat dan nafkah yang wajib.

=================================

RINGKASAN TAFSIR At-Taubah/9: 30 – 31

– Dan orang-orang Yahudi berkata, “Uzair adalah putera Allâh.” Dia adalah seseorang yang Allâh Azza wa Jalla matikan selama seratus tahun kemudian Allâh Azza wa Jalla bangkitkan lagi. Orang-orang Yahudi menyebutnya dengan ‘Izrâ.

– Dan orang-orang Nasrani berkata, “Al-Masîh adalah putera Allâh.” Dia adalah Nabi ‘Isa bin Maryam Alaihissallam atau Yesus bin Maria Alaihissallam. Mereka menyatakan bahwa Allâh Azza wa Jalla memiliki anak. Maha Suci Allâh Azza wa Jalla dari apa yang mereka katakan. Ini adalah perkataan yang mengandung pengingkaran terhadap kemulian dan kesempurnaan Allâh Azza wa Jalla .

– Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka. Mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu, yaitu orang tua-orang tua dan nenek moyang mereka.

– Allâh memerangi (melaknat) mereka karena kekufuran mereka.

– Bagaimana mereka sampai berpaling dari kebenaran, Bukankah ini adalah suatu yang sangat aneh?

– Mereka menjadikan orang-orang alim mereka dan rahib-rahib mereka, yaitu mereka menjadikan orang-orang alim (habr di dalam bahasa Arab), yaitu orang yang berilmu di kalangan orang-orang Yahudi dan rahib-rahib mereka, yaitu orang-orang yang rajin beribadah di kalangan orang-orang Nasrani (Kristen),

– Sebagai tuhan selain Allâh dengan membuat syariat baru, dengan mengatakan bahwa ini halal dan ini haram, padahal tidak demikian. Mengikuti penghalalan dan pengharaman mereka termasuk bentuk kesyirikan dan kekufuran.

عَنْ عَدِىِّ بْنِ حَاتِمٍ قَالَ أَتَيْتُ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِى عُنُقِى صَلِيبٌ مِنْ ذَهَبٍ. فَقَالَ : يَا عَدِىُّ اطْرَحْ عَنْكَ هَذَا الْوَثَنَ. وَسَمِعْتُهُ يَقْرَأُ فِى سُورَةِ بَرَاءَةَ : اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ. قَالَ: أَمَا إِنَّهُمْ لَمْ يَكُونُوا يَعْبُدُونَهُمْ وَلَكِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا أَحَلُّوا لَهُمْ شَيْئًا اسْتَحَلُّوهُ وَإِذَا حَرَّمُوا عَلَيْهِمْ شَيْئًا حَرَّمُوهُ

Diriwayatkan dari ‘Adi bin Hâtim Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Saya mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sementara di leherku ada salib yang terbuat dari emas. Beliau pun berkata, ‘Ya ‘Adi! Buanglah patung ini dari dirimu!’ Saya mendengar Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surat Barâ-ah (at-Taubat, yang artinya) : Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allâh. Beliau pun berkata, “Sesungguhnya mereka tidak menyembah mereka, akan tetapi, jika mereka menghalalkan sesuatu maka para pengikutnya pun menghalalkannya. Apabila mereka mengharamkan sesuatu, maka para pengikutnya pun mengharamkannya.’.”[1]

– Dan (juga mereka mempertuhankan) al-Masîh putera Maryam. Tidak hanya menganggap bahwa Nabi ‘Isa (Yesus) sebagai anak Allâh, tetapi mereka juga menganggap bahwa Nabi ‘Isa Alaihissallam adalah Tuhan.

– Padahal mereka hanya disuruh beribadah kepada Tuhan Yang Esa. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allâh dari apa yang mereka persekutukan.” [2]

Siapakah ‘Uzair Yang Dikatakan Oleh Orang-orang Yahudi Bahwa Dia Adalah Anak Allâh?

