Tafsir At Taubah Ayat 50-61

Ayat 50-52: Gembiranya kaum munafik terhadap apa yang menimpa kaum mukmin berupa cobaan atau kekalahan, dan memperkuat hubungan kaum mukmin dengan Tuhan mereka

إِنْ تُصِبْكَ حَسَنَةٌ تَسُؤْهُمْ وَإِنْ تُصِبْكَ مُصِيبَةٌ يَقُولُوا قَدْ أَخَذْنَا أَمْرَنَا مِنْ قَبْلُ وَيَتَوَلَّوْا وَهُمْ فَرِحُونَ (٥٠) قُلْ لَنْ يُصِيبَنَا إِلا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلانَا وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ (٥١) قُلْ هَلْ تَرَبَّصُونَ بِنَا إِلا إِحْدَى الْحُسْنَيَيْنِ وَنَحْنُ نَتَرَبَّصُ بِكُمْ أَنْ يُصِيبَكُمُ اللَّهُ بِعَذَابٍ مِنْ عِنْدِهِ أَوْ بِأَيْدِينَا فَتَرَبَّصُوا إِنَّا مَعَكُمْ مُتَرَبِّصُونَ (٥٢

Terjemah Surat At Taubah Ayat 50-52

50. Jika engkau (Muhammad) mendapat kebaikan[1], mereka tidak senang; tetapi jika engkau ditimpa bencana, mereka (kaum munafik) berkata, "Sungguh, sejak semula kami telah berhati-hati (tidak pergi perang).” Dan mereka berpaling dengan perasaan gembira.

51. Katakanlah (Muhammad), "Tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah bagi kami[2]. Dialah pelindung kami[3], dan hanya kepada Allah bertawakkallah orang-orang yang beriman[4]."

52. Katakanlah (Muhammad)[5], "Tidak ada yang kamu tunggu-tunggu bagi kami, kecuali salah satu dari dua kebaikan (menang atau mati syahid). Dan kami menunggu-nunggu bagi kamu bahwa Allah akan menimpakan azab kepadamu dari sisi-Nya[6], atau (azab) melalui tangan kami[7]. Maka tunggulah[8], sesungguhnya kami menunggu (pula)[9] bersamamu."



Ayat 53-54: Allah Subhaanahu wa Ta'aala tidak menerima sedekah kecuali yang ikhlas dan baik

قُلْ أَنْفِقُوا طَوْعًا أَوْ كَرْهًا لَنْ يُتَقَبَّلَ مِنْكُمْ إِنَّكُمْ كُنْتُمْ قَوْمًا فَاسِقِينَ (٥٣) وَمَا مَنَعَهُمْ أَنْ تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلا أَنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَبِرَسُولِهِ وَلا يَأْتُونَ الصَّلاةَ إِلا وَهُمْ كُسَالَى وَلا يُنْفِقُونَ إِلا وَهُمْ كَارِهُونَ (٥٤

Terjemah Surat At Taubah Ayat 53-54

53. Katakanlah (Muhammad), "Infakkanlah[10] hartamu baik dengan sukarela maupun dengan terpaksa, namun infakmu tidak akan diterima. Sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang fasik;

54. Dan yang menghalang-halangi infak mereka untuk diterima adalah karena mereka kafir (ingkar) kepada Allah dan Rasul-Nya[11] dan mereka tidak melaksanakan shalat, melainkan dengan malas dan tidak (pula) menginfakkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan (terpaksa)[12].



Ayat 55-59: Peringatan agar tidak merasa kagum dengan harta dan anak yang dimiliki kaum munafik serta tidak tertipu oleh mereka, dan bagaimana sikap mereka (orang-orang munafik) terhadap pembagian sedekah

فَلا تُعْجِبْكَ أَمْوَالُهُمْ وَلا أَوْلادُهُمْ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُعَذِّبَهُمْ بِهَا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَتَزْهَقَ أَنْفُسُهُمْ وَهُمْ كَافِرُونَ (٥٥) وَيَحْلِفُونَ بِاللَّهِ إِنَّهُمْ لَمِنْكُمْ وَمَا هُمْ مِنْكُمْ وَلَكِنَّهُمْ قَوْمٌ يَفْرَقُونَ (٥٦) لَوْ يَجِدُونَ مَلْجَأً أَوْ مَغَارَاتٍ أَوْ مُدَّخَلا لَوَلَّوْا إِلَيْهِ وَهُمْ يَجْمَحُونَ (٥٧) وَمِنْهُمْ مَنْ يَلْمِزُكَ فِي الصَّدَقَاتِ فَإِنْ أُعْطُوا مِنْهَا رَضُوا وَإِنْ لَمْ يُعْطَوْا مِنْهَا إِذَا هُمْ يَسْخَطُونَ (٥٨) وَلَوْ أَنَّهُمْ رَضُوا مَا آتَاهُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ سَيُؤْتِينَا اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَرَسُولُهُ إِنَّا إِلَى اللَّهِ رَاغِبُونَ (٥٩

Terjemah Surat At Taubah Ayat 55-59

55. Maka janganlah harta dan anak-anak mereka membuatmu kagum[13]. Sesungguhnya maksud Allah dengan itu adalah untuk menyiksa mereka dalam kehidupan dunia[14] dan kelak akan mati dalam keadaan kafir[15].

56. Dan mereka (orang-orang munafik) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa sesungguhnya mereka termasuk golonganmu; namun mereka bukanlah dari golonganmu, tetapi mereka orang-orang yang sangat takut (kepadamu)[16].

57. Sekiranya mereka memperoleh tempat perlindungan, gua-gua atau lubang-lubang (dalam tanah), niscaya mereka pergi (lari) ke sana dengan secepat-cepatnya[17].

58.[18] Dan di antara mereka ada yang mencelamu tentang (pembagian) sedekah (zakat)[19]; jika mereka diberi bagian, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi bagian, tiba-tiba mereka marah.

59. Dan sekiranya mereka benar-benar ridha dengan apa yang diberikan kepada mereka oleh Allah dan Rasul-Nya[20], dan berkata, "Cukuplah Allah bagi kami[21], Allah akan memberikan kepada kami sebagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya[22]. Sesungguhnya kami orang-orang yang berharap kepada Allah[23]."

Ayat 60-61: Menjelaskan tentang tempat pengalihan zakat, dan menjelaskan bagaimana kaum munafik menyakiti Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam baik dengan mencela maupun memindahkan ucapan Beliau

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (٦٠) وَمِنْهُمُ الَّذِينَ يُؤْذُونَ النَّبِيَّ وَيَقُولُونَ هُوَ أُذُنٌ قُلْ أُذُنُ خَيْرٍ لَكُمْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَيُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِينَ وَرَحْمَةٌ لِلَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ رَسُولَ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ (٦١

Terjemah Surat At Taubah Ayat 60-61

60. Sesungguhnya sedekah (zakat)[24] itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mu’allaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan[25], sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana[26].

61. Di antara mereka (orang munafik) ada orang-orang yang menyakiti Nabi (Muhammad)[27] dan mengatakan[28], "Nabi mempercayai semua apa yang didengarnya[29]." Katakanlah, "Dia mempercayai semua yang baik bagi kamu[30], dia beriman kepada Allah, mempercayai orang-orang mukmin[31], dan menjadi rahmat bagi orang-orang yang beriman di antara kamu[32]." Dan orang-orang yang menyakiti Rasulullah[33] akan mendapat azab yang pedih[34].


