Tafsir Al Qashash Ayat 44-55

Ayat 44-46: Termasuk bukti kerasulan Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dan kebenarannya adalah pemberitaan kepadanya terhadap perkara-perkara gaib yang hanya diketahui oleh Allah Subhaanahu wa Ta'aala.

وَمَا كُنْتَ بِجَانِبِ الْغَرْبِيِّ إِذْ قَضَيْنَا إِلَى مُوسَى الأمْرَ وَمَا كُنْتَ مِنَ الشَّاهِدِينَ (٤٤) وَلَكِنَّا أَنْشَأْنَا قُرُونًا فَتَطَاوَلَ عَلَيْهِمُ الْعُمُرُ وَمَا كُنْتَ ثَاوِيًا فِي أَهْلِ مَدْيَنَ تَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِنَا وَلَكِنَّا كُنَّا مُرْسِلِينَ (٤٥)وَمَا كُنْتَ بِجَانِبِ الطُّورِ إِذْ نَادَيْنَا وَلَكِنْ رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ لِتُنْذِرَ قَوْمًا مَا أَتَاهُمْ مِنْ نَذِيرٍ مِنْ قَبْلِكَ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ (٤٦)

Terjemah Surat Al Qashash Ayat 44-46

44. [1]Dan engkau (Muhammad) tidak berada di sebelah barat[2] ketika Kami menyampaikan perintah kepada Musa, dan engkau tidak (pula) termasuk orang-orang yang menyaksikan (kejadian itu)[3],

45. Tetapi Kami telah menciptakan beberapa umat[4], dan telah berlalu atas mereka masa yang panjang[5], dan engkau (Muhammad) tidak tinggal bersama-sama penduduk Madyan[6] dengan membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka, tetapi Kami telah mengutus rasul-rasul[7].

46. Dan engkau (Muhammad) tidak berada di dekat Tur (gunung) ketika Kami menyeru (Musa)[8], tetapi (Kami untus engkau) sebagai rahmat dari Tuhanmu, agar engkau memberi peringatan kepada kaum (Quraisy) yang tidak didatangi oleh pemberi peringatan sebelum engkau agar mereka mendapat pelajaran[9].

Ayat 47-50: Sikap kaum musyrik ketika musibah menimpa mereka, keadaan mereka yang selalu mengingkari bukti, padahal dahulu memintanya, dan penjelasan bahwa Al Qur’an adalah kitab yang paling sempurna.



وَلَوْلا أَنْ تُصِيبَهُمْ مُصِيبَةٌ بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ فَيَقُولُوا رَبَّنَا لَوْلا أَرْسَلْتَ إِلَيْنَا رَسُولا فَنَتَّبِعَ آيَاتِكَ وَنَكُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ (٤٧) فَلَمَّا جَاءَهُمُ الْحَقُّ مِنْ عِنْدِنَا قَالُوا لَوْلا أُوتِيَ مِثْلَ مَا أُوتِيَ مُوسَى أَوَلَمْ يَكْفُرُوا بِمَا أُوتِيَ مُوسَى مِنْ قَبْلُ قَالُوا سِحْرَانِ تَظَاهَرَا وَقَالُوا إِنَّا بِكُلٍّ كَافِرُونَ (٤٨) قُلْ فَأْتُوا بِكِتَابٍ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ هُوَ أَهْدَى مِنْهُمَا أَتَّبِعْهُ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (٤٩) فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنَ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ (٥٠

Terjemah Surat Al Qashash Ayat 47-50

47. Dan agar mereka tidak mengatakan ketika azab menimpa mereka disebabkan apa yang mereka kerjakan[10], "Ya Tuhan kami, mengapa Engkau tidak mengutus seorang rasul kepada Kami, agar kami mengikuti ayat-ayat Engkau dan termasuk orang mukmin[11].”

48. Maka ketika telah datang kepada mereka kebenaran (Al Qur’an) dari sisi Kami, mereka berkata[12], "Mengapa tidak diberikan kepadanya (Muhammad) seperti apa yang telah diberikan kepada Musa dahulu[13]?" Bukankah mereka itu telah ingkar (juga) kepada apa yang diberikan kepada Musa dahulu? Mereka dahulu berkata, "Keduanya[14] adalah sihir yang bantu membantu[15].” Dan mereka (juga) berkata, "Sesungguhnya Kami sama sekali tidak mempercayai masing-masingnya[16].”