Pada ayat pertama di atas disebutkan bahwa orang-orang Yahudi mengatakan bahwa ‘Uzair adalah anak Allâh. Siapakah dia? Bagaimana kisahnya? Bagaimana mungkin dia bisa disebut sebagai anak Allâh? Insya Allâh penulis paparkan pada tulisan ini.

NAMA ‘UZAIR

Namanya adalah ‘Uzair (عُزَيْر), tetapi para Ulama sejarah berselisih pendapat siapa nama bapak beliau. Ada yang mengatakan: Jarwah, Sûrîq, Sarâyâ atau Sarûkh. Beliau berasal dari keturunan al-Lâwiyin. Beliau adalah keturunan Bani Israil.

Orang-orang Yahudi menyebutnya dengan nama ‘Izrâ (عزرا). Adapun penduduk Yahudi Madinah menyebutnya dengan ‘Uzair, karena penyebutan seperti itu lebih menunjukkan kecintaan mereka dalam penyebutan namanya atau penyebutan tersebut hanya penyerupaan dalam bahasa Arab.[3]

APAKAH BELIAU SEORANG NABI?

Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma mengatakan, “Saya tidak tahu apakah dia adalah seorang nabi atau bukan.”

Ibnu Katsîr rahimahullah mengatakan, “Yang masyhur, ‘Uzair adalah seorang Nabi dari Nabi-nabi Bani Israil. Beliau hidup di antara zaman Dawûd-Sulaimân dan zaman Zakariyâ-Yahyâ.”[4]

Allahu a’lam, dari kisah beliau yang akan disebutkan, keistimewaan yang dimiliki oleh ‘Uzair tidak mungkin hanya dimiliki oleh seorang shâlih biasa. Dan terdapat kabar yang masyhur dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa Bani Israil dipimpin oleh seorang Nabi di setiap zamannya. Ketika meninggal seorang Nabi, maka akan digantikan dengan Nabi yang lain.

إِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ تَسُوسُهُمْ أَنْبِيَاؤُهُمْ ، كُلَّمَا ذَهَبَ نَبِيٌّ خَلَفَ نَبِيٌّ

Sesungguhnya Bani Israil dulu dipimpin oleh para Nabi. Jika satu nabi meninggal, maka digantikan dengan nabi yang lain.[5]

KEISTIMEWAAN ‘UZAIR

Beliau hafal seluruh isi Taurat dimana pada saat itu tidak ada seorang pun yang menghafalnya. Beliau mengajarkannya kepada Bani Israil dan membimbing mereka dengan Taurat.

KAPAN BELIAU HIDUP DAN DIMANA?

Beliau hidup diperkirakan sekitar tahun 451 SM. Pada saat itu, Kursy (كورش) Raja Persia yang berada di Bâbil membebaskan para tawanan dari Bani Israil. Di antara tawanan tersebut adalah ‘Uzair.

Beliau diizinkan untuk kembali ke Yerusalem dan membangun Haikal (rumah ibadah orang Yahudi).[6]

KEHERANAN BANI ISRAIL TERHADAP ‘UZAIR

Ada banyak versi yang disebutkan Ulama tafsir dan sejarah tentang sejarah ‘Uzair menuliskan atau mendiktekan Taurat kepada Bani Israil dan bagaimana beliau bisa melakukan hal tersebut. Perbedaan ini terjadi karena tidak validnya sumber yang didapatkan dari kabar-kabar Bani Israil. Mereka menukil cerita tanpa sanad (jalur periwayatan). Berikut ini adalah beberapa versi tentang hal tersebut:

Versi 1: Dulu Ayah ‘Uzair yang bernama Sarûkh, telah mengubur Taurat di zaman penyerangan Bukhtu Nashshar di suatu tempat yang tidak diketahui oleh seorang pun kecuali ‘Uzair. Mereka dan ‘Uzair pun pergi ke tempat tersebut, kemudian mengeluarkan Taurat. Ternyata, Taurat tersebut rusak dan tidak bisa dibaca lagi. Kemudian mereka pun duduk di bawah pohon, kemudian mereka menulis ulang Taurat. Dan turunlah dari langit dua kilatan dan masuk ke dalam mulut ‘Uzair. Kemudian beliau pun mengingat Taurat dan memperbarui tulisannya Taurat. [7]

