Tafsir Al Ankabut Ayat 45-55

اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلاةَ إِنَّ الصَّلاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ (٤٥)

45. [1]Bacalah kitab (Al Qur’an) yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan laksanakanlah shalat[2]. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji[3] dan mungkar[4]. Dan (ketahuilah) mengingat Allah (shalat) itu lebih besar (keutamaannya dari ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan[5].

Ayat 46-47: Cara berdebat dengan orang-orang non muslim, dan ajakan kepada mereka untuk mentauhidkan Allah Subhaanahu wa Ta'aala.

وَلا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِلا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ وَقُولُوا آمَنَّا بِالَّذِي أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَأُنْزِلَ إِلَيْكُمْ وَإِلَهُنَا وَإِلَهُكُمْ وَاحِدٌ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ (٤٦) وَكَذَلِكَ أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ فَالَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يُؤْمِنُونَ بِهِ وَمِنْ هَؤُلاءِ مَنْ يُؤْمِنُ بِهِ وَمَا يَجْحَدُ بِآيَاتِنَا إِلا الْكَافِرُونَ (٤٧

Terjemah Surat Al Ankabut Ayat 46-47

46. Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang baik[6], kecuali dengan orang-orang yang zalim di antara mereka[7], dan katakanlah[8], "Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu[9]; Tuhan kami dan Tuhan kamu satu[10]; dan hanya kepada-Nya kami berserah diri (taat)[11].”

47. Dan demikianlah Kami turunkan kitab (Al Quran)[12] kepadamu[13]. Adapun orang-orang yang telah Kami berikan kitab (Taurat dan Injil) mereka beriman kepadanya (Al Quran)[14], dan di antara mereka (orang-orang kafir Mekah) ada yang beriman kepadanya[15]. Dan hanya orang-orang kafir[16] yang mengingkari ayat-ayat Kami.

Ayat 48-52: Bantahan terhadap syubhat orang-orang kafir.

وَمَا كُنْتَ تَتْلُو مِنْ قَبْلِهِ مِنْ كِتَابٍ وَلا تَخُطُّهُ بِيَمِينِكَ إِذًا لارْتَابَ الْمُبْطِلُونَ (٤٨)بَلْ هُوَ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ فِي صُدُورِ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ وَمَا يَجْحَدُ بِآيَاتِنَا إِلا الظَّالِمُونَ (٤٩)وَقَالُوا لَوْلا أُنْزِلَ عَلَيْهِ آيَاتٌ مِنْ رَبِّهِ قُلْ إِنَّمَا الآيَاتُ عِنْدَ اللَّهِ وَإِنَّمَا أَنَا نَذِيرٌ مُبِينٌ (٥٠)أَوَلَمْ يَكْفِهِمْ أَنَّا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ يُتْلَى عَلَيْهِمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَرَحْمَةً وَذِكْرَى لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ (٥١)قُلْ كَفَى بِاللَّهِ بَيْنِي وَبَيْنَكُمْ شَهِيدًا يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَالَّذِينَ آمَنُوا بِالْبَاطِلِ وَكَفَرُوا بِاللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ (٥٢)

Terjemah Surat Al Ankabut Ayat 48-52

48. Dan engkau (Muhammad) tidak pernah membaca sesuatu kitab sebelum (Al Quran) dan engkau tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu; sekiranya (engkau pernah membaca dan menulis), niscaya ragu orang-orang yang mengingkarinya[17].

49. Sebenarnya, (Al Quran) itu adalah ayat-ayat yang jelas di dalam dada orang-orang yang berilmu[18]. Hanya orang-orang yang zalim yang mengingkari ayat-ayat Kami[19].

50. Dan mereka (orang-orang kafir Mekah) berkata, "Mengapa tidak diturunkan mukjizat-mukjizat dari Tuhannya[20]?" Katakanlah (Muhammad), "Mukjizat-mukjizat itu terserah kepada Allah. Aku hanya seorang pemberi peringatan yang jelas[21].”

51. Apakah tidak cukup bagi mereka bahwa Kami telah menurunkan kepadamu kitab (Al Quran) yang dibacakan kepada mereka[22]? Sungguh, dalam (Al Quran) itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman[23].

52. Katakanlah (Muhammad), "Cukuplah Allah menjadi saksi[24] antara aku dan kamu. Dia mengetahui apa yang di langit dan di bumi. Dan orang yang percaya kepada yang batil[25] dan ingkar kepada Allah, mereka itulah orang-orang yang rugi[26].”

Ayat 53-55: Penundaan azab untuk orang-orang zalim bukan berarti membiarkan, hikmah dari tidak disegerakan azab adalah sebagai ujian bagi kaum mukmin dan untuk membuka pintu tobat bagi mereka yang zalim.

وَيَسْتَعْجِلُونَكَ بِالْعَذَابِ وَلَوْلا أَجَلٌ مُسَمًّى لَجَاءَهُمُ الْعَذَابُ وَلَيَأْتِيَنَّهُمْ بَغْتَةً وَهُمْ لا يَشْعُرُونَ (٥٣) يَسْتَعْجِلُونَكَ بِالْعَذَابِ وَإِنَّ جَهَنَّمَ لَمُحِيطَةٌ بِالْكَافِرِينَ (٥٤) يَوْمَ يَغْشَاهُمُ الْعَذَابُ مِنْ فَوْقِهِمْ وَمِنْ تَحْتِ أَرْجُلِهِمْ وَيَقُولُ ذُوقُوا مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (٥٥

Terjemah Surat Al Ankabut Ayat 53-55

53. [27]Dan mereka meminta kepadamu agar segera diturunkan azab. Kalau bukan karena waktunya yang telah ditetapkan[28], niscaya datang azab kepada mereka, dan (azab itu) pasti akan datang kepada mereka dengan tiba-tiba, sedang mereka tidak menyadarinya[29].

