Tafsir Al An’aam Ayat 111-121

Ayat 111-113: Permusuhan orang-orang yang berada di atas kebatilan kepada orang-orang yang yang berada di atas kebenaran

وَلَوْ أَنَّنَا نَزَّلْنَا إِلَيْهِمُ الْمَلائِكَةَ وَكَلَّمَهُمُ الْمَوْتَى وَحَشَرْنَا عَلَيْهِمْ كُلَّ شَيْءٍ قُبُلا مَا كَانُوا لِيُؤْمِنُوا إِلا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ يَجْهَلُونَ (١١١) وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الإنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ مَا فَعَلُوهُ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُونَ (١١٢) وَلِتَصْغَى إِلَيْهِ أَفْئِدَةُ الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ بِالآخِرَةِ وَلِيَرْضَوْهُ وَلِيَقْتَرِفُوا مَا هُمْ مُقْتَرِفُونَ (١١٣

Terjemah Surat Al An’aam Ayat 111-113


111. Sekalipun Kami benar-benar menurunkan malaikat kepada mereka, dan orang yang telah mati berbicara dengan mereka[1] dan Kami kumpulkan (pula) di hadapan mereka segala sesuatu (yang mereka inginkan)[2], mereka tidak (juga) akan beriman[3], kecuali jika Allah menghendaki. Tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui (arti kebenaran).


[1] Sebagaimana yang mereka usulkan.

[2] Untuk menjadi saksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah.

[3] Karena Allah telah lebih dulu mengetahui.

112.[4] Dan demikianlah untuk setiap Nabi Kami menjadikan musuh yang terdiri dari setan-setan manusia dan jin[5], sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan yang indah sebagai tipuan[6]. Kalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak akan melakukannya, maka biarkanlah mereka bersama kebohongan yang mereka ada-adakan.


[4] Dalam ayat ini, Allah Subhaanahu wa Ta'aala menghibur Rasul-Nya Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.

[5] Hikmah Allah Ta’ala menjadikan untuk para nabi musuh-musuh mereka dan adanya pembela-pembela kebatilan adalah agar terjadi ujian bagi manusia, di mana dari sana diketahui orang yang jujur dengan orang yang berdusta, orang yang berakal dengan orang yang jahil (bodoh), dan orang yang melihat dengan orang yang buta. Hikmah lainnya adalah untuk menerangkan yang hak dan memperjelasnya, karena kebenaran akan semakin nampak dan jelas ketika dihadapkan dengan yang batil, sebagaimana terangnya siang hari dapat diketahui dengan adanya malam hari.

[6] Maksudnya setan-setan jenis jin dan manusia berupaya menipu manusia agar tidak beriman kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dengan perkataan yang terkesan indah, sehingga mereka melihat kebenaran sebagai kebatilan dan kebatilan sebagai kebenaran.

@ Salah satu diantara upaya setan untuk menggoda manusia adalah dengan membisikkan kata-kata indah, untuk menjadi alasan pembenar bagi kesesatan mereka
113. Dan agar hati kecil orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat, tertarik kepada kata-kata itu, dan menyenanginya, dan agar mereka melakukan apa yang mereka biasa lakukan[7].

[7] Berupa dosa-dosa, sehingga mereka akan diberi hukuman. Adapun orang-orang yang beriman kepada kehidupan akhirat; pemilik akal yang sehat, mereka tidak tertipu oleh kata-kata indah itu, bahkan yang mereka perhatikan adalah hakikat yang sebenarnya, mereka melihat makna yang terkandung dari kata-kata itu, jika benar maka mereka menerima dan tunduk kepadanya meskipun dibungkus dengan kata-kata yang kurang indah, namun jika batil, maka mereka menolaknya meskipun dibungkus dengan kata-kata yang indah.

Ayat 114-117: Yang menetapkan hukum adalah Allah Subhaanahu wa Ta'aala, pada hukum-Nya terdapat kebenaran, kebaikan, keselamatan dan hidayah


أَفَغَيْرَ اللَّهِ أَبْتَغِي حَكَمًا وَهُوَ الَّذِي أَنْزَلَ إِلَيْكُمُ الْكِتَابَ مُفَصَّلا وَالَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْلَمُونَ أَنَّهُ مُنَزَّلٌ مِنْ رَبِّكَ بِالْحَقِّ فَلا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ (١١٤) وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلا لا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ (١١٥) وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الأرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلا يَخْرُصُونَ (١١٦) إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ مَنْ يَضِلُّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ (١١٧

Terjemah Surat Al An’aam Ayat 114-117


114.[8] Pantaskah aku mencari hakim selain Allah[9], padahal Dialah yang menurunkan kitab (Al Quran) kepadamu secara rinci[10]? Orang-orang yang telah Kami beri kitab[11] mengetahui benar bahwa (Al Quran) itu diturunkan dari Tuhanmu dengan benar. Maka janganlah kamu termasuk orang-orang yang ragu[12].


[8] Ayat ini turun ketika orang-orang kafir meminta diadakan hakim antara Beliau dengan mereka.

[9] Padahal selain Alah adalah mahkum ‘alaih (yang dihukumi); bukan hakim. Dan lagi setiap keputusan makhluk mengandung kekurangan, cacat dan kezaliman, bahkan yang wajib dijadikan hakim adalah Alah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya, di mana Dia yang menciptakan dan memerintah.