Versi 2: Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahun anhuma berkata, “… Kemudian ‘Uzair berdoa kepada Allâh Azza wa Jalla dan bersungguh-sungguh dalam berdoa agar Allâh Azza wa Jalla mengembalikan hafalan yang telah dihilangkan dari dada-dada mereka. Ketika beliau shalat dengan khusyu’ kepada Allâh Azza wa Jalla , turunlah cahaya dari langit kemudian masuk ke dalam mulutnya. Kemudian Taurat kembali kepada beliau. Lalu beliau mengumumkan kepada kaumnya dan berkata, ‘Wahai kaumku! Sesungguhnya Allâh telah memberikan kepadaku Taurat dan telah mengembalikannya kepadaku… Kemudian mereka pun seperti itu sampai waktu yang dikehendaki Allâh Azza wa Jalla . Kemudian Tâbût diturunkan setelah beliau wafat. Ketika mereka melihat Tâbût dan ternyata Taurat yang diajarkan oleh ‘Uzair seperti yang tertera di dalam Tâbût tersebut.[8]

Versi 3: Uzair bertemu dengan seorang yang tua. Kemudian orang tua tersebut mengatakan, “Bukalah mulutmu!” Lalu orang tua tersebut melemparkan ke dalam mulutnya sesuatu seperti batu sebanyak tiga kali. ‘Uzair kembali kepada kaummnya dan dia menjadi orang yang paling berilmu tentang Taurat… Kemudian ‘Uzair menuliskan Taurat dengan tangannya. Ketika Bani Israil kembali dari peperangan dan para Ulama Bani Israil pun kembali, mereka pun menceritakan tentang ‘Uzair. Mereka pun mengeluarkan buku yang mereka simpan di gunung. Kemudian mereka membandingkannya. Ternyata yang mereka dapatkan adalah benar.[9]

Dan masih ada beberapa versi lainnya, akan tetapi, secara keseluruhan, dapat ditarik kesimpulan bahwa ‘Uzair memang dulunya adalah seorang penghafal Taurat. Setelah beliau diwafatkan kemudian dihidupkan kembali, beliau tidak mengingat seluruhnya, kemudian beliau meminta kepada Allâh agar hafalannya dikembalikan oleh Allâh Azza wa Jalla . Allâh Azza wa Jalla mengabulkan permohonannya dan mengembalikan hafalannya. Kemudian ditulislah Taurat dengan hafalan ‘Uzair. Setelah itu terjadi pembandingan hafalan ‘Uzair dengan kitab Taurat dan ternyata hafalan ‘Uzair sama persis dengan yang terdapat pada Taurat.

MENGAPA BELIAU DISEBUT SEBAGAI ANAK ALLAH?

Dengan berlalunya waktu, sebagian orang awam Yahudi terheran-heran dengan kisah ‘Uzair, bagaimana mungkin beliau dihidupkan setelah wafat selama 100 tahun dan bagaimana bisa dia menghafal seluruh isi Taurat tanpa salah sedikit pun. Nabi Musa pun tidak memiliki kemampuan seperti itu. Nabi Musa hanya diberikan Taurat yang telah ditulis dalam sebuah kitab dan mengajarkannya.

Mereka menyangka ini tidak mungkin terjadi jika ‘Uzair hanyalah sekedar seorang Nabi. Oleh karena itu, mereka mengatakan bahwa ‘Uzair adalah anak Allâh.

Sebenarnya tidak semua orang Yahudi menyatakan bahwa beliau adalah anak Allâh. Hanya sebagian aliran Yahudi saja yang mengatakannya. Akan tetapi, dikabarkan pada ayat ini seolah-olah ini adalah akidah Yahudi. Allâh Azza wa Jalla memutlakkan mereka dalam ayat ini karena aliran yang tidak mengatakan bahwa ‘Uzair adalah anak Allâh, berdiam diri dan tidak mengingkari hal tersebut.[10]

KESESATAN ORANG-ORANG YAHUDI DALAM MASALAH INI

Tentu saja akidah yang mengatakan bahwa Allâh Azza wa Jalla memiliki anak adalah akidah yang sangat sesat. Begitu pula akidah yang mengatakan bahwa semua agama sama.

