Tafsir An Nisa Ayat 29-35

Ayat 29-30: Terpeliharanya harta dan jiwa, hukuman bagi yang berbuat zalim pada keduanya, serta penjagaan terhadap hak-hak manusia

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا (٢٩) وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ عُدْوَانًا وَظُلْمًا فَسَوْفَ نُصْلِيهِ نَارًا وَكَانَ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرًا (٣٠

Terjemah Surat An Nisa Ayat 29-30

29. Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar)[1], kecuali dengan jalan perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama-suka di antara kamu[2]. Dan janganlah kamu membunuh dirimu[3]. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu[4].

30. Dan barang siapa berbuat demikian[5] dengan cara melanggar hukum dan zalim[6], akan Kami masukkan dia ke dalam neraka. Yang demikian itu mudah bagi Allah.

Ayat 31: Menerangkan tentang hukum dosa besar dan dosa kecil, demikian pula menerangkan agar manusia tidak menjatuhkan dirinya ke lembah kebinasaan

إِنْ تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُمْ مُدْخَلا كَرِيمًا (٣١

Terjemah Surat An Nisa Ayat 31

31. Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar[7] di antara dosa-dosa yang dilarang mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu[8] dan akan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga) [9].

Ayat 32-33: Dorongan untuk beramal, serta ridha kepada qadha’ dan qadar

وَلا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا (٣٢) وَلِكُلٍّ جَعَلْنَا مَوَالِيَ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالأقْرَبُونَ وَالَّذِينَ عَقَدَتْ أَيْمَانُكُمْ فَآتُوهُمْ نَصِيبَهُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدًا (٣٣

Terjemah Surat An Nisa Ayat 32-33

32. Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain[10]. (Karena) bagi laki-laki ada bagian[11] dari apa yang mereka usahakan[12], dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan[13]. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya[14]. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu[15].

33. Bagi masing-masing kamu (laki-laki maupun perempuan) Kami tetapkan yang menjadi 'ashabah[16] dari (sisa) harta peninggalan yang ditinggalkan ibu-bapak dan karib kerabat. Dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka[17], maka berikanlah kepada mereka bagiannya[18]. Sesungguhnya Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.

Ayat 34-35: Menerangkan tentang hukum-hukum keluarga atau aturan dalam berumah tangga, dan menerangkan tentang kepemimpinan laki-laki terhadap wanita, namun kepemimpinan dalam mengurus dan mengarahkan, bukan menekan dan merendahkannya

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا (٣٤) وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا (٣٥

Terjemah Surat An Nisa Ayat 34-35

34. Kaum laki-laki adalah pemimpin[19] bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan)[20], dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Maka perempuan-perempuan yang saleh, adalah mereka yang taat kepada Allah dan menjaga diri[21] ketika suaminya tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka)[22]. Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz[23], hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka[24], tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang)[25], dan (kalau perlu) pukullah mereka[26]. Tetapi, jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya[27]. Sesungguhnya Allah Mahatinggi[28] lagi Mahabesar[29].

35. Dan jika kamu khawatirkan terjadi persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam (juru damai)[30] dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu[31]. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti[32].

KANDUNGAN AYAT

[1] Ayat ini mencakup semua jalan yang batil dalam meraih harta seperti riba, merampas, mencuri, judi dan jalan-jalan rendah lainnya, lihat pula tafsir surat Al Baqarah: 188.

Larangan mengambil hak orang lain, tanpa alasan yang benar. Dan Allah sebut sebagai makan harta orang lain secara batil. Termasuk mengambil hak orang lain adalah memanfaatkan barang milik orang lain tanpa seizinnya.

[2] Di samping melarang memakan harta orang lain dengan jalan yang batil, di mana di dalamnya terdapat bahaya bagi mereka, baik bagi pemakannya maupun orang yang diambil hartanya, Allah menghalalkan kepada mereka semua yang bermaslahat bagi mereka seperti berbagai bentuk perdagangan dan berbagai jenis usaha dan keterampilan. Disyaratkan atas dasar suka sama suka dalam perdagangan untuk menunjukkan bahwa akad perdagangan tersebut bukan akad riba, karena riba bukan termasuk perdagangan, bahkan menyelisihi maksudnya, dan bahwa kedua belah pihak harus suka sama suka dan melakukannya atas dasar pilihan bukan paksaan. Oleh karena itu, jual beli gharar (tidak jelas) dengan segala bentuknya adalah haram karena jauh dari rasa suka sama suka. Termasuk sempurnanya rasa suka sama suka adalah barangnya diketahui dan bisa diserahkan. Jika tidak bisa diserahkan mirip dengan perjudian. Di sana juga terdapat dalil bahwa akad itu sah baik dengan ucapan maupun perbuatan yang menunjukkan demikian, karena Allah mensyaratkan ridha, oleh karenanya dengan cara apa pun yang dapat menghasilkan keridhaan, maka akad itu sah.