49. Katakanlah (Muhammad), "Datangkanlah olehmu sebuah kitab dari sisi Allah yang kitab itu lebih memberi petunjuk daripada keduanya (Taurat dan Al Quran), niscaya aku mengikutinya[17], jika kamu orang yang benar[18].”

50. Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah[19] mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka. Dan siapakah yang lebih sesat[20] daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun[21]? Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.

Ayat 51-55: Pujian bagi orang-orang yang beriman dari kalangan Ahli Kitab dan di antara sifat mereka yang terpuji.

وَلَقَدْ وَصَّلْنَا لَهُمُ الْقَوْلَ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ (٥١) الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِهِ هُمْ بِهِ يُؤْمِنُونَ (٥٢) وَإِذَا يُتْلَى عَلَيْهِمْ قَالُوا آمَنَّا بِهِ إِنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّنَا إِنَّا كُنَّا مِنْ قَبْلِهِ مُسْلِمِينَ (٥٣) أُولَئِكَ يُؤْتَوْنَ أَجْرَهُمْ مَرَّتَيْنِ بِمَا صَبَرُوا وَيَدْرَءُونَ بِالْحَسَنَةِ السَّيِّئَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ (٥٤) وَإِذَا سَمِعُوا اللَّغْوَ أَعْرَضُوا عَنْهُ وَقَالُوا لَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ سَلامٌ عَلَيْكُمْ لا نَبْتَغِي الْجَاهِلِينَ (٥٥

Terjemah Surat Al Qashash Ayat 51-55

51. [22]Dan sungguh, Kami telah menyampaikan perkataan ini (Al Quran)[23] kepada mereka agar mereka selalu mengingatnya[24].

52. [25]Orang-orang yang telah Kami berikan kepada mereka Al Kitab[26] sebelum Al Quran, mereka beriman (pula) kepadanya (Al Quran itu).

53. Dan apabila (Al Quran) dibacakan kepada mereka[27], mereka berkata, "Kami beriman kepadanya, sesungguhnya (Al Quran) itu adalah suatu kebenaran dari Tuhan kami[28]. Sungguh, sebelumnya kami adalah orang muslim[29].”

54. Mereka itu diberi pahala dua kali[30] (karena beriman kepada Taurat dan Al Qur’an) disebabkan kesabaran mereka[31], dan[32] mereka menolak kejahatan dengan kebaikan, dan menginfakkan sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepada mereka.

55. Dan apabila mereka mendengar perkataan yang buruk[33], mereka berpaling darinya dan berkata[34], "Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amal kamu[35], semoga selamatlah kamu[36], kami tidak ingin (bergaul) dengan orang-orang jahil.”


[1] Setelah Allah Subhaanahu wa Ta'aala menceritakan kepada Rasul-Nya (Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam) apa yang Dia ceritakan, seperti berita-berita di masa lalu, maka Allah Subhaanahu wa Ta'aala mengingatkan manusia bahwa berita tersebut adalah berita murni dari Allah, tidak ada jalan bagi rasul untuk mengetahuinya kecuali dengan jalan wahyu.

[2] Maksudnya, di sebelah barat lembah suci Thuwa, lihat surat Thaha ayat 12.

[3] Sehingga dikatakan, bahwa engkau mengetahuinya karena ikut hadir ketika itu.

[4] Setelah Nabi Musa ‘alaihis salam.

[5] Pesan dan perjanjian sudah dilupakan, pengetahuan agama semakin pudar dan wahyu telah terputus, maka Allah mengutus Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai rasul serta mewahyukan kepada Beliau berita tentang Nabi Musa dan lainnya.

[6] Sehingga engkau mengetahui kisah mereka, lalu menyampaikannya.

[7] Maksudnya, berita yang engkau bawa baik tentang Nabi Musa maupun tentang umat-umat terdahulu adalah atsar (hasil) dari pengutusan Kami kepadamu dan wahyu yang tidak ada jalan bagimu untuk mengetahuinya jika Kami tidak mengutusmu.