54. Mereka meminta kepadamu agar segera diturunkan azab (di dunia). Dan sesungguhnya neraka Jahanam itu meliputi orang-orang kafir[30],

55. Pada hari (ketika) azab menutup mereka dari atas dan dari bawah kaki mereka dan Allah berkata (kepada mereka), "Rasakanlah (balasan dari) apa yang telah kamu kerjakan[31]!”

KANDUNGAN AYAT

[1] Allah Subhaanahu wa Ta'aala memerintahkan untuk mentilawahkan wahyu-Nya, yaitu kitab-Nya ini. Tilawah memiliki dua arti: (1) Ittiba’ (mengikuti), yakni kita diperintahkan untuk mengikuti perintah yang ada dalam kitab itu dan menjauhi larangannya, mengambilnya sebagai petunjuk, membenarkan beritanya, dan mentadabburi maknanya. (2) Tilawah alfzaazhihi (membaca lafaznya), sehingga membaca merupakan bagiannya. Jika tilawah seperti ini maknanya (membaca dan mengikuti), maka berarti dalam tilawah terdapat penegakkan agama secara keseluruhan.

[2] Ini termasuk menghubungkan yang khusus dengan yang umum sebelumnya (yakni tilawah kitab-Nya), hal ini karena keistimewaan shalat dan pengaruhnya yang indah dalam kehidupan.

[3] Keji adalah perbuatan yang dianggap sangat buruk di antara perbuatan maksiat yang disenangi oleh jiwa.

[4] Mungkar adalah semua maksiat yang diingkari oleh akal dan fitrah. Sebab mengapa shalat dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar adalah karena seorang hamba yang mendirikannya; yang menyempurnakan syarat dan rukunnya disertai sikap khusyu’ (hadirnya hati) sambil memikirkan apa yang ia baca, maka hatinya akan bersinar dan menjadi bersih, imannya bertambah, kecintaannya kepada kebaikan menjadi kuat, keinginannya kepada keburukan menjadi kecil atau bahkan hilang, sehingga jika terus menerus dilakukan, maka akan membuat pelakunya mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, hubungannya dengan Allah terjalin, sehingga Allah memberikan kepadanya penjagaan, dan setan yang mengajak kepada kemaksiatan merasa kesulitan untuk menguasai dirinya. Inilah buah yang dihasilkan dari shalat, namun di sana terdapat maksud yang lebih besar dari itu, yaitu dapat tercapai dzikrullah (mengingat Allah) seperti yang dikandung oleh shalat itu sendiri, di mana di dalamnya terdapat dzikrullah baik dengan hati, lisan maupun dengan anggota badan, dan lagi Allah Subhaanahu wa Ta'aala menciptakan manusia untuk beribadah kepada-Nya, sedangkan ibadah yang paling utama adalah shalat yang di sana terdapat bukti penghambaan anggota badan secara keseluruhan yang tidak terdapat pada ibadah selainnya. Oleh karena itulah, pada lanjutan ayatnya Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman, “Dan (ketahuilah) mengingat Allah (shalat) itu lebih besar…dst.”

[5] Baik atau buruk, oleh karena itu, Dia akan memberikan balasan kepadamu.

[6] Seperti mengajak kepada Allah dengan ayat-ayat-Nya dan mengingatkan hujjah-hujjah-Nya.

[7] Yang dimaksud dengan orang-orang yang zalim ialah orang-orang yang setelah diberikan kepadanya keterangan-keterangan dan penjelasan-penjelasan dengan cara yang baik, mereka tetap membantah dan membangkang dan tetap menyatakan permusuhan. Ada pula yang menafsirkan tentang orang-orang yang zalim, yaitu orang-orang yang malah memerangi dan enggan membayar jizyah (pajak), maka bantah mereka dengan pedang (perang) sampai mereka mau masuk Islam atau membayar jizyah. Qatadah dan selainnya berkata, “Ayat ini dimansukh dengan ayat pedang (perang), sehingga tidak lagi berdebat dengan mereka, yang ada hanyalah masuk Islam, membayar jizyah atau perang.” Sedangkan menurut yang lain, bahwa ayat ini tetap berlaku hukumnya, yakni bagi orang yang ingin mengkaji lebih lanjut terhadap agama Islam dari kalangan mereka, maka dilakukan perdebatan dengan cara yang baik. Syaikh As Sa’diy berkata, “Allah Subhaanahu wa Ta'aala melarang mendebat Ahli Kitab jika pendebatnya tidak di atas ilmu atau tidak di atas kaidah yang diridhai, dan melarang mereka agar tidak berdebat kecuali dengan cara yang baik seperti akhlak yang baik, lembut dan tutur kata yang halus, mengajak kepada yang hak dan menghiasnya, membantah kebatilan dan memperburuknya dengan cara yang lebih dekat sampai kepada maksud, dan agar tidak ada maksud untuk sekedar berdebat, memenangkan diri dan cinta ketinggian, bahkan maksudnya adalah menerangkan yang hak, dan memberi petunjuk kepada manusia kecuali Ahli kitab yang zalim, di mana tampak dari niat dan keadaannya tidak menginginkan yang hak, bahkan maksudnya mengacaukan dan memenangkan diri, maka orang ini tidak ada faedahnya mendebatnya, karena maksud yang diinginkan daripadanya tidak ada.”

[8] Yakni kepada orang-orang yang mau menerima jizyah apabila mereka memberitakan sesuatu yang berasal dari kitab-kitab mereka.

[9] Dengan tidak membenarkan mereka dan tidak mendustakan.