[1] Seperti kemenangan dan ghanimah.

[2] Dalam Al Lauhul Mahfuzh.

[3] Yakni Pengatur urusan kami, baik yang terkait dengan agama maupun dunia. Oleh karena itu, sikap kami adalah ridha dengan qadar-Nya, dan kami tidak berkuasa apa-apa.

[4] Hanya kepada Alah kaum mukmin bersandar dalam menarik maslahat dan menghindarkan madharat serta mempercayakan kepada-Nya dalam mewujudkan apa yang mereka inginkan. Oleh karena itu, tidak akan kecewa orang-orang yang bertawakkal, sedangkan orang-orang yang tidak bertawakkal kepada-Nya, maka ia akan kecewa dan tidak memperoleh apa yang diharapkannya.

[5] Kepada orang-orang munafik.

[6] Dengan adanya bencana atau tanpa ada usaha melalui tangan kami.

[7] Dengan izin dari-Nya untuk memerangi kamu.

[8] Yakni kebaikan untuk kami.

[9] Keburukan untuk kamu.

[10] Perintah di sini memberi arti khabar (berita), bahwa infak mereka tidak diterima.

[11] Sedangkan iman merupakan syarat diterimanya amal.

[12] Mereka menganggap infak sebagai kerugian. Dalam ayat ini terdapat peringatan bagi kaum mukmin agar tidak menyerupai mereka, seperti malas beribadah, infak dengan hati yang kesal, dsb.

Faedah/catatan:

Perlu diketahui, bahwa nifak terbagi dua:

q Nifaq Akbar (Nifaq I’tiqaadiy)

Nifaq Akbar yaitu menampakkan keislaman di luar dan menyembunyikan kekafiran di dalam dirinya. Nifaq ini mengeluarkan seseorang dari Islam, dan Allah mengancam pelakunya dengan neraka di lapisan paling bawah. Nifak Akbar ini ada beberapa macam bentuknya, ada yang berupa mendustakan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, ada yang berupa mendustakan apa yang Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bawa, ada yang berupa membenci Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, ada yang berupa membenci apa yang dibawa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, ada yang berupa senang jika agama Islam tidak berkembang dan ada yang berupa tidak suka jika agama Islam menang.

q Nifaq Ashghar/kecil (nifaq ‘amali)

Nifaq Ashghar adalah nifak yang kaitannya dengan amalan, di mana amal tersebut biasanya dilakukan oleh orang-orang munafik. Nifak ini tidak mengeluarkan dari Islam, namun bisa menjadi jembatan ke arah Nifaq Akbar. Contoh Nifaq Ashghar adalah jika dipercaya khianat, jika berbicara berdusta, jika berjanji mengingkari, jika bertengkar melakukan tindakan yang kejam, tidak mau mengerjakan shalat berjamaah, menunda-nunda shalat hingga hampir habis waktuya, malas beribadah, sangat berat melakukan shalat terlebih shalat Subuh dan 'Isya, dsb.

[13] Karena yang demikian hanya sebagai istidraj (lihat pula surat Al An’am: 44).

[14] Di mana mereka merasakan kepayahan dan penderitaan dalam mengumpulkan dan memperolehnya, oleh karenanya jika kesenangan itu dihadapkan dengan penderitaan, maka kesenangan itu tidak ada apa-apanya.

[15] Sehingga Allah akan mengazabnya di akhirat dengan azab yang pedih.

[16] Mereka takut jika kamu memberlakukan mereka seperti terhadap orang-orang kafir, sehingga mereka bersumpah sebagai taqiyah (menjaga diri).

[17] Sambil menaruh kebencian dan dendam kepada kaum mukmin.

[18] Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Sa’id, ia berkata: Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam membagi-bagikan (zakat), Abdullah bin Dzul Khuwaishirah At Tamimi datang dan berkata, “Berlaku adillah, wahai Rasulullah!” Beliau menjawab, “Celaka kamu, siapakah yang akan berlaku adil jika saya tidak berlaku adil?” Umar bin Khaththab berkata, “Biarkanlah saya memenggal lehernya.” Beliau menjawab, “Biarkanlah dia, karena dia memiliki kawan-kawan yang kamu akan merasakan shalatmu sedikit jika dibanding shalatnya, demikian pula puasamu dibanding mereka. Mereka lepas dari agama sebagaimana lepasnya panah (tembus keluar) dari binatang buruannya. Dilihat bulu panahnya, maka tidak terdapat apa-apa, dilihat mata panahnya, maka tidak terlihat apa-apa, dilihat rishaf(tempat dimasukkan mata panah)nya ternyata tidak ada apa-apa, dilihat anak panahnya, maka tidak terlihat apa-apa, padahal telah melewati kotoran hewan dan darahnya (namun tidak membekas apa-apa pada panah itu). Tanda-tanda mereka adalah bahwa salah satu tangannya --atau bersabda: “Salah satu dadanya seperti dada wanita-- atau seperti sepotong daging yang bergoyang-goyang. Mereka keluar ketika terjadi perpecahan di antara manusia.” Abu Sa’id berkata, “Aku bersaksi, bahwa aku mendengar dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, dan aku bersaksi bahwa Ali memerangi mereka, sedangkan saya ikut bersamanya. Dihadapkan orang yang disebutkan sifatnya itu oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Tentang orang itulah turun ayat, “Wa minhum may yalmizuka fish shadaqaat…dst.”

[19] Celaan tersebut dimaksudkan agar mereka mendapatkan bagian, padahal keadaan seperti ini tidak patut ada dalam diri seorang hamba, di mana senang dan marahnya mengikuti hawa nafsunya.

[20] Sedikit atau banyak, baik dari ghanimah maupun lainnya.

[21] Yakni kami ridha dengan pembagian-Nya, sambil kami berharap kepada karunia dan ihsan-Nya.

[22] Dari ghanimah yang lain.

[23] Agar Dia memberikan kecukupan kepada kami. Jawaban kalimat di atas adalah, “Tentu yang demikian lebih baik bagi mereka” atau “tentu mereka akan selamat dari kemunafikan serta akan ditunjukkan kepada keimanan dan keadaan-keadaan yang utama.”

[24] Sedekah di sini maksudnya adalah zakat, karena sedekah sunat tidak hanya ditujukan kepada delapan asnaf ini.

[25] Yang berhak menerima zakat adalah:
Orang yang fakir

Orang fakir yaitu orang yang tidak mampu/sengsara (tidak memiliki harta untuk mencukupi kebutuhan dirinya dan kebutuhan orang yang ditanggungnya) disamping tidak punya tenaga untuk memenuhi penghidupannya, seperti orang tua jompo dan yang cacat badannya.
Orang yang miskin

Orang miskin adalah orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam keadaan kekurangan, tidak pandai bekerja dan tidak mau meminta-minta.

Ibnu Jarir dan ulama lainnya memilih mengatakan bahwa orang fakir adalah orang yang menjaga diri dan tidak meminta-minta kepada manusia (padahal ia sangat butuh), sedangkan orang miskin adalah orang yang meminta-minta, berkeliling dan mencari manusia (agar diberi). Menurut yang lain, bahwa fakir adalah orang yang tidak memiliki harta untuk mencukupi kebutuhannya dan tidak mampu bekerja untuk menutupi kebutuhannya, sedangkan orang miskin adalah orang yang lebih ringan kebutuhannya daripada orang fakir.

