Tafsir An Nisa Ayat 170-176

Ayat 170: Ajakan kepada manusia untuk beriman kepada Al Qur’an dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, serta peringatan terhadap kufur kepada keduanya

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَكُمُ الرَّسُولُ بِالْحَقِّ مِنْ رَبِّكُمْ فَآمِنُوا خَيْرًا لَكُمْ وَإِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا (١٧٠

Terjemah Surat An Nisa Ayat 170

170.[1] Wahai manusia! Sesungguhnya telah datang Rasul (Muhammad) itu kepadamu dengan (membawa) kebenaran dari Tuhanmu, maka berimanlah (kepadanya), itu lebih baik bagimu[2]. Dan jika kamu kafir, (itu tidak merugikan Allah sedikit pun) karena sesungguhnya milik Allah-lah apa yang ada di langit dan di bumi. Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Ayat 171-172: Pandangan Al Qur'an terhadap Nabi Isa 'alaihis salam, penafian (peniadaan) ketuhanan Al Masih putera Maryam ‘alaihis salam, penjelasan tentang kafirnya orang-orang Nasrani, serta ghuluw (berlebihannya) mereka terhadap Al Masih karena keyakinan mereka bahwa ia adalah anak Allah Subhaanahu wa Ta'aala, atau salah satu dari yang tiga, Mahasuci Allah dari apa yang mereka sifatkan itu. Demikian pula menerangkan tentang ‘aqidah trinitas yang batil

يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ وَلا تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلا الْحَقَّ إِنَّمَا الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ رَسُولُ اللَّهِ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِنْهُ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَلا تَقُولُوا ثَلاثَةٌ انْتَهُوا خَيْرًا لَكُمْ إِنَّمَا اللَّهُ إِلَهٌ وَاحِدٌ سُبْحَانَهُ أَنْ يَكُونَ لَهُ وَلَدٌ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ وَكَفَى بِاللَّهِ وَكِيلا (١٧١) لَنْ يَسْتَنْكِفَ الْمَسِيحُ أَنْ يَكُونَ عَبْدًا لِلَّهِ وَلا الْمَلائِكَةُ الْمُقَرَّبُونَ وَمَنْ يَسْتَنْكِفْ عَنْ عِبَادَتِهِ وَيَسْتَكْبِرْ فَسَيَحْشُرُهُمْ إِلَيْهِ جَمِيعًا (١٧٢)

Terjemah Surat An Nisa Ayat 171-172

171. Wahai Ahli Kitab![3] Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu[4], dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar[5]. Sesungguhnya Al Masih, Isa putra Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya[6] yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya[7]. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan, "(Tuhan itu) tiga", berhentilah (dari ucapan itu)[8]. (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa[9], Mahasuci Allah dari (anggapan) mempunyai anak, Milik-Nyalah[10] apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Cukuplah Allah sebagai saksinya.

172. Al Masih sama sekali tidak enggan menjadi hamba bagi Allah[11], dan tidak (pula enggan) malaikat-malaikat yang terdekat (kepada Allah)[12]. Barang siapa yang enggan menyembah-Nya dan menyombongkan diri, maka Allah akan mengumpulkan mereka semua kepada-Nya.

Ayat 173-175: Ajakan kepada manusia agar masuk ke dalam Islam serta penjelasan tentang pahala yang akan diperoleh kaum mukmin, dan balasan untuk orang-orang yang durhaka lagi sombong

فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَيُوَفِّيهِمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدُهُمْ مِنْ فَضْلِهِ وَأَمَّا الَّذِينَ اسْتَنْكَفُوا وَاسْتَكْبَرُوا فَيُعَذِّبُهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا وَلا يَجِدُونَ لَهُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا وَلا نَصِيرًا (١٧٣) يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَكُمْ بُرْهَانٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكُمْ نُورًا مُبِينًا (١٧٤) فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَاعْتَصَمُوا بِهِ فَسَيُدْخِلُهُمْ فِي رَحْمَةٍ مِنْهُ وَفَضْلٍ وَيَهْدِيهِمْ إِلَيْهِ صِرَاطًا مُسْتَقِيمًا (١٧٥)

Terjemah Surat An Nisa Ayat 173-175

173. Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan[13], Allah akan menyempurnakan pahala bagi mereka dan menambah sebagian dari karunia-Nya[14]. Sedangkan orang-orang yang enggan dan menyombongkan diri, maka Allah akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih. Dan mereka tidak akan mendapatkan pelindung dan penolong selain Allah.