[10] Yakni hendaknya perdebatan kamu dengan Ahli kitab didasari atas iman kepada kitab yang diturunkan kepada kamu dan kitab yang diturunkan kepada mereka, demikian juga di atas keimanan kepada rasul kamu dan rasul mereka serta di atas dasar bahwa Tuhan yang berhak disembah hanya satu, yaitu Allah Subhaanahu wa Ta'aala. Janganlah perdebatan kamu dengan mereka malah mencacatkan salah satu di antara kitab-kitab yang diturunkan atau salah seorang rasul sebagaimana yang dilakukan orang yang jahil terhadap lawannya sampai-sampai ia mencacatkan semua yang ada pada mereka, yang hak maupun yang batil. Ini adalah kezaliman dan keluar dari yang wajib serta keluar dari adab berdebat. Karena yang wajib adalah membantah kebatilan yang ada pada orang yang berdebat dan menerima kebenaran yang ada padanya dan jangan sampai ia menolak yang hak karena ucapannya meskipun kafir. Di samping itu mendasari perdebatan dengan mereka di atas dasar ini membuat mereka mengakui Al Qur’an dan Rasul yang membawanya. Hal itu, karena apabila berbicara tentang dasar-dasar agama yang disepakati oleh para nabi dan rasul serta disepakati oleh semua kitab, lalu dasar-dasar itu diakui semua pihak, di mana kitab-kitab yang diturunkan dan para rasul yang diutus menerangkan sama dengan yang disebutkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan Al Qur’an, maka yang demikian menghendaki untuk membenarkan semua kitab dan semua rasul, dan inilah di antara keistimewaan Islam. Adapun jika dikatakan, “Kami beriman dengan kitab yang dibawa rasul ini, tidak rasul yang itu, padahal ia juga hak dan membenarkan kitab sebelumnya, maka ia berarti zalim dan berbuat tidak adil, dan secara tidak langsung ia juga mendustakan kitab yang diturunkan kepada rasul yang ia sebutkan, karena barang siapa mendustakan Al Qur’an yang sama menunjukkan seperti yang ditunjukkan kitab sebelumnya, bahkan membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya, maka sama saja ia mendustakan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya.

[11] Oleh karena itu, barang siapa yang beriman kepada-Nya, menjadikan-Nya sebagai Tuhannya yang disembah, beriman kepada semua kitab dan semua rasul, tunduk kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, maka dia adalah orang yang berbahagia, dan barang siapa yang menyimpang daripadanya, maka dia adalah orang yang celaka.

[12] Yang menerangkan berita yang besar, yang mengajak kepada akhlak yang mulia dan perintah yang sempurna serta membenarkan kitab-kitab sebelumnya, dan dikabarkan oleh para nabi sebelumnya.

[13] Yakni sebagaimana Kami turunkan Taurat dan selainnya kepada mereka.

[14] Mereka mengetahuinya dengan sebenar-benarnya dan tidak dimasuki hasad dan hawa nafsu, seperti sikap yang diambil Abdullah bin salam dan kawan-kawannya. Mereka meyakini kebenaran Al Qur’an karena kesamaan dengan apa yang mereka pegang selama ini.

[15] Yakni beriman di atas pandangannya yang tajam, bukan karena sekedar senang atau takut kepadanya.

[16] Yakni yang kebiasaannya adalah menolak yang hak dan membangkang terhadapnya. Hal ini adalah pembatasan untuk orang-orang yang kafir kepada Al Qur’an, bahwa tidak ada maksudnya untuk mengikuti yang hak, padahal siapa saja yang memiliki maksud yang benar, maka ia pasti beriman kepadanya karena kandungannya yang terdiri dari bukti dan keterangan yang nyata bagi orang yang mempunyai akal, siap mendengarkan dan hadir hatinya. Di antara dalil yang menunjukkan kebenarannya adalah bahwa ia dibawa oleh nabi yang terpercaya, di mana kaumnya sudah mengenal kejujurannya, amanahnya, dan semua keadaannya yang seluruhnya baik. Di samping itu, sebagaimana diterangkan pada ayat selanjutnya, Beliau tidak mampu menulis dan tidak bisa membaca, sehingga jika Beliau membawa kitab yang agung ini, maka hal itu merupakan bukti yang nyata yang tidak menerima lagi keraguan bahwa kitab itu turun dari sisi Allah Yang Mahaperkasa lagi Maha terpuji.

[17] Tentu mereka akan berkata, “Ia belajar dari kitab-kitab sebelumnya atau menyalin darinya.” Tetapi ketika turun kepada Beliau kitab yang agung, yang kemudian Beliau menantang para ahli sastra dan musuh yang keras kepala untuk mendatangkan yang serupa dengan Al Qur’an yang dibawanya atau satu surat saja, namun ternyata mereka tidak sanggup mendatangkannya, bahkan diri mereka tidak ada keinginan untuk membantahnya, karena mereka tahu ketinggian bahasanya dan kefasihannya, dan karena ucapan salah seorang dari manusia tidak ada yang sampai sejalan dengannya atau sesuai caranya. Oleh karena itulah, Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman, “Sebenarnya, (Al Quran) itu adalah ayat-ayat yang jelas di dalam dada orang-orang yang berilmu. Hanya orang-orang yang zalim yang mengingkari ayat-ayat Kami.”

[18] Mereka adalah manusia utama dan orang-orang yang berakalnya. Jika ayat-ayat itu terdapat dalam hati orang-orang mulia tersebut, maka berarti sebagai hujjah atas selain mereka, dan bahwa pengingkaran selain mereka tidaklah diperhatikan, dan sudah pasti mengingkarinya adalah suatu kezaliman. Maksud “dalam dada” adalah bahwa ayat-ayat Al Quran terpelihara dalam dada dengan dihapal oleh banyak kaum muslimin turun temurun dan dipahami oleh mereka, sehingga tidak ada seorang pun yang dapat mengubahnya.