Singkatnya, orang miskin posisinya di bawah orang fakir dari sisi kebutuhannya, ia mampu mencari nafkah, tetapi penghasilannya tidak mencukupi baik bagi diri maupun keluarganya.

Catatan: Ukuran seseorang dikatakan fakir dan miskin adalah ketika ia tidak memiliki harta seukuran senishab zakat setelah dikurangkan dengan kebutuhan pokoknya baik bagi dirinya maupun anak-anaknya berupa makan, minum, pakaian, tempat tinggal, kendaraan, perangkat untuk kerjanya dan sebagainya yang diperlukan olehnya.
Amilin/pengurus zakat

Orang yang diberi tugas menarik zakat dari masyarakat, dan yang menyalurkannya kepada yang berhak atau orang yang sibuk mengurus zakat. Termasuk orang yang sibuk mengurus zakat adalah penjaga, pengurus maupun pencatatnya. Kecuali jika mereka mendapat gaji dari pemerintah terhadap tugas itu, maka tidak diberikan.
Mu’allaf (orang yang dibujuk ke dalam Islam agar masuk Islam atau untuk mengokohkan imannya atau menghindarkan gangguan darinya ataupun untuk menarik manfaat dengan diberikan zakat kepadanya seperti menjadikan yang lain ikut masuk Islam)

Mu’allaf ini terbagi dua; ada yang muslim dan ada yang kafir. Mu’allaf yang muslim terdiri dari 4 golongan:

q Tokoh masyarakat dari kalangan kaum muslimin.

q Tokoh masyarakat yang masih lemah imannya, di mana ia sangat disegani oleh masyarakat, dengan diberikan zakat kepadanya diharapkan imannya semakin kuat.

q Kaum muslimin yang tinggal di perbatasan antara negeri kaum muslimin dan negeri musuh. Diharapkan dengan diberikan zakat kepada mereka, mereka mau membela kaum muslimin ketika musuh menyerang.

q Kaum muslimin yang memiliki pengaruh, apabila diberikan zakat kepada mereka, maka yang lain akan mengeluarkan zakatnya sehingga mempermudah untuk memungut zakat.

Sedangkan mu’allaf yang kafir terdiri dari 2 golongan:

q Orang-orang yang diharapkan masuk Islam dengan diberikannya zakat kepada mereka.

q Orang-orang yang dikhawatirkan kejahatannya, dengan diberikannya zakat kepada mereka diharapkan mereka tidak berbuat jahat kepada kaum muslimin.
Untuk memerdekakan budak ( Fir Riqab )

Yakni budak-budak mukaatab (yaitu budak yang mengadakan perjanjian dengan tuannya, apabila ia (yakni budak tersebut) membayar uang sejumlah sekian maka ia akan bebas), maka agar mereka dapat lepas dari perbudakan dibantu dari zakat.
Orang islam yang terlilit hutang ( Gharimin )

Ghaarimin adalah orang yang berhutang dan tidak sanggup membayarnya, mereka ada beberapa macam: Ada yang memikul hutang, ada juga yang menjamin hutang orang lain sehingga hartanya habis atau membuatnya jadi berhutang, atau orang yang berhutang untuk suatu maksiat kemudian bertobat dan tidak ada biaya untuk melunasi hutangnya. Demikian pula orang yang berhutang untuk mendamaikan dua pihak yang bersengketa, lalu orang itu maju menengahi mereka dengan berjanji akan memberikan harta kepada salah seorang di antara mereka atau semuanya. Maka orang ini diberikan bagian dari zakat, meskipun ia kaya.
Dalam perjuangan di jalan Allah (fi sabilillah)

Di antaranya adalah para mujahidin yang sukarela berjuang menegakkan agama Allah atau untuk kepentingan pertahanan Islam dan kaum muslimin di mana mereka tidak mendapat gaji dari negara (baik mereka orang kaya maupun orang miskin). Adapula di antara ulama yang menggolongkan penuntut ilmu ke dalam fii sabilillah. Adapun pembangunan masjid, penggalian sungai atau kepentingan umum lainnya maka menurut Abu ’Ubaid dalam Al Amwal, zakat tidak bisa diberikan kepadanya.
Ibnu Sabil (musafir)

Ibnu Sabil adalah orang yang kehabisan perbekalan dalam perjalanan yang bukan maksiat sehingga tidak bisa melanjutkan perjalanan. Diberikan kepadanya zakat agar ia bisa kembali ke tempat asalnya.

Faedah:

Delapan golongan yang disebutkan di atas jika disimpulkan menjadi dua bagian:

- Mereka yang diberikan zakat untuk memenuhi kebutuhan pribadinya (hajat khashshsah), seperti orang fakir, miskin, dsb.

- Mereka yang diberikan zakat untuk kebutuhannya, di mana agama Islam memperoleh manfaat darinya (hajat ‘ammah).

Sungguh besar sekali manfaat zakat, di mana jika disalurkan sesuai syar’i, maka akan berkurang kemiskinan dan agama Islam menjadi tegak dan terjaga.

Golongan yang tidak Berhak Menerima Zakat

Orang-orang yang tidak berhak menerima zakat adalah :

q Orang kafir (Namun boleh diberikan kepada orang kafir sedekah sunat, bukan sedekah wajib (zakat)), dikecualikan apabila tergolong mu’allafah quluubuhum (lihat no. 4 tentang orang yang berhak menerima zakat).

q Keluarga Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam (yaitu istri Beliau dan keturunannya, juga setiap muslim dan muslimah keturunan Bani Hasyim dan Bani Muththalib, seperti keluarga Ali, keluarga Ja’far, keluarga ‘Aqiil, keluarga Al Harits dan keluarga Abbas dst. ke bawah termasuk pula maula (orang yang dimerdekakan) mereka) baik zakat maupun sedekah sunat.

q Orang-orang yang kaya (kecuali apabila sebagai ‘amil zakat, membelinya dari orang miskin, orang yang berhutang, orang yang berperang di jalan Allah atau zakat yang diberikan dari orang miskin kepada si kaya). Seseorang disebut “kaya”apabila memiliki harta mencapai satu nishab setelah dikurangkan dengan kebutuhan mendesak dan hutangnya.

q Orang yang kuat dan mampu berusaha untuk mencukupi kebutuhannya.

q Orang yang nafkahnya di bawah tanggungjawabnya, seperti kedua orang tua, istri dan anak.

q Orang kafir dan fasik seperti yang meninggalkan shalat dan yang mengejek syari’at Islam.

[26] Dalam tindakan-Nya. Oleh karena itu, zakat tidak boleh dialihkan kepada selain mereka yang disebutkan itu, dan salah satu golongan di antara 8 golongan itu tidak dihalangi memperolehnya ketika ada, maka dari itu, imam membagikannya secara sama (semuanya memperolehnya), namun ia juga boleh melebihkan sebagiannya di atas yang lain. Menurut penyusun tafsir Al Jalaalain, huruf lam (yakni pada kata lil fuqaraa’) menunjukkan bahwa masing-masing golongan harus memperoleh zakat, akan tetapi tidak wajib bagi pemilik harta ketika membagikannya harus memberikan kepada masing-masingnya karena yang demikian menyulitkan, bahkan ia cukup memberikan paling sedikit tiga golongan daripadanya (tidak kurang daripadanya) berdasarkan shighat (bentuk) jama’nya.

