Tafsir Al Ahzab Ayat 31-40

Juz 22

وَمَنْ يَقْنُتْ مِنْكُنَّ لِلَّهِ وَرَسُولِهِ وَتَعْمَلْ صَالِحًا نُؤْتِهَا أَجْرَهَا مَرَّتَيْنِ وَأَعْتَدْنَا لَهَا رِزْقًا كَرِيمًا (٣١)

31. Dan barang siapa diantara kamu (istri-istri Nabi) tetap taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan mengerjakan amal saleh[1], niscaya Kami berikan pahala kepadanya dua kali lipat dan Kami sediakan rezeki yang mulia baginya[2].

Ayat 32-34: Keutamaan istri-istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di atas wanita lain, kedudukan mereka dan kegiatan yang perlu dilakukan wanita di rumah.

يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلا مَعْرُوفًا (٣٢)وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الأولَى وَأَقِمْنَ الصَّلاةَ وآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا (٣٣)وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَى فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ وَالْحِكْمَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ لَطِيفًا خَبِيرًا (٣٤)

Terjemah Surat Al Ahzab Ayat 32-34

32. Wahai istri-istri Nabi! Kamu tidak seperti perempuan-perempuan yang lain, jika kamu bertakwa[3]. Maka janganlah kamu tunduk (melemah lembutkan suara) dalam berbicara[4] sehingga bangkit nafsu orang yang ada penyakit dalam hatinya[5], dan [6]ucapkanlah perkataan yang baik.

33. [7]Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu[8] dan janganlah kamu berhias dan (bertingkah laku) seperti orang-orang Jahiliyah dahulu[9], dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa[10]dari kamu[11], wahai ahlul bait[12] dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya[13].

34. [14]Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan Hikmah[15]. Sungguh, Allah Mahalembut lagi Maha Mengetahui[16].

Ayat 35: Persamaan antara laki-laki dan wanita dalam hal amal saleh dan balasan masing-masingnya.



إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا (٣٥)

Terjemah Surat Al Ahzab Ayat 35

35. [17]Sungguh, laki-laki dan perempuan muslim[18], laki-laki dan perempuan mukmin[19], laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar[20], laki-laki dan perempuan yang sabar[21], laki-laki dan perempuan yang khusyuk[22], laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa[23], laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya[24], laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah[25], Allah telah menyediakan untuk mereka[26]ampunan[27] dan pahala yang besar[28].

Ayat 36-40: Kedudukan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di hadapan kaum mukmin, dan bahwa anak angkat tidak sama dengan anak kandung.

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالا مُبِينًا (٣٦)وَإِذْ تَقُولُ لِلَّذِي أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَنْعَمْتَ عَلَيْهِ أَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ وَاتَّقِ اللَّهَ وَتُخْفِي فِي نَفْسِكَ مَا اللَّهُ مُبْدِيهِ وَتَخْشَى النَّاسَ وَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَاهُ فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لا يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًا وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولا (٣٧)مَا كَانَ عَلَى النَّبِيِّ مِنْ حَرَجٍ فِيمَا فَرَضَ اللَّهُ لَهُ سُنَّةَ اللَّهِ فِي الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلُ وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ قَدَرًا مَقْدُورًا (٣٨)الَّذِينَ يُبَلِّغُونَ رِسَالاتِ اللَّهِ وَيَخْشَوْنَهُ وَلا يَخْشَوْنَ أَحَدًا إِلا اللَّهَ وَكَفَى بِاللَّهِ حَسِيبًا (٣٩)مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا (٤٠)

Terjemah Surat Al Ahzab Ayat 36-40

36. [29]Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka[30]. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, Dia telah tersesat, dengan kesesatan yang nyata[31].

37. Dan (ingatlah), ketika engkau (Muhammad) berkata kepada orang yang telah diberi nikmat oleh Allah[32], dan engkau (juga) telah memberi nikmat kepadanya[33], "Pertahankanlah terus istrimu[34] dan bertakwalah kepada Allah[35],” [36]sedang engkau menyembunyikan di dalam hatimu apa yang akan dinyatakan oleh Allah[37], dan engkau takut kepada manusia[38], padahal Allah lebih berhak engkau takuti[39]. [40]Maka ketika Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami nikahkan engkau dengan dia[41] (Zainab) agar tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (menikahi) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya terhadap isterinya. Dan ketetapan Allah itu pasti terjadi[42].

38. [43]Tidak ada keberatan (dosa) apapun pada Nabi tentang apa yang telah ditetapkan Allah baginya[44]. (Allah telah menetapkan yang demikian) sebagai sunnah Allah pada nabi-nabi yang telah terdahulu[45]. Dan ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku,

39. (yaitu) orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah[46], mereka takut kepada-Nya dan tidak merasa takut kepada siapa pun selain kepada Allah[47]. Dan cukuplah Allah sebagai pembuat perhitungan[48].

40. Muhammad itu bukanlah bapak dari seseorang di antara kamu[49], tetapi dia adalah utusan Allah[50] dan penutup para nabi[51]. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu[52].

[1] Sedikit atau banyak.

[2] Di surga sebagai tambahan.

[3] Yakni, jika mereka bertakwa kepada Allah, maka mereka akan mengungguli kaum wanita dan tidak akan dikejar oleh yang lain. Maka mereka menyempurnakan takwa dengan mengerjakan semua sarana kepada takwa dan maksudnya. Oleh karena itulah, di ayat ini Allah Subhaanahu wa Ta'aala mengarahkan mereka untuk memutuskan sarana-sarana yang dapat mengarah kepada yang haram.

[4] Dengan laki-laki atau ketika mereka mendengarkan suaramu. Allah Subhaanahu wa Ta'aala dalam ayat tersebut menggunakan kata-kata, “Falaa takhdha’na bil qauli” (jangan kamu tunduk dalam bicara) tidak “Falaa talinna bil qauli” (jangan kamu lembut dalam suara), karena yang dilarang adalah ucapan lembut yang di sana terdapat ketundukan wanita kepada laki-laki dan jatuh di hadapan mereka. Ucapan lembut yang disertai ketundukan itulah yang membuat laki-laki tergoda, akan tetapi ucapan lembut yang di sana tidak terdapat ketundukan, bahkan terkadang terdapat ketinggian di hadapan musuh, maka yang demikian tentu tidak membuat lawan bicaranya menjadi suka. Oleh karena itulah, Allah memuji Rasul-Nya karena kelembutannya (lihat surah Ali Imran: 159) dan memerintahkan Musa dan Harun ‘alaihimas salam untuk berkata lembut kepada Fir’aun (lihat surah Thaha: 43-44).

[5] Yang dimaksud dengan orang yang ada penyakit dalam hatinya adalah orang yang mempunyai niat berbuat serong dengan wanita, seperti melakukan zina. Orang yang hatinya tidak sehat sangat mudah sekali tergerak hatinya karena melihat atau mendengar sesuatu yang membangkitkan syahwat. Adapun orang yang sehat hatinya dari penyakit hati, maka tidak ada syahwat terhadap yang diharamkan Allah, tidak membuatnya cenderung dan tidak tergerak olehnya. Berbeda dengan orang yang sakit hatinya, maka ia tidak mampu menahan seperti yang dilakukan oleh orang yang sehat hatinya, dan tidak bersabar seperti kesabarannya. Sehingga ketika ada sebab kecil pun yang mengarah kepada yang haram, maka orang yang hatinya ada penyakit akan mudah mengikutinya dan tidak mau menolaknya.

Ayat, “Sehingga bangkit nafsu orang yang ada penyakit dalam hatinya,” di samping memerintahkan untuk menjaga kemaluan dan sebagai pujian terhadap laki-laki yang menjaganya dan perempuan yang menjaganya serta larangan mendekati zina, juga menunjukkan bahwa sepatutnya seorang hamba apabila melihat keadaan seperti ini dalam dirinya, dan merasa senang mengerjakan yang haram saat melihat atau mendengar ucapan orang yang menginginkannya, serta mendapatkan pendorong ketamakannya dan telah mengarah kepada yang haram, maka kenalilah bahwa itu adalah penyakit. Oleh karena itu, hendaknya ia berusaha memperkecil penyakit ini dan memutuskan pikiran-pikiran buruk yang melintas di hati serta berusaha menyelamatkan dirinya dari penyakit berbahaya ini, serta meminta perlindungan dan taufik kepada Allah Subhaanahu wa Ta'aala, dan bahwa yang demikian termasuk menjaga farji yang diperintahkan.