[8] Yakni ketika Allah memerintahkannya untuk mendatangi orang-orang yang zalim (Fir’aun dan kaumnya) dan menyampaikan kepada mereka risalah-Nya serta memperlihatkan ayat-ayat-Nya. Kesimpulannya adalah, bahwa peristiwa yang dialami Nabi Musa ‘alaihis salam di beberapa tempat yang dikisahkan-Nya itu tidak lepas dari dua kemungkinan: (1) Beliau (Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam) hadir dan menyaksikan lalu Beliau mempelajarinya dari mereka. Jika seperti ini, maka berarti Beliau bukan utusan Allah, karena perkara yang disampaikan dari hasil penelitian adalah perkara yang di sana ikut serta pula yang lain (tidak hanya para nabi saja, yang lain pun bisa). Akan tetapi, mereka (orang-orang kafir) sudah mengetahui, bahwa tidak mungkin seperti itu, karena Beliau tidak sezaman dengan mereka, maka sudah pasti yang benar adalah kemungkinan kedua; (2) Bahwa berita tersebut datang dari sisi Allah berupa wahyu karena Beliau adalah utusan Allah. Dengan demikian, jelaslah bahwa Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam adalah seorang rasul dan kita semua menjadi saksi terhadapnya, sekaligus sebagai rahmat Allah bagi hamba-hamba Allah.

[9] Yakni mereka dapat mengetahui kebaikan secara lebih rinci sehingga mereka dapat mengerjakannya, serta mengetahui lebih rinci keburukan, sehingga mereka dapat meninggalkannya. Jika Beliau seperti ini kedudukannya, maka yang wajib dilakukan mereka adalah segera beriman dan mensyukuri nikmat yang besar ini.

Perlu diketahui, bahwa peringatan Beliau kepada orang-orang Arab tidak berarti khusus kepada mereka tidak kepada selain mereka, bahkan risalah Beliau untuk semua manusia; bangsa Arab maupun ‘Ajam (non Arab). Tertuju pertama kali kepada orang Arab adalah karena Beliau adalah orang Arab, Al Qur’an yang diturunkan kepada Beliau berbahasa Arab dan orang yang pertama kali mendapatkan dakwah Beliau adalah orang-orang Arab. Oleh karena itu, risalah Beliau kepada orang-orang Arab adalah sebagai asalnya, sedangkan selain mereka mengikuti. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Katakanlah, "Wahai manusia! Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua,…dst.” (Terj. Al A’raaf: 158).

[10] Berupa kekafiran dan kemaksiatan.

[11] Yakni, oleh karena itulah Kami mengutus engkau wahai Muhammad untuk menyingkirkan hujjah mereka dan agar mereka tidak berbicara seperti itu.

[12] Mendustakan sambil memprotesnya.

[13] Seperti tangannya yang bercahaya, tongkatnya yang berubah menjadi ular, dan lain-lain. Bisa juga maksudnya, mengapa tidak diturunkan kepada Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam kitab secara sekaligus sebagaimana kitab Taurat yang diturunkan secara sekaligus kepada Musa ‘alaihis salam. Padahal termasuk kesempurnaan Al Qur’an ini dan perhatian Allah kepada orang yang diturunkan Al Qur’an kepadanya adalah diturunkan-Nya kitab itu secara berangsur-angsur untuk meneguhkan hati rasul-Nya dan menambah keimanan orang-orang mukmin. Pengqiyasan mereka terhadap Al Qur’an dengan kitab Taurat adalah qiyas yang mereka batalkan sendiri, karena mereka mengqiyaskan dengan kitab yang mereka sendiri mengingkarinya dan tidak beriman. Oleh karena itulah, Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman, “Bukankah mereka itu telah ingkar (juga) kepada apa yang diberikan kepada Musa dahulu?”

[14] Yakni Al Qur’an dan Taurat.

[15] Dalam sihirnya dan dalam menyesatkan manusia.

[16] Dari sini diketahui, bahwa maksud mereka tidak lain hanyalah untuk membatalkan yang hak dengan sesuatu yang bukan merupakan alasan, mereka juga hendak membatalkan dengan sesuatu yang sebenarnya tidak dapat membatalkan, ucapan mereka saling berlawanan dan bertentangan, dan seperti inilah keadaan semua orang kafir tanpa terkecuali. Oleh karena itulah, ditegaskan bahwa mereka kafir kepada dua kitab (Taurat dan Al Qur’an) dan dua rasul itu (Musa dan Muhammad ‘alaihimash shalaatu was salaam). Di samping itu, kekekafiran mereka kepada keduanya bukanlah karena hendak mencari yang hak dan memilih yang terbaik, akan tetapi karena mengikuti hawa nafsu sebagaimana diterangkan dalam ayat selanjutnya.