[10] Dalam Al Qur’an diterangkan secara rinci yang halal dan yang haram, hukum-hukum syar’i, pokok-pokok agama dan cabang-cabangnya, di mana tidak ada penjelasan yang melebihi penjelasannya, tidak ada bukti yang melebihi buktinya, dan tidak ada yang lebih baik hukumnya daripadanya, serta tidak ada yang lebih lurus perkataannya daripadanya, karena hukum-hukumnya mengandung hikmah dan rahmat.

[11] Seperti Abdullah bin Salam dan kawan-kawannya atau Ahli Kitab terdahulu dari kalangan Yaudi dan Nasrani.

[12] Ayat ini merupakan taqrir (pernyataan) kebenaran Al Qur’an kepada orang-orang kafir.

115. Telah sempurna firman Tuhanmu (Al-Quran)[13] dengan benar[14] dan adil[15]. Tidak ada yang dapat mengubah firman-Nya. Dan Dia Maha Mendengar[16] lagi Maha Mengetahui[17].


[13] Dengan hukum-hukum dan janji-janji.

[14] Berita-beritanya benar.

[15] Perintah dan larangannya adil.

[16] Terhadap semua perkataan.


[17] Terhadap semua yang nampak maupun yang tersembunyi, yang lalu maupun yang akan datang.

116.[18] Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang di bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah[19]. Yang mereka ikuti hanya persangkaan belaka[20] dan mereka hanyalah membuat kebohongan[21].


[18] Dalam ayat ini, Allah Ta’ala mengingatkan nabi-Nya agar tidak mengikuti kebanyakan manusia, karena yang mereka ikuti hanyalah persangkaan belaka.

Allâh Ta’ala mengabarkan kondisi kebanyakan penduduk muka bumi dari anak keturunan Adam, sesungguhnya (mereka berada) dalam kesesatan Lihat Juga [Shâd/38:24],[Yûsuf/12 : 103]

Parameter kebenaran bukanlah berdasarkan kuantitas, banyak atau sedikit. Akan tetapi, “kebenaran itu (disebut kebenaran) tatkala sesuai dengan dalil tanpa perlu menengok banyaknya orang yang menerima atau minimnya penolakan orang

Allâh Azza wa Jalla telah mengabarkan tentang umat terdahulu bahwa kaum minoritas bisa saja berada di atas al-haq. Allâh Azza wa Jalla berfirman: 

وَمَا آمَنَ مَعَهُ إِلَّا قَلِيلٌ

Dan tidak beriman bersama dengan Nuh itu kecuali sedikit. [Hûd/11:40].

Maka, siapa saja berada di atas al-haq yang berlandaskan dalil yang shahîh dan lurus, berkomitmen kuat dengannya dalam ucapan, perbuatan, keyakinan, meskipun ia sendirian, dialah orang yang benar dan lurus, dan selanjutnya pantas diikuti oleh orang lain.


[19] Hal itu, karena agama mereka telah menyimpang, sebagaimana amal dan ilmu mereka pun telah menyimpag. Ayat ini menunjukkan bahwa banyaknya orang yang melakukan sesuatu bukanlah menjadi tolok ukur terhadap suatu kebenaran, dan menunjukkan bahwa sedikitnya orang yang menempuh tidaklah menunjukkan tidak berada di atas kebenaran, oleh karenanya para pengikut kebenaran adalah orang yang paling sedikit jumlahnya, namun paling tinggi kedudukan dan pahalanya di sisi Allah.

[20] Seperti dalam perdebatan mereka denganmu tentang masalah bangkai, mereka berkata untuk menghalalkan bangkai, “Apa yang Allah matikan (bangkai) lebih berhak kamu makan daripada yang kamu matikan.”

@ Taklid hanya menghasilkan zhan (prasangka) semata dan Allah telah melarang untuk mengikuti prasangka
Taklid hanya menghasilkan zhan (prasangka) semata dan Allah telah melarang untuk mengikuti prasangka

Baca selengkapnya. Klik https://muslim.or.id/2160-jangan-hanya-taklid-buta.html

[21] Seperti menghalalkan memakan apa yang telah diharamkan Allah dan mengharamkan apa yang telah dihalalkan Allah, menyatakan bahwa Allah mempunyai anak, dsb.

117. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya, dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk[22].

[22] Oleh karena itu, kamu wahai kaum mukmin wajib mengikuti nasehat-Nya, melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, karena Dia lebih mengetahui hal yang lebih bermaslahat bagi kamu dan lebih sayang kepada dirimu daripada dirimu sendiri.

Ayat 118-121: Hewan sembelihan antara yang syar’i dengan yang tidak

فَكُلُوا مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ بِآيَاتِهِ مُؤْمِنِينَ (١١٨)وَمَا لَكُمْ أَلا تَأْكُلُوا مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ وَإِنَّ كَثِيرًا لَيُضِلُّونَ بِأَهْوَائِهِمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِالْمُعْتَدِينَ (١١٩) وَذَرُوا ظَاهِرَ الإثْمِ وَبَاطِنَهُ إِنَّ الَّذِينَ يَكْسِبُونَ الإثْمَ سَيُجْزَوْنَ بِمَا كَانُوا يَقْتَرِفُونَ (١٢٠) وَلا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَائِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ (١٢١

Terjemah Surat Al An’aam Ayat 118-121


118.[23] Maka makanlah dari apa (daging hewan) yang (ketika disembelih) disebut nama Allah, jika kamu beriman kepada ayat-ayat-Nya.