174. Wahai manusia! Sesungguhnya telah sampai kepadamu bukti kebenaran[15] dari Tuhanmu, (Muhammad dengan mukjizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (Al Quran)[16].

175. Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah[17] dan berpegang teguh kepada (agama)-Nya, maka Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat dan karunia dari-Nya (surga), dan menunjukkan mereka jalan yang lurus kepada-Nya[18].

Ayat 176: Masalah warisan kalalah

يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلالَةِ إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ وَهُوَ يَرِثُهَا إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا وَلَدٌ فَإِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَ وَإِنْ كَانُوا إِخْوَةً رِجَالا وَنِسَاءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأنْثَيَيْنِ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ أَنْ تَضِلُّوا وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (١٧٦

Terjemah Surat An Nisa Ayat 176

176.[19] Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah)[20]. Katakanlah, "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seorang meninggal dunia, dan dia tidak mempunyai anak[21] (dan ayah) tetapi mempunyai saudara perempuan[22], maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya[23], dan saudaranya yang laki-laki[24] mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak[25]. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang[26], maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan[27], maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha mengetahui segala sesuatu[28].

KANDUNGAN AYAT

[1] Di ayat ini Allah Subhaanahu wa Ta'aala memerintahkan semua manusia untuk beriman kepada hamba-Nya dan Rasul-Nya, yaitu Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, menyebutkan sebab yang mengharuskan untuk beriman dan faedah beriman serta bahaya dari tidak beriman.

Sebab yang mengharuskan untuk beriman kepada Beliau adalah pemberitahuan-Nya bahwa Nabi-Nya datang kepada mereka dengan membawa kebenaran, yakni kedatangan Beliau adalah hak (benar) dan syari'at yang dibawanya juga hak. Hal itu, karena orang yang berakal mengetahui bahwa jika manusia tetap di atas kebodohan (masa jahiliyyah), berada dalam kekufuran dan lagi risalah telah putus, maka tidak sesuai dengan hikmah Allah dan rahmat-Nya jika mereka dibiarkan. Bahkan termasuk hikmah Allah dan rahmat-Nya diutus-Nya rasul kepada mereka untuk mengenalkan mana petunjuk dan mana yang sesat, mana jalan yang benar dan mana jalan yang salah. Dengan memperhatikan risalah Beliau terdapat dalil yang pasti terhadap kebenaran Beliau. Demikian juga dengan memperhatikan syari'at yang dibawa Beliau, di dalamnya terdapat berita-berita ghaib; masa lalu maupun yang akan datang, yang hal itu tidak diketahui kecuali dengan perantaraan wahyu. Belum lagi dengan perintah yang ada di dalamnya, di mana isinya memerintahkan kepada semua kebaikan, kebenaran, keadilan, ihsan, kejujuran, berbakti kepada orang tua, menyambung silaturrahim, menunaikan amanah, menepati janji, berakhlak mulia dan melarang dari semua keburukan dan kerusakan, permusuhan dan kezaliman, akhlak buruk, dusta, durhaka kepada orang tua dan memutuskan tali silaturrahim. Ini semua membuat kita semakin yakin bahwa apa yang Beliau bawa benar-benar dari sisi Allah.

Adapun faedah dari keimanan, maka dalam ayat di atas disebutkan bahwa yang demikian lebih baik bagi kita. Baik di sini umum, baik untuk kebaikan badan kita, hati kita, ruh kita, dunia kita maupun akhirat kita. Hal itu karena di dalamnya mengandung banyak maslahat dan faedah. Adanya pahala di dunia dan di akhirat termasuk faedah dari keimanan, adanya pertolongan, petunjuk, ilmu, amal salih, kesenangan dan kebahagiaan, memperoleh surga dan kenikmatannya termasuk faedah dari keimanan. Sebagaimana kesengsaraan di dunia dan akhirat diakibatkan dari ketidakadaan iman atau kekurangannya. Adapun bahya dari tidak beriman, maka banyak sekali, di antaranya ia akan mendapatkan kebalikan dari apa yang didapatkannya jika beriman, dan lagi seseorang hamba jika tidak beriman tidaklah merugikan siapa pun selain dirinya sendiri, sedangkan Allah Maha Kaya, tidaklah merugikan-Nya maksiat orang-orang yang bermaksiat, bahkan kalau pun semua manusia kafir kepada Allah, maka hal itu tidaklah mengurangi kerajaan-Nya, milik Allah-lah semua yang ada di langit dan di bumi, Dia Maha Mengetahui siapa yang berhak mendapat hidayah dan siapa yang berhak mendapat kesesatan, Dia juga Maha bijaksana dalam menempatkan kepada siapa hidayah diberikan dan kepada siapa kesesatan ditimpakan.