[3] Larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang lain, sebab membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, karena umat merupakan suatu kesatuan. Demikian juga terdapat larangan melakukan sesuatu yang menyebabkan dirinya binasa di dunia atau akhirat.

Syaikh As Sa'diy berkata, "Perhatikanlah kata-kata yang ringkas dan padat ini dalam firman Allah Ta'ala "Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu" dan "Dan janganlah kamu membunuh dirimu" bagaimana di dalamnya mencakup memakan harta orang lain dan harta kamu, serta mencakup membunuh dirimu dan membunuh selainmu dengan uraian yang terbatas pada harta orang lain dan jiwa orang lain saja. Di samping itu, penyandaran harta dan jiwa kepada kaum mukmin secara umum terdapat dalil bawa kaum mukmin dalam hal rasa cinta, rasa berkasih-sayang dan dalam maslahat mereka seperti satu jasad, di mana iman yang menyatukan mereka atas maslahat agama maupun dunia."

[4] Di antara kasih sayang-Nya adalah menjaga darah dan hartamu dan melarang kamu merusaknya.

[5] Yakni perbuatan yang dilarang seperti memakan harta dengan jalan yang batil atau membunuh diri dan orang lain.

[6] Bukan karena tidak mengerti dan lupa.

[7] Dosa besar adalah dosa yang ada had (hukumannya) di dunia, ancamannya di akhirat, adanya penafian keimanan, adanya laknat atau kemurkaan. Contohnya adalah membunuh, berzina dan mencuri. Menurut Ibnu Abbas, "Jumlahnya hampir tujuh puluh dosa."

[8] Yakni dosa-dosamu yang kecil dengan ketaatan kamu.

[9] Hal ini termasuk karunia Allah dan ihsan-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin, Dia menjanjikan kepada mereka jika menjauhi dosa-dosa besar, maka Dia akan menghapuskan semua dosa dan kesalahan serta memasukkan mereka ke surga. Termasuk ke dalam menjauhi dosa adalah mengerjakan kewajiban yang jika ditinggalkan pelakunya dianggap mengerjakan dosa besar, seperti shalat lima waktu, shalat Jum'at, puasa Ramadhan dsb.

[10] Baik karunia dari sisi dunia maupun agama, yang mungkin maupun tidak mungkin. Oleh karena itu, kaum wanita tidak boleh iri hati terhadap keistimewaan yang dimiliki kaum laki-laki, demikian juga orang miskin dan bercacat tidak boleh iri hati kepada orang yang kaya atau yang sempurna. Yang demikian merupakan hasad, karena dia ingin nikmat Allah yang ada pada orang lain berpindah kepada dirinya. Hal itu dilarang, karena dapat membuahkan sikap kesal terhadap taqdir Allah, membuat malas serta membuahkan angan-angan yang tidak dibarengi amal dan usaha. Yang terpuji adalah jika seorang hamba berusaha sesuai kemampuannya untuk memperoleh hal yang bermanfaat baginya baik agama maupun dunia, meminta karunia kepada Allah, tidak bersandar kepada diri serta tidak kepada sesuatu yang lain selain kepada Allah Tuhannya.

[11] Berupa pahala.

[12] Seperti jihad dan amal saleh lainnya.

[13] Berupa ketaatan kepada suami dan menjaga kehormatan. Ayat ini turun ketika Ummu Salamah berkata, "Andaisaja kita laki-laki, sehingga kita dapat berjihad sehingga memperoleh pahala seperti yang diperoleh kaum laki-laki."

[14] Yakni mohonlah kepada Allah apa saja yang kamu butuhkan, niscaya Dia akan memberikannya kepadamu. Hal ini termasuk sempurnanya seorang hamba dan tanda bahagia dirinya, tidak seperti orang yang tidak beramal atau bersandar kepada dirinya tidak butuh kepada Tuhannya, atau menggabung kedua hal tersebut (tidak beramal dan bersandar kepada dirinya), orang yang seperti ini adalah orang yang rugi.

[15] Di antara pengetahuan-Nya adalah Dia mengetahui siapa yang berhak mendapatkan karunia dan mengetahui permintaan kamu. Dia memberikan orang yang diketahui-Nya berhak memperoleh pemberian-Nya dan mencegah orang yang diketahui-Nya tidak layak memperolehnya.

