Tafsir Al A’raaf Ayat 179-188

Ayat 179: Penjelasan tentang orang yang tidak mengikuti kebenaran, padahal ada dalil yang mengingatkannya, dan seperti inilah sifat penghuni neraka

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالإنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالأنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ (١٧٩)

Terjemah Surat Al A’raaf Ayat 179

179. Dan sungguh, akan Kami isi neraka Jahanam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak[1], bahkan lebih sesat lagi[2]. Mereka itulah orang-orang yang lengah.

Ayat 180: Berdoa kepada Allah Subhaanahu wa Ta'aala dengan menyebut Asmaa’ul Husna

وَلِلَّهِ الأسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (١٨٠

Terjemah Surat Al A’raaf Ayat 180

180. Dan Allah memiliki Asmaa-ul Husna (nama-nama yang terbaik)[3], maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asmaa-ul Husna itu[4] dan tinggalkanlah orang-orang yang menyalahartikan nama-nama-Nya[5]. Mereka kelak akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.

Ayat 181-186: Islam memuliakan ulama yang ikhlas, penangguhan kepada orang-orang yang zalim, serta perintah memperhatikan kerajaan Allah Subhaanahu wa Ta'aala di alam semesta

وَمِمَّنْ خَلَقْنَا أُمَّةٌ يَهْدُونَ بِالْحَقِّ وَبِهِ يَعْدِلُونَ (١٨١) وَالَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِنْ حَيْثُ لا يَعْلَمُونَ (١٨٢) وَأُمْلِي لَهُمْ إِنَّ كَيْدِي مَتِينٌ (١٨٣) أَوَلَمْ يَتَفَكَّرُوا مَا بِصَاحِبِهِمْ مِنْ جِنَّةٍ إِنْ هُوَ إِلا نَذِيرٌ مُبِينٌ (١٨٤) أَوَلَمْ يَنْظُرُوا فِي مَلَكُوتِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَمَا خَلَقَ اللَّهُ مِنْ شَيْءٍ وَأَنْ عَسَى أَنْ يَكُونَ قَدِ اقْتَرَبَ أَجَلُهُمْ فَبِأَيِّ حَدِيثٍ بَعْدَهُ يُؤْمِنُونَ (١٨٥) مَنْ يُضْلِلِ اللَّهُ فَلا هَادِيَ لَهُ وَيَذَرُهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ (١٨٦)

Terjemah Surat Al A’raaf Ayat 181-186

181. Dan di antara orang-orang yang Kami ciptakan ada umat yang memberi petunjuk dengan (dasar) kebenaran[6], dan dengan itu (pula) mereka berlaku adil[7].

182. Orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, akan Kami biarkan mereka berangsur-angsur (ke arah kebinasaan)[8], dengan cara yang tidak mereka ketahui.

183. Dan aku akan memberikan tenggang waktu kepada mereka[9]. Sungguh, rencana-Ku sangat teguh.

184. Apakah mereka tidak merenungkan bahwa teman mereka (Muhammad) tidak gila[10]. Dia (Muhammad) tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan yang jelas[11].

185. Apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala apa yang diciptakan Allah[12], dan kemungkinan telah dekatnya waktu (kebinasaan) mereka?[13] Lalu berita mana lagi setelah (Al Qur’an) ini yang akan mereka percayai?[14]

186. Barang siapa dibiarkan sesat oleh Allah, maka tidak ada yang mampu memberi petunjuk. Allah membiarkannya terombang-ambing dalam kesesatan.