[23] Dalam ayat ini, Allah Ta’ala memerintahkan hamba-hamba-Nya yang mukmin sebagai konsekwensi iman mereka agar mereka memakan daging hewan ternak maupun hewan halal lainnya yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya dan agar mereka meyakini kehalalannya serta tidak melakukan seperti yang dilakukan kaum Jahiliyyah yang mengharamkan banyak yang halal. Allah menyebutkan, bahwa ciri orang mukmin adalah menyelisihi kaum Jahiliyyah dalam adat yang tercela ini yang isinya merubah syari’at Allah. Ayat yang mulia di atas juga menunjukkan bahwa hukum asal pada sesuatu dan pada makanan adalah mubah, dan bahwa jika tidak ada larangan dari syara’, maka tetap mubah, oleh karena itu apa yang didiamkan Allah adalah halal, karena perkara haram telah dirincikan Alah, sehingga jika tidak disebutkan, maka hukumnya halal. Meskipun yang haram telah dijelaskan secara rinci oleh Allah, namun Dia membolehkan untuk mengkonsumsinya ketika terpaksa dan ketika kelaparan.


119. Mengapa kamu tidak mau memakan dari apa (daging hewan) yang (ketika disembelih) disebut nama Allah, padahal Allah telah menjelaskan kepadamu apa yang diharamkan-Nya kepadamu[24], kecuali jika kamu dalam keadaan terpaksa. Dan sungguh, banyak yang menyesatkan orang dengan keinginannya[25] tanpa dasar pengetahuan[26]. Tuhanmu lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas[27].


[24] Seperti di Surah Al Maa’idah ayat 3.

[25] Seperti menghalalkan bangkai, dsb.

[26] Dan tanpa hujjah. Oleh karena itu, hendaknya seorang hamba waspada terhapa ajakan mereka, di mana ciri mereka adalah mengajak dengan tanpa dalil dan tanpa hujjah syar’i, yang ada hanyalah syubhat sesuai hawa nafsu mereka yang rusak dan pandangan mereka yang pendek. Berbeda dengan mereka yang menunjukkan orang lain lagi mendapat petunjuk; di mana mereka mengajak kepada kebenaran dan petunjuk, menguatkan dakwah mereka dengan hujjah ‘aqli maupun syar’i, dan tidak ada yang mereka cari dari dakwah mereka selain ridha Tuhan mereka dan agar dapat dekat dengan-Nya.

[27] Dari yang halal kepada yang haram.

120. Dan tinggalkanlah dosa yang terlihat ataupun yang tersembunyi[28]. Sungguh, orang-orang yang mengerjakan perbuatan dosa, kelak akan diberi pembalasan sesuai dengan apa yang mereka kerjakan[29].


[28] Yakni semua maksiat baik yang nampak maupun yang tersembunyi, yang terkait dengan hak Allah maupun yang terkait dengan hak hamba, yang terkait dengan lisan dan anggota badan maupun yang terkait dengan hati, dan seorang hamba tidak dapat secara sempurna meninggalkan maksiat yang nampak maupun yang tersembunyi kecuali setelah mengenali dan mengkajinya. Oleh karena itu, mengetahui maksiat anggota badan dan hati merupakan perkara yang wajib bagi setiap mukallaf (orang yang sudah mendapat beban agama, yakni yang baligh dan berakal), dan banyak manusia yang masih samar baginya kebanyakan maksiat, khususnya maksiat yang terkait dengan hati, seperti sombong, ‘ujub (bangga diri), riya’ bahkan seseorang terkadang banyak tertimpa hal itu namun ia tidak menyadari, hal ini tidak lain karena berpaling dari ilmu dan tidak adanya bashirah (mata hati).

[29] Balasan ini dilakukan di akhirat, dan bisa juga di dunia sehingga seseorang dihukum untuk meringankan keburukannya.

121.[30] Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya[31] perbuatan itu benar-benar suatu kefasikan[32]. Sesungguhnya setan-setan akan membisikkan kepada kawan-kawannya[33] agar mereka membantah kamu[34]. Dan jika kamu menuruti mereka[35], tentu kamu telah menjadi orang musyrik.

[30] Abu Dawud meriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya setan-setan akan membisikkan kepada kawan-kawannya…dst. (lih. Ayat di atas).” Mereka berkata, “Apa yang disembelih Allah, janganlah kamu makan, dan apa yang kamu sembelih (tanpa menyebut nama Allah), maka makanlah, “Wa laa ta’kuluu mimmaa lam yudzkarismullahi ‘alaih.” (Hadits ini para perawinya adalah para perawi kitab shahih, Al Haafizh Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya, “Ini isnad yang shahih.” Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah, Ibnu Jarir dan Hakim dan ia berkata, “Shahih sesuai syarat Muslim.” Adz Dzahabi mendiamkannya. Syaikh Muqbil berkata, “Hadits ini dari riwayat Simak dari Ikrimah, ia adalah mudhtharib. Oleh karena itu, hadits tersebut dha’if dengan sanad ini, akan tetapi hadits ini memiliki syahid (penguat) yang menjadikannya bisa dipakai hujjah, di antaranya hadits yang diriwayatkan oleh Nasa’i dalam At Tafsir (1/hal. 479), dan Abu Dawud (3/246)).