Catatan: Untuk zakat fitri lebih diutamakan kepada orang-orang fakir dan miskin.

[27] Dengan kata-kata buruk, mencela Beliau dan mencela agamanya.

[28] Ketika mereka dilarang dari perbuatan demikian agar tidak sampai kepada Beliau.

[29] Yakni mempercayai semua perkataan dan menerimanya. Oleh karena itu, jika kami bersumpah bahwa kami tidak mengucapkannya, niscaya Beliau membenarkan kami.

[30] Tidak yang buruk. Oleh karena itu, Beliau hanya menerima perkataan yang baik dan benar terhadap Beliau. Sikap berpaling Beliau (tidak menanggapi) dan tidak bersikap keras terhadap sebagian besar kaum munafik yang mengemukakan uzur yang dusta adalah karena akhlaknya yang mulia dan tidak perhatian terhadap mereka serta mengikuti firman Allah Ta’ala, “Kelak mereka akan bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apabila kamu kembali kepada mereka, agar kamu berpaling dari mereka (tidak mencela mereka). Maka berpalinglah dari mereka; karena sesungguhnya mereka itu adalah najis dan tempat mereka Jahannam; sebagai Balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.” (Terj. At Taubah: 95)

[31] Dalam semua kabar yang mereka (kaum mukmin) sampaikan, tidak selain mereka.

[32] Di mana melalui Beliau, mereka mendapatkan petunjuk dan dengan akhlaknya yang mulia mereka dapat meniru.

[33] Baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan.

[34] Di dunia dan akhirat, termasuk azab yang pedih pula adalah hukuman mati kepada mereka yang mencaci maki Beliau.

============================
Pengertian Fi Sabîlillâh [At-Taubah/9:60]






Para fuqaha` (Ulama ahli fikih) sepakat bahwa orang-orang yang sedang berperang di jalan Allâh Azza wa Jalla masuk dalam kategori fi sabîlillâh,[1] sedangkan selain orang-orang yang sedang berperang masih diperselisihkan oleh para Ulama, apakah mereka masuk dalam fi sabîlillâh ataukah tidak? Kemudian perbedaan pendapat ini semakin melebar di zaman-zaman ini dan terbagi menjadi lima pendapat:

Maksud dari fi sabîlillâh adalah perang saja. Ini adalah pendapat Abu Yûsuf rahimahullah dari kalangan Hanafiyah,[2] juga pendapat madzhab Mâlikiyah,[3] Syâfi’iyah[4] dan salah satu riwayat dari Hanâbilah[5] yang dirajihkan oleh Ibnu Qudâmah rahimahullah.[6]

Dalil pendapat ini adalah:
Yang dimaksud dengan fi sabîlillâh secara mutlak adalah perang dan kebanyakaan penggunaan kalimat ini dalam al-Qur`ân adalah dalam arti berperang.[7]

Dalil ini tidak bisa diterima, karena seharusnya pada saat tidak ada nukilan dari syari’at tentang pengertiannya, maka kita harus mengambil maknanya secara bahasa. Dan kalimat fi sabîlillâh dalam konteks ini menunjukkan makna umum.[8]
Hadits Abu Said al-Khudriy Radhiyallahu anhu yang marfu’:

لاَ تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ إِلاَّ لِخَمْسَةٍ : لِغَازٍ فِي سَبِيْلِ اللهِ أَوْ لِعَامِلٍ عَلَيْهَا أَوْ لِغَارِمٍ أَوْ لِرَجُلٍ اِشْتَرَاهَا بِمَالِهِ أَوْ لِرَجُلٍ كَانَ لَهُ جَارٌ مِسْكِينٌ فَتَصَدَّقَ عَلىَ المِسْكِيْنِ فَأَهْدَاهَا المِسْكِيْنُ لِلْغَنِي

Zakat itu tidak halal untuk orang kaya kecuali lima orang (kaya-red) : orang yang berperang di jalan Allâh atau amil zakat atau gharim atau orang yang membelinya dengan hartanya atau orang yang memiliki tetangga miskin, dia memberikan zakat kepada tetangga tersebut lalu tetangga yang miskin tersebut menghadiahkannya kepada orang kaya.[9]

Sisi pengambilan dalil dari hadits ini yaitu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan ghâzi (orang yang sedang berperang) diantara lima orang yang disebutkan dalam hadits di atas, padahal diantara delapan golongan orang penerima zakat yang disebutkan dalam ayat di atas tidak ada yang bisa diberikan kepada orang yang berperang kecuali bagian fi sabîlillâh.[10]

Namun sisi pendalilan ini juga terbantah, karena dalil di atas paling maksimal menunjukkan bahwa seorang yang sedang berjihad diberi bagian zakat dari pos fi sabîlillâh sekalipun dia orang yang kaya, sementara jalan-jalan Allâh banyak, tidak hanya terbatas pada arti perang di jalan Allâh Azza wa Jalla .[11]

Maksud dari fi sabîlillâh adalah berperang, haji dan umrah. Ini adalah pendapat Muhammad bin al-Hasan[12] dari Hanafiyah dan sebuah madzhab di kalangan Hanâbilah.[13]

Dalil dari pendapat kedua ini adalah:
Hadits Ummu Ma’qil Radhiyallahu anha mengatakan bahwa Abu Ma’qil Radhiyallahu anhu berangkat haji bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika dia pulang, Ummu Ma’qil Radhiyallahu anhaberkata, “Saya tahu bahwa saya wajib haji.” Lalu keduanya berangkat menuju Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saat sampai di depan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Ummu Ma’qil Radhiyallahu anhaberkata, “Wahai Rasûlullâh! Sesungguhnya saya wajib haji sementara Abu Ma’qil Radhiyallahu anhu sendiri memiliki unta muda.” Abu Ma’qil Radhiyallahu anhu menjawab, “Kamu benar, tetapi aku telah menjadikannya untuk di jalan Allâh.” Lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَعْطِهَا فَلتَحُجَّ عَلَيْهِ فَإِنّهُ فِي سَبِيلِ اللهِ

Berikanlah kepadanya agar dia bisa haji, karena itu termasuk fi sabîlillâh[14]

Namun dalil ini pun dibantah dengan beberapa hal berikut:

Pertama, hadits ini dhaif.[15]

Kedua, zakat hanya diberikan kepada satu di antara dua orang :
Orang yang membutuhkannya seperti orang fakir, miskin, hamba sahaya dan orang yang berhutang untuk membayar hutangnya
Orang yang dibutuhkan oleh kaum Muslimin seperti amil zakat, orang yang berperang, mu`allaf (orang yang baru masuk Islam), gharîm (orang yang menanggung hutang) demi mendamaikan dua pihak yang bertikai.