Ayat 187-188: Pengetahuan tentang hari Kiamat dan apa yang terjadi pada hari itu hanyalah milik Allah Subhaanahu wa Ta'aala. Demikian pula pengetahuan tentang yang gaib tidak diketahui kecuali oleh-Nya, dan tidak ada seorang pun di antara makhluk-Nya yang mengetahuinya

يَسْأَلُونَكَ عَنِ السَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَاهَا قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ رَبِّي لا يُجَلِّيهَا لِوَقْتِهَا إِلا هُوَ ثَقُلَتْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ لا تَأْتِيكُمْ إِلا بَغْتَةً يَسْأَلُونَكَ كَأَنَّكَ حَفِيٌّ عَنْهَا قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ اللَّهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ (١٨٧) قُلْ لا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلا ضَرًّا إِلا مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَا إِلا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ (١٨٨)

Terjemah Surat Al A’raaf Ayat 187-188

187. Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang kiamat, "Kapan terjadi?" Katakanlah, "Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu ada pada Tuhanku; tidak ada (seorang pun) yang dapat menjelaskan waktu terjadinya selain Dia. (Kiamat) itu sangat berat (huru haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi, tidak akan datang kepadamu kecuali secara tiba-tiba[15].” Mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu mengetahuinya. Katakanlah (Muhammad), "Sesungguhnya pengetahuan tentang hari kiamat ada pada Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui[16].”

188. Katakanlah (Muhammad), "Aku tidak kuasa mendatangkan manfaat maupun menolak mudharat bagi diriku kecuali apa yang dikehendaki Allah[17]. Sekiranya aku mengetahui yang ghaib, niscaya aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya[18] dan tidak akan ditimpa bahaya[19]. Aku hanyalah pemberi peringatan[20], dan pembawa berita gembira[21] bagi orang-orang yang beriman.”

KANDUNGAN AYAT

[1] Dalam hal tidak dapat memahami, memikirkan apa yang dilihat oleh matanya dan didengar oleh telinganya.

[2] Karena binatang ternak masih mau mencari hal yang memberinya manfaat dan menghindarkan dari bahaya, sedangkan mereka malah mendatangi bahaya, yaitu neraka padahal mereka memiliki hati, pendengaran dan penglihatan yang dapat digunakan untuk memahami ayat-ayat Allah, namun mereka malah tidak mau menggunakannya.

[3] Karena nama-nama tersebut menunjukkan sifat sempurna yang agung. Contohnya:

- Al ‘Aliim (Maha Mengetahui) yang menunjukkan bahwa Dia memiliki ilmu yang meliputi segala sesuatu, tidak keluar dari pengetahuan-Nya seberat biji dzarrah pun di langit maupun di bumi.

- Ar Rahiim yang menunjukkan bahwa Dia memiliki sifat rahmat (sayang) yang agung dan luas mengena kepada segala sesuatu.

- Al Qadiir yang menunjukkan bahwa Dia memiliki kekuasaan yang menyeluruh, tidak dapat dikalahkan oleh sesuatu.

- Dsb.

[4] Misalnya berkata, “Yaa Razzaq, urzuqnaa.” (artinya: Wahai Pemberi rezeki, berilah kami rezeki), “Yaa ghafuur, ighfir lii” (artinya: Wahai Maha Pengampun, ampunilah aku), “Yaa rahiiim, irhamnii” (artinya: Wahai Maha Penyayang, sayangilah aku), dsb.

[5] Maksudnya: Jangan hiraukan orang-orang yang menyembah Allah dengan nama-nama yang tidak sesuai dengan sifat-sifat dan keagungan Allah, atau dengan memakai asmaa-ul husna, tetapi dengan maksud menodai nama Allah atau mempergunakan asmaa-ul husna untuk nama-nama selain Allah. Contoh ilhad adalah:

- Berdoa kepada Allah Azza wa Jalla dengan nama yang tidak sesuai dengan doanya. Misalnya meminta ampunan dengan nama-Nya Al Hasib (Yang Menghisab). Seharusnya dengan nama-Nya Al Ghafuur (Maha Pengampun).

- Menambah dan mengurangi. Maksud menambah adalah menambah dari yang diizinkan, yaitu dengan mentasybih (menyerupakan dengan makhluk), sedangkan maksud mengurangi adalah mengurangi dari yang diperintahkan, yaitu meniadakan.

- Perbuatan yang dilakukan orang-orang musyrik, mereka menamai berhala mereka dengan 'Uzaa dari nama Allah Al 'Aziz, dan menamai dengan nama Laata, yang diambil dari laaz "Allah". Maha suci Allah dari hal tersebut.