[2] Daripada keadaanmu sekarang ini.

[3] Yakni orang-orang Nasrani.

[4] Maksudnya melewati batas atau ukuran yang disyari'atkan kepada yang tidak disyari'atkan. Misalnya mengangkat Nabi Isa 'alaihis salam melebihi kedudukannya sebagai hamba, nabi dan rasul dengan menjadikannya sebagai tuhan. Demikian juga kita dilarang meremehkan nabi sebagaimana dilarang pula berlebihan atau melampaui batas terhadapnya.

[5] Dalam ayat ini terdapat larangan berdusta atas nama Allah, berkata tentang Allah tanpa ilmu baik terhadap nama-Nya, sifat-Nya, perbuatan-Nya, syari'at-Nya dan para rasul-Nya, serta memerintahkan berkata yang hak dalam semua itu. Hal ini adalah kaidah umum, namun karena ayat ini membicarakan tentang Nabi Isa 'alaihis salam, maka berkata yang hak terhadap Allah dfalam ayat ini adalah dengan menyucikan-Nya dari adanya sekutu, istri atau pun anak.

[6] Maksud kalimat yaitu kun (jadilah), sehingga Nabi Isa 'alaihis salam diciptakan tanpa bapak.

[7] Yakni di antara roh-roh yang diciptakan-Nya. Disebut tiupan dari Allah karena tiupan itu berasal dari perintah Allah. Disandarkan kepada-Nya adalah sebagai pemuliaan baginya sebagaimana pada kata "kalimatuhu" (kalimat-Nya).

[8] Dan beralihlah kepada Tauhid, yakni menyatakan Allah Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya.

[9] Yang satu-satunya berhak diibadati.

[10] Yakni makhluk-Nya, milik-Nya dan hamba-Nya.

[11] Nabi Isa 'alaihis salam dan para malaikat senang menjadi hamba Allah dan beribadah kepada-Nya.

[12] Yaitu malaikat yang berada di sekitar Arsy seperti Jibril, Mikail, Israfil dan malaikat-malaikat yang setingkat dengan mereka.

[13] Yakni mereka yang menggabung antara iman yang diperintahkan dan amal salih, baik berupa amal wajib maupun sunat, dan baik terkait dengan hak Allah maupun terkait dengan hak hamba Allah.

[14] Termasuk di dalamnya kenikmatan apa saja yang ada di dalam surga, seperti makanan, minuman, pasangan, pemandangan, kegembiraan, kenikmatan hati maupun ruh dan kenikmatan badan, serta kenikmatan melihat wajah Allah. Bahkan termasuk pula semua kebaikan dalam beragama Islam dan kebaikan di dunia yang muncul dari iman dan amal salih.

[15] Bukti kebenaran ini mencakup di dalamnya dalil 'aqli, dalil naqli, ayat-ayat yang ada di alam semesta dan pada diri manusia.

[16] Di dalamnya terkandung pengetahuan tentang generasi terdahulu dan generasi kemudian, berita-berita benar yang bermanfaat, perintah mengerjakan semua keadilan, ihsan dan kebaikan serta larangan terhadap kezaliman dan keburukan. Manusia berada dalam kegelapan tanpa cahaya Al Qur'an dan berada dalam kebinasaan jika tidak mengambil cahayanya.

[17] Kepada wujud-Nya dan sifat-sifat-Nya yang sempurna dan menyucikan-Nya dari segala 'aib dan kekurangan.

[18] Allah akan memberi mereka taufiq kepada ilmu dan amal; yaitu mengetahui yang hak dan mengamalkannya. Sebaliknya, orang yang tidak beriman kepada Allah, dan tidak berpegang dengan agama-Nya, maka Allah menghalangi mereka dari rahmat dan karunia-Nya, membiarkan mereka mengurus diri mereka sendiri sehingga mereka tersesat dengan kesesatan yang nyata sebagai hukuman dari meninggalkan keimanan.

[19] Imam Muslim meriwayatkan dari Jabir bin Abdillah ia berkata, "Saya pernah sakit, lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan Abu Bakar menjengukku dengan berjalan kaki. Ketika itu saya pingsan, lalu Beliau berwudhu' dan menuangkan kepadaku air wudhu'nya, maka saya pun sadar. Saya bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimana saya menyelesaikan masalah harta saya?" Beliau tidak menjawab apa-apa hingga turun ayat warisan, "Yastaftuunaka, qulillahi yuftiikum fil kalaalah…dst."