Sementara haji untuk orang miskin tidak mendatangkan manfaat bagi kaum Muslimin secara umum. Kaum Muslimin tidak membutuhkan ibadah haji orang miskin tersebut dan orang fakir sendiri juga tidak membutuhkan ibadah haji itu, karena orang fakir tidak ada kewajiban ibadah haji. Juga tidak ada kemaslahatan bagi orang fakir jika diwajibkan melaksanakan ibadah haji, atau dibebani dengan kesulitan yang telah Allâh angkat darinya dan kewajiban yang telah diringankan. Sementara memberikan senilai biaya haji untuk orang fakir tersebut kepada golongan-golongan lain yang membutuhkan atau memberikannya demi kemaslahatan kaum Muslimin itu lebih patut dan lebih utama.[16]
Atsar-atsar mauqûf yang menunjukkan bahwa haji termasuk fi sabîlillâh, seperti atsar yang diriwayatkan dari Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu yang diriwayatkan Abu Ubaid Radhiyallahu anhu dengan sanadnya dari jalan Abu Mu’âwiyah dari al-A’masy dari Hasan bin al-Asyras dari Mujâhid rahimahullah dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu bahwa dia membolehkan seseorang memberikan zakatnya untuk menunaikan haji dan memerdekakan budak. Demikian juga atsar dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma ketika ditanya tentang seorang wanita yang mewasiatkan tiga puluh dirham di jalan Allâh, maka Ibnu Umar Radhiyallah anhuma ditanya, “Bolehkan ia dipakai untuk haji?” Dia menjawab, “Ia termasuk fi sabîlillâh.” Abu Ubaid dalam al-Amwâl, 1/723 berkata, “Aku mendengar Ismâ’il bin Ibrâhim dan Muâdz menyampaikannya dari Ibnu Aun dari Anas bin Sîrin dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma.

Dalil ini pun dibantah dengan menyatakan bahwa atsar Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu tidak shahih, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bâri, 3/389, “Al-Khallâl rahimahullah berkata, ‘Ahmad bin Hâsyim rahimahullah mengabarkan kepada kami, dia berkata bahwa Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata, ‘Aku pernah berpendapat boleh memerdekakan budak dari harta zakat, tetapi setelah itu aku menahan diri darinya, karena aku melihatnya tidak shahih.” Harb rahimahullah berkata, lalu seseorang menyebutkan hujjah atasnya dengan hadits Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu , maka Ahmad rahimahullah berkata, ‘Ia goncang(Sanadnya kacau).’ Ahmad menyatakan atsar ini goncang karena perbedaan pada sanadnya dari al-A’masy sebagaimana yang engkau lihat, oleh karena itu al-Bukhâri tidak menyampaikannya dengan lafazh pasti (al-jazm).”

Adapun atsar Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma, sekalipun menunjukkan haji itu termasuk fi sabîlillâh, hanya saja kalimat sabîlullâh yang ada dalam ayat di atas bukan maksudnya haji, namun jihad di jalan Allâh Azza wa Jalla , karena makna ini adalah makna umum secara mutlak.[17]

Maksud dari fi sabîlillâh adalah segala perkara kebaikan dan ketaatan. Ini adalah pendapat yang dinisbatkan oleh al-Qaffâl kepada sebagian fuqaha` tanpa menyebut nama mereka, sebagaimana yang dinukil oleh ar-Râzi dalam tafsirnya 16/90 dari beliau. Al-Kasani memilih pendapat ini, sekalipun dia membatasinya pada orang-orang yang membutuhkan.[18] Pendapat ini diterima oleh banyak Ulama di zaman ini.[19]

Dalil dari pendapat ini adalah kata fi sabîlillâh bersifat umum, tidak boleh dibatasi pada sebagian maknanya kecuali dengan berdasarkan dalil yang shahih, padahal tidak ada dalil shahih yang membatasi maknanya.[20]

Dalil ini tidak bisa diterima, karena keumuman tersebut dibatasi dengan konteks penggunaannya. Jika pendapat ini diterima, maka konsekuensinya adalah semua orang yang melakukan kebaikan dan ketaatan seperti shalat, puasa, sedekah dan lain sebagainya berhak menerima zakat, karena mereka telah melakukan kebaikan dan masuk dalam kategori fi sabîlillâh. Inilah konsekuensi hukumnya, padahal tidak seorang pun Ulama yang terkenal keulamaannya berpendapat seperti itu.[21]

Maksud dari fi sabîlillâh adalah kemaslahatan umum. Ini adalah pendapat sebagian Ulama zaman ini.[22]

Dalil pendapat ini adalah:
Tidak dikenal dalam al-Qur`an kalimat sabîlillâh kecuali bermakna kebaikan umum yang menyeluruh.[23]

Dalil ini juga tidak bisa diterima, karena kalimat fi sabîlillâh disebutkan dengan beberapa makna, sekalipun banyak digunakan untuk kalimat yang bermakna jihad di jalan Allâh.[24]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membayar diyat seorang Sahabat yang tidak diketahui pembunuhnya dari unta zakat.[25] Ini tercantum dalam hadits Sahal bin Abu Hatsmah al-Anshari Radhiyallahu anhu bahwa dia berkata:

فَكَرِهَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُبْطِلَ دَمَهُ، فَوَدَاهُ مِائَةً مِنْ إِبِلِ الصَّدَقَةِ

Lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ingin darahnya sia-sia, maka Beliau membayar diyatnya seratus unta dari unta zakat. (Muttafaq alaihi)[26]

Ibnu Hajar dalam Fathul Bâri, 12/244 berkata, “Sebagian Ulama memahaminya sesuai dengan zhahirnya. Qâdhi Iyâdh rahimahullah menyampaikan dari sebagian Ulama tentang dibolehkan membayar zakat untuk kepentingan umum.”

Sisi pengambilan dalil dari hadits ini: Bila membayar diyat korban pembunuhan dari zakat dibolehkan demi meredam pertikaian dan demi menjaga ketertiban umum, maka lebih utama lagi untuk dibolehkan menggunakan zakat demi menjaga keamanan masyarakat dan kehidupan mereka di negeri Islam serta menjaga kemaslahatan umum mereka.[27]

Dalil di atas dibantah dengan bantahan berikut:
Hadits ini disebutkan dalam shahih al-Bukhâri dengan lafazh yang berbeda. Dalam lafazh itu disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membayar diyat dari dirinya.

Mayoritas Ulama telah mengkompromikan antara dua riwayat tersebut dengan mengatakan bahwa Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli unta-unta zakat dari para penerima zakat setelah mereka memilikinya, kemudian menyerahkannya kepada keluarga korban.
Kalau pun bisa diterima bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membayar diyatnya dari harta zakat, tetap saja bukan termasuk kemaslahatan umum.
Maksud dari pembayaran diyat bukan hanya meredam pertikaian semata, sebaliknya ia hanyalah bagian dari illat (sebab hukum). Mendamaikan di antara dua pihak yang bertikai dan membuat jiwa keluarga korban mau menerima juga termasuk tujuan-tujuan syari’at di balik pembayaran diyat.