[6] Di antara orang-orang yang diciptakan Allah ada orang-orang yang sempurna dan menyempurnakan orang lain; mereka mengetahui kebenaran dan mengamalkannya, mengajarkannya dan mengajak manusia kepadanya.

[7] Ketika memutuskan, baik dalam masalah harta, darah, hak-hak, maupun lainnya.

[8] Dengan memperbanyak rezeki mereka.

[9] Sehingga mereka mengira bahwa mereka tidak akan disiksa dan diberikan hukuman.

[10] Perhatikanlah akhlaknya, petunjuknya, sifatnya, dan seruannya, bukankah mereka tidak mendapatkan selain sifat, akhlak, akal dan pendapatnya yang sempurna pada dirinya, di samping itu Beliau tidaklah mengajak selain kepada semua kebaikan, dan tidak melarang selain daripada keburukan.

[11] Yang mengajak manusia kepada perkara yang menyelamatkan mereka dari azab dan mendatangkan pahala.

[12] Manusia apabila memperhatikan kerajaan langit dan bumi, tentu akan memperoleh dalil yang menunjukkan keesaan Allah dan sifat-sifat sempurna yang dimiliki-Nya. Demikian pula apabila mereka melihat salah satu ciptaan Allah, maka di sana dia akan mendapatkan dalil terhadap ilmu Allah, kekuasaan-Nya, hikmah-Nya, luas rahmat dan ihsan-Nya, serta menunjukkan berlakunya kehendak Allah dan menunjukkan sifat-sifat-Nya yang agung yang sesungguhnya menunjukkan bahwa Allah sendiri yang mencipta dan mengatur alam semesta. Hal ini sudah barang tentu mengharuskan agar Dia (Allah) saja yang disembah.

[13] Hendaknya mereka memperhatikan keadaan mereka, karena boleh jadi maut datang kepada mereka secara tiba-tiba ketika mereka sedang lengah, sehingga mereka tidak mampu mengejar hal yang telah luput.

[14] Apakah berita dusta dan sesat yang mereka percayai ataukah berita yang benar ini (Al Qur’an)? Akan tetapi, walau bagaimana pun juga orang yang disesatkan Allah sudah tidak ada jalan lagi untuk menunjukinya sebagaimana diterangkan pada ayat selanjutnya.

[15] Tanpa disadari sebelumnya.

[16] Sehingga mereka berkeinginan keras untuk mengetahui padahal yang demikian tidak patut dilakukan, terlebih mereka biasanya tidak bertanya tentang sesuatu yang lebih penting dan malah meninggalkan ilmu yang seharusnya mereka ketahui, serta lebih senang pergi menuju sesuatu yang tidak ada jalan untuk mengetahuinya, padahal mereka tidak dituntut untuk mengetahuinya.

[17] Yakni karena diriku adalah seorang yang fakir dan diatur, tidak ada satu pun kebaikan yang datang kepadaku melainkan berasal dari Allah, dan tidak ada yang menghilangkan bahaya yang menimpaku selain Dia, dan aku pun tidak mengetahui apa-apa selain yang diajarkan Allah kepadaku.

[18] Yakni mengerjakan sebab-sebab yang menghasilkan maslahat dan manfaat.

[19] Akan tetapi, karena aku tidak mengetahui yang ghaib, maka aku tertimpa bahaya dan luput bagiku berbagai maslahat dunia dan manfaatnya. Ayat yang mulia ini menerangkan kesalahan orang yang meminta dan berdoa kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam untuk memperoleh manfaat atau menghindarkan bahaya. Demikian pula menerangkan salahnya orang yang menganggap bahwa Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam mengetahui yang ghaib.

[20] Bagi orang-orang kafir dengan neraka.

[21] Dengan surga.