Dalam ayat ini terdapat dalil, bahwa sarana dihukumi dengan tujuannya, karena melembutkan suara pada asalnya adalah mubah, akan tetapi karena hal itu menjadi sarana kepada yang haram, maka diharamkan pula. Oleh karena itu, selayaknya bagi kaum wanita tidak melunakkan suaranya ketika berbicara dengan laki-laki.

[6] Setelah Allah melarang mereka melembutkan suara, mungkin timbul persangkaan, bahwa kalau demikian berarti mereka diperintahkan untuk mengeraskan suara, maka anggapan seperti ini ditolak dengan firman-Nya, “dan ucapkanlah perkataan yang baik.” Yakni ucapkanlah perkataan yang tidak kasar, namun tidak pula terlalu lembut.

[7] Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma tentang firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlul bait,” ia berkata, “Ayat ini turun berkenaan istri-istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam secara khusus.”

[8] Maksudnya, isteri-isteri Rasul agar tetap di rumah, dan keluar rumah hanyalah jika ada keperluan yang dibenarkan syara'. Perintah ini juga meliputi segenap wanita mukminah. Tetap di dalam rumah dapat lebih menyelamatkan dan menjaga mereka.

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

وَبُيُتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ

"Rumah mereka lebih baik untuk mereka." HR Ahmad dll.

Nabi juga mengatakan bahwa sedekat dekat wanita kepada Allah adalah bila mereka berada di rumah rumah mereka. HR ibnu Khuzaimah.

Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanadnya kepada Abu Hurairah ia berkata:

"Ada beberapa wanita datang kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam dan berkata, "Kami tidak mampu atasmu di majelis laki laki. Sediakanlal waktu satu hari untuk kami datangi engkau?"

Beliau bersabda, "Tempat bertemu kita di rumah fulan."

Dalam hadits ini Nabi menyuruh mereka berkumpul di rumah untuk menuntut ilmu kepada beliau shallallahu alaihi wasallam.

[9] Yakni sebelum datangnya Islam, di mana kaum wanita memperlihatkan kecantikannya kepada laki-laki. Setelah Islam datang, maka yang boleh ditampakkan adalah perhiasan yang biasa tampak saja, lihat lebih jelasnya di tafsir surah An Nuur: 31. Menurut Syaikh As Sa’diy, maksud ayat tersebut adalah janganlah kamu sering keluar sambil berdandan dan memakai wewangian sebagaimana kebiasaan orang-orang Jahiliyyah dahulu yang tidak memiliki ilmu dan agama. Ini semua adalah untuk menghindari keburukan dan sebab-sebab yang membawa kepadanya.

Setelah Allah Subhaanahu wa Ta'aala memerintahkan mereka bertakwa secara umum, dan memerintahkan bagian-bagian takwa, maka mereka diperintahkan agar tetap di rumah dan dilarang bertabarruj (berdandan ketika keluar rumah) sebagaimana kebiasaan Jahiliyyah, karena perlunya mereka dijelaskan hal ini. Demikian pula mereka diperintahkan taat, khususnya dengan melakukan shalat dan menunaikan zakat yang dibutuhkan sekali oleh setiap orang. Keduanya adalah ibadah besar dan ketaatan yang agung, di dalam shalat ada sikap ikhlas kepada Allah yang disembah, dan di dalam zakat ada sikap ihsan kepada hamba-hamba Allah. Selanjutnya Allah Subhaanahu wa Ta'aala memerintahkan mereka taat secara umum, firman-Nya, “dan taatilah Allah dan Rasul-Nya.” Termasuk ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya adalah menaati semua yang diperintahkan; wajib atau sunat.

[10] Demikian pula keburukan dan kotoran.

[11] Dengan adanya perintah dan larangan itu.

[12] Ahlul bait di sini, yaitu keluarga Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

[13] Sehingga kamu suci lagi menyucikan. Oleh karena itu, pujilah Tuhanmu dan syukurilah karena adanya perintah dan larangan ini, yang telah Dia beritahukan maslahatnya, dan bahwa hal itu murni maslahat (tidak ada mafsadatnya); Allah tidak menghendaki mengadakan kesempitan dan kesulitan bagimu, bahkan agar dirimu bersih dan pahalamu besar.

[14] Setelah Allah Subhaanahu wa Ta'aala memerintahkan mereka untuk beramal, yang di sana terdapat mengerjakan dan meninggalkan, maka Allah Subhaanahu wa Ta'aala memerintahkan mereka untuk berilmu, dan menjelaskan jalannya.

[15] Hikmah di sini bisa maksudnya sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan bisa maksudnya rahasia-rahasia syariat. Allah memerintahkan mereka mengingatnya, termasuk ke dalamnya menyebut lafaznya dengan membacanya, mengingat maknanya dengan mentadabburi dan memikirkan ayat-ayat-Nya, menggali hukum-hukum-Nya, dan ingat pengamalannya.

[16] Allah mengetahui rahasia segala urusan dan yang disembunyikan dalam dada, serta yang tersembunyi di langit dan di bumi, demikian pula amal yang ditampakkan dan dirahasiakan. Kelembutan dan pengetahuan-Nya menghendaki untuk mendorong mereka berbuat ikhlas dan menyembunyikan amal, dan pemberian balasan dari Allah kepada amal mereka. Di antara makna Lathiif (Yang Mahalembut) adalah, bahwa Dia yang mengarahkan kebaikan kepada seorang hamba dan mengarahkan rezeki untuknya dari arah yang tidak dia ketahui, dan Dia akan memperlihatkan kepadanya sebab-sebab yang tidak disenangi oleh jiwa sebagai jalan baginya menuju derajat dan kedudukan yang lebih tinggi.

[17] Tirmidzi meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Ummu ‘Ammaarah, bahwa ia datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata, “Aku tidak melihat segala sesuatu kecuali diperuntukkan bagi laki-laki, dan aku tidak melihat kaum wanita disebut-sebut dengan sesuatu, sampai turun ayat ini, “Innal muslimiina wal muslimaati wal mu’miniina wal mu’minaati…dst.” Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan gharib, dan hanya diketahui dari jalur ini.” Syaikh Muqbil berkata, “Hakim di juz 2 hal. 416 juga meriwayatkan dari hadits Ummu Salamah yang sama dengannya, dan ia berkata, “Shahih sesuai syarat dua syaikh (Bukhari-Muslim), namun keduanya tidak meriwayatkan, dan didiamkan oleh Adz Dzahabi, akan tetapi Mujahid (seorang rawi dalam hadits tersebut) seorang yang banyak melakukan kemursalan (memutuskan sanad) dari sahabat, sehingga tidak diketahui apakah ia mendengar hadits itu dari Ummu Salamah atau tidak. Saya menyebutkan haditsnya hanyalah sebagai syahid. Thabrani juga meriwayatkan dari hadits Ibnu Abbas yang semisal dengannya. Haitsami dalam Majma’uzzawaa’id juz 7 hal. 91 berkata, “Di dalam (sanad)nya terdapat Qabus, sedangkan dia dha’if, namun ada yang mentsiqahkan. Selanjutnya, saya melihat Al Haafizh Ibnu Katsir rahimahullah telah menyebutkan dua jalan yang lain bagi hadits Ummu Salamah dalam tafsirnya di juz 3 hal. 47, maka semoga Allah membalasnya dengan balasan yang sebaik-baiknya karena keinginannya yang kuat untuk mengumpulkan jalur-jalur hadits.” Dalam ta’liq (komentarnya) Syaikh Muqbil juga berkata, “Kemudian saya mendapatkan jalan-jalan yang lain bagi hadits itu, di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ishaq Al Busti dalam tafsirnya hal. 128, dan Nasa’i dalam tafsirnya (2/173).”

[18] Setelah Allah Subhaanahu wa Ta'aala menyebutkan pahala istri-istri Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dan siksanya jika mereka mengerjakan perbuatan keji, dan bahwa tidak ada kaum wanita yang sama dengan mereka, maka Dia menyebutkan kaum wanita selain mereka. Oleh karena hukum mereka (kaum wanita) dan kaum lelaki adalah sama, maka Allah jadikan hukum-Nya mengena kepada semuanya.