Catatan:

Telah disebutkan sebelumnya, bahwa ayat, "Yuushiikumullahu fii awlaadikum" (An Nisaa': 11) turun berkenaan dengan Jabir, sedangkan ayat di atas, yakni "Yastaftuunaka…dst." turun berkenaan dengan Jabir pula. Al Haafizh Ibnu Katsir rahimahullah merajihkan bahwa ayat, "Yuushiikumullahu…dst." turun berkenaan dengan puteri-puteri Sa'ad bin Rabii', sedangkan ayat, "Yastaftuunaka..dst." turun berkenaan dengan Jabir, karena ia dia memiliki beberapa orang saudari dan tidak memiliki puteri.

[20] Kalalah adalah seseorang mati tidak meninggalkan ayah atau kakek dan anak atau cucu.

[21] Laki-laki maupun perempuan.

[22] Sekandung atau sebapak.

[23] Yakni ditinggalkan saudaranya, baik berupa uang, barang tetap (tidak bisa dipindahkan) maupun perabot. Tentunya setelah dibayarkan hutangnya dan ditunaikan wasiat sebagaimana telah diterangkan sebelumnya.

[24] Baik sekandung atau sebapak (sebagai 'ashabah).

[25] Jika saudara perempuan memiliki anak laki-laki, maka saudara laki-laki tidak mendapatkan apa-apa, atau jika memiliki anak perempuan, maka saudara laki-laki mendapatkan sisa setelah bagian anak perempuan. Namun jika yang menjadi ahli waris adalah saudara perempuan seibu saja atau saudara laki-laki seibu saja, maka bagiannya adalah 1/6 sebagaimana telah diterangkan sebelumnya (lihat An Nisaa': 12)

Contoh :

Ahli waris terdiri dari:
  1. Istri mayit.
  2. Saudara mayit (2 laki-laki dan 1 perempuan)
Keponakan tidak mendapatkan warisan, karena terhalang oleh orang tuanya (saudara mayit)
Cara pembagian warisan :
  1. Istri mendapat 1/4 dr harta mayit, karena tidak punya anak. Dalilnya adalah firman Allah di surat An-Nisa: 12.
  2. Sisa harta warisan 3/4 diberikan kepda saudara mayit, dengan perbandingan 2:1. Laki-laki dapat 2 dan perempuan dapat 1 bagian.
Contoh perhitungan :
Kita misalkan harta yang ditingalkan adalah 100 juta.
  1. Istri mendapat : 1/4 x 100 jt = 25 juta
  2. Sisanya : 75 juta menjadi warisan saudara mayit. Agar bisa dibagi dengan perbandingan 2:1 untuk 3 bersaudara, sisa warisan ini dibagi 5, karena laki-laki dinilai 2 dan perempuan dinilai 1.
75 juta : 5 = 15 juta. Selanjutnya angka ini dianggap sebagai satu jatah
– Untuk masing-masing saudara lelaki mendapatkan 2 jatah = 2 x 15 jt = 30 jt
– Untuk saudara perempuan mendapat 1 jatah = 15 juta.
[26] Atau lebih, karena ayat ini turun berkenaan dengan Jabir yang wafat meninggalkan beberapa orang saudari.

[27] Tidak seibu.

[28] Termasuk di antaranya tentang warisan. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan, bahwa ayat ini merupakan ayat yang terakhir turun tentang faraa'idh.

Hubungan surat An Nisaa' dengan surat Al Maa'idah

1. Surat An Nisaa' menerangkan beberapa macam 'aqad, seperti perkawinan, perceraian, wasiat dan sebagainya. Sedang permulaan surat Al Maa-idah menyatakan agar hamba-hamba Allah memenuhi segala macam 'aqad-'aqad yang telah dilakukan baik terhadap Allah maupun terhadap sesama manusia di samping menerangkan 'aqad-'aqad yang lain.

2. Surat An Nisaa' mengemukakan beberapa hukum secara umum dan mendatangkan jalan untuk menetapkan suatu hukum, kemudian surat Al Maa-idah menjelaskan dan menegaskan hukum-hukum itu.

3. Sebagaimana halnya surat Al Baqarah dan surat Ali 'Imran mengemukakan hal-hal yang berhubungan dengan pokok-pokok agama seperti keesaan Allah dan kenabian, maka surat An Nisaa' dan Al Maa-idah menerangkan tentang furu' agama (hukum fiqh), seperti hal-hal yang berhubungan dengan hukum keluarga dan sebagainya.

4. Akhir surat An Nisaa' mengemukakan hujjah-hujjah atas kekeliruan orang-orang Yahudi dan Nasrani serta kekeliruan kaum musyrik dan munafik. Hal yang serupa diterangkan secara panjang lebar dalam surat Al Maaidah.