============

PENJELASAN AYAT [al-A’râf/7: 188]

TIDAK ADA YANG MENGETAHUI PERKARA GAIB KECUALI HANYA ALLAH TA’ALA.
Termasuk bagian dari dasar-dasar agama Islam adalah mengimani bahwa tidak ada yang mengetahui perkara gaib kecuali hanya Allah Azza wa Jalla semata, sedangkan para Nabi dan Rasul-Nya tidak mengetahui perkara gaib, kecuali pada hal-hal yang telah dikabarkan oleh Allah ta’ala kepada mereka.

Ayat di atas menerangkan, Allah Azza wa Jalla memerintahkan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallamuntuk menjawab pertanyaan orang-orang Quraisy atau yang lainnya tentang kapan terjadinya hari Kiamat[1] , dengan suatu jawaban yang menunjukkan tidak ada makhluk yang mengetahui kepastian waktu terjadinya kecuali Allah Azza wa Jalla saja. Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang hamba dan utusan-Nya yang tidak kuasa mendatangkan kemanfaatan bagi dirinya dan tidak pula kuasa menolak bahaya kecuali yang dikehendaki Allah Azza wa Jalla . Oleh sebab itu, beliau tidak mempunyai pengetahuan yang mutlak atas perkara gaib. Pengetahuan beliau tentang itu terbatas dan tidak mencakup secara keseluruhan. Itu pun tidak terlepas dari wahyu dari Allah Azza wa Jalla . 

Asy-Syaukani t mengatakan, “Ayat ini menjelaskan ayat sebelumnya (yang berbunyi) : 

يَسْأَلُونَكَ عَنِ السَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَاهَا ۖ قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ رَبِّي ۖ لَا يُجَلِّيهَا لِوَقْتِهَا إِلَّا هُوَ

Mereka menanyakan kepadamu tentang Kiamat; kapan terjadinya?, Katakanlah:” Sesungguhnya pengetahuan tentang Kiamat itu ada di sisi Rabb-ku, tidak seorang pun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia.” . [al-A’râf/7: 187].

Lantas beliau meneruskan, “(Oleh sebab itu) jika beliau tidak kuasa mendatangkan kemanfaatan bagi dirinya dan tidak pula mampu menolak kemadharatan kecuali yang dikehendaki Allah Azza wa Jalla , maka demikian pula beliau tidak mengetahui perkara gaib yang tidak dikabarkan oleh Allah Azza wa Jalla kepadanya. Hal ini menunjukkan sifat ‘ubûdiyah (status sebagai seorang hamba dan makhluk) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (di hadapan Allah Azza wa Jalla ) dan bahwa seorang hamba itu lemah, tidak mampu mengetahui urusan-urusan Rabbnya.[2] 

Kemudian dijelaskan di dalam firman Allah Azza wa Jalla berikutnya yang berbunyi:

وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ 

Dan andaikata aku mengetahui yang gaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemadharatan…

Pengertian penggalan ayat di atas, andaikata aku mengetahui semua perkara yang gaib, pastilah aku akan selalu menyiapkan yang terbaik dan selalu waspada terhadap apa yang akan menimpaku. Akan tetapi, aku adalah seorang hamba yang tidak mengetahui apa-apa yang di sisi Rabb-ku tentang qadha dan qadar-Nya (ketentuan dan takdir Allah Azza wa Jalla ) atas diriku.[3] 

Di dalam ayat yang lain, Allah Azza wa Jalla juga menjelaskan bahwa kunci-kunci perkara gaib hanyalah ada disisi-Nya.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ 

Dan di sisi Allah-lah kunci-kunci yang ghaib.[al-An’âm/6:59].

Allah Azza wa Jalla juga berfirman:

إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْأَرْحَامِ ۖ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا ۖ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Sesungguhnya hanya di sisi Allah sajalah pengetahuan tentang hari Kiamat; dan Dia lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada di dalam rahim, dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang diusahakan besok, dan tiada seorang pun yang mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. [Luqmân/31: 34] 

Perkara-perkara yang diberitakan Allah dalam ayat di atas adalah kunci-kunci perkara gaib. Allah Azza wa Jalla merahasiakannya dari siapapun. Termasuk juga pengetahuan tentang datangnya hari Kiamat juga dirahasiakan oleh Allah Azza wa Jalla , tidak ada yang dapat mengetahuinya, baik seorang Nabi yang diutus maupun malaikat yang terdekat dengan Allah Azza wa Jalla sekalipun.[4] 