[31] Termasuk ke dalam hal ini adalah:

- Binatang yang disembelih dengan nama selain Allah, seperti yang disembelih untuk patung dan berhala.

- Binatang yang ketika disembelih tidak disebut nama Allah dengan sengaja (tidak lupa), menurut mayoritas ulama.

- Binatang yang mati tanpa disembelih (bangkai), karena ia termasuk yang tidak disebut nama Allah padanya.

[32] Keluar dari kehalalan.

[33] Ayat ini menunjukkan bahwa ilham yang diterima seseorang atau yang biasa terjadi pada diri orang-orang sufi –menurut orang-orang Sufi- tidaklah menunjukkan bahwa ia adalah benar, bahkan harus disodorkan kepada kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam, jika keduanya menunjukkan demikian, maka ilham itu diterima, jika bertentangan dengan keduanya, maka wajib ditolak, karena ilham itu bisa berasal dari Allah dan bisa berasal dari setan.

[34] Dalam menghalalkan bangkai dengan tanpa ilmu, di mana kaum musyrik ketika mendengar pengharaman bangkai oleh Allah dan Rasul-Nya, dan penghalalan binatang yang disembelih, mereka berkata –untuk menghalalkan bangkai-, “Mengapa kamu memakan binatang yang kamu bunuh dan tidak memakan binatang yang dibunuh Allah (dimatikan Alah tanpa disembelih)?” Yang mereka maksud adalah bangkai. Allah menerangkan di ayat ini, bahwa syubhat yang mereka kemukakan berasal dari wali mereka dari kalangan setan yang ingin menyesatkan manusia dari jalan yang lurus dan mengajak mereka agar sama-sama menjadi penghuni neraka.

[35] Dalam kesyirkkan dan dalam penghalalan yang haram serta mengharamkan yang halal.

=============================
TAFSIR RINGKAS [Al-An’am/6:116-117]