[19] Setelah jelas bagi mereka. Karena tidak ada yang menolaknya kecuali orang yang jahil yang berbicara tanpa ilmu, tidak mengikuti ahli ilmu, padahal ia mampu mengetahuinya secara hakiki, atau orang yang pura-pura bodoh yang mengetahui yang hak, namun menolaknya dan mengetahui kebenarannya, tetapi menyelisihinya.

[20] Yakni sesuai yang mereka usulkan, seperti ucapan mereka, “Kami sekali-kali tidak percaya kepadamu hingga kamu memancarkan mata air dan bumi untuk kami…dst.”(lihat surah Al Israa’: 90-96) Padahal menentukan ayat atau mukjizat tertentu bukanlah diserahkan kepada mereka, dan bukan pula diserahkan kepada rasul, tetapi diserahkan kepada Allah, jika Dia menghendaki, maka Dia menurunkannya dan jika tidak, maka Dia tidak menurunkannya. Jika maksudnya adalah menjelaskan yang hak, dan ternyata bisa dilakukan dengan cara apa pun, maka mengusulkan ayat tersebut adalah suatu kezaliman, dan sikap sombong terhadap Allah dan terhadap kebenaran. Bahkan jika ditakdirkan ayat yang mereka usulkan itu turun dan ternyata hati mereka tidak beriman kecuali dengannya, maka yang demikian bukanlah keimanan, akan tetapi hanya sesuai hawa nafsu mereka sehingga mereka beriman, bukan karena ia sebuah kebenaran, bahkan karena ayat atau mukjizat itu sesuai dengan yang mereka usulkan. Akan tetapi karena maksud utamanya adalah untuk menerangkan yang hak, maka Allah Subhaanahu wa Ta'aala menyebutkan jalannya, Dia berfirman, “Apakah tidak cukup bagi mereka bahwa Kami telah menurunkan kepadamu kitab (Al Quran) yang dibacakan kepada mereka?” di dalamnya terdapat ayat-ayat yang jelas dan penjelasan yang sangat bagus, tepat dan bijak, padahal yang membawanya seorang yang ummi (tidak kenal baca tulis). Hal ini merupakan bukti yang paling besar terhadap kebenarannya, terlebih mereka tidak mampu mendatangkan yang semisalnya. Selain itu, isinya terdapat berita yang gaib; berita tentang umat-umat terdahulu dan yang akan terjadi selanjutnya yang ternyata sesuai kenyataan. Demikian pula pengawasannya terhadap kitab-kitab terdahulu, pembenarannya terhadap yang benar dan pembersihannya terhadap penyelewengan tangan manusia terhadap kitab-kitab tersebut. Ditambah lagi dengan petunjuknya ke jalan yang lurus, perintahnya kepada semua kebaikan dan larangannya dari semua keburukan, perintah dan larangannya sejalan dengan keadilan dan kebijaksanaan lagi dapat dimengerti dan diterima oleh fitrah, di samping itu petunjuknya sejalan dengan setiap zaman dan setiap umat, di mana urusan mereka tidak akan baik kecuali dengan petunjuknya. Semua itu sebenarnya sudah cukup bagi orang yang membenarkan yang hak (benar) dan mencarinya.

[21] Yakni aku tidak memiliki kedudukan lebih di atas ini.

[22] Yang merupakan ayat Allah (mukjizat) yang terus menerus, berbeda dengan ayat-ayat-Nya yang lain (mukjizat).

[23] Hal itu, karena di dalamnya terdapat ilmu yang banyak, kebaikan yang melimpah, membersihkan hati dan ruh, menyucikan keyakinan, menyempurnakan akhlak, dan lain-lain.

[24] Yakni atas kebenaranku. Jika aku berdusta, maka Dia akan menimpakan kepadaku hukuman yang kalian dapat mengambil pelajaran darinya. Akan tetapi, jika ternyata Dia malah menolongku, membelaku dan memudahkan urusanku, maka cukuplah persaksian yang agung ini dari sisi Allah. Jika dalam hatimu, persaksian-Nya –karena kamu tidak melihat dan mendengarnya- tidak cukup sebagai dalil, maka sesungguhnya Dia mengetahui apa yang di langit dan di bumi, termasuk di antaranya terhadap keadaanku dan keadaanmu. Jika aku berkata dusta tentang-Nya padahal Dia mengetahui aku, tentu Dia akan menghukumku.

[25] Yaitu yang disembah selain Allah.

[26] Karena mereka membeli kekafiran dengan keimanan, membeli azab dengan kenikmatan dan membeli kerugian dengan keuntungan.

[27] Allah Subhaanahu wa Ta'aala memberitahukan tentang kebodohan orang-orang yang mendustakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan apa yang Beliau bawa, dan bahwa mereka meminta disegerakan azab sebagai tambahan terhadap pendustaan mereka.

[28] Yang dimaksud dengan waktu yang telah ditetapkan ialah menjanjikan azab itu pada waktu yang ditentukan, seperti pada perang Badar, dan pada hari pembalasan nanti di akhirat.

[29] Maka terjadilah sesuai yang diberitakan Allah Subhaanahu wa Ta'aala. Saat mereka datang ke Badar dalam keadaan sombong lagi membanggakan diri dan mereka mengira bahwa maksud mereka akan tercapai, ternyata Allah menghinakan mereka, pemuka mereka terbunuh, sejumlah orang-orang jahat dari mereka dihabiskan sehingga tidak ada satu pun keluarga mereka kecuali merasakan musibah itu. Kalau pun mereka tidak tertimpa azab duniawi, namun di hadapan mereka ada azab akhirat, di mana tidak ada seorang pun yang dapat meloloskan diri darinya.