KEYAKINAN YANG PARAH
Ayat di atas merupakan salah satu bantahan terhadap keyakinan sebagian orang Sufi yang bersikap ghuluw (berlebih-lebihan) terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka sampai mengatakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui seluruh perkara gaib secara mutlak dan takdir Allah Azza wa Jalla atas semua yang akan terjadi pada makhluk-Nya yang telah ditulis di Lauhul mahfuzh.

Contoh nyata dari keyakinan keliru itu, perkataan al-Bushiri penulis qashidah Burdah yang sudah masyhur di tanah air, ia mengatakan: 

فَإِنَّ مِنْ جُوْدِكَ الدُّنْيَا وَضَرَّتِهَا وَمِنْ عُلُوْمِكِ عِلْمُ اللَّوْحِ وَالْقَلَمِ

Sesungguhnya termasuk dari kemurahanmu-lah (wahai Rasul) adanya dunia dan akhirat. 

Dan di antara pengetahuanmu, pengetahuan (tentang isi) di Lauhul mahfuzh dan pena (yang menulisnya)
.
Sudah jelas, perkataan ini tidak pantas diucapkan kecuali untuk Allah Azza wa Jalla .[5] 

Ada juga yang mengaku mengetahui kapan terjadinya hari Kiamat melalui proses kasyf yang telah dicapainya [6]. Dengan lantang, ia mengatakan, “Pada tahun sekian, tanggal sekian, dan jam sekian, akan terjadi hari Kiamat”, -Na’udzubillah min dzalik- bukankah perkataan tersebut perkataan kufur?. Bagaimana tidak??!! Perkataan ini jelas-jelas menentang ayat di atas. Sebab, Allah Azza wa Jalla telah menyebutkan bahwa tidak ada satu makhluk pun yang mengetahui kapan terjadinya hari Kiamat kecuali hanya Dia Azza wa Jalla saja?

Sementara orang juga meyakini bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengetahui kapan terjadinya hari Akhir. Pernyataan ini terbantahkan dengan riwayat yang berasal dari istri Rasulullah ‘Aisyah Radhiyallahu anuma.

‘Aisyah, Ummul Mukminin Radhiyallahu anhuma berkata:

وَمَنْ زَعَمَ أَنَّهُ يُخْبِرُ بِمَا يَكُونُ فِى غَدٍ فَقَدْ أَعْظَمَ عَلَى اللَّهِ الْفِرْيَةَ وَاللَّهُ يَقُولُ (قُلْ لاَ يَعْلَمُ مَنْ فِى السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ الْغَيْبَ إِلاَّ اللَّهُ ).

Barang siapa yang mengatakan bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui apa yang akan terjadi di esok hari, maka sungguh dia telah berbuat dusta yang besar kepada Allah Azza wa Jalla (Karena) Allah Azza wa Jalla telah berfirman (yang artinya), ”Katakanlah, tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang gaib, kecuali Allah .”.[7] [8] 

Jika keyakinan seperti ini, yaitu meyakini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui apa yang akan terjadi esok hari, sudah merupakan kedustaan yang amat besar terhadap Allah Azza wa Jalla , maka bagaimana dengan orang yang mengaku bahwa dirinya mengetahui apa yang akan terjadi esok hari?.

Kemudian di akhir ayat, Allah Azza wa Jalla berfirman: 

إِنْ أَنَاْ إِلاَّ نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِّقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.