[16] 'Ashabah adalah orang yang mewarisi sisa harta setelah pemilik bagian (ashabul furudh) mengambil bagiannya atau yang mewarisi semua harta jika tidak ada as-habul furudh dan tidak mendapatkan apa-apa jika as-habul furuudh mewarisi sampai menghabiskan harta.

[17] Untuk saling membela dan mewarisi harta.

[18] Yakni 1/6. namun waris-mewarisi dengan jalan sumpah setia sudah mansukh dengan ayat "wa ulul arhaami ba'dhuhum awlaa biba'dhin…dst" (lihat akhir ayat surat Al Anfal).

[19] Yakni berkuasa. Mereka berhak mengatur wanita, menekan mereka untuk memenuhi hak Allah, seperti menjaga yang fardhu dan menghindarkan bahaya dari mereka. Kaum laki-laki juga pemimpin kaum perempuan dalam arti yang memberi nafkah, pakaian dan tempat tinggal.

@ Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita

[20] Kelebihan laki-laki di atas perempuan dapat dilihat dari beberapa sisi, di antaranya karena kewalian khusus dimiliki laki-laki, kenabian dan kerasulan juga khusus bagi laki-laki, dikhususkan bagi mereka beberapa ibadah seperti jihad, shalat Jum'at dsb. Demikian juga dilebihkannya laki-laki dalam hal akal, kesabaran dan kekuatan yang tidak dimiliki kaum perempuan.

[21] Maksudnya taat kepada suaminya meskipun suaminya sedang tidak ada, ia memelihara rahasia dan harta suaminya.

[22] Maksudnya Allah telah mewajibkan kepada suami untuk mempergauli istrinya dengan baik.

[23] Yakni nampak tanda-tanda nusyuz. Nusyuz adalah meninggalkan kewajiban bersuami isteri. nusyuz dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya.

[24] Terangkanlah kepada mereka hukum menaati suami, mendorong mereka untuk taat, takutkanlah mereka dengan siksaan Allah jika durhaka kepada suaminya.

[25] Yakni jika mereka telah menampakkan nusyuz. Dengan tidak tidur bersamanya dan tidak menggaulinya sekedar agar tujuan dapat tercapai.

[26] Dengan pukulan yang tidak keras, jika pisah ranjang tidak membut mereka berhenti dari nusyuz.

[27] Maksudnya untuk memberi pelajaran kepada istri yang dikhawatirkan pembangkangannya harus dimulai dengan memberi nasihat. Jika nasihat tidak bermanfaat, barulah dipisahkan dari tempat tidur mereka, jika tidak bermanfaat juga barulah dibolehkan memukul mereka dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas atau pukulan yang keras. Jika cara pertama ada manfaatnya, janganlah digunakan cara yang lain dan seterusnya. Ada pula yang menafsirkan "Tetapi, jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya" yakni janganlah membahas masalah yang telah lalu, mencari-cari aib yang jika dibahas malah menimbulkan madharat dan keburukan.

[28] Yakni memiliki ketinggian secara mutlak dengan segala sisi dan I'tibarat (segi); Dia Tinggi dzat-Nya, Dia tinggi kedudukan-Nya dan Tinggi pula kekuasaan-Nya.

[29] Maha besar adalah Yang tidak ada yang lebih besar dan lebih agung daripada-Nya, yang besar dzat dan sifat-Nya. Oleh karena itu, takutlah terhadap siksaan-Nya jika kamu menzalimi mereka.

[30] Dengan ridha keduanya. Hakam atau juru damai harus seorang muslim yang mukallaf (baligh dan berakal) dan adil serta mengetahui apa yang terjadi pada kedua suami-istri, ia mewakili masing-masing suami atau istri. Dalam menyikapi, hakam memperhatikan sebab yang menjadikan kedua suami-istri bertengkar, kemudian menekan masing-masing untuk melaksanakan yang wajib, jika ternyata salah satunya tidak mampu mengerjakan yang wajib, maka kedua hakam tesebut berupaya menjadikan istri menerima (qana'ah) terhadap rezeki sedikit yang disanggupi suami atau menjadikan suami menerima sikap istri. Jika ada peluang untuk bersatu kembali dan islah, maka harus dilakukan. Namun jika kondisinya sampai kepada kondisi yang tidak mungkin untuk disatukan, bahkan jika disatukan malah akan bermusuhan, terjadi maksiat dan perkara buruk lainnya, dan kedua hakam itu memandang bahwa berpisah itu lebih baik bagi kedua suami-istri, maka hal itu dilakukan. Keputusan dua orang hakam tidak disyaratkan harus ada keridhaan dari pihak suami, karena Allah menamainya hakam (juru damai dan hakim), di samping itu hakim adalah seorang yang memutuskan masalah meskipun orang yang diputuskan tidak ridha.