[17] Ini merupakan sikap inshaf yang sempurna, yaitu mengikuti yang terbaik. Namun ternyata tidak ada kitab yang lebih baik daripada keduanya, sehingga ia tidak mengikuti selainnya.

[18] Sudah pasti, tidak ada jalan bagi mereka dan selain mereka untuk mendatangkan yang semisal dengan Al Qur’an, karena tidak ada satu pun kitab yang muncul ke dunia yang lebih hebat daripada keduanya, baik pengetahuannya, petunjuknya, penjelasannya dan rahmatnya bagi makhluk.

[19] Bahwa mereka tidak mengikutimu bukan karena mencari yang hak dan hidayah, tetapi sekedar menuruti hawa nafsu.

[20] Maksudnya, tidak ada yang lebih sesat.

[21] Orang yang seperti ini termasuk orang yang paling sesat, ketika disodorkan petunjuk dan jalan yang lurus yang menyampaikan kepada Allah dan surga-Nya, tetapi ia tidak mempedulikannya dan tidak mendatanginya, bahkan hawa nafsunya mengajak dirinya untuk menempuh jalan yang mengarah kepada kebinasaan dan kesengsaraan, dirinya pun mengikuti dan meninggalkan petunjuk. Siapakah yang lebih sesat daripada orang yang seperti ini sifatnya? Kezaliman, sikap melampaui batas dan tidak menyukai kebaikan membuatnya ingin tetap di atas kesesatannya dan Allah tidak menunjuki orang yang seperti ini. Oleh karena itulah, Allah Subhaanahu wa Ta'aala menerangkan, bahwa Dia tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang zalim, yaitu mereka yang sudah melekat dengan kezaliman dan sikap membangkang, ketika kebenaran datang, ia malah menolaknya dan ketika disodorkan hawa nafsu, ia malah mengikutinya. Mereka telah menutup untuk diri mereka pintu-pintu hidayah dan jalannya serta membuka pintu-pintu kesesatan dan jalannya. Oleh karena itu, mereka bingung dalam kesesatannya dan terombang-ambing dalam kesengsaraannya.

[22] Ibnu Jarir berkata: Telah menceritakan kepadaku Bisyr bin Adam, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami ‘Affan bin Muslim, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami ‘Amr bin Dinar dari Yahya bin Ja’dah (dari Rifa’ah Al Qurazhi), ia berkata: Ayat ini turun berkenaan dengan sepuluh orang, dan saya salah satunya, “Dan sungguh, Kami telah menyampaikan perkataan ini (Al Quran) kepada mereka agar mereka selalu mengingatnya.” (Hadits ini diriwayatkan pula oleh Thabrani juz 5 hal. 46 dan 47. Haitsami berkata dalam Majma’uzzawa’id juz 7 hal. 88, “Diriwayatkan oleh Thabrani dengan dua isnad; salah satunya bersambung dan para perawinya tsiqah, yaitu hadits ini, sedangkan hadts yang lain terputus.”)

[23] Allah Subhaanahu wa Ta'aala menyampaikan Al Qur’an dan menurunkannya secara berangsur-angsur karena rahmat dan kelembutan-Nya, di mana di antara faedahnya adalah agar dapat dipahami dengan baik.

[24] Yaitu karena ayat-ayat-Nya diulang dan penjelasannya turun saat dubutuhkan. Oleh karena itulah, turunnya secara berangsur-angsur adalah rahmat bagi mereka, sehingga tidak pantas bagi mereka memprotes sesuatu yang maslahatnya untuk mereka..