5. Surat An Nisaa' dimulai dengan Yaa ayyuhannaas yang nadanya sama dengan nada surat Makkiyyah, sedangkan surat Al Maa-idah sebagai surat Madaniyyah dimulai dengan, Yaa ayyuhal ladziina aamanu. Hal ini menyatakan bahwa meskipun nadanya berlainan, tetapi yang ditujukan oleh kedua surat ini adalah seluruh manusia.

6. Surat An Nisaa' menerangkan beberapa hukum, sedangkan surat Al Maa'idah menyempurnakannya.

=============

Penjelasan Beberapa Mufradat Ayat 176

Al-kalaalah berasal dari kata al-iklil, yang berarti sesuatu yang meliputi/melilit seluruh bagian kepala. Yang dimaksud di sini adalah seseorang yang meninggal dan tidak meninggalkan ushul dan furu’ dari kerabatnya1. Telah diriwayatkan oleh Asy-Sya’bi dari Abu Bakr Ash-Shiddiq z bahwa beliau ditanya tentang al-kalaalah. Beliau menjawab: “Aku menjawab dengan pendapatku, jika benar maka itu dari Allah l dan jika salah maka itu dariku serta dari setan, dan Allah l serta Rasul-Nya n berlepas diri darinya. Al-kalaalah adalah orang yang tidak punya anak dan orangtua.” Ketika Umar bin Al-Khaththab z memegang khilafah, beliau berkata: “Sesungguhnya aku malu menyelisihi Abu Bakr dalam pendapatnya.” (Diriwayatkan Ibnu Jarir t dan yang lainnya).

Ibnu Abi Hatim t meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada Thawus t bahwa beliau berkata: Aku mendengar Abdullah bin Abbas c berkata: “Aku adalah yang paling akhir mengetahui tentang Umar bin Al-Khaththab z. Aku mendengar dia berkata: ‘Pendapat yang benar adalah apa yang aku katakan (3x), al-kalaalah adalah orang yang tidak memiliki anak dan orangtua’.”

Demikian pula yang dikatakan Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Mas’ud c. Juga telah shahih dari beberapa jalan dari Ibnu Abbas, Zaid bin Tsabit c, dan ini adalah pendapat Asy-Sya’bi, An-Nakha’i, Al-Hasan Al-Bashri, Qatadah, Jabir bin Zaid, dan Al-Hakam. Ini juga pendapat ulama Madinah, Kufah, dan Bashrah, dan merupakan pendapat tujuh  fuqaha’ dan empat Imam serta pendapat jumhur dari kalangan salaf dan khalaf seluruhnya. Beberapa ulama telah menukil ijma’ dalam hal ini, dan telah datang hadits marfu’ tentang hal ini. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 1/461, dalam menafsirkan ayat ke-12 dari surah An-Nisa’)

Sababun Nuzul (Sebab Turunnya Ayat)

Dari Jabir bin Abdillah c, dia berkata: “Rasulullah n masuk ke tempatku dalam keadaan aku sedang sakit dan belum siuman (pingsan). Lalu beliau berwudhu dan menuangkan air wudhunya kepadaku. Maka akupun siuman, lalu aku bertanya: ‘Harta warisan ini milik siapa, wahai Rasulullah? Sesungguhnya yang mewarisi hartaku adalah dari kalalah.’ Maka turunlah ayat warisan.” (HR. Al-Bukhari no. 191 dan Muslim no. 1616)

Dalam riwayat lain yang diriwayatkan Al-Imam Muslim t disebutkan bahwa Jabir z berkata: “Aku dalam keadaan sakit, lalu Rasulullah n bersama Abu Bakr z mendatangiku. Keduanya berjalan kaki menjengukku. Ketika itu aku sedang pingsan. Maka beliau berwudhu dan menuangkan air wudhunya kepadaku. Akupun siuman lantas aku bertanya: ‘Wahai Rasulullah, bagaimana aku memberi keputusan terhadap hartaku?’ Maka beliau n tidak menjawab sedikitpun hingga turun ayat warisan tersebut.” (HR. Muslim no. 1616)