Hakam juga mewakili suami misalnya dalam hal talak, menerima 'iwadh (ganti dalam khulu') dsb. sedangkan mewakili istri misalnya dalam melakukan khulu'. Kedua orang hakam berijtihad dan memerintahkan yang zalim agar ruju' (kembali) atau bahkan memisahkan jika dipandang perlu.

[31] Dengan sebab saran yang baik dari hakam dan kata-kata lembut yang masuk ke dalam hati.

[32] Di antara pengetahuan dan ketelitian-Nya adalah mensyari'atkan hukum-hukum ketika terjadi pertengkaran suami dan istri serta menetapkan syari'at yang sangat indah.

==================================
Tafsir (an-Nisa’: 34)

Bila terjadi nusyuz (pembangkangan) dari pihak istri. Islam memberikan jalan untuk menyembuhkannya dengan cara yang disebutkan dalam al-Qur’an,


“Dan para istri yang kalian khawatirkan (kalian ketahui dan yakini) nusyuznya maka hendaklah kalian menasihati mereka, meninggalkan mereka di tempat tidur, dan memukul mereka. Kemudian jika mereka menaati kalian, janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka.” (an-Nisa’: 34-35)


Penyembuhan istri yang nusyuz ini dilakukan dengan tahapan (Ruhul Ma‘ani, 5/25), tidak langsung memakai cara kekerasan. Ini sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas c, “Istri itu diberi nasihat kalau memang ia mau menerima nasihat. Kalau tidak mempan, ia ditinggalkan di tempat tidurnya, bersamaan dengan itu ia didiamkan dan tidak diajak bicara.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/504)


Apabila cara nasihat tidak berhasil, istri tersebut di-hajr (dijauhi) dengan tidak digauli (senggama) selama waktu tertentu hingga tercapai maksud yang diinginkan. Kalau tidak berhasil juga, barulah ditempuh cara pukulan, namun tidak boleh meninggalkan bekas. (Taisir al-Karimir Rahman, hlm. 177)

1. Memberi nasihat dan bimbingan

Ini adalah langkah pertama yang harus ditempuh untuk mengembalikan istri kepada ketaatannya atau menjauhkannya dari pelanggaran yang dilakukannya. Nasihat dilakukan dengan penuh kelembutan dan kasih sayang.


Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Dalam nasihat itu ia ditakut-takuti kepada Allahsubhanahu wa ta’ala, diingatkan apa yang Allah subhanahu wa ta’ala wajibkan kepadanya untuk memenuhi hak suami dan keharusan menaatinya, diperingatkan akan dosa apabila menyelisihi suami dan bermaksiat padanya. Ia juga diancam akan gugur hak-haknya berupa nafkah dan pakaian apabila tetap durhaka kepada suami, dan ia boleh dipukul serta di-hajr oleh suami kalau tidak mau menerima nasihat.” (al-Mughni, 7/241)

2. al-Hajr

Terkadang seorang istri tidak cukup diberi nasihat dalam upaya menghentikannya dari nusyuz yang dilakukan, sehingga harus ditempuh cara penyembuhan yang kedua, yaitu dengan hajr.

Ibnu Abbas c menafsirkan hajr dengan tidak menggauli istri, tidak menidurinya di atas tempat tidurnya, dan memunggunginya. As-Suddi, adh-Dhahhak, ‘Ikrimah, dan Ibnu ‘Abbas dalam satu riwayat menambahkan, “Bersamaan dengan itu ia mendiamkan dan tidak mengajak bicara istrinya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/504, Tafsir al-Baghawi, 1/423)

3. Pukulan

Terkadang penyembuhan dan pendidikan butuh sedikit kekerasan. Sebab, ada tipe manusia yang tidak bisa disembuhkan dari penyimpangannya kecuali dengan cara diberikan tindakan fisik.

Termasuk penyembuhan nusyuz istri adalah dengan pukulan yang diistilahkan oleh al-Qurthubirahimahullah dengan pukulan pendidikan (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 1/113), bukan pukulan untuk tujuan menghinakan atau menyiksa. (al-Mughni, 7/242)

Disyaratkan pukulan itu tidak keras atau meninggalkan bekas, sebagaimana pesan Rasulullah n dalam haji Wada’,

فَاتَّقُوا اللهَ فِي النِّسَاءِ، فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوْجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوْطِئْنَ فُرْشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُوْنَهُ، فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ، وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ  رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ

“Bertakwalah kalian dalam urusan para wanita (istri-istri kalian), karena sesungguhnya kalian mengambil mereka dengan amanah dari Allah dan kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Hak kalian atas mereka adalah mereka tidak boleh mengizinkan seorang pun yang tidak kalian sukai untuk menginjak permadani kalian1. Bila mereka melakukan hal tersebut maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak keras. Dan hak mereka atas kalian adalah kalian harus memberikan nafkah dan pakaian untuk mereka dengan cara yang ma’ruf.” 