[30] Oleh karena itu, mereka tidak dapat meloloskan diri darinya karena Jahanam mengepung mereka sebagaimana dosa dan kekafiran mengepung diri mereka.

[31] Amal mereka berubah menjadi azab, dan azab itu menutupi mereka sebagaimana kekafiran dan kemaksiatan menutupi diri mereka.

==============

TAFSIR RINGKAS AL ANKABUT 45

“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al-Kitab (al-Qur’an),” Allâh Azza wa Jalla memerintahkan kepada kita untuk membaca wahyu-Nya, yaitu al-Qur’ân. Arti dari membaca adalah mengikuti semua yang terkandung di dalamnya, melaksanakan perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, berjalan di atas petunjuk-Nya, membenarkan seluruh yang dikabarkan, merenungi makna-makna yang terkandung di dalamnya dan membaca lafaz-lafaznya.

Maksud dari penyebutan “bacalah” dalam ayat ini hanyalah penyebutan sebagian makna untuk mewakili makna yang lain. Dengan demikian, kita mengetahui bahwa arti dari kata perintah “bacalah” adalah menjalankan agama seluruhnya. Sehingga perintah berikutnya, yaitu “dan dirikanlah shalat!” hanyalah penyebutan sebagian hal dari keumuman perintah untuk menjalankan seluruh agama.

Dalam ayat ini terdapat perintah khusus untuk mengerjakan shalat, karena shalat memiliki banyak keutamaan, kemuliaan dan membuahkan berbagai kebaikan, di antaranya “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.”

Al-fahsyâ’ (perbuatan-perbuatan keji) artinya seluruh dosa besar dan sangat buruk namun jiwa terpancing untuk melakukannya. Al-Munkar adalah setiap maksiat yang diingkari oleh akal dan fitrah manusia.

Mengapa shalat bisa mencegah dari perbuatan keji dan mungkar? Karena seorang hamba jika mengerjakannya dengan menyempurnakan rukun-rukun dan syarat-syarat shalat serta khusyû’, maka itu dapat menerangi dan membersihkan hatinya, menambah keimanannya, dan menambah keinginan untuk berbuat baik. Semakin kuat keinginannya untuk berbuat baik dan semakin sedikit atau bahkan tidak ada keinginan untuk melakukan keburukan.

Oleh karena itu, dengan selalu mengerjakan dan menjaga shalat dengan baik, maka shalat akan mencegah seseorang dari perbuatan keji dan mungkar. Ini termasuk tujuan dan buah dari shalat.

Dzikir di dalam shalat mencakup dzikir dalam hati, lisan dan badan. Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla menciptakan manusia hanyalah untuk beribadah kepada-Nya. Dan ibadah yang paling afdhal yang dilakukan manusia adalah shalat. Di dalam shalat terdapat ibadah dengan menggunakan seluruh tubuh, yang tidak terdapat pada ibadah selainnya. Oleh karena itu, Allâh Azza wa Jalla mengatakan, yang artinya, “Dan Sesungguhnya mengingat Allâh Azza wa Jalla adalah lebih besar.”

“Dan Allâh mengetahui apa yang kalian kerjakan,” yang baik maupun yang buruk. Allâh Azza wa Jalla akan membalas dengan balasan yang sesuai.[1]

PENJABARAN AYAT

Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَأَقِمِ الصَّلَاةَ ۖ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ 

Dan dirikanlah shalat! Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.

Allâh Azza wa Jalla memerintahkan hamba-Nya untuk mengerjakan shalat. Shalat memiliki banyak manfaat. Diantaranya adalah seseorang akan terhalangi dari perbuatan keji dan mungkar.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, beliau berkata:

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقَالَ: إِنَّ فُلاَنًا يُصَلِّي بِاللَّيْلِ، فَإِذَا أَصْبَحَ سَرَقَ. قَالَ: إِنَّهُ سَيَنْهَاهُ مَا تَقُولُ

Seorang laki-laki mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, ‘Sesungguhnya si Fulan shalat di malam hari, tetapi di waktu pagi dia mencuri.’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya shalatnya tersebut akan menahannya[2]

Ibnu Mas’ûd dan Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhum mengatakan bahwa di dalam shalat terdapat sesuatu yang dapat menahan dan mencegah seseorang dari perbuatan maksiat kepada Allâh Azza wa Jalla . Barangsiapa shalatnya tidak menyuruhnya untuk melakukan perbuatan ma’rûf (yang baik) dan tidak melarangnya dari perbuatan mungkar, maka dia hanya membuat dirinya semakin jauh dari Allâh Azza wa Jalla dengan shalat tersebut.

Al-Qatâdah rahimahullah dan al-Hasan rahimahullah berkata bahwa barangsiapa yang shalatnya tidak dapat menahannya dari perbuatan fahsyâ’ dan mungkar, maka shalatnya tersebut menjadi perusak dirinya.[3]

Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ

Dan sesungguhnya mengingat Allâh adalah lebih besar. Dan Allâh mengetahui apa yang kalian kerjakan

Firman Allâh Azza wa Jalla di atas ditafsirkan dengan berbagai tafsir berikut:[4]
Mengingat Allâh Azza wa Jalla lebih besar pengaruhnya dibandingkan shalat dalam hal menahan seseorang dari perbuatan keji dan mungkar, karena shalat memang dapat mencegah seseorang dari kemungkaran saat shalat, tetapi ketika di luar shalat pengaruhnya lebih kecil. Sedangkan ber-dzikir kepada Allâh Azza wa Jalla bisa menjadi pelindung dari perbuatan mungkar setiap saat.