Ketahuilah wahai Rasûlullâh! Sesungguhnya “jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allâh,” maksudnya seandainya kamu (wahai Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) mendengarkan, mengambil dan mengikuti pendapat atau saran-saran mereka, maka mereka akan menyesatkanmu secara nyata dari jalan Allâh Azza wa Jalla . Penyebabnya adalah sebagian besar dari mereka tidak memiliki pengetahuan dan ilmu yang haq. Seluruh apa yang mereka ucapkan berasal dari hawa nafsu dan bisikan syaitan.
“Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah mengira-ngira saja.” Sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti perkataan-perkataan yang berasal dari prasangka-prasangka mereka. Tidaklah mereka berbicara kecuali hanya dengan mengira-ngira saja dan berdusta.
“Sesungguhnya Rabbmu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang orang yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang orang orang yang mendapat petunjuk.” Cukuplah bagimu pengetahuan Allâh Azza wa Jalla tentang mereka dan Dia-lah yang Maha Mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan siapa yang mendapatkan petunjuk.[1]
PENJABARAN AYAT
Firman Allâh Azza wa Jalla :
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allâh
Pada ayat ini, Allâh Azza wa Jalla memberikan perintah kepada Nabi-Nya dan perintah ini berlaku juga kepada seluruh pengikutnya. Yaitu perintah agar tidak mengikuti kebanyakan manusia yang ada di muka bumi ini. Karena kebanyakan mereka berada dalam kesesatan. Jika seseorang tetap mengikuti mereka, maka ini akan menyebabkannya tersesat dari jalan Allâh Azza wa Jalla .
Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Allâh Azza wa Jalla memberitahukan tentang keadaan sebagian besar penduduk bumi dari anak keturunan Adam yang berada dalam kesesatan.”[2]
Kebanyakan manusia tidak mengikuti ajaran yang murni dari Allâh Azza wa Jalla . Ajaran yang mereka anut adalah ajaran-ajaran yang menyimpang, amalan-amalan mereka bercampur dengan hal-hal baru yang mereka ada-adakan sendiri tanpa petunjuk dari Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Syaikh as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya sebagian besar dari mereka telah menyimpang dalam agama, amalan-amalan dan ilmu-ilmu mereka. Agama-agama mereka telah rusak, amalan-amalan mereka mengikuti hawa nafsu mereka; dan ilmu-ilmu mereka tidak didasarkan atas penelitian untuk mencari kebenaran dan tidak bisa mendapatkan jalan yang lurus.”[3]
Kita tidak bisa menjadikan apa yang dipegang oleh kebanyakan manusia sebagai suatu kebenaran jika mereka berada dalam kesesatan. Gaya hidup menyimpang yang terus berkembang, kemaksiatan dan kesesatan yang terus merajalela, jangan sampai membuat kita tergiur dan terpengaruh. Sebagian kaum Muslimin merasa tidak enak jika menyelisihi kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat di dunia ini, padahal kebiasaan itu salah. Sebagai seorang Muslim kita harus berpegang kepada kebenaran yang diturunkan oleh Allâh Azza wa Jalla .
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya jumlah yang banyak bisa menjadi suatu kesesatan. Allâh Azza wa Jalla berfirman, (yang artinya), “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allâh.” Dan di sisi lain, dengan jumlah yang banyak, seseorang bisa tertipu dengannya dan dia menyangka bahwa dia tidak akan terkalahkan dan pasti menang. Ini juga termasuk sebab dari kesesatan. Dan jumlah yang banyak jika kita lihat kepada sebagian besar penduduk bumi, maka kebanyakan mereka sesat dan janganlah kamu tertipu dengan mereka. Janganlah kamu katakan, ‘Sesungguhnya manusia telah berpegang pada ini, bagaimana mungkin saya menyelisihi mereka?”[4]
Pesan yang sangat indah disampaikan oleh Imam al-Fudhail bin ‘Iyâdh rahimahullah,, beliau pernah mengatakan, “Ikutilah jalan-jalan petunjuk dan sedikitnya orang yang mengikutinya tidak akan berbahaya bagimu. Jauhilah jalan-jalan kesesatan dan janganlah tertipu dengan banyaknya jumlah orang yang binasa (terjerumus di sana).”[5]
AYAT-AYAT YANG SEMISAL DENGAN LAFAZ DI ATAS
Ada beberapa ayat dalam al-Qur’an yang menunjukkan bahwa kita tidak boleh mengikuti kebanyakan manusia di muka bumi ini, di antaranya adalah firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ
Dan sebagian besar manusia tidak akan beriman – walaupun kamu sangat menginginkannya- [Yûsuf/12:103]
Begitu juga firman Allâh:
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلَّا وَهُمْ مُشْرِكُونَ
Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allâh, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allâh (dengan sembahan-sembahan lain). [Yûsuf/12:106]
Dan juga firman-Nya:
وَلَقَدْ صَرَّفْنَا لِلنَّاسِ فِي هَٰذَا الْقُرْآنِ مِنْ كُلِّ مَثَلٍ فَأَبَىٰ أَكْثَرُ النَّاسِ إِلَّا كُفُورًا
Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulang kepada manusia dalam al-Quran ini tiap-tiap macam perumpamaan, tapi kebanyakan manusia tidak menyukai kecuali mengingkari (nya) [Al-Isra’/17:89]
Dan juga firman-Nya:
وَمَا وَجَدْنَا لِأَكْثَرِهِمْ مِنْ عَهْدٍ ۖ وَإِنْ وَجَدْنَا أَكْثَرَهُمْ لَفَاسِقِينَ
Dan Kami tidak mendapati kebanyakan mereka memenuhi janji. Sesungguhnya Kami mendapati kebanyakan mereka orang-orang yang fasik [Al-A’râf/7:102]
Dengan demikian, kita bisa memahami bahwa Allâh Azza wa Jalla mensifati sebagian besar manusia di muka bumi ini dengan sifat: sesat, kafir (ingkar), syirik dan fasik, serta tidak beriman kepada Allâh Azza wa Jalla .