[19] Yang dimaksud dengan muslim di sini ialah orang-orang yang melaksanakan syariat atau ajaran Islam yang zhahir (tampak), sedangkan yang dimaksud dengan orang-orang mukmin di sini ialah orang yang mengerjakan syariat Islam yang batin (tersembunyi), seperti ‘akidah di hati dan amal-amal saleh dari hati.

[20] Dalam ucapan dan perbuatannya.

[21] Terhadap kesulitan dan musibah.

[22] Dalam semua keadaan mereka, terutama dalam beribadah, dan terutama pula dalam shalat mereka.

[23] Yang wajib maupun yang sunat.

[24] Dari zina dan pengantarnya.

[25] Di sebagian besar waktunya, terutama pada waktu ada dzikr muqayyad (yang ditentukan kapan dibaca), seperti dzikr pagi dan petang dan dzikr setelah shalat.

[26] Yang disebutkan sifatnya, di mana perbuatan mereka berkisar antara ‘aqidah, amalan hati, amalan anggota badan, amalan lisan, memberikan manfaat baik kepada orang lain maupun kepada diri sendiri, antara perbuatan baik dan meninggalkan keburukan, di mana orang yang mengerjakan semua itu sama saja telah mengerjakan agama secara sempurna, lahir dan batinnya, dengan mengerjakan Islam, iman dan ihsan. Allah akan membalas mereka dengan ampunan terhadap dosa-dosa mereka, karena kebaikan dapat menghapuskan kejahatan, dan akan memberikan pahala yang besar, di mana tidak ada yang mampu mengukurnya kecuali Allah yang memberikannya, berupa kenikmatan yang belum pernah dilihat oleh mata, didengar oleh telinga dan terlintas di hati manusia. Kita meminta kepada Allah agar Dia memasukkan kita ke dalam golongan mereka ini, Allahumma aamin.

[27] Terhadap maksiat yang pernah mereka kerjakan.

[28] Terhadap ketaatan yang mereka lakukan.

[29] Sebagian ulama berpendapat, bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Abdullah bin Jahsy dan saudarinya Zainab yang dilamarkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam untuk Zaid bin Haritsah, lalu keduanya tidak suka karena sebelumnya mereka mengira bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melamar Zainab adalah untuk dirinya sendiri, namun akhirnya keduanya ridha karena ayat tersebut. Ada pula yang berpendapat, bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Ummu Kultsum binti ‘Uqbah bin Abi Mu’aith radhiyallahu 'anha, ia adalah wanita yang pertama berhijrah, yakni setelah perdamaian Hudaibiyah, lalu ia memberikan dirinya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, maka Beliau bersabda, “Aku terima,” maka Beliau menikahkannya dengan Zaid bin Haritsah radhiyallahu 'anhu, yakni –wallahu a’lam- setelah ia (Zaid) berpisah dengan Zainab, lalu ia dan saudaranya marah dan berkata, “Yang kami mau adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, tetapi kami malah menikahkan kepada budaknya.” Maka turunlah ayat di atas.

[30] Yakni tidak pantas dan tidak layak bagi orang yang memiliki sifat iman selain segera melakukan perbuatan yang diridhai Allah dan Rasul-Nya, menjauh dari kemurkaan Allah dan Rasul-Nya, mengerjakan perintah dan menjauhi larangan. Tidak pantas bagi mereka memiliki pilihan lain, bahkan seorang mukmin laki-laki maupun perempuan tentu mengetahui, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam lebih utama bagi mereka daripada diri mereka sendiri. Oleh karena itu, jangan sampai sebagian hawa nafsu mereka menghalanginya menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya.

[31] Karena dia telah meninggalkan jalan yang lurus yang menghubungkan kepada surga, sedangkan jalan-jalan yang lain malah menghubungkannya ke neraka. Oleh karena itulah di bagian awal ayat ini disebutkan sebab yang mengharuskan mereka tidak menentang perintah Allah dan Rasul-Nya, yaitu iman, dan di bagian akhirnya, Dia menyebutkan penghalangnya, yaitu ancaman sesat yang menunjukkan akan memperoleh siksa dan hukuman.

[32] Dengan menjadikannya muslim.

[33] Dengan memerdekakannya. Orang ini adalah Zaid bin Haritsah radhiyallahu 'anhu. Dia pada awalnya adalah seorang tawanan di zaman jahiliyah, lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam membelinya sebelum Beliau diangkat menjadi Nabi, kemudian Beliau memerdekakannya dan menjadikannya sebagai anak angkat yang kemudian dihapus. Suatu ketika Zaid datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam meminta pendapat Beliau tentang sikapnya ingin menceraikan istrinya, yaitu Zainab binti Jahsy. Maka Beliau menjawab dengan jawaban seperti yang disebutkan dalam ayat di atas.

[34] Yakni jangan engkau menceraikannya, dan bersabarlah terhadap perbuatan yang muncul darinya.

[35] Dalam semua masalahmu dan dalam masalah istrimu, karena takwa mendorong untuk bersabar dan memerintahkannya.

[36] Imam Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, bahwa ayat ini, “Sedang engkau menyembunyikan di dalam hatimu apa yang akan dinyatakan oleh Allah,” turun berkenaan dengan Zainab binti Jahsy dan Zaid bin Haritsah.

[37] Imam Qurthubi dalam tafsirnya berkata, "Orang-orang (para ulama) berselisih tentang tafsir ayat ini. Qatadah, Ibnu Zaid, dan jamaah para mufassir, di antaranya Thabari dan yang lain berpendapat, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam terlintas dalam dirinya kecantikan Zainab binti Jahsy, sedangkan ketika itu ia istri Zaid. Beliau ingin sekali jika Zaid menalaknya, lalu Beliau menikahinya…dst.” Selanjutnya Imam Qurthubi berkata, “Inilah yang disembunyikan Beliau dalam hatinya, akan tetapi Beliau wajib melakukan amr ma’ruf, yaitu dalam kata-kata Beliau, "Pertahankanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah,” Namun pendapat ini dibantah oleh Syaikh Asy Syinqithi, bahwa pendapat ini tidak benar dan tidak layak bagi Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam.

Imam Qurthubi juga menukil serupa dengan itu dari Muqatil dan Ibnu Abbas, dan ia juga menyebutkan dari Ali bin Al Husain, bahwa Allah mewahyukan kepada Nabi-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa Zaid nanti akan menalak Zainab, dan Allah akan menikahkan ia dengan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam. Setelah Beliau mengetahui hal ini berdasarkan wahyu, Beliau berkata kepada Zaid, “Pertahankanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah.” Yang Beliau sembunyikan dalam hatinya adalah bahwa Allah akan menikahkan Beliau dengan Zainab radhiyallahu 'anha.

Setelah menyebutkan pendapat ini, Imam Qurthubi berkata, “Para ulama kami rahmatullah ‘alaihim berkata, “Pendapat ini adalah pendapat yang paling baik tentang tafsir ayat ini, dan inilah yang dipegang oleh para peneliti dari kalangan mufassir, para ulama yang dalam ilmunya, seperti Az Zuhri, Al Qadhi Bakar bin Al ‘Alaa Al Qusyairiy, Al Qadhi Abu Bakar ibnul ‘Arabi dan lain-lain…dst.” Sampai ia (Imam Qurthubi) berkata, “Adapun riwayat bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkeinginan kepada Zainab istri Zaid, bahkan terkadang keluar kata-kata canda yang kurang malu seperti ungkapan rindu, maka ini hanyalah berasal dari orang yang bodoh terhadap kemaksuman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dari hal seperti ini atau orang yang kurang memuliakan kehormatan Beliau.” At Tirmidziy Al Hakiim dalam Nawaadirul Ushul, -dan ia menyandarkan perkataannya kepada Ali bin Al Husain- berkata, “Ali bin Al Husain datang membawa (berita) ini dari perbendaharaan ilmu sebagai salah satu permata dan salah satu mutiara di antara sekian permata dan mutiara, bahwa Allah hanyalah menegurnya dalam masalah yang telah Dia beritahukan kepadanya, bahwa ia (Zainab) akan menjadi salah satu istrinya, lalu mengapa Beliau berkata seelah itu kepada Zaid, “Tahanlah istrimu,” dan Beliau takut jika orang-orang akan berkata, “Beliau menikahi istri anaknya,” padahal Allah lebih berhak untuk ditakuti.”

Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat tersebut berkata, “Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Jarir menyebutkan di sini beberapa atsar dari sebagian salaf radhiyallahu 'anhum yang kami sangat senang sekali berpaling darinya karena tidak sahih, sehingga kami tidak sebutkan sampai akhirnya,” dan di sana terdapat ucapan Ali bin Al Husain yang telah kita sebutkan di sini.

Syaikh Asy Syinqithi berkata, “Yang benar dalam masalah ini insya Allah adalah apa yang kami sebutkan, di mana Al Qur’an menunjukkan demikian, yaitu bahwa Allah memberitahukan kepada Nabi-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa Zaid akan menalak Zainab dan bahwa Dia akan menikahkan Zainab dengan Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam, namun ketika itu Zainab sebagai istri Zaid. Ketika Zaid mengeluhkan tentang Zainab kepada Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam, Beliau malah berkata kepadanya, “Tahanlah dirimu dan bertakwalah kepada Allah, “ maka Allah menegurnya karena ucapannya itu, yaitu, “Tahanlah istrimu,” setelah Beliau mengetahui bahwa Zainab akan menjadi istrinya shallallahu 'alaihi wa sallam, dan Beliau takut orang-orang berkata, bahwa Beliau ingin menikahi istri anaknya di waktu Zainab sebagai istri Zaid, jika Beliau menampakkan apa yang Beliau ketahui yaitu pernikahan Beliau dengan Zainab. Dalil terhadap hal ini ada dua: pertama, apa yang kami kemukakan, bahwa Allah Jalla wa ‘Alaa berfirman, “Sedang engkau menyembunyikan di dalam hatimu apa yang akan dinyatakan oleh Allah,” inilah yang dinyatakan Allah Jalla wa ‘Alaa, yaitu pernikahan Beliau dengan Zainab dalam firman-Nya, “Maka ketika Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami nikahkan engkau dengan dia,” Allah Subhaanahu wa Ta'aala tidak menampakkan sedikit pun apa yang mereka sangka, yaitu bahwa Beliau mencintainya. Jika itu maksudnya, tentu Allah akan menampakkannya sebagaimana yang anda ketahui. Kedua, Allah Jalla wa ‘Alaa menegaskan, bahwa Dia yang menikahkah Beliau dengan Zainab, dan bahwa hikmah ilahi dalam pernikahan itu adalah untuk menghilangkan keharaman menikahi istri anak angkat dalam firman Allah Ta’ala, “Maka ketika Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami nikahkan engkau dengan dia (Zainab) agar tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (menikahi) istri-istri anak-anak angkat mereka,” firman-Nya, “agar tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (menikahi) istri-istri anak-anak angkat mereka,” merupakan sebab yang jelas menikahnya Beliau dengan Zainab sebagaimana kami sebutkan, dan karena Allah yang menikahkannya untuk hikmah ilahi ini, maka jelas sekali bahwa sebab pernikahan Beliau kepadanya bukan karena cinta kepadanya yang menjadi sebab Zaid menalaknya sebagaimana yang mereka sangka. Hal ini diperjelas oleh firman Allah Ta’ala, “Maka ketika Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya)…dst.” Yang menunjukkan bahwa Zaid telah mengakhiri keperluan kepadanya dan tidak butuh lagi, maka ia menalaknya dengan pilihannya, dan yang tahu adalah Allah Ta’ala.”

[38] Nanti mereka akan mengatakan, “Beliau menikahi istri anaknya.” Padahal Allah Subhaanahu wa Ta'aala hendak menetapkan syariat yang umum bagi kaum mukmin, bahwa anak angkat bukanlah anak hakiki dari segala sisi, dan bahwa istrinya tidak mengapa dinikahi oleh ayah angkatnya setelah ditalak dan habis masa iddahnya.

[39] Dalam segala sesuatu, sehingga tidak perlu mempedulikan kata-kata mereka.

[40] Ibnu Sa’ad di juz 8 qaf 1 hal. 73 meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Hammad bin Zaid bin Tsabit dari Anas, ia berkata: Turun ayat berkenaan dengan Zainab binti Jahsy, “Maka ketika Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami nikahkan engkau dengan dia,” Anas juga berkata, “Oleh karena itu, Zainab berbangga-bangga di hadapan istri-istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dengan mengatakan, “Yang menikahkan kamu semua adalah keluargamu, sedangkan yang menikahkan aku adalah Allah dari atas langit yang tujuh.” (Para perawinya adalah para perawi hadits shahih).

Ibnu Sa’ad juga meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Tsabit dari Anas bin Malik ia berkata: Ketika masa iddah Zainab binti Jahsy habis, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada Zaid bin Haritsah, “Aku tidak mendapatkan orang yang paling amanah dan terpercaya bagi diriku daripada engkau. Datangilah Zainab dan lamarkanlah dia untukku.” Anas berkata, “Maka Zaid pergi mendatanginya, dan ketika itu ia sedang meragikan rotinya. (Zaid berkata),” Saat aku melihatnya ia tampak besar (terhormat) dalam hatiku, aku tidak sanggup melihatnya ketika aku tahu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah menyebu-nyebut tentangnya, maka aku palingkan punggungku dan aku berbalik ke belakang serta berkata, “Wahai Zainab! Bergembiralah, sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah menyebut dirimu.” Ia pun berkata, “Aku tidak melakukan apa-apa, sampai aku meminta pilihan kepada Allah,” lalu ia bangkit menuju masjidnya dan turunlah ayat Al Qur’an, “Maka ketika Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami nikahkan engkau dengan dia,” (Hadits ini para perawinya adalah para perawi hadits shahih, diriwayatkan pula oleh Ahmad juz 3 hal. 195, dan diriwayatkan pula oleh Muslim juz 9 hal. 228).

[41] Maksudnya, setelah habis idahnya.

[42] Yakni pasti terjadi dan tidak ada yang dapat menghalangi.

Dari ayat ini dapat diambil beberapa faedah, di antaranya adalah:

- Pujian terhadap Zaid bin Haritsah karena namanya disebutkan dalam Al Qur’an.

- Allah memberitahukan, bahwa Dia telah memberinya nikmat Islam dan iman. Ini adalah persaksian dari Allah, bahwa ia adalah seorang muslim dan mukmin, lahir maupun batin.

- Orang yang dimerdekakan mendapatkan kenikmatan dari orang yang memerdekakan.

- Bolehnya menikahi bekas istri anak angkat, sebagaimana ditegaskan dalam ayat di atas.

- Pengajaran dengan sikap lebih meresap daripada dengan ucapan, apalagi jika ditambah dengan ucapan, maka yang demikian adalah cahaya di atas cahaya.

- Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah menyampaikan semua ayat tanpa menyembunyikan, meskipun ayat yang di sana terdapat celaan bagi dirinya. Ini menunjukkan bahwa Beliau adalah utusan Allah, tidak berkata kecuali sesuai yang diwahyukan kepadanya, dan tidak bermaksud meninggikan dirinya.

- Cinta sekedar dalam hati seorang hamba kepada orang lain selain istrinya adalah tidak mengapa selama tidak disertai dengan perbuatan yang dilarang, dan seorang hamba tidaklah berdosa meskipun berangan-angan untuk memilikinya.

- Orang yang dimintai nasihat adalah orang yang diamanahi, maka wajib baginya memberi nasihat yang lebih bermaslahat bagi yang meminta nasihat.

- Seorang hamba harus mendahulukan takut kepada Allah daripada takut kepada manusia.

- Keutamaan Zainab radhiyallahu 'anha, karena Allah yang menikahkannya dengan Nabi-Nya Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.

- Seorang wanita yang telah bersuami tidak boleh dinikahi dan berusaha untuk memilikinya serta mencari sebab-sebabnya, sampai suaminya menyelesaikan keperluan dengan istrinya dengan menalaknya dan sampai habis masa iddahnya.

[43]Ayat ini merupakan bantahan terhadap kritik yang ditujukan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam karena banyak istrinya, dan bahwa kritik itu adalah kritikan yang tidak pada tempatnya.

[44] Yaitu dengan menetapkan beberapa istri untuk Beliau. Hal itu adalah sunnatullah pada nabi-nabi terdahulu, di mana Allah Subhaanahu wa Ta'aala telah menghalalkannya untuk mereka.

[45] Yang dimaksud dengan sunnah Allah di sini ialah mengerjakan sesuatu yang dibolehkan Allah tanpa ragu-ragu.