Penjelasan Makna Ayat

As-Sa’di t menjelaskan ayat ini dalam tafsirnya Taisir Al-Kariim Ar-Rahman. Beliau t berkata: Allah l mengabarkan bahwa sebagian orang meminta fatwa kepada Rasulullah n tentang al-kalaalah. Yang menunjukkan hal tersebut adalah firman Allah (artinya): “Katakanlah: Allah yang menfatwakan kepada kalian tentang al-kalaalah” yaitu seorang yang meninggal dalam keadaan tidak mempunyai anak kandung dan tidak pula cucu dari anak laki-laki, tidak pula ayah dan kakek. Oleh karenanya Allah menyatakan: “Jika seseorang meninggal dan dia tidak mempunyai anak” yaitu anak laki-laki dan perempuan, baik anak kandung ataupun cucu dari anak laki-laki. Demikian pula dia tidak mempunyai ayah, dengan dalil bahwa saudara laki-laki dan perempuan mendapatkan warisan berdasarkan ijma’, dan mereka tidak mendapatkan warisan jika terdapat ayah. Maka jika ia meninggal dan tidak mempunyai ayah dan keturunan, namun dia mempunyai satu saudara perempuan sekandung atau seayah, bukan saudara seibu –sebab saudara seibu telah disebutkan hukumnya (pada ayat ke-12)–, maka baginya (satu saudara perempuan kandung/seayah itu) mendapat setengah dari harta peninggalan saudaranya baik berbentuk uang, barang, atau perabot rumah tangga, dan yang lainnya.

Pembagian warisan tersebut dilakukan setelah pelunasan utang dan pelaksanaan wasiat. Saudara laki-laki sekandung/seayah mendapatkan warisan dari saudara perempuannya yang meninggal, jika yang meninggal tersebut tidak memiliki anak. Tidak disebutkan berapa persen jatah yang didapatkannya, sebab dia (saudara laki-laki ini) sebagai ‘aashib2 dan mengambil seluruh harta, jika tidak terdapat ashabul furudh dan tidak ada ‘aashib yang lain bersamanya. Atau dia mendapatkan sisa harta jika masih terdapat sisa dari harta peninggalan yang telah dibagikan kepada ashabul furudh.

Jika saudara perempuan (sekandung/seayah) berjumlah dua atau lebih maka dia mendapat 2/3 dari seluruh harta peninggalan. Jika mereka terdiri dari saudara laki-laki dan perempuan maka yang laki-laki mendapat dua kali lipat dari bagian wanita.”

Kesimpulan dari pembagian warisan dalam ayat al-kalaalah ini adalah bahwa ayat ini menjelaskan hukum waris bagi saudara kandung atau seayah, sebab saudara seibu telah disebutkan hukumnya dalam surah An-Nisa’ ayat 12. Pembagiannya sebagai berikut:

– Jika ahli warisnya hanya seorang saudara perempuan, maka dia mendapatkan seperdua atau separuh harta peninggalan.

– Jika saudara perempuan berjumlah dua atau lebih, dan tidak terdapat saudara laki-laki, maka mereka mendapat 2/3 dari harta tersebut.

– Jika ahli warisnya adalah saudara laki-laki dan tidak ada saudara wanita, maka ia mendapat sisa dari harta yang telah dibagikan kepada ashabul furudh, berapapun jumlah saudaranya.

– Jika ahli waris terdiri dari saudara laki-laki dan perempuan, maka dibagi secara adil di antara mereka. Saudara laki-laki mendapat jatah dua kali lipat dari jatah wanita.

Menyelisihi Hukum Waris Dapat Menyebabkan Kesesatan

Firman-Nya:
Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat.
menjelaskan bahwa Allah l merinci hukum waris dalam Al-Qur’an agar dijadikan sebagai pedoman dalam pembagian harta warisan, dan hukum Allah k adalah hukum yang paling adil. Sehingga barangsiapa menyimpang dari pembagian waris yang telah ditetapkan-Nya dan menganggap bahwa hukum Allah l tersebut “tidak adil” atau “tidak sesuai dengan perkembangan zaman”, dan yang semisalnya, maka dia telah tersesat dari petunjuk Allah l Yang Maha Adil.

Telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir t dengan sanadnya bahwa Ibnu Juraij berkata tatkala menafsirkan ayat ini “Allah menjelaskan kepada kalian jangan sampai kalian tersesat”, yaitu dalam perkara hukum waris. Ibnu Jarir t berkata: “Agar kalian tidak tersesat dalam perkara hukum waris dan pembagiannya, yaitu agar kalian tidak menyimpang dari kebenaran dan salah dalam menerapkan hukum atasnya, yang menyebabkan kalian menyimpang dari jalan yang lurus.” (Tafsir At-Thabari)

Demikian pula yang dikatakan oleh Al-‘Allamah As-Sa’di t: “Allah l menerangkan kepada kalian hukum-hukum yang kalian butuhkan, menjelaskan dan merincinya untuk kalian. Hal ini merupakan anugerah dan kebaikan dari-Nya agar kalian mendapat hidayah dari penjelasan-Nya, serta menerapkan hukum-Nya agar kalian tidak tersesat dari jalan yang lurus disebabkan kejahilan dan ketidaktahuan kalian.” (Taisir Al-Karimirrahman)