Ber-dzikir kepada Allâh Azza wa Jalla termasuk amalan yang paling afdhal. Dalam riwayat Abu Dardâ’ Radhiyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para sahabatnya:

أَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِخَيْرِ أَعْمَالِكُمْ وَأَرْضَاهَا عِنْدَ مَلِيكِكُمْ وَأَرْفَعِهَا فِي دَرَجَاتِكُمْ وَخَيْرٍ لَكُمْ مِنْ إِعْطَاءِ الذَّهَبِ وَالْوَرِقِ وَمِنْ أَنْ تَلْقَوْا عَدُوَّكُمْ فَتَضْرِبُوا أَعْنَاقَهُمْ وَيَضْرِبُوا أَعْنَاقَكُمْ؟ قَالُوا: وَمَا ذَاكَ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: ذِكْرُ اللَّهِ

Maukah saya kabarkan kepada kalian amalan terbaik, amalan yang paling di-ridha-i oleh Rabb kalian, lebih bisa meningggikan derajat kalian, lebih baik daripada memberikan emas dan perak, serta lebih baik daripada kalian bertemu dengan musuh kalian, kalian penggal kepala-kepala mereka kemudian mereka memenggal kepala kalian? Mereka pun berkata, “Apakah itu, ya Rasûlullâh!” Beliau berkata, “Dzikir kepada Allâh.”

وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ

Diterjemahkan dengan “Dan sesungguhnya Dzikir Allâh (penyebutan Allah Azza wa Jalla terhadap para hamba-Nya di hadapan para malaikat) lebih besar (daripada dzikir hamba kepada Allâh Azza wa Jalla ).

Di antara dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah hadîts Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Allâh Azza wa Jalla berfirman:

مَنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ، ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي ، وَمَنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَأٍ مِنَ النَّاسِ ، ذَكَرْتُهُ فِي مَلَأٍ أَكْثَرَ مِنْهُمْ وَأَطْيَبَ

Barangsiapa mengingatku di dalam dirinya maka aku akan mengingatnya di dalam diriku. Barangsiapa mengingatku ditengah sekelompok orang, maka Aku akan mengingatnya di sekelompok (makhluk) yang lebih banyak dan lebih baik dari itu[5]

‘Abdullah bin Rabî’ah rahimahullah berkata, “Ibnu ‘Abbâs pernah berkata kepadaku, ‘Apakah engkau mengetahui tafsir dari perkataan Allâh Subhanahu wa Ta’ala (وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ )?’ Saya pun mengatakan, ‘Ya.’ Beliau berkata, ‘Apa tafsirnya?’ Saya menjawab, ‘Dia adalah bertasbih, bertahmid dan bertakbir dalam shalat, begitu pula membaca al-Qur’ân dan yang sejenisnya.’ Beliau berkata, ‘Engkau telah mengatakan sesuatu perkataan yang aneh. Artinya tidak sepertinya itu, tetapi yang benar adalah Allâh Azza wa Jalla mengingat kalian ketika Allâh Azza wa Jalla memerintahkan dan melarang di saat kalian mengingatnya, lebih besar daripada ingat kalian kepada-Nya.

وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ

Diterjemahkan dengan “Dan sesungguhnya mengingat Allâh (dengan shalat) adalah lebih besar (daripada mengingatnya di selain shalat). Hal ini sebagaimana terdapat pada ayat:

فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ

Bersegeralah menuju dzikir (mengingat) Allâh. [Al-Jumu’ah/62:9]

Arti dzikir dalam ayat ini adalah shalat Jumat. Begitu pula dengan ayat dalam surat al-‘Ankabût ini, arti dzikir dalam ayat ini adalah shalat.

SHALAT MENCEGAH DARI PERBUATAN KEJI DAN MUNGKAR

Shalat bisa mencegah dari perbuatan keji dan mungkar sebagaimana disebutkan dalam ayat ini. Begitu pula seperti apa yang dialami oleh Nabi Syu’aib Alaihissallam. Kaum Nabi Su’aib Alaihissallam mencela Nabi Syu’aib dengan mengatakan:

قَالُوا يَا شُعَيْبُ أَصَلَاتُكَ تَأْمُرُكَ أَنْ نَتْرُكَ مَا يَعْبُدُ آبَاؤُنَا أَوْ أَنْ نَفْعَلَ فِي أَمْوَالِنَا مَا نَشَاءُ

Mereka berkata, ‘Ya Syu’aib apakah shalatmu yang memerintahkan kepadamu agar kami meninggalkan apa-apa yang bapak-bapak kami ibadahi atau kami melakukan pada harta-harta kami apapun yang kami inginkan.” [Hûd/11:87]

Nabi Syu’aib Alaihissallam terkenal dengan kerajinannya dalam mengerjakan shalat, sehingga kaumnya terheran-heran ketika mereka disuruh untuk meninggalkan kesyirikan dan meninggalkan perbuatan haram mereka dalam mencari harta.

Ini menunjukkan bahwa shalat berpengaruh terhadap ketaatan seseorang kepada Allâh dan dapat menahannya dari mencari harta dengan jalan yang diharamkan.

SHALAT YANG SEPETI APA YANG DAPAT MENCEGAH DARI PERBUATAN KEJI DAN MUNGKAR?

Abul-‘Âliyah rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya di dalam shalat itu terdapat tiga hal. Setiap shalat yang kehilangan satu saja dari tiga hal ini maka itu bukan shalat, yaitu: keikhlasan, rasa takut dan mengingat Allâh. Keikhlasan akan menyuruhnya untuk berbuat ma’rûf, ketakutannya kepada Allâh akan melarangnya dari perbuatan mungkar dan dzikirullâh dengan membaca al-Qur’ân akan menyuruhnya dan juga melarangnya.