[46] Maksudnya, para rasul yang menyampaikan syariat-syariat Allah kepada manusia. Mereka membacakan ayat-ayat dan hujjah-hujjah-Nya kepada manusia, dan mengajak mereka kepada Allah.

[47] Maksudnya, mereka tidak takut celotehan manusia dalam hal yang dihalalkan Allah Subhaanahu wa Ta'aala kepada mereka. Jika seperti ini sunnah yang terjadi pada para nabi yang ma’shum, di mana tugas mereka telah mereka laksanakan, yaitu mengajak manusia kepada Allah, takut kepada-Nya saja, yang menghendaki mengerjakan semua perintah dan menjauhi larangan, maka hal itu berarti tidak ada celaan bagi Beliau. Dari sini diketahui, bahwa menikah termasuk sunnah para nabi dan rasul.

[48] Yakni yang menjaga dan mengawasi amal makhluk-Nya dan yang menghisab mereka.

[49] Maksudnya, Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam bukanlah ayah dari salah seorang sahabat (Zaid bin Haritsah radhiyallahu 'anhu), oleh karena itu bekas istri Zaid dapat dikawini Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

[50] Inilah kedudukan Beliau. Oleh karena itu sikap kita kepada Beliau adalah menaati perintahnya, menjauhi larangannya, membenarkan setiap sabdanya dan beribadah kepada Allah sesuai sunnahnya, serta mencintainya di atas kecintaan kepada siapa pun orangnya.

[51] Oleh karena itu, tidak ada lagi nabi setelah Beliau.

[52] Ilmu Allah meliputi segala sesuatu, Dia mengetahui di mana Dia taruh risalah-Nya, dan siapa yang cocok memperoleh karunia-Nya dan siapa yang tidak cocok.

==============================

TAFSIR RINGKAS [Al-Ahzâb/33:32-34]

“Wahai istri-istri Nabi.” Ini adalah seruan untuk mereka semua. “Kalian semua bukanlah seperti wanita yang lain, jika kalian bertakwa” kepada Allâh Azza wa Jalla. Sesungguhnya kalian jika melakukan hal tersebut maka kalian akan bisa mengalahkan seluruh wanita dan tidak ada seorang pun dari kalangan wanita yang bisa menyamai kalian. Sempurnakanlah ketakwaan dengan seluruh perantara dan tujuannya! Oleh karena itu, Allâh Azza wa Jalla menunjuki mereka untuk memutus atau menutup segala perantara yang bisa mengantarkan kepada yang haram. Allâh Azza wa Jalla berfirman, “Oleh karena itu, janganlah kalian tunduk dalam berbicara!” yaitu ketika berbicara dengan para lelaki atau saat ada kaum lelaki yang mendengar, maka (janganlah) kalian sengaja melembutkan suara kalian, karena itu akan memancing, “orang yang ada penyakit dalam hatinya,”. Penyakit yang dimaksudkan adalah syahwat berzina. Karena sesungguhnya, orang-orang ini sudah siap, dia bisa melihat sebab terkecil yang dapat menggerakkan syahwatnya, disebabkan hatinya tidak sehat. Sesungguhnya hati yang sehat tidak ada syahwat untuk melakukan hal yang diharamkan oleh Allâh Azza wa Jalla . Semua sebab tidak bisa melencengkan dan menggerakkannya karena hatinya sehat dan selamat dari penyakit, berbeda dengan hati yang sakit, dia tidak bisa menahan diri seperti hati yang sehat menahan diri. Dia tidak bisa bersabar seperti kesabaran hati yang sehat.

Sesungguhnya sebab terkecil sekalipun bisa mengajaknya kepada yang haram, maka dia akan memenuhi ajakan tersebut dan tidak menolaknya. Ini adalah dalil yang menunjukkan (suatu kaidah) yang mengatakan bahwa “Perantara-Perantara Memiliki Hukum Yang Sama Dengan Tujuan-Tujuan.”

Sesungguhnya menundukkan suara dan melembutkannya, pada asalnya adalah boleh (mubah). Akan tetapi, karena dia bisa menjadi perantara menuju perbuatan yang haram, maka dia dilarang. Oleh karena itu, sudah sepantasnya seorang wanita ketika dia berbicara dengan laki-laki untuk tidak melembutkan suara kepadanya.

Dan ketika Allâh Azza wa Jalla melarang mereka untuk menundukkan suara, mungkin disangka bahwasanya mereka diperintahkan untuk mengeraskan suara, oleh karena itu, Allâh Azza wa Jalla menolak prasangka tersebut dengan mengatakan, “Dan ucapkanlah perkataan yang baik,” yaitu perkataan yang tidak keras dan tidak kasar sebagaimana perkataan tersebut bukanlah perkataan yang lembut lagi lunak.

Allâh Azza wa Jalla memerintahkan untuk menjaga kemaluan dan Allâh Azza wa Jalla memuji para laki-laki dan wanita yang menjaga kemaluan-kemaluan mereka serta Allâh Azza wa Jalla melarang untuk mendekati perbuatan zina. Dan firman Allâh Azza wa Jalla: “Sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya,” menunjukkan bahwa sudah sepantasnya bagi seorang hamba, apabila melihat pada dirinya ada keadaan yang seperti ini dan dia merasa bahwa dia merasa nyaman untuk melakukan perbuatan yang haram ketika melihat atau mendengar perkataan orang yang membuatnya bersyahwat serta dia mendapatkan pada dirinya hal-hal yang mendorongnya untuk melakukan hal yang haram, dia mengetahui bahwa itu adalah penyakit. Oleh karena itu, dia harus bersungguh-sungguh untuk melemahkan penyakit tersebut dan menghilangkan pikiran-pikiran yang hina. Dan bersungguh-sungguh untuk menjaga dirinya agar selamat dari penyakit bahaya ini dan dia meminta kepada Allâh Azza wa Jalla perlindungan dan taufik. Dan ini termasuk menjaga kemaluan yang diperintahkan.

“Dan hendaklah kalian tetap di rumah kalian,” maksudnya adalah menetaplah di dalam rumah-rumah kalian (dan jangan keluar rumah), karena itu lebih selamat dan lebih menjaga kalian. “Dan janganlah kalian berhias seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu,” maksudnya adalah janganlah kalian banyak keluar dengan mempercantik diri atau memakai wangi-wangian seperti kebiasaan orang-orang jahiliyah dahulu yang mereka tidak memiliki ilmu dan agama. Seluruh hal ini untuk menghalangi keburukan-keburukan dan sebab-sebabnya.

“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allâh dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allâh bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian, wahai Ahlul-bait dan membersihkan kalian sebersih-bersihnya.” Setelah itu, Allâh Azza wa Jalla memerintahkan mereka untuk bertakwa secara umum dan bagian-bagian dari ketakwaan. Allâh Azza wa Jalla menyebutkannya karena wanita membutuhkan hal tersebut. Begitu pula, secara khusus Allâh Azza wa Jalla memerintahkan mereka untuk taat, seperti shalat dan zakat yang mana semua orang membutuhkannya. Keduanya termasuk ibadah yang paling agung dan mulia. Di dalam shalat terdapat keikhlasan kepada Al-Ma’buud (Yang Maha disembah) dan di dalam zakat terdapat kebaikan kepada hamba-hamba-Nya.

Kemudian Allâh Azza wa Jalla memerintahkan mereka secara umum untuk taat, Allâh Azza wa Jalla berfirman, “Dan taatilah Allâh dan Rasul-Nya.” Dan termasuk bentuk ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya adalah seluruh perintah yang Allâh Azza wa Jalla perintahkan baik yang wajib maupun yang sunnah.

“Sesungguhnya Allâh bermaksud,” dengan memerintahkan kepada kalian perintah-perintah dan melarang kalian dari larangan-larangan, “untuk menghilangkan rijs (dosa) dari kalian,” maksud dari rijs adalah gangguan, keburukan dan kotoran. “Wahai Ahlul-bait dan membersihkan kalian sebersih-bersihnya,” sampai kalian benar-benar menjadi orang bersih dan disucikan…

“Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumah kalian dari ayat-ayat Allâh dan hikmah,” maksud dari ayat-ayat Allâh Azza wa Jalla adalah al-Qur’an dan yang dimaksud dengan hikmah adalah rahasia-rahasia dan sunnah Rasul-Nya. Allâh Azza wa Jalla memerintahkan mereka untuk mengingatnya, termasuk di dalam mengingatnya adalah dengan membacanya dan mengingat maknanya dengan men-tadabbur-i dan merenungi maknanya, mengambil faidah hukum-hukum dan hikmah-hikmah di dalamnya dan mengingat beramal dengannya dan tafsirnya.