Beberapa faedah dan pelajaran yang dapat diambil dari kisah Nabi Musa dengan Fir’aun di atas

1. Hanya orang-orang mukmin saja yang dapat mengambil pelajaran dari ayat-ayat Allah dan peristiwa-peristiwa yang diberlakukan-Nya terhadap umat-umat terdahulu yang kafir. Semakin tinggi imannya, maka semakin bertambah pula pengambilan ‘ibrah (pelajaran)nya, dan bahwa Allah hanyalah mengarahkan kisah untuk mereka. Adapun selain mereka, maka Allah tidak peduli terhadapnya, dan lagi ayat-ayat-Nya tidak menjadi cahaya dan petunjuk bagi mereka.

2. Allah Subhaanahu wa Ta'aala apabila menginginkan terjadinya sesuatu, maka Dia siapkan sebab-sebabnya dan memberlakukannya sedikit demi sedikit dan bertahap; tidak sekaligus.

3. Kaum yang tertindas, meskipun sangat tertindas sekali tidak patut baginya bersikap lemah dari menuntut haknya dan berputus asa untuk bangkit kepada yang lebih tinggi, terlebih apabila mereka terzalimi sebagaimana Allah Subhaanahu wa Ta'aala menyelamatkan Bani Israil kaum yang ditindas oleh Fir’aun dan para pemukanya, lalu Allah Subhaanahu wa Ta'aala memberikan kedudukan kepada mereka di bumi serta menjadikan mereka berkuasa.

4. Suatu umat selama dalam keadaan tertindas; maka mereka tidak mampu menuntut haknya, tidak mampu menegakkan perkara agamanya maupun dunianya serta tidak memiliki kepemimpinan.

5. Kelembutan Allah Subhaanahu wa Ta'aala terhadap ibu Nabi Musa ‘alaihis salam, peringanan-Nya terhadap musibah yang menimpanya dengan kabar gembira, yakni bahwa Allah akan mengembalikan kepadanya anaknya dan menjadikannya termasuk rasul.

6. Allah Subhaanahu wa Ta'aala menakdirkan untuk hamba-Nya sebagian kesusahan agar dia memperoleh kegembiraan yang lebih besar dari itu atau terhindar dari keburukan yang lebih besar dari itu, sebagaimana Dia menakdirkan kepada ibu Nabi Musa ‘alaihis salam kesedihan yang berat itu, namun menjadi sarana agar anaknya kembali kepadanya dengan cara yang membuat tenang jiwanya, sejuk penglihatannya dan bertambah gembira.

7. Rasa takut secara tabi’at tidaklah menafikan keimanan, sebagaimana yang terjadi pada ibu Nabi Musa dan Musa ‘alaihis salam itu sendiri.

8. Iman dapat bertambah dan berkurang, dan termasuk hal yang menambahkan keimanan dan memperkuat keyakinan adalah bersabar ketika menghadapi sesuatu yang mencemaskan dan peneguhan dari Allah ketika kondisi seperti itu, sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Seandainya tidak Kami teguhkan hatinya, agar dia termasuk orang-orang yang beriman,” yakni agar bertambah keimanannya dan tenteram hatinya.

9. Termasuk nikmat yang paling besar dari Allah kepada hamba-Nya adalah peneguhan Allah kepadanya dan penjagaan-Nya terhadap hatinya ketika terjadi hal yang mengkhawatirkan dan ketika menghadapi peristiwa yang menegangkan, karena dengan begitu ia dapat berbicara tepat dan berbuat bijak, berbeda dengan keadaaan ketika ia sedang risau, takut dan gelisah, maka pikirannya menjadi hilang, konsentrasinya menjadi kacau dsb.

10. Seorang hamba, jika mengetahui bahwa qadha’ dan qadar serta janji Allah pasti terlaksana, maka ia tidak meremehkan dalam mengerjakan sebab, dan hal itu (mengerjakan sebab) tidaklah menafikan keimanannya kepada berita Allah. Hal itu, karena Allah telah berjanji kepada ibu Nabi Musa ‘alaihis salam untuk mengembalikan kepadanya anaknya. Meskipun ia yakin terhadap janji Allah tersebut, namun ia tetap berusaha agar anaknya kembali, sampai-sampai ia mengutus saudara Musa untuk menelusuri anaknya.

11. Bolehnya seorang wanita untuk keluar memenuhi kebutuhannya dan berbicara dengan laki-laki selama sesuai dengan norma-norma syari’at dan tidak ada kekhawatiran timbulnya fitnah sebagaimana yang terjadi pada saudari Musa dan dua wanita penduduk Madyan yang berbicara dengan Nabi Musa ‘alaihis salam.