TIDAK BOLEH TERTIPU DENGAN JUMLAH YANG BANYAK
Di antara para Nabi ada yang memiliki pengikut hanya satu atau dua orang, karena kebanyakan manusia pada saat itu berada dalam kesesatan. Pengikut nabi tersebut meskipun hanya sedikit jumlahnya,  mereka tidak tertipu dengan banyaknya manusia yang berada dalam kesesatan.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عُرِضَتْ عَلَيَّ الأُمَمُ، فَجَعَلَ يَمُرُّ النَّبِيُّ مَعَهُ الرَّجُلُ، وَالنَّبِيُّ مَعَهُ الرَّجُلاَنِ، وَالنَّبِيُّ مَعَهُ الرَّهْطُ، وَالنَّبِيُّ لَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ
Ditunjukkan kepadaku umat-umat. Kemudian lewatlah seorang nabi bersama satu orang (pengikut), seorang Nabi bersama dua orang (pengikut) dan seorang Nabi bersama beberapa orang dan seorang Nabi yang lewat tidak bersama siapa pun …. [6]
Firman Allâh ta’ala:
إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ
Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah mengira-ngira saja
Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Bahkan tujuan mereka adalah mengikuti prasangka yang tidak mengandung kebenaran. Mereka hanya mengira-ngira dalam berbicara tentang Allâh Azza wa Jalla dalam masalah yang tidak mereka ketahui. Jika seperti ini keadaannya, maka sangat wajar, jika Allâh Azza wa Jalla memperingatkan para hamba-Nya dari keburukan tersebut dan menjelaskan keadaan mereka. Meskipun yang diajak bicara pada ayat ini adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , (namun) sesungguhnya umatnya mengikuti Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam seluruh hukum yang tidak dikekhususkan buat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .”[7]
Dengan demikian kita mengetahui bahwa orang-orang kafir berada dalam kesesatan karena dalam beragama mereka hanya mengikuti prasangka dan mengira-ngira akan suatu kebenaran sehingga mereka harus membuat kedustaan demi kedustaan atas nama Allâh Azza wa Jalla .
AYAT-AYAT YANG SEMISAL DENGAN AYAT INI
Ada beberapa ayat dalam al-Qur’an yang menunjukkan bahwa mereka hanya beragama dengan prasangka-prasangka saja. Diantaranya firman Allâh Azza wa Jalla :
وَقَوْلِهِمْ إِنَّا قَتَلْنَا الْمَسِيحَ عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ رَسُولَ اللَّهِ وَمَا قَتَلُوهُ وَمَا صَلَبُوهُ وَلَٰكِنْ شُبِّهَ لَهُمْ ۚ وَإِنَّ الَّذِينَ اخْتَلَفُوا فِيهِ لَفِي شَكٍّ مِنْهُ ۚ مَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِلَّا اتِّبَاعَ الظَّنِّ ۚ وَمَا قَتَلُوهُ يَقِينًا
Dan karena ucapan mereka: ‘Sesungguhnya kami telah membunuh al-Masih, ‘Isa putra Maryam, Rasul Allâh’. Padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan ‘Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) ‘Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang orang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah ‘Isa.” [An-Nisâ/4:157]
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:
سَيَقُولُ الَّذِينَ أَشْرَكُوا لَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا أَشْرَكْنَا وَلَا آبَاؤُنَا وَلَا حَرَّمْنَا مِنْ شَيْءٍ ۚ كَذَٰلِكَ كَذَّبَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ حَتَّىٰ ذَاقُوا بَأْسَنَا ۗ قُلْ هَلْ عِنْدَكُمْ مِنْ عِلْمٍ فَتُخْرِجُوهُ لَنَا ۖ إِنْ تَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ أَنْتُمْ إِلَّا تَخْرُصُونَ
Orang-orang yang mempersekutukan Rabb akan mengatakan, ‘Jika Allâh menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apapun.’ Demikian pulalah orang-orang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah, ‘Adakah kalian mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kalian mengemukakannya kepada Kami?’ Kalian tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanyalah berdusta.” [Al-An’âm/6:148]
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:
وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلَّا ظَنًّا ۚ إِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا يَفْعَلُونَ
Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allâh Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan. [Yûnus/10:36]
Dengan demikian kita dapat memahami bahwa mereka beragama hanya dengan prasangka-prasangka dan kedustaan-kedustaan saja.
Firman Allâh Azza wa Jalla:
إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ مَنْ يَضِلُّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Sesungguhnya Rabbmu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang orang yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang orang orang yang mendapat petunjuk
Syaikh ‘Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “… Dan Allâh Azza wa Jalla yang memberi petunjuk dan wajib bagi kalian -wahai orang-orang yang beriman- untuk mengikuti semua nasihat juga perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Karena Allâh lebih tahu tentang hal-hal yang mendatangkan kebaikan buat kalian dan Allâh Azza wa Jalla lebih sayang kepada kalian daripada rasa sayang kalian terhadap diri kalian sendiri. Ayat ini menunjukkan agar seseorang tidak menjadikan banyaknya pengikut sebagai indikasi kebenaran, dan juga tidak mengidentikkan ketidakbenaran sesuatu dengan melihat jumlah pengikutnya yang sedikit. Bahkan kenyataannya berbeda dengan hal tersebut, justru para pengikut kebenaran itu jumlahnya lebih sedikit, namun mereka lebih besar kedudukan dan pahalanya di sisi Allâh.”[8]