Ayat ini menerangkan bahwa tugas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah memberi peringatan kepada orang musyrik dan para pelaku maksiat akan datangnya adzab Allah Azza wa Jalla (atas mereka) dan memberi kabar gembira dengan perolehan pahala yang atas keimanan dan tauhid serta amal shaleh (bagi orang mukmin). (Dan penetapan) bahwa beliau bukanlah Rabb (Penguasa alam) yang mengetahui yang gaib secara mutlak.[9] 

BUKTI RASULUALLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM TIDAK MENGETAHUI PERKARA GAIB.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengetahui perkara gaib kecuali yang telah dikabarkan oleh Allah Azza wa Jalla kepada beliau. Tidak semua perkara gaib itu diketahui oleh beliau. Berikut ini dua diantara banyak riwayat yang membuktikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menguasai ilmu gaib: 

1. Di bulan Jumâdal ula dan Jumâdats tsâniyah , pada tahun ke-2 Hijriyah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallambersama 150 atau 200 pasukan Muhajirin keluar dari Madinah untuk menghadang kafilah dagang suku Quraisy yang bergerak dari Mekkah menuju Negeri Syam yang dipimpin oleh Abu Sufyan. Sesuai berita yang sampai kepada beliau, rombongan dagang itu membawa banyak barang dagangan Ketika sampai pada daerah ‘Usyairah (tempat dekat kota Yanbu’), beliau ternyata tidak menjumpainya, karena kafilah dagang milik kaum Quraisy telah melewati tempat itu beberapa hari sebelumnya. Maka, beliau bersama pasukannya kembali ke Madinah.[10] 

Dari peristiwa di atas, seandainya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui dengan pasti kapan kafilah tersebut sampai di ‘Usyairah, tentu beliau akan tiba di sana tepat waktu. 

2. Ketika ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma tertinggal dari rombongan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena mencari kalungnya yang hilang, beliau dan rombongan tidak mengetahui kalau ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma tidak ada di dalam sekedupnya.Waktu itu mereka menyangka ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma sudah berada di dalamnya, setelah menyelesaikan urusannya. Mereka baru mengetahui dimana ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma , saat Shafwân bin Mu’aththal Radhiyallahu anhu mengantar ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

Selanjutnya, berkembang isu ‘Aisyah berselingkuh yang disebarkan oleh orang-orang munafik. Berita itu pun sampai ke telinga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Saat itu, beliau tidak mengetahui benar tidaknya kabar yang sedang tersiar itu. Selama sebulan, beliau berdiam diri. Beberapa Sahabat pun sempat beliau mintai pendapat, seperti ‘Ali bin Abi Thâlib dan Usâmah bin Zaid Radhiyallahu anhuma tentang ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam baru mengetahui bahwa tuduhan tersebut merupakan kedustaan setelah Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat tentang barâ`ah (terbebasnya) ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma dari tuduhan itu.[11] 

Dan masih banyak lagi bukti lain yang menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak mengetahui yang gaib kecuali apa-apa yang telah dikabarkan oleh Allah Azza wa Jalla kepada beliau. 

PELAJARAN DARI AYAT: 
1. Pengetahuan tentang waktu terjadinya Kiamat itu hanya ada pada Allah Azza wa Jalla saja, sedangkan setiap orang yang ditanya tentang hal ini, dia tidaklah lebih mengetahui dari si penanya.

2. Tanda-tanda hari Kiamat yang disebutkan di dalam al-Qur’ân maupun Hadits, bukan berarti hari Kiamat telah diketahui kapan terjadinya, akan tetapi tanda-tanda tersebut merupakan indiktor awal akan terjadinya hari Kiamat.

3. Hanya Allah Azza wa Jalla yang mengetahui perkara yang gaib secara mutlak. Para rasul dan nabi Allah Azza wa Jalla adalah hamba-hamba-Nya yang tidak mengetahui yang gaib kecuali yang telah diberitakan kepada mereka.

4. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan-Nya, insan yang dipilih oleh Allah Azza wa Jalla untuk mengemban risalah Ilahi kepada seluruh umat manusia. Kedudukan beliau sangat tinggi di sisi-Nya. Sungguhpun demikian, beliau tidak mengetahui kapan terjadinya hari Kiamat, apalagi orang yang derajatnya di bawah beliau.

5. Jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui beberapa perkara gaib setelah diberitahu oleh Allah Azza wa Jalla , maka tidak boleh dikatakan bahwa beliau mengetahui yang gaib secara mutlak. Wallahu a’lam.