12. Bolehnya mengambil upah terhadap kafalah (menanggung) dan radhaa’ (penyusuan) serta menunjukkan orang yang siap melakukannya.

13. Termasuk rahmat Allah kepada hamba-Nya yang lemah yang hendak dimuliakan-Nya adalah Dia memperlihatkan di antara ayat-ayat-Nya dan bukti-bukti-Nya yang membuat imannya bertambah, sebagaimana Allah mengembalikan Musa kepada ibunya agar ibunya mengetahui bahwa janji Allah adalah benar.

14. Membunuh orang kafir yang mempunyai ikatan baik dengan ‘akad maupun dengan ‘uruf (adat yang berlaku) adalah tidak boleh, karena Nabi Musa ‘alaihis salam menganggap pembunuhannya terhadap orang Qibthi yang kafir sebagai dosa dan Beliau meminta ampunan kepada Allah dari dosa itu.

15. Orang yang membunuh jiwa dengan tanpa hak, tergolong orang yang sewenang-wenang yang hendak mengadakan kerusakan di bumi.

16. Pemberitahuan orang lain kepada seseorang mengenai keadaan orang tersebut dengan maksud agar ia berhati-hati terhadap suatu bahaya yang mungkin sekali terjadi, tidaklah termasuk namimah (adu domba), bahkan terkadang menjadi wajib, sebagaimana pemberitahuan seseorang yang datang dari ujung kota kepada Musa menasihatinya agar segera meninggalkan kota tersebut.

17. Jika seseorang takut dibunuh atau dibinasakan jika tetap tinggal di suatu tempat, maka janganlah ia tetap di sana, karena sama saja menjatuhkan dirinya ke jurang kebinasaan.

18. Ketika dua mafsadat berhadapan, maka dilakukan mafsadat yang lebih ringan.

19. Seorang peneliti dalam suatu ilmu ketika perlu menyampaikan dan tidak ada salah satu di antara dua pendapat yang rajih baginya, maka ia meminta petunjuk kepada Tuhannya serta meminta agar ditunjuki kepada yang lebih tepat di antara dua pendapat itu setelah hatinya bermaksud mencari yang hak, karena sesungguhnya Allah tidak akan mengecewakan orang yang seperti ini keadaannya.

20. Sayang kepada makhluk dan berbuat ihsan kepada orang yang dia kenal dan yang tidak dia kenal termasuk akhlak para nabi, dan termasuk ihsan adalah memberi minum hewan ternak dan membantu orang yang tidak mampu.

21. Dianjurkan ketika berdoa menerangkan keadaan dirinya meskipun Allah sudah mengetahuinya, karena Allah Subhaanahu wa Ta'aala senang kepada permohonan yang sungguh-sungguh dari hamba-Nya dan menampakkan kehinaan dirinya.

22. Malu termasuk akhlak yang terpuji, terlebih dari orang-orang yang mulia.

23. Membalas kebaikan orang lain adalah kebiasaan baik yang dilakukan dari sejak dahulu.

24. Seorang hamba apabila melakukan suatu amal karena Allah, lalu mendapatkan imbalan, maka tidaklah tercela. Sebagaimana yang dilakukan Nabi Musa ‘alaihis salam ketika Beliau menerima balasan dari orang tua negeri Madyan tersebut, di mana Beliau tidak memintanya dan hatinya pun tidak menginginkan imbalan.

25. Disyariatkannya ijarah (menyewa atau mengupah), dan bahwa ijarah bisa berlaku dalam hal menggembala kambing dan sebagainya dari orang yang tidak mampu bekerja, selanjutnya dikembalikan kepada uruf (kebiasaan).

26. Boleh menyewa dengan memberikan manfaat, meskipun manfaatnya adalah bisa menikah.

27. Pilihan seorang untuk puterinya laki-laki yang dia pilih tidaklah tercela.

28. Sebaik-baik pekerja adalah orang yang kuat lagi terpercaya.

29. Termasuk akhlak yang mulia adalah seseorang berbuat ihsan kepada karyawan dan pembantunya serta tidak memberatkan pekerjaannya.