Imam al-Baghawi rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Rabb-mu lebih mengetahui siapa di antara manusia yang sesat dari jalan-Nya. ‘Dan Dia lebih mengetahui tentang orang orang yang mendapat petunjuk.’ Allâh Azza wa Jalla mengabarkan bahwa Dia lebih mengetahui kelompok-kelompok sesat dan melampaui batas, dan Allâh akan membalas semuanya sesuai haknya.”[9]
KEBENARAN HARUS MEMILIKI BUKTI
Kebenaran itu harus memiliki bukti. Oleh karena itu, kita tidak boleh tertipu dengan jumlah pengikut suatu agama, keyakinan atau aliran tertentu yang banyak. Yang menjadi timbangan kebenaran bukan banyak atau sedikitnya pengikut, namun yang menjadi timbangan adalah kebenaran.
Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla telah menghukumi orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai orang yang sesat dan mereka menyangka bahwa mereka akan masuk ke dalam surga. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَقَالُوا لَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ كَانَ هُودًا أَوْ نَصَارَىٰ ۗ تِلْكَ أَمَانِيُّهُمْ ۗ قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata, ‘Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani.’ Demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah, ‘Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar.’ [Al-Baqarah/2:111]
Allâh Subhanahu wa Ta’ala menyuruh mereka untuk mendatangkan burhân (bukti), dan mereka tidak bisa mendatangkan bukti itu selama-lamanya. Diantara alasannya adalah kitab-kitab suci mereka, yaitu Taurat dan Injil, telah mengalami perubahan dari zaman ke zaman dan mereka pun meyakini akan terjadi perubahan tersebut.
Oleh karena itu, apabila kita mendapatkan suatu agama, kepercayaan, keyakinan atau aliran tidak bisa mendatangkan bukti akan kebenaran mereka, maka sudah sepantasnya kita tidak mengikuti mereka. Kebenaran adalah apa yang difirmankan oleh Allâh dalam al-Qur’an dan yang disabdakan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , bukan prasangka-prasangka dan pendapat-pendapat manusia.
KEBENARAN AKAN MENJADI SUATU YANG ASING
Di zaman sekarang ini, banyak sekali kaum Muslimin yang mengikuti dan meniru-niru orang kafir dan tidak mau mempelajari agama Islam. Akibatnya, banyak sekali kaum Muslimin yang tidak mengenal agama mereka sendiri. Bahkan ketika ada seseorang yang menjalankan ibadah atau berpenampilan sesuai dengan tuntunan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , banyak orang yang mengaku Muslim yang mengejek mereka, bahkan dengan lancang berani mengatakan bahwa orang tersebut adalah orang yang sesat.
Sungguh benar apa yang dikatakan oleh Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
بَدَأَ الإِسْلاَمُ غَرِيْبًا وَسَيَعُوْدُ كَمَا بَدَأَ غَرِيْبًا فَطُوْبَى لِلْغُرَبَاءِ
Islam datang dalam keadaan asing dan akan kembali asing sebagaimana dia datang, maka beruntunglah orang-orang yang asing tersebut.[10]
Di dalam riwayat lain ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang siapakah orang-orang asing tersebut, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قَوْمٌ صَالِحُونَ قَلِيلٌ فِي نَاسِ سَوْءٍ كَثِيرٍ، مَنْ يَعْصِيهِمْ أَكْثَرُ مِمَّنْ يُطِيعُهُمْ
Mereka adalah orang-orang shalih yang jumlahnya sedikit di antara orang-orang buruk yang jumlahnya banyak. Orang yang menyelisihi mereka lebih banyak daripada orang yang menuruti mereka[11]
Mubârak bin Fadhâlah t meriwayatkan dari al-Hasan al-Bashri rahimahullah , beliau mengatakan, “Seandainya ada seseorang yang mendapati kaum salaf generasi pertama kemudian dia dibangkitkan pada hari ini, maka dia tidak mengenal Islam sedikit pun.” Kemudian beliau meletakkan tangannya di pipinya dan berkata, “Kecuali shalat ini.”[12]
Ibnu Wadhdhah meriwayatkan dari ‘Isa bin Yunus dari Al-Auza’i dari Hibban bin Abi Jabalah dari Abu Darda’ Radhiyallahu anhu , beliau berkata, “Seandainya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar kepada kalian pada saat ini, maka beliau tidak mengenal apa-apa yang dulu dikerjakan oleh beliau dan para Sahabatnya kecuali shalat.”
Kemudian al-Auza’i rahimahullah mengatakan, “Bagaimana jika Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar pada saat ini?”
‘Isa bin Yunus berkata, “Bagaimana seandainya al-Auza’i mendapatkan zaman sekarang ini?”[13]
Ini adalah perkataan beliau-beliau pada zaman dimana mereka hidup, Bagaimana jika para Ulama itu melihat manusia pada zaman kita sekarang ini?
JIKA DI ANTARA KAUM MUSLIMIN TERSEBAR KEBATILAN DAN KESESATAN
Jika di antara kaum Muslimin tersebar kebatilan dan kesesatan, maka kita tidak boleh mengikuti mereka meskipun jumlah mereka sangat banyak. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan bahwa kebanyakan kaum Muslimin berada dalam kesesatan sebagaimana sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang artinya, ” Orang-orang Yahudi berpecah belah menjadi 71 kelompok, orang-orang Nasrani berpecah-belah menjadi 72 kelompok dan umatku akan terpecah belah menjadi 73 kelompok.”
Dan dalam riwayat Ibnu Majah terdapat tambahan, “Satu kelompok berada di surga dan 72 kelompok berada di neraka.” Beliau pun ditanya, “Siapakah mereka?” Beliau menjawab, “al-Jama’ah.”[14]
Ini menunjukkan bahwa kelompok yang sesat jumlahnya banyak sementara kelompok yang benar hanya satu. Akan tetapi, perlu penulis garis bawahi bahwa yang ketujuh puluh dua kelompok yang diancam untuk masuk neraka masih dikategorikan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai umatnya. Jika tergolong sebagai umatnya, maka di akhirat mereka tetap berada di bawah kehendak Allâh Azza wa Jalla . Artinya, jika Allâh Azza wa Jalla berkehendak untuk mengadzabnya maka Allâh akan adzab mereka, jika Allâh Azza wa Jalla berkehendak untuk mengampuni mereka, maka mereka akan diampuni oleh Allâh Azza wa Jalla .