Allâh Azza wa Jalla sendiri menyatakan dalam al-Qur’an bahwa Allâh tidak memiliki anak. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ

Allâh tidak beranak dan tidak diperanakkan [Al-Ikhlâsh/112:3]

Allâh Azza wa Jalla sangat marah kepada orang-orang yang mengatakan bahwa Allâh Azza wa Jalla memiliki anak. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَقَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمَٰنُ وَلَدًا ﴿٨٨﴾ لَقَدْ جِئْتُمْ شَيْئًا إِدًّا ﴿٨٩﴾ تَكَادُ السَّمَاوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنْشَقُّ الْأَرْضُ وَتَخِرُّ الْجِبَالُ هَدًّا ﴿٩٠﴾ أَنْ دَعَوْا لِلرَّحْمَٰنِ وَلَدً ﴿٩١﴾ا وَمَا يَنْبَغِي لِلرَّحْمَٰنِ أَنْ يَتَّخِذَ وَلَدًا ﴿٩٢﴾ إِنْ كُلُّ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ إِلَّا آتِي الرَّحْمَٰنِ عَبْدًا ﴿٩٣﴾ لَقَدْ أَحْصَاهُمْ وَعَدَّهُمْ عَدًّا ﴿٩٤﴾ وَكُلُّهُمْ آتِيهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَرْدًا

Dan mereka berkata, “Tuhan yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak.” Sesungguhnya kalian telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar. Hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, bumi belah dan gunung-gunung runtuh. Karena mereka mendakwakan bahwa Allâh yang Maha Pemurah mempunyai anak. Dan tidak layak bagi Rabb yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak. Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Rabb yang Maha Pemurah sebagai seorang hamba. Sesungguhnya Allâh telah menentukan jumlah mereka dan menghitung mereka dengan hitungan yang teliti. Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allâh pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri. [Maryam/19:88-95]

Demikianlah beberapa penjelasan ringkas tentang ‘Uzair. Mudah-mudahan kita bisa menjadikannya sebagai pelajaran, sehingga kita tidak tersesat seperti Yahudi dan Nashrani.

Mudahan bermanfaat.

DAFTAR PUSTAKA
Aisarut-Tafâsîr li kalâm ‘Aliyil-Kabîr. Jâbir bin Musa Al-Jazâiri. Al-Madinah: Maktabah Al-‘Ulûm wal-hikam
Al-Bidâyah wan-Nihâyah. Ismâ’îl bin ‘Umar bin Katsir. 1408 H/1988. Beirut: Dâr Ihyâit-Turâts Al-‘Arabi
At-Tahrîr wa At-Tanwîr. Muhammad Ath-Thâhir bin ‘Âsyûr. 1997. Tunisia: Dar Sahnûn.
Ma’âlimut-tanzîl. Abu Muhammad Al-Husain bin Mas’ûd Al-Baghawi. 1417 H/1997 M. Riyâdh:Dâr Ath-Thaibah.
Tafsîr Al-Qur’ân Al-‘Azhîm. Ismâ’îl bin ‘Umar bin Katsîr. 1420 H/1999 M. Riyâdh: Dâr Ath-Thaibah.
Taisîr Al-Karîm Ar-Rahmân. Abdurrahmân bin Nâshir As-Sa’di. Beirut: Muassasah Ar-Risâlah.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XVIII/1436H/2015M.]
_______
Footnote
[1] HR At-Tirmidzi no. 3095. Syaikh Al-Albâni mengatakan, “Hasan.”

[2] Lihat Aisarut-Tafâsîr II/72.

[3] At-Tahrîr wat-Tanwîr X/69.

[4] Al-Bidâyah wan-Nihâyah II/51 dan II/54.