Sebuah pertanyaan ditujukan kepada Al-Lajnah Ad-Da’imah:

Ada syubhat yang sering diutarakan oleh musuh-musuh Allah l. Mereka mengatakan: “Agama ini menzalimi wanita. Tatkala ada seorang lelaki meninggal dan dia meninggalkan ayah, ibu, istri dan beberapa anak, juga meninggalkan harta warisan, maka ayahnya mengambil bagiannya, dan istri mengambil setengah harta, padahal ayahnya bukan seorang yang memberi nafkah (kepada si mayit). Mengapa istri hanya mengambil setengah? Mengapa dia tidak mengambil bagiannya dengan sempurna seperti ayah?”

Jawabannya:

“Yang benar dalam pembagian harta waris dari pertanyaan yang disebutkan adalah didahulukan melunasi utang si mayit (orang yang meninggal) tersebut jika dia mempunyai utang. Kemudian dilaksanakan wasiat yang syar’i jika dia berwasiat. Kemudian yang tersisa dibagi menjadi 24 bagian. Istrinya mendapat seperdelapan karena memiliki anak, yaitu 3 bagian dari 24 bagian tersebut. Ayahnya mendapat seperenam, 4 dari 24 bagian. Ibunya mendapat seperenam, 4 dari 24 bagian. Sisanya 13 dari 24 bagian diberikan kepada anak-anaknya. Anak lelaki mendapat dua kali lipat dari bagian anak perempuan. Ini bukanlah perbuatan zalim kepada istri, tidak pula kepada ibu, ayah, dan anak-anaknya. Bahkan ini merupakan kebijakan dan keadilan. Hal itu telah ditunjukkan oleh dalil dan ijma’ umat ini. Allah l berfirman:

“Allah mewasiatkan kepada kalian terhadap anak-anak kalian, bagi seorang laki-laki mendapat dua bagian wanita.” (An-Nisa’: 11)

Hingga firman-Nya:
“Barangsiapa bermaksiat kepada Allah dan rasul-Nya serta melampaui batasan-batasannya maka Allah akan masukkan dia ke dalam neraka dan kekal di dalamnya, dan baginya mendapatkan azab yang menghinakan.” (An-Nisa’: 14)

1 Yang dimaksud ushul dalam ilmu waris adalah ayah, ibu, dan seterusnya dari kakek dan nenek yang termasuk ahli waris. Sedangkan furu’ adalah anak, cucu, dan seterusnya yang termasuk dari ahli waris. Adapun seperti saudara, paman, dan yang semisalnya disebut hasyiah.

2 Ashib adalah orang yang mendapatkan bagian harta warisan tanpa ada ukuran tertentu namun mendapatkan sisa harta. Jika tidak ada seorangpun ashabul furudh maka ashib mendapatkan seluruh harta. Namun jika terdapat dari mereka yang hidup maka aashib mendapat sisa setelah diberikan kepada ashabul furudh.

============================================

Tafsir Ayat [An-Nisa/4:174-175]

MAKNA KATA:

بُرْهَانٌ : Hujjah, argumentasi. Yang dimaksud dengan kata al-burhân dalam ayat ini adalah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam

نُورًا مُبِينًا : al-Qur’an al-karîm

وَاعْتَصَمُوا بِهِ : Berpegang teguhlah dengan al-Qur’an dan dengan semua syari’at yang dibawanya

فِي رَحْمَةٍ مِنْهُ : Di surga

صِرَاطًا مُسْتَقِيمًا : Jalan yang bisa menghantar mereka keharibaan Rabb mereka di akhirat

PENJELASAN AYAT

Ketika menjelaskan ayat pertama, Syaikh Abdulmuhsin bin Abbad al-Badr hafizhahullâh mengatakan, “Dalam ayat ini terdapat pemberitahuan dari Allâh Azza wa Jalla untuk para hamba-Nya bahwa mereka telah kedatangan dalil-dalil yang pasti kebenarannya dari Allâh Azza wa Jalla yang menunjukkan rubûbiyah dan uluhiyah-Nya; kitab yang menunjukkan bahwa Dia-lah ilah yang haq yang semua jenis ibadah hanya boleh diperuntukkan kepada-Nya. Dalam ayat tersebut terdapat pemberitahuan dari Allâh Azza wa Jalla bahwa Dia telah menurunkan kepada para hamba-Nya cahaya yang terang yaitu al-Qur’an. Allâh Azza wa Jalla menurunkannya kepada Rasul-Nya. Kitab itu berisi hidayah yang menunjukkan jalan yang lurus kepada umat manusia. Kitab itu berisi hal-hal yang bisa membimbing manusia agar terselamatkan dari kegelapan menuju cahaya… Allâh Azza wa Jalla menamakan kitab yang diturunkannya itu sebagai cahaya karena kitab itu menerangi jalan yang bisa menghantarkan para hamba untuk meraih kebaikan dan keberuntungan. Diantara ayat-ayat yang Allâh Azza wa Jalla sebutkan padanya bahwa al-Qur’an itu sebagai cahaya yaitu:

Firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala:

فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالنُّورِ الَّذِي أَنْزَلْنَا

Maka berimanlah kamu kepada Allâh dan rasul-Nya dan kepada cahaya (al-Qur’an) yang telah Kami turunkan [At-Taghâbun/64:8]

Juga dalam firman-Nya:

وَكَذَٰلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا مِنْ أَمْرِنَا ۚ مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ وَلَٰكِنْ جَعَلْنَاهُ نُورًا نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا

Dan Demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (al-Qur’an) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah al Kitab (al-Qur’an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi kami menjadikan al-Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. [Asy-Syûrâ/42:52]

Juga dalam firman-Nya:

فَالَّذِينَ آمَنُوا بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُوا النُّورَ الَّذِي أُنْزِلَ مَعَهُ ۙ أُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka Itulah orang-orang yang beruntung [Al-A’râf/7:157]

Juga dalam firman-Nya:

قَدْ جَاءَكُمْ مِنَ اللَّهِ نُورٌ وَكِتَابٌ مُبِينٌ ﴿١٥﴾ يَهْدِي بِهِ اللَّهُ مَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَهُ سُبُلَ السَّلَامِ وَيُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِهِ وَيَهْدِيهِمْ إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allâh, dan Kitab yang menerangkan.

Dengan Kitab itulah, Allâh menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan Kitab itu pula) Allâh mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus [Al-Maidah/5:15-16]

Inilah cahaya yang bisa menghilangkan kegelapan (yaitu) kekufuran, kesesatan dan kebodohan[1]

Penyususn kitab Aisarut Tafâsîr mengatakan, “Orang yang beriman kepada Allâh Azza wa Jalla sebagai Rabb dan Ilah serta beriman kepada Nabi-Nya Muhammad sebagai nabi dan rasul lalu mereka berpegang teguh dengan al-Qur’an; Mereka menghalalkan apa yang dihalalkan al-Qur’an dan mengharamkan apa yang dinyatakan haram; Mereka mengimani berita-berita yang dibawa al-Qur’an; Mereka konsisten dengan adab-adab yang diajarkan al-Qur’an, mereka itulah orang-orang yang dimasukkan kedalam rahmat dan karunia Allâh Azza wa Jalla dengan diselamatkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga. Itulah keberuntungan yang sangat agung, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an bahwa orang yang diselamatkan dari neraka dan dimasukkan ke surga adalah orag yang beruntung. Adapun orang-orang yang kufur kepada Allâh n dan Nabi-Nya juga kitab-Nya, maka tempat kembali mereka sudah jelas juga balasan mereka sudah jelas tidak perlu disebutkan. Itulah kerugian yang nyata.”[2]

Semoga Allâh Azza wa Jalla menjadikan kita semua termasuk orang-orang beruntung yang menjadikan cahaya al-Qur’an sebagai pedoman dalam menempuh kehidupan dunia yang penuh dengan berbagai jebakan dan fitnah

FAIDAH AYAT

Dakwah islam itu merupakan dakwah yang bersifat umum untuk semua umat manusia, tanpa membedakan warna kulit dan ras. Perhatikanlah ayat pertama yang kita bahas saat ini dan masih banyak lagi ayat-ayat senada
al-Qur’an itu adalah cahaya karena dengannya orang bisa mendapatkan petunjuk menuju jalan keselamatan, kebahagiaan dan kesempurnaan
Untuk meraih kebahagiaan dan masuk surga, seseorang harus berimanan kepada Allâh Azza wa Jalla , rasul-Nya, beriman dengan hari perjumpaan dengan-Nya, melakukan amal shalih yaitu berpegang teguh dengan al-Qur’an dan sunnah.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XIX/1436H/2015.]
_______
Footnote
[1] Lihat Kutub wa Rasâil beliau, 1/213-214

[2] Lihat Aisarut Tafâsîr, 1/583

Related Posts:

0 Response to "Tafsir An Nisa Ayat 170-176"

Post a Comment