Hal penting yang harus diperhatikan juga adalah kelompok-kelompok menyimpang yang keluar dari agama Islam dan memang bukan Islam tidak dikategorikan sebagai umat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak dimasukkan ke dalam kelompok-kelompok yang menyimpang tersebut, tetapi dikategorikan sebagai orang-orang kafir.
TIDAK BOLEH MENYELISIHI AL-JAMA’AH?
Sebagian kaum Muslimin menganggap bahwa kita tidak boleh menyelisihi kebanyakan jamaah kaum Muslimin atau sebagian besar kaum Muslimin, karena Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut satu kelompok yang selamat tersebut dengan nama al-jamâ’ah. Maka kita katakan perkataan tersebut tidak benar, karena yang dinamakan dengan al-jamâ’ah yang dimaksud pada hadits tersebut adalah Jamaah kaum Muslimin yang pertama, sebelum terjadi banyak peyimpangan. Adapun setelah kaum Muslimin menyimpang, maka kita tetap harus mengikuti jamaah kaum Muslimin yang pertama dan tidak mengikuti jamaah kaum Muslimin yang menyimpang, meskipun jumlah mereka sangat banyak.
’Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu pernah mengatakan, “Sesungguhnya yang dinamakan al-jamâ’ah adalah apa-apa yang sesuai dengan ketaatan kepada Allâh meskipun engkau sendirian.”[15]
Abu Syâmah rahimahullah mengatakan, “Telah datang perintah untuk berpegang teguh kepada al-jamâ’ah. Yang dimaksud dengannya adalah berpegang teguh dengan kebenaran dan mengikutinya, meskipun orang yang berpegang dengan kebenaran sedikit sementara orang yang menyelisinya banyak. Karena kebenaran adalah yang pernah ditempuh oleh jamaah pertama yang terdiri dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya g dan kita tidak melihat kepada banyaknya jumlah orang-orang yang berada dalam kebatilan setelah mereka.”[16]
KESIMPULAN
Berdasar uraian di atas maka kita bisa simpulkan beberapa hal sebagai berikut:
Kebanyakan manusia di atas muka bumi adalah orang-orang yang menyimpang, sehingga kita tidak boleh mengikuti penyimpangan mereka atau jangan sampai kita tertipu dengan jumlah mereka yang banyak.
Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan orang-orang yang menyimpang hanya mengikuti prasangka-prasangka dan kedustaan-kedustaan saja dalam beragama dan mereka tidak memiliki burhân (bukti) atas apa yang mereka lakukan.
Kebenaran harus bisa dibuktikan dan dia harus berasal dari Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sangat sedikit di akhir zaman orang-orang yang memahami kebenaran dan kebenaran tersebut akan terlihat asing oleh orang-orang Islam sendiri.
Kaum Muslimin akan senantiasa mendapatkan petunjuk di jalan yang lurus selama mereka berpegang teguh dengan jamaah kaum Muslimin yang pertama, yaitu jamaah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Sahabatnya Radhiyallahu anhum.
Demikian tulisan ini. Mudahan bermanfaat dan mudah-mudahan Allâh Azza wa Jalla senantiasa menunjuki kita ke jalan yang lurus. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Aisarut-Tafaasiir li kalaam ‘Aliyil-Kabiir wa bihaamisyihi Nahril-Kahir ‘Ala Aisarit-Tafaasiir. Jaabir bin Musa Al-Jazaairi. 1423 H/2002. Al-Madinah: Maktabah Al-‘Ulûm wal-hikam
Al-Baa’its ‘Ala Inkaaril-Bida’ Wal-Hawaadits. ‘Abdurrahman bin Ismaa’iil Abu Syaamah. Kairo: Darul-Huda.
Al-Intishaar lihizbillaah Al-Muwahhidiin War-Raddu ‘Ala Al-Mujaadil ‘Anil-Musyrikin. ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman bin ‘Abdil-’Aziiz Abaa Bathiin. Tahqiiq: Al-Waliid bin ‘Abdirrahman Al=Furayyaan. Ar-Riyaadh: Dar Thaibah.
Al-I’tishaam. Abu Ishaaq Asy-Syaathibi. Mesir: Al-Maktabah At-Tijaariyah Al-Kubra.
Ma’aalimut-tanziil. Abu Muhammad Al-Husain bin Mas’uud Al-Baghawi. 1417 H/1997 M. Riyaadh:Daar Ath-Thaibah.
Tafsiir Al-Qur’aan Al-‘Adzhiim. Isma’iil bin ‘Umar bin Katsiir. 1420 H/1999 M. Riyaadh: Daar Ath-Thaibah.
Taisiir Al-Kariim Ar-Rahmaan. Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Beirut: Muassasah Ar-Risaalah.
Dan lain-lain. Sebagian besar telah tercantum di footnotes.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XIX/1437H/2015M]
_______
Footnote
[1] Lihat Aisar at-Tafâsîr, hlm. 415-416
[2] Tafsîr Ibni Katsîr, III/322
[3] Tafsîr as-Sa’di, hlm. 42
[4] Lihat al-Qaulul-Mufîd, I/110
[5] Al-I’tishâm lisy-Syâthibi, I/83
[6] HR. Al-Bukhâri, no. 5752
[7] Tafsîr as-Sa’di, hlm. 42
[8] Tafsîr as-Sa’di, hlm. 42
[9] Tafsir Al-Baghawi III/181
[10] HR. Muslim no. 145/232
[11] HR. ‘Abdullah bin al-Mubârak dalam Musnad Ibni al-Mubârak, no. 23 dan ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabîr no. 1457. Syaikh Al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini shahih di dalam ash-Shahîhah, no. 1619
[12] Al-Intishâr lihizbillâh al-Muwahhidîn, hlm. 92
[13] Al-Intishâr lihizbillâh al-Muwahhidîn, hlm. 94
[14] HR. Abu Dâwud, no. 4598 dan Ibnu Majah no. 3992.  Syaikh al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini shahih dalam ash-Shahîhah, no. 203
[15] HR. Al-Lâlikâ-i dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahlissunnah wal-jamaah no. 160
[16] Al-Bâ’its ‘Ala Inkâril-Bida’ Wal-Hawâdits, hlm. 22

Related Posts:

0 Response to "Tafsir Al An’aam Ayat 111-121"

Post a Comment