[5] HR Abu Ya’lâ dalam Musnad-nya no. 6211 dan Ath-Thahâwi dalam Syarh Musykilil-Âtsâr no. 136. Syaikh Husain Salim Asad mengatakan, “Isnâd-nya shahîh.”

[6] At-Tahrîr wat-Tanwîr X/69.

[7] Idem.

[8] Ma’âlimut-Tanzîl IV/37.

[9] Tafsîr Ibni Katsîr IV/136.

[10] Lihat At-Tahrîr wat-Tanwîr X/69.

=====================
Faidah Ayat (QS. at-Taubah: 31)


Ayat yang mulia ini mengandung banyak pelajaran berharga, di antaranya:
  1. Ayat ini menunjukkan bahwa taklid bisa menyeret pelakunya ke jurang kemusyrikan
  2. Ketaatan adalah ibadah. Syahadat la ilaha illallah mengharuskan seorang muslim untuk mengesakan Allah dalam hal ketaatan serta menjadikan Rasul sebagai satu-satunya panutan, orang yang menaati Rasul sesungguhnya dia telah menaati Allah (lihat al-Jadid, hal. 75). Oleh sebab itu menaati makhluk dalam bermaksiat kepada Allah merupakan bentuk ibadah kepada makhluk tersebut (lihat al-Jadid, hal. 337)
  3. Ayat ini menunjukkan bahwa makna ibadah itu luas, tidak hanya sujud dan semacamnya. Namun ibadah itu juga bisa berbentuk ketaatan (al-Mulakhash, hal. 246). Karena yang dimaksud menjadikan pendeta dan rahib sebagai sesembahan di dalam ayat ini adalah menaati mereka dalam memutarbalikkan hukum Allah, sebagaimana yang dijelaskan dalam riwayat Tirmidzi dan dihasankannya dari Adi bin Hatim radhiyallahu’anhu bahwa ketika itu dia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat ini, maka Adi bin Hatim -yang dulunya Nasrani- berkata, “Sesungguhnya dahulu kami tidak menyembah mereka.” Maka Nabi menjawab, “Bukankah mereka mengharamkan apa yang dihalalkan Allah kemudian kalian pun ikut mengharamkannya dan mereka juga menghalalkan apa yang diharamkan Allah kemudian kalian ikut menghalalkannya?”. Adi menjawab, “Benar.” Nabi bersabda, “Itulah bentuk ibadah kepada mereka.” (lihat al-Jadid, hal. 336)
  4. Ayat ini dengan hadits yang menafsirkannya menunjukkan bahwa menetapkan halal dan haram adalah hak Allah ta’ala, bukan wewenang manusia. Adapun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan saja. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah dia -Muhammad- berbicara dengan hawa nafsunya akan tetapi apa yang diucapkannya adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (QS, an-Najm: 3-4). Sehingga ayat ini mengandung bantahan bagi orang-orang yang  mengangkat sekutu bagi Allah dalam hal penetapan hukum/pembuatan syari’at. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Apakah mereka memiliki sekutu-sekutu yang mengatur bagi mereka sesuatu dalam urusan agama yang tidak diijinkan oleh Allah.” (QS. asy-Syura: 21) (lihat Kitab at-Tauhid li Shaffil Awwal, hal. 53-54)
  5. Ayat ini menunjukkan bahwa syirik itu bisa berupa syirik dalam hal ketaatan  (al-Mulakhash, hal. 246)
  6. Menaati ulama dan ahli ibadah untuk bermaksiat dan melakukan kedurhakaan kepada Allah merupakan suatu bentuk ibadah kepada selain Allah, oleh sebab itulah Allah menyebut mereka ‘telah menjadikan ulama dan ahli ibadah itu sebagai sesembahan selain Allah’. Hal ini tidak hanya menimpa ahli kitab, namun juga menimpa umat ini, sebagaimana realita yang ada di tengah-tengah kita. Perbuatan ini tergolong dosa syirik akbar yang bertolak belakang dengan ajaran tauhid yang terkandung dalam syahadat la ilaha illallah (lihat Fath al-Majid, hal. 96-97 dan 378 cet. Dar al-Hadits). Orang yang melakukannya dihukumi musyrik jika dia benar-benar mengetahui bahwa apa yang dia ikuti itu menyelisihi syari’at Allah namun dia tetap nekat mengikutinya (lihat al-Mulakhash, hal. 246)