(Sahih, HR. Muslim no. 1218)


Yang dimaksud (ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ)2 kata al-Hasan al-Bashri rahimahullah, ialah pukulan yang tidak membekas (Tafsir Ibnu Katsir, 1/504); atau pukulan yang tidak membelah daging dan mematahkan tulang.

Ibnu Abbas menyatakan, “Memukul dengan siwak.” (Ruhul Ma‘ani, 5/25)

‘Atha rahimahullah pernah bertanya kepada Ibnu ‘Abbas c tentang maksud ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ.
Ibnu ‘Abbas menjawab, “Pukulan dengan memakai siwak dan semisalnya.” (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 1/113, Ruhul Ma’ani, 5/25)

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata setelah membawakan hadits di atas, “Hadits ini menunjukkan bolehnya seorang suami memukul istrinya dalam rangka mendidiknya.”

Beliau menyebutkan sifat pukulan di sini dengan pukulan yang tidak keras dan memayahkan. (Syarah Shahih Muslim, 8/184)

Pukulan itu juga tidak ditujukan ke wajah. Sebab, Rasulullah n telah memperingatkan,

إِذَا قَاتَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَجْتَنِبِ الْوَجْهَ -وَفِي رِوَايَةٍ: إِذَا ضَرَبَ أَحَدُكُمْ-

“Apabila salah seorang dari kalian memukul, hendaklah menjauhi (jangan memukul) wajah.” (Sahih,HR. al-Bukhari no. 2559 dan Muslim no. 2612)

Ulama mengatakan bahwa hadits ini secara jelas menunjukkan larangan memukul wajah. Termasuk dalam larangan ini bila seorang suami memukul istri, anak, ataupun budaknya dengan alasan pukulan pendidikan. (Syarah Shahih Muslim, 16/165)

Apabila istri telah kembali kepada ketaatannya terhadap suami dan meninggalkan perbuatan nusyuz-nya maka “janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka”, yakni janganlah kalian berbuat jahat kepada mereka baik dalam ucapan maupun perbuatan. Dalam ayat ini ada larangan untuk menzalimi para istri. (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 1/113)

Mendamaikan Sengketa

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

“Dan bila kalian khawatir perselisihan antara keduanya maka hendaklah kalian mengutus seorang hakim (pendamai) dari keluarga si suami dan seorang hakim (pendamai) dari keluarga si istri….”(an-Nisa’: 35)

Apabila terjadi perselisihan antara suami dan istri, sementara tidak diketahui siapa yang berbuat nusyuz di antara keduanya, atau malah kedua-duanya berbuat nusyuz, ketika itu ulama sepakat disyariatkannya mengirim dua orang hakim untuk menyelesaikan perselisihan tersebut. Mereka bersepakat, dua orang hakim itu harus berasal dari keluarga kedua belah pihak. Satu dari pihak suami dan yang lain dari pihak istri. Namun, jika tidak ada, boleh dari selain keluarga. (al-Mughni, 7/243, Bidayatul Mujtahid, hlm. 473)

Apabila kedua pasangan ini tidak bisa didamaikan kembali, kedua hakim tersebut berhak untuk memisahkan antara keduanya, menurut pendapat yang rajih (kuat). Ini yang dipegangi oleh mazhab Maliki, satu riwayat dari ulama mazhab Syafi‘i, dan satu riwayat dari ulama Hanbali. (al-Muwaththa’karya al-Imam Malik rahimahullah, 2/584; al-Mughni, 7/243—244)

1 Maknanya, kata al-Imam an-Nawawi rahimahullah, istri tidak boleh mengizinkan seseorang yang tidak kalian sukai untuk masuk ke rumah kalian dan duduk-duduk di tempat tinggal kalian. Sama saja, apakah orang tersebut laki-laki yang bukan mahram istri (ajnabi), seorang wanita, ataupun salah seorang dari mahram istri. (Syarah Shahih Muslim, 8/184)

2 Yakni tidak mematahkan, sebagaimana disebutkan dalam an-Nihayah (1/113) karya Ibnul Atsirrahimahullah.

Related Posts:

0 Response to "Tafsir An Nisa Ayat 29-35"

Post a Comment