“Sesungguhnya Allâh Maha Lembut lagi Maha Mengetahui,” Allâh Azza wa Jalla mengetahui rahasia-rahasia segala hal, yang disembunyikan di dalam hati, hal-hal tidak tampak di langit dan di bumi, begitu pula amalan-amalan yang tampak maupun yang disembunyikan. Di dalam kelemahlembutan dan ilmu Allâh Azza wa Jalla tersebut, terdapat anjuran untuk ikhlas dan menyembunyikan amalan-amalan, serta terdapat pemberitahuan akan balasan Allâh Azza wa Jalla terhadap amalan-amalan tersebut.[1]

PENJABARAN AYAT

Firman Allâh Azza wa Jalla :

يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ ۚ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ

Hai istri-istri Nabi, kalian semua bukanlah seperti wanita yang lain, jika kalian bertakwa.

Ayat ini menunjukkan tingginya kedudukan istri-istri Nabi shallAllâh Azza wa Jallau ‘alaihi wa sallam dibandingkan dengan wanita-wanita mukminat yang lainnya. Ibnu ‘Abbas radhiAllâh ku ‘anhuma berkata, “Maksudnya adalah kedudukan kalian di sisi-Ku tidaklah sama dengan kedudukan selain kalian dari kalangan wanita-wanita shalihah. Kalian lebih mulia dan pahala kalian juga lebih besar di sisi-Ku.”[2]

Istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan keutamaan ini jika mereka bertakwa kepada Allâh Azza wa Jalla. Mereka telah dikaruniai oleh Allâh Azza wa Jalla menjadi istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menemani beliau secara khusus di rumah beliau dan Al-Qur’an juga diturunkan di rumah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, “… Oleh karena itu, Allâh Azza wa Jalla menjelaskan bahwa keutamaan tersebut tidak akan sempurna kecuali jika mereka bertakwa, karena mereka telah diberi karunia untuk menemani beliau, memiliki kedudukan yang besar bersama nabi dan diturun Al-Qur’an berkaitan dengan hak-hak mereka.”[3]

APAKAH PERINTAH-PERINTAH PADA AYAT INI HANYA UNTUK ISTRI-ISTRI NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM?

Jawabannya adalah tidak. Perintah-perintah ini juga berlaku untuk wanita-wanita selain istri-istri beliau. Ibnu Katsir menyatakan, “Ini adalah adab-adab yang Allâh Azza wa Jalla perintahkan kepada istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan seluruh wanita umat mengikuti mereka pada adab-adab ini.”[4]

Oleh karena itu, sudah sepantasnya para wanita Muslimat meneladani istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam ketaatannya kepada Allâh Azza wa Jalla . Pada potongan ayat selanjutnya Allâh Azza wa Jalla menyebutkan larangan-larangan dan kemudian menyebutkan perintah-perintah untuk mereka.

Firman Allâh Azza wa Jalla :

فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا

Oleh karena itu, janganlah kalian tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.

Ini adalah larangan yang disebutkan pada ayat ini. Istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dilarang untuk menundukkan suara ketika berbicara dan harus berbicara dengan perkataan yang baik. Maksud dari perkataan yang baik adalah perkataan yang di dalamnya terdapat nada keras tanpa harus meninggikan suara. Hal ini ditujukan agar suara wanita tidak menimbulkan fitnah bagi para lelaki yang mendengarnya. Hati lelaki sangat mudah tergoda dengan suara lembut wanita.

Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, “Seorang wanita disunnahkan jika dia berbicara dengan laki-laki yang bukan mahramnya begitu pula para mahramnya yang menjadi mahram karena pernikahan (mushaaharah) untuk berbicara keras tanpa meninggikan suara. Sesungguhnya wanita diperintahkan untuk mengecilkan suara. Pada intinya, perkataan yang baik itu adalah perkataan yang benar yang tidak diingkari oleh syariat dan jiwa.”[5]

Jika kita lihat di zaman kita saat ini, maka banyak sekali wanita muslimat yang tidak “mengindahkan” hal ini. Bahkan mungkin sebagian besar mereka tidak mengetahui adanya larangan ini, sehingga mereka menganggap biasa melembutkan dan melunakkan suara di hadapan laki-laki.

Sebagian wanita menganggap bahwa secara adat jika seorang wanita tidak berbicara lembut kepada lelaki yang bukan mahramnya maka dianggap tidak sopan, maka kita katakan kepadanya bahwa suatu adat jika menyelisihi syariat maka adat tersebut harus ditinggalkan dan dia harus kembali kepada syariat yang diturunkan oleh Allâh Azza wa Jalla.

Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ

Dan hendaklah kalian tetap di rumah kalian

Di dalam ayat ini terdapat perintah kepada seluruh wanita agar mereka selalu berada di dalam rumahnya dan tidak keluar rumahnya kecuali jika ada keperluan yang membolehkan mereka untuk keluar rumah.

Syaikh Abu Bakr Al-Jazairi rahimahullah mengatakan, “Maksudnya adalah tetaplah kalian di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian keluar kecuali ada hajat/keperluan.”[6]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الْمَرْأَةَ عَوْرَةٌ، فَإِذَا خَرَجَتِ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ، وَأَقْرَبُ مَا تَكُونُ مِنْ وَجْهِ رَبِّهَا وَهِيَ فِي قَعْرِ بَيْتِهَا.

“Sesungguhnya wanita itu adalah aurat. Apabila dia keluar maka setan akan menghiasinya[7]. Dan Posisi terdekat seorang wanita dengan wajah Rab-nya adalah ketika dia berada di dalam rumahnya.”[8]

Hadits ini sangat jelas menerangkan bahwa wanita itu adalah aurat dan jika dia bertakwa maka dia akan memperbanyak tinggal di dalam rumahnya dan tidak keluar rumah. Apabila dia keluar maka setan akan senantiasa menghias-hiasinya di pandangan para lelaki, sehingga para lelaki akan terpancing atau tergoda untuk melihat wanita tersebut. Penghiasan setan ini dilakukan kepada para wanita Mukminat yang konsisten menjaga hijabnya, bagaimana jika yang keluar adalah wanita yang tidak mengenakan hijab dan menampakkan auratnya? Tentu fitnahnya akan semakin besar bagi para lelaki.

Meskipun wanita disuruh untuk tetap tinggal di dalam rumah, tetapi mereka boleh keluar rumahnya jika ada hajat/keperluan. Dan termasuk hajat/keperluan adalah shalat berjamaah. Seorang wanita boleh menghadiri shalat berjamaah di masjid selama tidak menimbulkan fitnah.

Dalam riwayat Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللهِ مَسَاجِدَ اللهِ

“Janganlah kalian melarang hamba-hamba wanita Allâh untuk menuju ke rumah-rumah Allâh!”[9]

Dan di dalam riwayat Abu Hurairah z terdapat tambahan:

لِيَخْرُجْنَ وَهُنَّ تَفِلاَتٌ

“Mereka harus keluar dalam keadaan tidak memakai wangi-wangian.”[10]

Meskipun wanita boleh shalat di masjid, shalat mereka di rumah-rumah mereka lebih utama daripada shalat di masjid. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

صَلاَةُ الْمَرْأَةِ فِى بَيْتِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلاَتِهَا فِى حُجْرَتِهَا وَصَلاَتُهَا فِى مَخْدَعِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلاَتِهَا فِى بَيْتِهَا

“Shalat seorang wanita di dalam rumahnya lebih baik daripada shalatnya di ruangan terbuka rumahnya. Dan shalatnya di dalam kamar (yang sangat tertutup) lebih baik daripada shalatnya di dalam rumahnya.”[11]

Hadits ini menjelaskan bahwa jika seorang wanita shalat di tempat yang semakin tertutup dan semakin terjaga dari pandangan lelaki maka shalat di sana lebih utama.

Akan tetapi, di zaman sekarang ini banyak wanita yang keluar rumah tanpa ada keperluan, bahkan banyak wanita yang tidak betah jika dia berada di dalam rumah. Hendaknya mereka bertakwa kepada Allâh Azza wa Jalla dan menjalankan perintah Allâh Azza wa Jalla untuk tetap tinggal di dalam rumah-rumah mereka.

Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ

Dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu

Perkataan Allâh Azza wa Jalla “(وَلَا تَبَرَّجْنَ) dan janganlah kalian ber-tabarruj (berhias),” para ulama berbeda-beda dalam menjabarkan arti dari tabarruj tersebut. Di antara yang disebutkan oleh para ulama adalah sebagai berikut:
Takassur dan Taghannuj (centil/suka bergaya)
Tabakhtur (Berjalan pelan sambil berlenggak-lenggok dan suka bergaya)
Menampakkan perhiasan dan menampakkan hal-hal yang indah di hadapan laki-laki.
“Dulu wanita keluar rumah dan berjalan di hadapan para lelaki. Itulah yang dimaksud dengan berhias ala Jahiliyah.” Ini adalah perkataan Mujahid.
“Wanita membiarkan kerudungnya terlepas dari kepalanya dan tidak mengikatnya sehingga terlihatlah kalung-kalung, anting-anting dan lehernya. Dan terlihatlah seluruh yang tersebut di tubuhnya.” Ini adalah perkataan Muqatil bin Hayyan. Dan disebutkan pendapat-pendapat yang lain.[12]

Allâhu a’lam penjabaran makna tabarruj yang lebih umum adalah yang nomor tiga, yaitu seorang wanita menampakkan perhiasannya dan menampakkan hal-hal yang indah di hadapan laki-laki. Jika seorang wanita memakai hijab yang telah menutupi aurat, tetapi dia masih memakai pakaian yang masih terlihat indah dengan hiasan-hiasannya maka ini masih dikategorikan sebagai tabarruj yang dilarang.

Dan perlu kita ingatkan bahwa larangan ini adalah larangan berhias di hadapan para lelaki yang bukan suami atau mahramnya. Adapun di hadapan para suami, seorang wanita harus selalu menjaga kecantikan dan keindahan dirinya di hadapan suaminya, begitu pula menjaga bau tubuhnya agar selalu wangi di hadapan suaminya.

Di zaman sekarang ini keadaan berbalik, banyak wanita yang ketika keluar rumah dia berdandan secantik-cantiknya dan memakai parfum seharum-harumnya, tetapi ketika di hadapan suaminya dia terlihat “lusuh” dan tidak memperhatikan bau badannya.

Perkataan Allâh Azza wa Jalla “(الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى) Orang-orang Jahiliyah yang dahulu,” Para ulama berbeda pedapat dalam hal ini, di antara pendapat yang disebutkan adalah sebagai berikut:
Dia adalah zaman antara ‘Isa dan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini adalah pendapat Asy-Sya’bi.
Dia adalah zaman Nabi Dawud dan Nabi Sulaiman Alaihissallam. Dulu seorang wanita memakai pakaian dari mutiara dan tidak dijahit di dua sampingnya sehingga terlihat tubuhnya. Ini adalah pendapat Abul-‘Aliyah.
Dia adalah zaman Namruud Al-Jabbaar. Dulu wanita memakai pakaian dari mutiara, kemudian dia berjalan di tengah jalan dan dia tidak mengenakan selain itu dan memamerkan dirinya di hadapan para lelaki. Ini adalah pendapat Al-Kalbi.
Dia adalah zaman sebelum Islam (datang). Ini adalah pendapat Qatadah.
Dia adalah zaman antara Nabi Nuh dan Nabi Idris Alaihissallam. Ini adalah pendapat Ibnu ‘Abbas.
Dia adalah zaman dimana Nabi Ibrahim Alaihissallam Dulu wanita memakat pakaian dari mutiara dan berjalan di jalan dan memamerkan dirinya di hadapan para lelaki. Pendapat ini disebutkan oleh al-Qurthubi di dalam tafsirnya.
Ibnu ‘Athiyah berkata, “Yang lebih tampak pada diriku adalah Allâh Azza wa Jalla mengisyaratkan kepada masa jahiliyah yang didapatkan oleh mereka (istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ). Mereka diperintahkan untuk beralih dari kebiasaan hidup semasa jahiliyah, dan itu adalah zaman sebelum datang syariat yang merupakan kebiasaan hidup orang-orang kafir. Sesungguhnya mereka dulu tidak memiliki rasa cemburu dan para wanita tidak berhijab.” Dan disebutkan pendapat-pendapat yang lain.[13]

Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ

dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allâh dan Rasul-Nya.

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Allâh Azza wa Jalla melarang mereka terlebih dahulu dari keburukan kemudian Allâh Azza wa Jalla memerintahkan kebaikan berupa mendirikan shalat -dan shalat itu adalah beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla semata dan tidak berbuat syirik kepadanya- dan membayar zakat -dan zakat itu adalah berbuat baik kepada para makhluk.”[14]

Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, “Taatilah Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya pada setiap yang diperintahkan dan dilarang.”[15]

Firman Allâh Azza wa Jalla :

إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا

Sesungguhnya Allâh bermaksud untuk menghilangkan dosa dari kalian, wahai Ahlul-bait dan membersihkan kalian sebersih-bersihnya.

Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan rijs. Di antara pendapat yang disebutkan adalah sebagai berikut:
Dosa yang Allâh Azza wa Jalla melarang seluruh wanita untuk melakukannya.
Perbuatan setan dan apa-apa yang Allâh Azza wa Jalla tidak ridhai.
Dan disebutkan pendapat-pendapat yang lain.

Allâhu a’lam yang dimaksud adalah dosa secara umum.

APAKAH ISTRI NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM TERMASUK AHLUL BAIT (KELUARGA NABI)?

Jawabannya adalah ya. Ayat ini menjadi dalil yang jelas bahwa istri-istri beliau termasuk ke dalam Ahlul-bait.

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Ini adalah nash (dalil yang sangat jelas) (yang menerangkan) akan masuknya istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke dalam Ahlul-bait, karena merekalah yang menjadi sebab diturunkan ayat ini. Dan sebab turunnya ayat masuk ke dalamnya (Ahlul-bait). Ini adalah pendapat yang satu (yang tidak diperselisihkan), baik mereka saja (yang dimaksud dengan ayat ini) ataukah mengikutkan yang lain (dari kalangan Ahlul-bait), berdasarkan pendapat yang shahih.”[16]

APAKAH SELAIN ISTRI NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM DARI KALANGAN AHLUL BAIT MASUK KE DALAM KEUTAMAAN DI DALAM AYAT INI?

Jawabannya adalah ya. Ini adalah pendapat yang raajih dari dua pendapat para ulama. Terdapat riwayat Syaddad Abu ‘Ammar yang menunjukkan hal ini. Syaddad mengatakan:

قَالَ: دَخَلْتُ عَلَى وَاثِلَةَ بْنِ الأَسْقَعِ، وَعِنْدَهُ قَوْمٌ، فَذَكَرُوا عَلِيًّا، فَلَمَّا قَامُوا قَالَ لِي: أَلاَ أُخْبِرُكَ بِمَا رَأَيْتُ مِنْ رَسُولِ اللهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم-؟ قُلْتُ: بَلَى ، قَالَ: أَتَيْتُ فَاطِمَةَ -رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهَا- أَسْأَلُهَا عَنْ عَلِيٍّ، قَالَتْ: تَوَجَّهَ إِلَى رَسُولِ اللهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-. فَجَلَسْتُ أَنْتَظِرُهُ حَتَّى جَاءَ رَسُولُ اللهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- وَمَعَهُ عَلِيٌّ وَحَسَنٌ وَحُسَيْنٌ -رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمْ- ، آخِذٌ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِيَدِهِ، حَتَّى دَخَلَ فَأَدْنَى عَلِيًّا وَفَاطِمَةَ، فَأَجْلَسَهُمَا بَيْنَ يَدَيْهِ، وَأَجْلَسَ حَسَنًا، وَحُسَيْنًا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَلَى فَخِذِهِ، ثُمَّ لَفَّ عَلَيْهِمْ ثَوْبَهُ، أَوْ قَالَ: كِسَاءً – ثُمَّ تَلاَ هَذِهِ الآيَةَ: {إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا} وَقَالَ: اللَّهُمَّ هَؤُلاَءِ أَهْلُ بَيْتِي ، وَأَهْلُ بَيْتِي أَحَقُّ.