Ibnu ‘Aun Al-Anshâri rahimahullah berkata, “Apabila engkau sedang shalat, maka engkau berada dalam hal yang ma’rûf (baik). Engkau telah menahan dirimu dari mengerjakan perbuatan keji dan mungkar.”[6]

Syaikh Abu Bakr Jabir Al-Jazâiri hafidzhahullâh berkata, “Dalam shalat, hal pertama yang dilakukan adalah mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allâh Azza wa Jalla , kemudian kedua adalah menjaga kebersihan hati agar tidak memalingkan ibadah kepada selain Rabb Azza wa Jalla ketika mengerjakannya. Kemudian mengerjakan shalat pada waktunya di masjid-masjid, rumah Allâh, dan bersama jamaah kaum Muslimin, hamba-hamba Allâh dan wali-walinya. Kemudian memperhatikan rukun-rukunnya, di antaranya: membaca al-Fâtihah, rukû’ serta ber-thuma’nînah di dalamnya, bangkit dari rukû’ serta ber-thuma’nînah di dalamnya, kemudian sujud di atas dahi dan hidung serta ber-thuma’nînah di dalamnya dan rukun terakhirnya adalahkhusyû’, yaitu ketenangan, kelembutan hati dan meneteskan air mata. Shalat yang seperti inilah yang memunculkan cahaya energi yang dapat menghalangi seseorang agar tidak tercebur ke dalam syahwat dan dosa, serta tidak mendatangi perbuatan keji dan tidak mengerjakan perbuatan mungkar.”[7]

PENGARUH DOSA PADA REZEKI SEORANG HAMBA

Dosa yang dilakukan oleh seseorang dapat berpengaruh terhadap rezeki yang Allâh Azza wa Jalla berikan kepadanya. Allâh Azza wa Jalla menahan rezeki orang yang berbuat maksiat. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ

Jikalau penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi. [Al-A’râf/7:96]

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْكِتَابِ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَكَفَّرْنَا عَنْهُمْ سَيِّئَاتِهِمْ وَلَأَدْخَلْنَاهُمْ جَنَّاتِ النَّعِيمِ ﴿٦٥﴾ وَلَوْ أَنَّهُمْ أَقَامُوا التَّوْرَاةَ وَالْإِنْجِيلَ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِمْ مِنْ رَبِّهِمْ لَأَكَلُوا مِنْ فَوْقِهِمْ وَمِنْ تَحْتِ أَرْجُلِهِمْ

Dan sekiranya ahli kitab beriman dan bertakwa, tentulah kami tutup (hapus) kesalahan-kesalahan mereka dan tentulah kami masukkan mereka kedalam surga-surga yang penuh kenikmatan. Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat dan Injil dan (al-Qur’ân) yang diturunkan kepada mereka dari Rabb-nya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas dan dari bawah kaki mereka. [Al-Mâidah/5: 65-66]

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا ﴿٢﴾ وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ

Barangsiapa bertakwa kepada Allâh niscaya dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” [Ath-Thalâq/65:2-3]

Ayat-ayat di atas menunjukkan kaitan yang erat antara rezeki seseorang dengan ketakwaannya kepada Allâh Azza wa Jalla . Orang yang berbuat maksiat kepada Allâh Azza wa Jalla bukanlah orang yang bertakwa kepada-Nya.

MENJAGA SHALAT DAPAT MELANCARKAN REZEKI SESEORANG

Orang yang meninggalkan shalat telah melakukan dosa yang sangat besar. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلاَةِ

Sesungguhnya pembeda antara seseorang dengan kesyirikan atau kekafiran adalah meninggalkan shalat.[8]

Orang yang meninggalkan shalat bukanlah orang yang bertakwa kepada Allâh Azza wa Jalla .

Allâh Azza wa Jalla menyebutkan kaitan yang erat antara shalat dan rezeki seseorang di dalam ayat berikut, Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَلَا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَىٰ مَا مَتَّعْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِنْهُمْ زَهْرَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ ۚ وَرِزْقُ رَبِّكَ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰ ﴿١٣١﴾ وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا ۖ لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا ۖ نَحْنُ نَرْزُقُكَ ۗ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَىٰ

Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami cobai mereka dengannya. Dan karunia Rabb kamu lebih baik dan lebih kekal. Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kami-lah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.[Thâhâ/20:131-132]

Ayat tersebut dengan jelas menyebutkan bahwa orang yang mengerjakan shalat kemudian memiliki kesabaran yang kuat ketika mengerjakannya, maka dia akan diberikan rezeki oleh Allâh Azza wa Jalla tanpa bersusah payah mencarinya. Inilah ganjaran bagi orang yang bertakwa kepada Allâh Azza wa Jalla.

Dalam kisah Nabi Syu’aib Alaihissallam, Allâh Azza wa Jalla menyebutkan perkataan Nabi Syu’aib Alaihissallam setelah kaumnya memahami bahwa shalatlah yang menahan beliau dari perbuatan mungkar:

قَالَ يَا قَوْمِ أَرَأَيْتُمْ إِنْ كُنْتُ عَلَىٰ بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّي وَرَزَقَنِي مِنْهُ رِزْقًا حَسَنًا

Syu’aib berkata, “Hai kaumku, bagaimana pikiranmu jika aku mempunyai bukti nyata dari Rabbku dan dianugerahi-Nya aku dari rezki yang baik (patutkah aku menyalahi perintah-Nya)? [Hûd/11:88]

Nabi Syu’aib Alaihissallam menjelaskan kepada mereka bahwa dengan shalat dan penjelasan yang nyata dari Rabb-nya, maka Allâh Azza wa Jalla memberikannya rezeki yang baik dan halal. Berbeda dengan mereka yang sibuk mencari harta-harta haram.