Maraji’:
1. Aisarut Tafâsîr, Abu Bakr Jabir al-Jazâiri, Maktabatul Ulûm Wal Hikam, Madinah. Cetakan 5. Tahun 1424 H – 2003 M.
2. Tafsîr al-Qur’ânul ‘Azhîm, Ibnu Katsir. Tahqiq Sami bin Muhammad Salamah. Dar Thaibah. Cetakan 2, Tahun 1420 H – 1999 M.
3. Fat-hul Qadîr, Muhammad bin ‘Ali asy-Syaukani. Darul Kutub al-Ilmiah Beirut-Lebanon. Cetakan 1. Tahun 1415 H – 1994 M.
4. Shahîh Bukhâri, Muhammad bin Isma’il al-Bukhâri. Tahqiq Dr. Mushtafa Dibul Bugha. Dar Ibnu Katsîr, Beirut, Cetakan 3, Tahun 1407 H – 1987 M.
5. Shahîh Muslim, Muslim Ibnul Hajjâj an-Naisâburi, Dârul Jîl dan Dârul Afâq al-Jadîdah Beirut.
6. Sîrah Nabawiyah, Ibnu Hisyâm. Dârul Ma’rifah Beirut – Lebanon.
7. Sîrah Nabawiyah fi Dhauil Mashâdir al-Ashliyyah, Dr. Mahdi Rizqullah. Dâr ‘Imâmud Da’wah, Riyadh. Cetakan II, Tahun 1424 H – 2003 M.
8. Rahîqul Makhtûm, Shafiyurrahmân Mubârakfuri. Cetakan Muassasah Haramain al-Khairiyyah, Riyadh.
9. At-Tamhîd Li Syarhi Kitâbit Tauhid, Shâlih bin ‘Abdul ‘Aziz Alu Syaikh. Dârut Tauhîd, Riyadh, Cetakan 1, Tahun 1423 H – 2002 M.

Oleh Ustadz Nur Kholis bin Kurdian
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XII/Shafar 1430/2009M. ]
_______
Footnote
[1]. Aisarut Tafâsîr (2/271).
[2]. Fat-hul Qadîr (1/349).
[3]. Fat-hul Qadîr (1/349).
[4]. Tafsîr al-Qur’ânul ‘Azhîm (6/352).
[5]. At-Tamhîd Li Syarhi Kitâbit Tauhid hl.239. 
[6]. Pengertian kasyf dalam idiologi Sufi adalah terbukanya tabir (rahasia Ilahi) bagi hati dan penglihatan orang Sufi sehingga dia (bisa melihat alam kabir dan alam shaghir), serta mengetahui apa-apa yang di langit dan di bumi dan mengetahui apa-apa yang akan terjadi.
[7]. an-Naml: 65
[8]. Shahîh Bukhâr (4/1840), Shahîh Muslim (1/110). Teks ini milik Muslim
Aisarut Tafâsîr (2/271).
[9]. Rahîqul Makhtûm hal.295, Sîrah Nabawiyah fi Dhauil Mashâdir al-Ashliyyah (1/400-4001).
[10]. Makhtûm hal.295, Sîrah Nabawiyah fi Dhauil Mashâdir al-Ashliyyah (1/400-4001).
[11]. Shahîh Muslim (8/112) dengan diringkas

=============
USTADZ AGUS SUAIDI

DOWNLOAD AUDIO : Kajian Tafsir al Qur'an Surat Al A'raf 179
DOWNLOAD AUDIO : Kajian Tafsir al Qur'an Surat Al A'raf 180
DOWNLOAD AUDIO : Kajian Tafsir al Qur'an Surat Al A'raf 181
DOWNLOAD AUDIO : Kajian Tafsir al Qur'an Surat Al A'raf 182-184
DOWNLOAD AUDIO : Kajian Tafsir al Qur'an Surat Al A'raf 185-188

Related Posts:

0 Response to "Tafsir Al A’raaf Ayat 179-188"

Post a Comment