Kemudian alasan menjaga keamanan masyarakat tidak terwujud pada seluruh kemaslahatan umum.[28]

Maksud dari kalimat fi sabîlillâh adalah jihad dalam arti umum, baik jihad dengan tangan, harta maupun lisan. Dengan demikian, ini mencakup perang di jalan Allâh dan dakwah kepada Allâh. Ini adalah keputusan al-Mujamma’ al-Fiqhi al-Islami[29] dan an-Nadwah li Qadhaya az-Zakah al-Mu’âshirah yang pertama.[30]

Dalil pendapat ini adalah:
Yang diinginkan dari penyebutan kalimat fi sabilillah dalam ayat tentang zakat adalah maknanya yang khusus yaitu jihad atau yang semakna dengannya. Inilah yang terfahami dari gaya bahasa penyampaiannya yang diawali dengan pembatasan.[31] Jika pengertian kalimat fi sabîlillâh dibawa kepada pengertian umum, maka cakupannya sangat banyak dan ini bertentangan dengan gayabahasa pembatasan yang hanya membatasi pembagian zakat pada delapan golongan saja.[32]
Jihad dalam Islam tidak terbatas pada perang militer dengan senjata semata. Dalam sebuah riwayat shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Beliau ditanya, “Jihad apakah yang paling utama?” Maka Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ

Kalimat haq di depan pemimpin zhalim.[33]

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

جَاهِدُوا المُشْرِكِينَ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ وَأَلْسِنَتِكُمْ

Berjihadlah melawan orang-orang musyrik dengan harta, jiwa dan lisan kalian[34]
Kalaupun dakwah kepada Allâh tidak termasuk dalam jihad di jalan Allah berdasarkan dalil itu, namun dakwah tetap bisa masuk ke dalam jihad melalui jalur atau metode qiyas, karena keduanya memiliki tujuan yang sama yaitu mendukung agama Allâh dan menjunjung tinggi kalimat-Nya.[35]

Pendapat yang kelima inilah pendapat yang rajih. Yaitu pendapat yang mengatakan bahwa maksud dari fi sabîlillâh adalah maknanya yang khusus yaitu jihad dalam pengertian luas, mencakup semua aktifitas dalam rangka menolong agama Allah Azza wa Jalla. Pendapat ini yang rajih karena dalil-dalilnya yang kuat dan beberapa hal berikut ini:
Kata fi sabîlillâh banyak digunakan dengan makna jihad. Fakta ini membuat makna ini lebih dekat dari makna lainnya. Kata fi sabîlillâh disebutkan lima puluh kali; Tiga puluh delapan kali disebutkan beriringan dengan jihad dan perang; Di delapan tempat disebutkan bersama infak, tujuh dari delapan ini disebutkan bersama infak dan perang sementara yang kedelapan disebutkan pada ayat zakat; Dan empat yang tersisa sehingga genap lima puluh disebutkan bersama kalimat hijrah yang berarti pergi ke negeri Islam demi menjunjung tinggi kehormatan agama. Dari sini diketahui bahwa kalimat fi sabîlillâh disebutkan dikebanyakan tempat dengan makna jihad.[36]
Penafsiran golongan fi sabîlillâh dengan jihad merupakan pendapat mayoritas Ulama salaf dan jumhur Fuqaha` (mayoritas Ulama ahli fikih-red) zaman dulu dan zaman sekarang.
Seluruh ayat yang disebut kalimat fi sabîlillâh yang terkait jihad dengan jiwa juga disebutkan di tempat yang sama tentang jihad dengan menggunakan harta. Ini menunjukkan adanya perluasan makna jihad fi sabîlillâhkepada makna yang lebih umum, artinya jihad fi sabîlillâh tidak hanya bermakna perang,[37] sebagaimana penggunaan kalimat jihad pada beberapa nash dengan makna yang lebih luas, tidak hanya bermakna perang, seperti firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

وَجَاهِدْهُمْ بِهِ جِهَادًا كَبِيرًا

Dan berjihadlah terhadap mereka dengan al-Quran dengan jihad yang besar [Al-Furqân/25: 52]

Dan sebagian hadits yang menetapkan hal ini telah dijelaskan pada dalil-dalil pendapat kelima.
Tujuan dari peperangan itu adalah menolong agama dan mengusir orang-orang kafir yang berlaku zhalim. Tujuan ini juga bisa terwujud melalui jihad dengan harta dan lisan dengan cara menjelaskan kebenaran, mendakwahnya, membantah dan menolak kebatilan. Terutama di zaman-zaman ini, di mana media informasi telah menyebar luas hingga menjangkau seluruh pelosok bumi dan memiliki pengaruh yang signifikan dalam membentuk pola pikir masyarakat dan merubah pemahaman mereka. Bahkan perang informasi melalui media massa lebih besar dampaknya daripada perang militer. Fakta ini semakin menegaskan pentingnya sikap yang tidak memilah-milah antara satu bentuk jihad dengan bentuk jihad lainnya dalam masalah penyaluran zakat kaum Muslimin kepada mereka yang berjihad, selama tujuannya adalah menegakkan kebenaran dan menghancurkan kebatilan.
Pendapat ini mewujudkan sinkronisasi antara gaya bahasa pembatasan dalam ayat zakat dengan adanya perluasan makna fi sabîlillâh yang terdapat dalam al-Qur`ân dan Sunnah. Yaitu dengan memahaminya tidak sebagai sebuah pengkhususan yang sempit tapi juga tidak melebar ke makna yang terlalu umum. Jadi sebuah pengkhususan makna fi sabîlillâh disertai perluasan makna namun tidak keluar dari makna fi sabîlillâh yang sering dipergunakan dan tidak hanya sebatas makna secara bahasa semata.

Pendapat ini didukung oleh keputusan al-Mujamma’ al-Fiqhi al-Islâmi di Makkah, teks keputusan tersebut adalah:

Setelah terjadi tukar pendapat dan kajian terhadap dalil kedua pendapat, maka majlis menetapkan berdasarkan suara mayoritas sebagai berikut:
Mempertimbangkan bahwa pendapat kedua telah diucapkan oleh beberapa Ulama kaum Muslimin dan memiliki sisi pertimbangan dukungan dari sebagian ayat-ayat yang mulia seperti firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ لَا يُتْبِعُونَ مَا أَنْفَقُوا مَنًّا وَلَا أَذًى ۙ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allâh, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Rabb mereka. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Al-Baqarah/2:262), dan dari hadits-hadits yang mulai. Salah satu dari hadits-hadits itu adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawûd bahwa seorang laki-laki telah menjadikan untanya di jalan Allâh, lalu istrinya ingin haji, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya,

اِرْكَبِيْهَا فَإِنَّ الحَجَّ فِي سَبِيلِ اللهِ

Naikilah unta itu, karena haji termasuk fi sabîlillâh.
Mempertimbangkan bahwa tujuan dari jihad dengan senjata adalah meninggikan kalimat Allâh Subhanahu wa Ta’ala , sementara meninggikan kalimat Allâh Azza wa Jalla sebagaimana bisa dengan perang, bisa juga dengan dakwah ke jalan Allâh Subhanahu wa Ta’ala serta menyebarkan agamanya dengan menyiapkan para da’i dan mendukung mereka serta membantu mereka dalam menunaikan tugas. Oleh karena itu, kedua perkara tersebut adalah jihad, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, an-Nasa`i dan dishahihkan oleh al-Hâkim dari Anas Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

جَاهِدُوا المُشْرِكِينَ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ وَأَلْسِنَتِكُمْ

Berjihadlah melawan orang-orang musyrikin dengan harta, jiwa dan lisan kalian.
Mempertimbangkan bahwa agama Islam ini diperangi dengan perang pemikiran dan akidah oleh orang-orang menyimpang, Yahûdi, Nasrani dan musuh-musuh agama yang lain. Para musuh tersebut mendapatkan dukungan moril dan meteriil, maka kaum Muslimin harus menghadapi mereka dengan senjata yang sama dengan mereka atau bahkan kalau bisa dengan senjata yang lebih kuat dari itu.
Mempertimbangkan bahwa peperangan di negeri-negeri Islam telah memiliki kementerian khusus dan mempunyai anggaran finansial di setiap Negara. Lain halnya, dengan jihad melalui dakwah, ia tidak memiliki anggaran secara khusus yang menopang dan mendukungnya di kebanyakan negara Islam.