Meski demikian, sebagian orang tidak percaya akan adanya kaitan erat antara shalat dengan rezeki. Ini tidak jauh berbeda dengan apa yang dikatakan oleh kaum Nabi Syu’aib Alaihissallam:

قَالُوا يَا شُعَيْبُ مَا نَفْقَهُ كَثِيرًا مِمَّا تَقُولُ

Wahai Syu’aib! Kami tidak paham banyak hal dari apa yang kamu katakan. [Hûd/11:91]

Mereka mengatakan ini karena hati-hati mereka lebih terikat dan lebih tertarik pada dunia dibandingkan dengan shalat.

BERTAUBAT! JANGANLAH TINGGALKAN SHALAT!

Orang-orang yang belum bisa mengerjakan shalat lima waktu wajib bertaubat kepada Allâh dengan segera. Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla Maha Mengampuni para hamba-Nya yang mau bertaubat.

Di antara yang dapat meleburkan dosa adalah mengerjakan shalat lima waktu. Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, beliau Radhiyallahu anhu mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَرَأَيْتُمْ لَوْ أَنَّ نَهَرًا بِبَابِ أَحَدِكُمْ يَغْتَسِلُ فِيهِ كُلَّ يَوْمٍ خَمْسًا مَا تَقُولُ ذَلِكَ يُبْقِي مِنْ دَرَنِهِ ؟ قَالُوا : لاَ يُبْقِي مِنْ دَرَنِهِ شَيْئًا قَالَ فَذَلِكَ مِثْلُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ يَمْحُو اللَّهُ بِهَا الْخَطَايَا

Bagaimana menurut kalian jika di depan pintu seorang di antara kalian terdapat sungai yang setiap hari dia mandi di dalamnya. Apakah akan tersisa kotoran di tubuhnya?” Para sahabat menjawab, “Tidak tersisa kotoran sedikit pun di tubuhnya.” Beliau berkata, “Seperti itulah shalat lima waktu, dengannya Allâh menghapuskan dosa-dosa”

Allâh Azza wa Jalla menjanjikan rezeki yang berlimpah untuk orang yang mau bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla .

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا ﴿١٠﴾ يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا ﴿١١﴾ وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا

Maka aku katakan kepada mereka, ‘Mohonlah ampun kepada Rabbmu! Sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” [Nûh/71:10-12]

KESIMPULAN

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

Shalat dan Dzikir kepada Allâh Azza wa Jalla dapat menahan seseorang dari pekerjaan keji dan mungkar.

Shalat yang dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar adalah shalat yang terpenuhi rukun-rukun shalat, keikhlasan, kekusyu’an, ketakutan kepada Allâh dan dzikir kepada Allâh Azza wa Jalla .

Perbuatan dosa seseorang dapat menahan rezeki Allâh kepadanya dan ketakwaan dapat melancarkannya.
Shalat sangat berpengaruh kepada ketakwaan seseorang dan dapat menjadi sebab dibukakannya pintu rezeki yang halal dan baik.

Shalat lima waktu dapat menghapuskan dosa-dosa seseorang yang telah lalu.

DAFTAR PUSTAKA

Aisarut-Tafâsîr li kalâm ‘Aliyil-Kabîr. Jâbir bin Musa Al-Jazâiri. Al-Madinah: Maktabah Al-‘Ulûm wal-hikam
Al-‘Ibâdâtu Asbâbun Tahmî minal-Mashâ-ib wa Tarfa’uhâ Bi-idznillah. Dr. Munîrah Al-Muthlaq. MajAllâh Al-Buhûts Al-Islâmiyah vol. 94. http://www.alifta.net.
Al-Jâmi’ Li Ahkâmil-Qur’ân. Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi. Kairo: Dâr Al-Kutub Al-Mishriyah.
Asbâbul-Barakah fir-Rizqi. Khuthbatul-Jum’ah li Asy-Syaikh Abdul-‘Azîz Âli Asy-Syaikh. sahab.net.
At-Tahrîr wa At-Tanwîr. Muhammad Ath-Thâhir bin ‘Âsyûr. 1997. Tunisia: Dar Sahnûn.
Ma’âlimut-tanzîl. Abu Muhammad Al-Husain bin Mas’ûd Al-Baghawi. 1417 H/1997 M. Riyâdh:Dâr Ath-Thaibah.
Tafsîr Al-Qur’ân Al-‘Adzhîm. Ismâ’îl bin ‘Umar bin Katsîr. 1420 H/1999 M. Riyâdh: Dâr Ath-Thaibah.
Taisîr Al-Karîm Ar-Rahmân. Abdurrahmân bin Nâshir As-Sa’di. Beirut: Muassasah Ar-Risâlah.
Dan lain-lain. Sebagian besar telah tercantum di footnotes.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XVIII/1436H/2015M. ]
_______
Footnote
[1] Tafsîr As-Sa’di hlm. 632.

[2] HR Ahmad no. 9778. Syaikh Syu’aib mengatakan, “Isnad-nya shahîh rijâl-nya tsiqât, rijâl Asy-Syaikhain.”

[3] Lihat kedua atsar ini dalam Tafsîr Ibni Katsîr VI/244.

[4] Lihat Tafsîr al-Qurthubi XIII/349, Tafsir Ibni Katsîr VI/283, at-Tahrîr wa At-Tanwîr XX/179-180, Tafsîr As-Sa’di dan Aisarut-Tafâsîr III/209.

[5] HR Ahmad no. 8650. Syaikh Syu’aib mengatakan, “Shahîh.”

[6] Lihat kedua atsar tersebut dalam Tafsîr Ibni Katsîr VI/282.

[7] Aisarut-Tafâsîr III/209.

[8] HR Muslim no. 82/246.

Related Posts:

0 Response to "Tafsir Al Ankabut Ayat 45-55"

Post a Comment