  7. Mengikuti pendapat ulama tanpa memperhatikan landasan hukum/dalil yang digunakannya bisa menjerumuskan orang ke dalam kebinasaan. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah mengatakan, “Aku heran dengan suatu kaum yang mengerti seluk beluk isnad dan kesahihannya namun mereka justru cenderung mengikuti pendapat Sufyan -dan meninggalkan hadits- sementara Allah ta’ala berfirman (yang artinya), ‘Hendaklah merasa takut orang-orang yang menyelisihi urusan Rasul karena mereka akan ditimpa fitnah atau siksaan yang amat pedih.’ (QS. an-Nuur: 63). Tahukah kalian apa itu fitnah? Fitnah itu adalah syirik. Bisa jadi ketika dia membantah sebagai sabda Nabi maka muncullah penyimpangan di dalam hatinya sehingga menyeretnya dalam kebinasaan.” (lihat al-Jadid, hal. 334). Dari ucapan Imam Ahmad ini bisa diambil pemahaman bahwa barangsiapa yang taklid kepada ulama sebelum sampainya hujjah/dalil kepadanya maka dia tidak dicela. Yang dicela adalah apabila telah sampai kepadanya dalil namun dia meninggalkannya gara-gara berbeda dengan ucapan salah seorang imam (lihat Fath al-Majid, hal. 376)
  8. Tidak boleh menentang sesuatu yang telah ditetapkan oleh al-Kitab maupun as-Sunnah dengan perkataan siapapun. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma“Hampir-hampir saja turun hujan batu dari langit kepada kalian. Aku katakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, namun kalian justru mengatakan; Abu Bakar dan Umar mengatakan demikian.” (lihat al-Jadid, hal. 333). Dari ucapan Ibnu Abbas ini bisa kita petik pelajaran: Wajibnya mengingkari dengan keras kepada orang yang telah sampai kepadanya dalil namun dia tidak mau mengikutinya semata-mata karena taklid kepada imamnya. Oleh sebab itu wajib mengingkari orang-orang yang meninggalkan dalil hanya karena bertentangan dengan perkataan salah seorang ulama, siapa pun dia, kecuali apabila hal itu terjadi dalam lingkup ijtihad yang memang tidak ada rujukan tegasnya di dalam al-Kitab maupun as-Sunnah. Adapun barangsiapa yang jelas-jelas menyelisihi al-Kitab atau as-Sunnah maka wajib membantahnya, dan hal ini merupakan perkara yang disepakati oleh seluruh ulama (lihat Fath al-Majid, hal. 373, 374). Sehingga taklid dalam perkara yang jelas-jelas bertentangan dengan dalil-dalil syari’at atau kesepakatan ulama adalah tindakan yang tidak diperbolehkan dalam agama (lihat Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah, hal. 497). Hal ini mengisyaratkan bahwa perkara yang seseorang dibolehkan taklid padanya adalah dalam perkara-perkara ijtihadiyah, sehingga perkara yang padanya diharamkan ijtihad maka tidak boleh taklid di dalamnya (lihat Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah, hal. 496).
  9. Tercelanya taklid kepada ulama yaitu bagi orang-orang yang memiliki kemampuan untuk berijtihad dan memahami dalil (lihat al-Jadid, hal. 337)
  10. Pada asalnya orang yang bisa memahami dalil dan mengetahui tata cara penarikan kesimpulan hukum/istidlal diharamkan untuk taklid (lihat al-Mulakhash, hal. 245). Orang yang mampu berijtihad diperbolehkan untuk taklid -menurut pendapat yang lebih kuat- apabila dia menjumpai keadaan tertentu, misalnya; karena dalil-dalil yang ada tampak bertentangan satu sama lain, atau karena waktu yang sempit sehingga tidak memungkinkan baginya untuk berijtihad, atau karena belum ada dalil yang sampai kepadanya, atau sebab lainnya yang membuatnya tidak mampu berijtihad pada saat itu juga maka gugurlah kewajibannya untuk berijtihad sehingga berpindah kepada penggantinya yaitu taklid (lihat Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah, hal. 497)