30. Bolehnya melakukan ‘akad ijarah dan lainnya tanpa menghadirkan saksi berdasarkan firman ayat, “Dan Allah menjadi saksi terhadap apa yang kita ucapkan.”

31. Termasuk hukuman paling besar adalah ketika seseorang menjadi pemimpin dalam keburukan dan kesesatan, dan hal itu tergantung sejauh mana penentangannya terhadap ayat-ayat Allah Subhaanahu wa Ta'aala, sebagaimana termasuk nikmat yang paling besar yang diberikan Allah kepada hamba-Nya adalah dijadikan-Nya sebagai pemimpin kebaikan, yang memberi petunjuk lagi mendapat petunjuk.

32. Dalam kisah tersebut tedapat bukti kenabian dan kerasulan Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, di samping dalam perintah dan larangan juga terdapat bukti kebenaran Beliau, demikian pula pada kepribadian Beliau (lihat Taisirul Karimir Rahmaan karya Syaikh As Sa’diy rahimahullah).

[25] Ayat ini turun berkenaan dengan segolongan orang yang masuk Islam dari kalangan Yahudi (seperti Abdullah bin Salam dan kawan-kawannya) dan Nasrani (yang datang dari Habasyah dan Syam). Ayat ini menerangkan keagungan Al Qur’an dan kebenarannya, di mana orang-orang yang berilmu mengetahuinya dan mengimaninya serta mengakui kebenarannya.

[26] Yaitu kitab Taurat dan Injil yang masih murni.

[27] Yakni maka mereka mendengarkan dan tunduk kepadanya.

[28] Karena sejalan dengan yang dibawa para rasul dan sesuai dengan yang disebutkan dalam kitab-kitab, di samping itu beritanya benar, perintah dan larangannya sangat bijaksana.

Persaksian dan ucapan mereka ini bermanfaat bagi mereka, karena keluar atas dasar ilmu dan bashirah (mata hati) di mana mereka adalah orang-orang yang adil. Adapun Ahli Kitab yang lain yang menolaknya, maka keadaannya antara jahil (tidak tahu), pura-pura jahil atau menentang yang hak. Oleh karena itulah dalam ayat lain Allah berfirman, “Katakanlah, "Berimanlah kamu kepadanya atau tidak perlu beriman (sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud,” (Terj. Al Israa’: 107)

[29] Yakni orang yang mentauhidkan (mengesakan) Allah. Oleh karena itu, Allah meneguhkan kami di atas keimanan sehingga kami benarkan pula Al Qur’an, kami imani kitab sebelumnya dan kitab yang datang sekarang, sedangkan selain kami membatalkan keimanannya kepada kitab sebelumnya karena mendustakan Al Qur’an ini.

[30] Yakni pahala karena iman yang pertama dan iman yang kedua.

[31] Untuk tetap beriman dan mengamalkannya. Kedudukan dan hawa nafsu tidak menghalangi mereka beriman.

[32] Di antara akhlak mereka yang utama, yang timbul dari iman yang benar adalah mereka menolak kejahatan dengan kebaikan. Kebiasaan mereka adalah berbuat ihsan kepada setiap orang bahkan kepada orang yang berbuat jahat kepada mereka baik dengan ucapannya maupun dengan perbuatannya, mereka membalasnya dengan ucapan yang baik dan perbuatan yang baik karena mereka mengetahui keutamaan akhlak yang mulia ini dan bahwa tidak ada orang yang diberi taufik kepadanya kecuali orang yang memperoleh keberuntungan yang besar.

[33] Dari orang yang jahil.

[34] Sebagaimana perkataan ibaadurrahman, lihat Al Furqaan: 63.

[35] Yakni, masing-masing akan mendapatkan balasan sesuai amal yang dikerjakannya, ia tidak menanggung dosa orang lain dan orang lain pun tidak menanggung dosanya. Ini menunjukkan, bahwa mereka berlepas diri dari orang-orang yang jahil, yakni dari perkataan dan perbuatan mereka yang sia-sia serta pembicaraan yang tidak ada faedahnya.

[36] Bisa juga diartikan, bahwa kamu akan selamat atau aman dari gangguan kami, yakni kami tidak akan membalasnya, atau kamu tidak mendengarkan dari kami selain kebaikan.

Related Posts:

0 Response to "Tafsir Al Qashash Ayat 44-55"

Post a Comment