Diriwayatkan dari Syaddad Abu ‘Ammar dari Watsilah bin Al-Asqa’ Radhiyallahu anhu , Syaddad berkata, “Watsilah berkata kepadaku, ‘Apakah kamu mau saya kabari tentang apa yang pernah saya lihat dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?’ Saya pun berkata, ‘Ya.’ Beliau berkata, ‘Saya mendatangi Fathimah Radhiyallahu anhuma untuk bertanya kepadanya tentang ‘Ali. Fathimah menjawab, ‘Beliau (‘Ali) pergi menuju Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Dan saya (Watsilah) duduk sampai datanglah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama ‘Ali, Hasan dan Husain -Radhiyallâhu ‘anhum-. Beliau memegang tangan Hasan dan Husain satu-satu sampai beliau masuk rumah dan mendekatkan ‘Ali dan Fathimah, kemudian Beliau mendudukkan mereka berdua di depannya, kemudian Beliau mendudukkan Hasan dan Husain, masing-masing di paha Beliau. Kemudian Beliau menyelimuti mereka dengan bajunya atau kainnya, kemudian Beliau membaca ayat:

إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا

Dan beliau berkata, ‘Ya Allâh ! Sesungguhnya mereka adalah Ahlul-bait-ku dan Ahlul-bait-ku lebih berhak.’.”[17]

Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَىٰ فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ وَالْحِكْمَةِ 

Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumah kalian dari ayat-ayat Allâh dan hikmah (sunnah Nabi kalian).

Maksud ayat-ayat Allâh Azza wa Jalla adalah al-Qur’an dan maksud dari hikmah adalah as-Sunnah.[18] Ibnu Katsir t mengatakan, “Dan ingatlah kenikmatan yang Allâh Azza wa Jalla telah khususkan kepada kalian dari manusia yang lain. Sesungguhnya wahyu turun di rumah-rumah kalian dan tidak dirumah manusia yang lain. Aisyah Ash-Shiddiqah binti Ash-Shiddiq adalah wanita yang paling utama dengan kenikmatan ini dan yang paling beruntung dengan ghanimah ini. Allâh Azza wa Jalla khususkan istri-istri Nabi dengan rahmat yang menyeluruh ini. Sesungguhnya wahyu tidaklah diturunkan kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam di ranjang (rumah) seorang wanita selain ‘Aisyah. Sebagaimana disebutkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma,

يَا أُمَّ سَلَمَةَ لاَ تُؤْذِينِي فِي عَائِشَةَ فَإِنَّهُ وَاللَّهِ مَا نَزَلَ عَلَيَّ الْوَحْيُ وَأَنَا فِي لِحَافِ امْرَأَةٍ مِنْكُنَّ غَيْرِهَا.

“Wahai Ummu Salamah! Janganlah kamu ganggu aku pada (sesuatu yang sudah menjadi hak) ‘Aisyah. Sesungguhnya demi Allâh , tidaklah wahyu diturunkan kepadaku ketika saya sedang berada di selimut seorang istriku dari kalian kecuali pada ‘Aisyah.”[19]

Firman Allâh Azza wa Jalla :

إِنَّ اللَّهَ كَانَ لَطِيفًا خَبِيرًا

Sesungguhnya Allâh Maha Lembut lagi Maha Mengetahui.

Imam al-Baghawi rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla Maha Lemah Lembut kepada wali-walinya dan Maha Mengetahui seluruh makhluk-Nya.”[20]

Berkaitan dengan konteks ayat dimana Allâh Azza wa Jalla memerintahkan kepada istri-istri Nabi, Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Maksudnya dengan kelembutan-Nya kepada kalian, maka kalian dapat mencapai kedudukan ini. Dan dengan ilmu-Nya terhadap kalian yang mana kalian berhak untuk mendapatkannya, maka Allâh Azza wa Jalla memberikannya kepada kalian dan mengkhususkannya untuk kalian.”[21]

Syaikh as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Di antara arti Al-Lathiif adalah Dia-lah yang Maha mengarahkan hamba-Nya menuju kepada kebaikan dan melindunginya dari keburukan dengan cara-cara yang tidak dilihat dan tidak dirasakan olehnya, Allâh Azza wa Jalla juga mengarahkan rezeki kepadanya yang dia tidak ketahui dan Allâh Azza wa Jalla memperlihatkan kepadanya sebab-sebab yang jiwa-jiwa membencinya dan sebenarnya itulah jalannya untuk menuju ke derajat dan kedudukan yang paling tinggi.”[22]

KESIMPULAN
Kemuliaan tidaklah didapatkan kecuali dengan ketakwaan.
Istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki kedudukan dan kemuliaan yang tinggi melebihi wanita yang lainnya.
Wanita dilarang untuk merendahkan atau melembutkan suara di hadapan orang-orang yang bukan suami dan mahramnya, tetapi dia berkata dengan perkataan yang tidak menimbulkan fitnah bagi lelaki yang berbicara dengannya.
Wanita harus tinggal di dalam rumahnya dan tidak keluar kecuali ada keperluan yang mendesak.
Wanita diharamkan untuk berhias dengan menampakkan semua keindahan dari tubuh atau pakaiannya kepada lelaki bukan mahram atau suaminya.
Perintah di dalam ayat ini tidak dikhususkan bagi istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, tetapi diperuntukkan juga untuk wanita-wanita Mukminat.
Istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk Ahlul-bait dan ayat-ayat di atas tidak dikhususkan untuk istri-istri Beliau saja, tetapi lebih umum.
Yang dimaksud dengan ayat-ayat Allâh Azza wa Jalla adalah al-Qur’an dan yang dimaksud dengan al-Hikmah adalah as-Sunnah atau hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Para wanita pun diperintahkan untuk mempelajari keduanya.

DAFTAR PUSTAKA
Aisarut-Tafâsîr li kalâm ‘Aliyil-Kabîr wa bihâmisyihi Nahril-Khair ‘Ala Aisarit-Tafâsîr. Jâbir bin Musa Al-Jazâiri. 1423 H/2002. Al-Madinah: Maktabah al-‘Ulûm Wal-Hikam.
Al-Jâmi’ Li Ahkâmil-Qur’ân. Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi. Kairo: Dâr al-Kutub al-Mishriyah.
Ma’âlimut-tanzîl. Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ûd al-Baghawi. 1417 H/1997 M. Riyâdh: Dâr Ath-Thaibah.
Tafsîr Al-Qur’ân Al-‘Adzhîm. Isma’îl bin ‘Umar bin Katsîr. 1420 H/1999 M. Riyâdh: Dâr Ath-Thaibah.
Taisîr Al-Karîm Ar-Rahmân Fi Tafsîr Kalâmil-Mannân. Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di. Kairo: Dârul Hadits.
Dan lain-lain. Sebagian besar telah tercantum di footnotes.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XX/1437H/2016M.]
_______
Footnote
[1] Lihat Tafsir As-Sa’di hal. 728 – 729.

[2] Tafsir Al-Baghawi VI/348.

[3] Tafsir Al-Qurthubi XIV/177.

[4] Tafsir Ibni Katsir VI/408.

[5] Tafsir Al-Qurthubi XIV/178.

[6] Aisarut-Tafaasiir hal. 1210 – 1211.

[7] Maksudnya adalah menghiasi wanita tersebut di pandangan para lelaki.

[8] HR Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya no. 1685. Sanad hadits ini shahih, alhamdulillah.

[9] HR Al-Bukhari no. 900 dan Muslim no. 442.

[10] HR Abu Dawud no. 565.

[11] HR Abu Dawud no. 570. Hadits ini dinyatakan shahiih oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahiih Sunan Abi Daawwud.

[12] Lihat Tafsir Al-Baghawi VI/349, Tafsir Al-Qurthubi XIV/179 dan Tafsir Ibni Katsir VI/410.

[13] Lihat Tafsir Al-Baghawi VI/349, Tafsir Al-Qurthubi XIV/179 dan Tafsir Ibni Katsir VI/410.

[14] Tafsir Ibni Katsir VI/410.

[15] Tafsir Al-Qurthubi XIV/182.

[16] Tafsir Ibni Katsir VI/410.

[17] HR Ahmad no. 16988. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth dkk mengatakan, “Hadîts Shahîh.”

[18] Tafsir al-Baghawi VI/351.

[19] HR. Al-Bukhari no. 3775.

[20] Tafsir al-Baghawi VI/351.

[21] Tafsir Ibni Katsir VI/461.

[22] Tafsir as-Sa’di hal. 729.

Related Posts:

0 Response to "Tafsir Al Ahzab Ayat 31-40"

Post a Comment