  11. Ketaatan kepada ulama tanpa melihat landasan dalil mereka dan meninggalkan pelaksanaan al-Kitab maupun as-Sunnah merupakan syirik dalam bentuk ketaatan (al-Mulakhash fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 244)
  12. Tidak boleh taat kepada makhluk dalam hal kemaksiatan kepada Allah (al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 74)
  13. Barangsiapa mengangkat sosok tertentu selain Allah untuk menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal maka dia telah menjadikannya sebagai sesembahan. Dia menjadi musyrik karena telah mengangkat pembuat syari’at selain Allah ta’ala. Padahal penetapan syari’at hanyalah dimiliki oleh Allah ta’ala (lihat al-Mulakhash fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 57, al-Jadid hal 74)
  14. Ulama adalah manusia, bisa terjerumus dalam kesalahan, bukan sosok yang ma’shum (al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 75). Oleh sebab itu wajib meninggalkan semua pendapat ulama yang jelas-jelas terbukti bertentangan dengan al-Kitab maupun as-Sunnah. Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Apabila kalian temukan di dalam kitabku sesuatu yang menyelisihi Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ambillah Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tinggalkanlah apa yang kukatakan.” (lihat Fath al-Majid, hal. 377). Maka semestinya bagi siapa pun yang menekuni karya-karya ulama madzhab yang dianutnya untuk berusaha mengkaji pendapat ulama lain yang berbeda dengan pendapat imamnya serta dalil yang mereka gunakan, hal itu harus dia lakukan dalam rangka mengikuti dalil yang ada melalui siapapun datangnya (lihat catatan kaki Fath al-Majid, hal. 377). Apabila seseorang mengikuti pendapat orang lain setelah mengkaji dalil-dalilnya dan mengetahui kebenarannya maka hal itu tidak lagi disebut sebagai taklid tetapi tarjih dan ikhtiyar, sehingga dia tidak layak disebut sebagai muqallid. Adapun orang yang sengaja mengambil pendapat orang lain tanpa memperhatikan dalil-dalilnya -padahal dia mampu untuk melakukannya- maka dia adalah seorang muqallid, dan hal itu tidak diijinkan baginya dalam kondisi dia bisa melakukan hal itu (lihat Ma’alim Ushul Fiqh, hal. 496). Maka dari sini kita bisa mengambil pelajaran betapa tipisnya batas antara seorang yang taklid dengan orang yang ittiba’ kepada Sunnah dengan jalan tarjih (menguatkan pendapat ulama), sebagaimana tipisnya batas antara orang yang mengikuti pendapat ulama karena kekuatan dalilnya dengan orang yang mengikuti pendapat ulama karena bersesuaian dengan hawa nafsunya, la haula wa la quwwata illa billah!
  15. Ayat ini menunjukkan betapa besar bahaya yang ditimbulkan oleh ulama yang sesat bagi umat (al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 75)
  16. Ayat ini juga menunjukkan bahwa ketergelinciran seorang ulama bisa menyebabkan manusia terjerumus dalam kehancuran agamanya. Ziyad bin Hudair mengatakan: Umar berkata kepadaku, “Tahukah kamu apa yang menghancurkan Islam?”. Kujawab, “Tidak.” Dia berkata, “Yang menghancurkannya adalah ketergelinciran seorang alim/ulama, orang munafik yang mendebat dengan membawa-bawa ayat al-Qur’an, dan ketetapan para imam yang menyesatkan.” (HR. ad-Darimi, lihat Fath al-Majid, hal. 379)
  17. Ayat ini juga mengisyaratkan untuk memberikan pengajaran kepada orang yang tidak mengerti agama/jahil agar dia beragama di atas dalil, bukan semata-mata taklid kepada ulama