Dari sini maka majlis menetapkan dengan suara mayoritas bahwa dakwah kepada Allâh Azza wa Jalla, perkara yang mendukung dan menunjang prosesnya termasuk dalam makna fi sabîlillâh dalam ayat zakat yang mulia.[38]

Keputusan yang terkait dengan masalah ini secara khusus juga ada dalam keputusan an-Nadwah li Qadhaya az-Zakah al-Mu’âshirah yang pertama tentang golongan fi sabîlillâh, sebagai berikut:

Maksud dari golongan fi sabîlillâh (yang berhak menerima zakat-red) adalah jihad dengan maknanya yang luas yang ditetapkan oleh para fuqaha` di mana tujuannya adalah melindungi agama dan meninggikan kalimat Allâh. Disamping bermakna perang, dakwah kepada Islam, upaya menjadikan syariat Allâh sebagai undang-undang hukum, menepis syubhat-syubhat yang dilontarkan oleh musuh Islam, menghadang arus-arus yang berlawanan dengannya juga masuk dalam kategori fi sabîlillâh. Dengan ini jihad tidak sebatas gerakan militer semata, hal-hal berikut juga termasuk ke dalam jihad dengan maknanya yang umum:
Mendukung secara finansial gerakan-gerakan jihad militer yang menjunjung panji Islam dan menghadang permusuhan terhadap kaum Muslimin di berbagai negeri mereka.
Mendukung secara finansial pusat-pusat dakwah kepada Islam yang dikelola oleh kaum Muslimin yang jujur lagi amanah di negeri-negeri kafir dengan tujuan menyebarkan Islam melalui segala cara yang shahih yang sejalan dengan zaman, termasuk dalam hal ini adalah setiap masjid yang didirikan di negeri kafir untuk dijadikan sebagai pusat dakwah Islam.
Mendukung secara finansial upaya-upaya peneguhan Islam di antara minoritas kaum Muslimin di negeri-negeri di mana kaum kafir berkuasa atas kaum Muslimin, di mana kaum Muslimin yang minoritas tersebut menghadapi upaya-upaya penghapusan identitas mereka di negeri-negeri tersebut.”[39]

PENERAPAN KONTEMPORER DARI POS “FI SABILILLAH”

Dari keterangan di atas diketahui bahwa yang dimaksud dengan fi sabîlillâh adalah menolong agama melalui jihad dengan jiwa, harta dan lisan. Tentu ini mencakup semua urusan dakwah dan sekaligus menjelaskan bahwa di antara lahan yang patut untuk didanai melalui jalur fi sabîlillâh adalah :

Pertama, segala aktifitas untuk mewujudkan persiapan jihad yang diperintahkan oleh Allâh Azza wa Jalla dalam firman-Nya:

وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ ۚ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تُظْلَمُونَ

Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allâh dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allâh mengetahuinya. apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allâh niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).” [Al-Anfâl/8:60].

Diantara wujudnya:
Mendirikan dan mendanai pabrik-pabrik militer yang memproduksi alat-alat militer, berat maupun ringan dan membeli persenjataan bila diperlukan.
Mendirian akademi-akademi militer yang mendidik para pemuda kaum Muslimin untuk menggunakan senjata dan berperang demi membela negeri kaum Muslimin.
Mencetak buku-buku dan majalah-majalah militer yang memberikan arahan dan informasi kepada kaum Muslimin terkait dengan perkara-perkara yang mereka butuhkan dalam jihad.
Mendirian pusat-pusat riset dan penelitian yang mengkaji langkah-langkah musuh.[40]

Lahan-lahan di atas bisa didanai dari zakat melalui pos fi sabîlillâh bila Ulama umat menetapkan bahwa itu telah memenuhi kriteria syar’i.

Kedua, perkara yang mewujudkan jihad dan menolong agama Allah melalui jalan dakwah. Ini memiliki beberapa bentuk, di antaranya:
Mendirikan kantor-kantor (pusat-pusat) dakwah dan bimbingan dan memenuhi kebutuhannya seperti sarana prasarana, gaji para pegawainya dan biaya operasional lainnya.[41]
Mencetak buku-buku dan buletin-buletin yang bertujuan menyebarkan ilmu syar’i dan dakwah kepada Allâh serta mengedarkan kaset-kaset Islam yang membawa misi dakwah.
Mendukung halaqah-halaqah hafalan al-Qur`ân dan mendanai biaya operasionalnya. Dengan ini sebuah tujuan mulia akan terwujudkan yaitu mengajarkan kitabullah lalu mengamalkannya. Ini termasuk pintu jihad yang paling besar, karena ayat tentang jihad yang pertama kali turun adalah jihad dengan al-Qur`ân, sebagaimana Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَجَاهِدْهُمْ بِهِ جِهَادًا كَبِيرًا

Dan berjihadlah terhadap mereka dengan al-Quran dengan jihad yang besar. [Al-Furqân/25:52].
Membuat dan mendanai website di dunia internet yang menjelaskan kebenaran, membimbing manusia dan berdakwah kepada Allâh dengan hikmah dan nasehat yang baik. Terutama di zaman ini di mana teknologi telah menjadi sarana komunikasi paling efektif antara satu orang dengan lainnya.
Mendirikan jaringan TV Islam yang mengajak kepada Allâh dan mendukungnya demi mewujudkan visi dan misinya. Ini termasuk sarana jihad dengan menggunakan lisan yang paling agung, karena dia memiliki pengaruh yang besar. Karena sarana ini memiliki daya tarik dan pengaruh yang tinggi. Perang di jalur ini lebih besar dampaknya daripada perang militer, karena berdampak secara khusus terhadap akal manusia. Berbeda dengan perang militer, ia hanya mengusai hal-hal riil dan terkadang tidak menyentuh akal dan akidah.
Mendirikan yayasan-yayasan dakwah yang memperhatikan dakwah Islam, baik dakwah kepada orang-orang kafir agar masuk Islam atau dakwah kepada kaum Muslimin dengan memahamkan mereka terhadap agamanya dan memperteguh keyakinan mereka, terutama yang baru masuk Islam.
Mendirikan dan membuat radio-radio Islam serta mendanainya, agar suara kebenaran menjangkau seluruh penjuru bumi. Jangkauan radio itu melebihi jangkauan televisi, karena lebih mudah diakses. Ini memungkinkan seluruh lapisan masyarakat untuk menyimaknya, sebagaimana membawa radio dan mendengarkannya relatif mudah di berbagai tempat, berbeda dengan jaringan TV, mobilitasnya terbatas.
Mendirikan majalah-majalah dan koran-koran Islam yang bertunjuan dakwah yang benar kepada kitab Allâh dan sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , menjelaskan kebenaran dan menumpas kebatilan.

Sarana-sarana modern lainnya yang bisa membantu mewujudkan tujuan dakwah kepada Allâh Azza wa Jalla dengan menjelaskan hidayah dan agama yang benar, karena hal itu termasuk jihad dengan lisan dan termasuk sarana mendukung agama dan membimbing manusia yang menjadi tujuan disyariatkanya jihad. Oleh karena itu ada perintah berjihad dalam artianyang luas, sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

جَاهِدُوا المُشْرِكِينَ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ وَأَلْسِنَتِكُمْ

“Berjihadlah melawan orang-orang musyrikin dengan harta, jiwa dan lisan kalian”.

Dan yang lebih utama dari itu adalah mendahulukan dakwah kepada selain kaum muslimin, karena lebih dekat kepada makna jihad di samping dampaknya yang besar.

Wallahu a’lam.

(Diangkat dari Nawazil az-Zakat oleh DR. Abdullah Manshur al-Ghufaili)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XIX/1436H/2015.]
_______
Footnote

[1] Lihat Badâ`i’ ash-Shanâ`i’ 73/2; Raddul Muhtâr, 3/260; al-Isyrâf ala Nukat Masâ`il al-Khilâf, 1/422; Adz-Dzakhîrah 3/148; Al-Bayân 3/326; Raudhah ath-Thâlibîn, 2/321; Al-Furû’ 2/612 dan Kasysyâf al-Qannâ’ 2/107.

[2] Lihat Badâ`i’ ash-Shanâ`i’ 2/73; Raddul Muhtâr 3/260. Beliau rahimahullah mengkhususkannya pada orang-orang miskin yang berjihad.

[3] Lihat al-Isyrâf ala Nukat Masâ`il al-Khilâf 1/422 dan adz-Dzakhîrah 3/148.

[4] Lihat al-Bayân 3/426 dan Raudhah ath-Thâlibîn 2/321.

[5] Lihat al-Furû’ 2/612 dan Kasysyâf al-Qannâ’ 2/107.

[6] Lihat al-Mughnî 9/326.

[7] Lihat al-Majmu’ 6/200.

[8] Lihat ar-Raudhah an-Nadiyyah, 1/206; Mashraf fi Sabîlillâh bainal Umum wal Khusûs, hlm. 38

[9] Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam sunan Abi Dawud, no. 1635 dan al-Hâkim dalam al-Mustadrak 1/566 no. 1481, juga Ahmad dalam al-Musnad 3/56, Syaikh al-Arnauth berkata dalam tahqiqnya, “Hadits shahih, rawi-rawinya adalah rawi-rawi ash-Shahihain.”

[10] Lihat asy-Syarhul Kabîr 7/250.

[11] Makalah fi Sabîlillâh, salah satu makalah Hai`ah Kibâr al-Ulamâ` di Kerajaan Saudi Arabiah 1/131.

[12] Lihat Badâ`i’ ash-Shanâ`I, 73/2 dan Hasyiyah Raddul Muhtâr 3/260.

[13] Lihat al-Furû’ 2/612 dan Kasysyâf al-Qannâ’ 2/107.

[14] Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 1988 dan Ahmad no. 27151, 6/375. Dikatakan dalam Aunul Ma’bûd 5/323, “Hadits Ummu Ma’qil memiliki beberapa jalan periwayatan dan sanad, namun tidak luput dari idhthirâb(kegoncangan) dalam matan dan sanad.”

[15] Lihat al-Majmû’ 6/200.

[16] Lihat al-Mughni 9/329.

[17] Lihat asy-Syarhul Kabîr 7/250.

[18]Lihat al-Bada`i’ 2/73

[19] Lihat keputusan al-Mujamma’ al-Fiqhi no. 3 hlm. 211 keputusan no. 4.

[20] Lihat Mashraf fi Sabilillah baina al-Umûm wal Khusûs, hlm. 52.

[21] Makalah Fi Sabilillah, salah satu makalah Hai`ah Kibar al-Ulama` di Kerajaan Saudi Arabiah 1/135.

[22] Di antara yang berpendapat demikian adalah as-Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dan Syaikh Mahmud Syaltut, lihat Tafsir al-Manar 10/504 dan al-Islam Aqidah wa Syari’ah, hlm. 124

[23] Lihat Tafsir al-Qur`an karya Syaltut, hlm. 651.

[24] Lihat Masymulat Mashraf fi Sabîlillâh bi Nazhrah Mu’âshirah 2/788, dalam kumpulan makalah fikih fi Qadhâyâ az-Zakah al-Mu’âshirah.

[25] Hal itu tercantum dalam hadits Basyir bin Yasar dari Sahal bin Abu Hatsmah al-Anshâri bahwa dia berkata, “Lalu Rasûlullâh n tidak ingin darahnya sia-sia, maka Beliau membayar diyatnya seratus unta dari unta zakat.” Muttafaq alaihi. Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhâri dalam Kitab ad-Diyat Bab al-Qasamah no. 6502 dan Muslim Kitab al-Qasamah wal Muharibin wal Qishash wad Diyat Bab al-Qasamah no. 1669 dan ini adalah lafazh Muslim.

Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 12/244 berkata, “Sebagian Ulama memahaminya sesuai dengan zhahirnya. Qadhi Iyadh menyampaikan dari sebagian Ulama dibolehkannya membayar zakat untuk kepentingan umum.”

[26] Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhâri no. 6502 dan Muslim no. 1669 dan ini adalah lafazh Muslim.

[27] Lihat Infaq az-Zakah fil Mashalih al-Ammah, hlm. 102.

[28] Lihat Masymulat Mashraf fi Sabîlillâh bi Nazhrah Mu’âshirah 2/788, dalam kumpulan makalah fikih fi Qadhaya az-Zakah al-Muashirah.

[29] Lihat keputusan al-Mujamma’ al-Fiqhi al-Islami di Makkah no. 3 hlm. 210.

[30] Lihat Fatawa wa Taushiyat Nadawat Qadhaya az-Zakah al-Muashirah hal. 25.

[31] Yang dimaksudkan adalah firman Allâh Azza wa Jalla yang artinya, “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk …. (QS. At-Taubah/9:60)-red

[32] Lihat Fiqhu az-Zakah 2/703.

[33] Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnadnya 4/314 no. 18850, an-Nasa`i no. 4209 secara mursal. Namun hadits ini diriwayatkan secara maushûl dari riwayat Athiyah al-Aufi dari Abu Said al-Khudri, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan lafazh, “Jihad paling utama adalah kalimat adil di depan pemimpin yang zhalim.” Dalam sunan Abu Dawud no. 4344 dan at-Tirmidzi no. 4011. Riwayat ini dishahihkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya 4/99 dan al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahîhah no. 491, 1/886.

[34] Hadits shahih riwayat Abu Dawud dan an-Nasaa’I dan dishahihkan al-Albani dalam al-Misykah no. 3821.

[35] Lihat Fiqhu az-Zakah 2/704.

[36] Lihat Masymulat Mashraf fi Sabîlillâh bi Nazhrah Mu’âshirah 2/848, dalam kumpulan makalah fikih fi Qadhaya az-Zakah al-Muashirah.

Lihat untuk menambah maklumat tentang kajian terhadap dalil-dalil yang menyebutkan fi sabîlillâh makalah Mashraf fi Sabilillah bainal Umum wal Khusus, hlm. 15.

[37] Lihat Mashraf fi Sabilillah bainal Umum wal Khusus, hlm. 20

[38] Keputusan keempat tentang pengumpulan dan pembagian zakat dan pajak di Pakistan pada daurah kedelapan, no. 3 hlm. 211 keputusan no. 4.

[39] Fatâwâ wa Tausiyât Nadawat Qadhâya az-Zakah al-Mu’âshirah, hlm. 25.

[40] Lihat Masymulat Mashraf fi Sabîlillah bi Nazhrah Mu’âshirah 2/854.

[41] Lihat at-Taqrîr wat Tahbîr 1/326 dan al-Mustashfa hlm. 67.

Related Posts:

0 Response to "Tafsir At Taubah Ayat 50-61"

Post a Comment