  18. Ayat ini mengandung bantahan bagi kaum Nasrani yang mengangkat Nabi Isa ‘alaihis salam sebagai sesembahan. Ayat ini juga menegaskan bahwa beliau adalah hamba Allah, bukan sesembahan (lihat al-Mulakhash, hal. 57)
  19. Ayat ini menunjukkan bahwa sesuatu yang pada asalnya diperintahkan di dalam agama bisa berubah menjadi dilarang dalam kondisi tertentu. Bertanya dan mengikuti ulama merupakan perkara yang diperintahkan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah rasul serta ulil amri (ulama dan umara) di antara kalian…” (QS. an-Nisaa’: 59). Allah juga berfirman (yang artinya), “Bertanyalah kepada ahli ilmu jika kamu tidak mengetahui.” (QS. an-Nahl: 43). Namun apabila hal itu diterapkan tanpa memperhatikan batasan-batasannya akan dapat menjerumuskan pelakunya dalam kedurhakaan kepada Allah, bahkan kemusyrikan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ahmad di atas, “Aku heran dengan suatu kaum yang mengerti seluk beluk isnad dan kesahihannya namun mereka justru cenderung mengikuti pendapat Sufyan -dan meninggalkan hadits- sementara Allah ta’ala berfirman (yang artinya), ‘Hendaklah merasa takut orang-orang yang menyelisihi urusan Rasul karena mereka akan ditimpa fitnah atau siksaan yang amat pedih.’ (QS. an-Nuur: 63). Tahukah kalian apa itu fitnah? Fitnah itu adalah syirik. Bisa jadi ketika dia membantah sebagai sabda Nabi maka muncullah penyimpangan di dalam hatinya sehingga menyeretnya dalam kebinasaan.” (lihat al-Jadid, hal. 334).
  20. Ayat ini juga mengisyaratkan tentang bahaya fitnah kedudukan, dimana kedudukan sebagai ahli ibadah dan ahli ilmu -yang di dalam pandangan orang dinilai sebagai sosok yang dekat dengan Allah dan mengenal agama- dapat menyebabkan pemiliknya terseret dalam tindakan kezaliman, yaitu menetapkan halal dan haram tanpa ada hujjah yang nyata. Oleh sebab itulah kita dapati generasi terbaik umat ini -yaitu para sahabat- adalah orang-orang yang paling berhati-hati dalam mengeluarkan fatwa! Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah terlontar suatu ucapan melainkan di sisinya ada malaikat yang dekat dan senantiasa mencatat.” (QS. Qaaf: 18).
  21. Tauhid yang murni menuntut seorang hamba untuk memurnikan ittiba’nya hanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga dia tidak akan mengangkat sosok manapun untuk harus diikuti ucapan dan perbuatannya selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa menaati Rasul sesungguhnya dia telah menaati Allah.” (QS. an-Nisaa’: 80). Betapa pun besar kekagumannya kepada seorang ulama atau ahli ibadah maka tidak boleh membuatnya meninggalkan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya gara-gara menyelisihi ulama atau tokoh yang dikaguminya itu. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma“Hampir-hampir saja turun hujan batu dari langit kepada kalian. Aku katakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, namun kalian justru mengatakan; Abu Bakar dan Umar mengatakan demikian.” (al-Jadid, hal. 333). Kalau Abu Bakar dan Umar saja -seandainya perkataannya menyelisihi Nabi- harus disikapi demikian, maka bagaimanakah lagi pendapat anda tentang orang yang lebih mengutamakan ucapan Syaikh dan pendiri pergerakannya di atas Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?! Lalu bagaimana lagi jika yang dieluk-elukkan itu adalah perkataan orang-orang kafir semacam Karl Marx, atau yang lainnya?

Related Posts:

0 Response to "Tafsir At Taubah Ayat 25-35"

Post a Comment