Tafsir Ali Imran Ayat 159-164

Ayat 159-164: Beberapa ayat ini menerangkan tentang hakikat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, kepemimpinannya yang bijaksana, sayangnya, akhlaknya dan jasanya shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap umatnya

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ (١٥٩) إِنْ يَنْصُرْكُمُ اللَّهُ فَلا غَالِبَ لَكُمْ وَإِنْ يَخْذُلْكُمْ فَمَنْ ذَا الَّذِي يَنْصُرُكُمْ مِنْ بَعْدِهِ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ (١٦٠) وَمَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَغُلَّ وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لا يُظْلَمُونَ (١٦١) أَفَمَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَ اللَّهِ كَمَنْ بَاءَ بِسَخَطٍ مِنَ اللَّهِ وَمَأْوَاهُ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ (١٦٢) هُمْ دَرَجَاتٌ عِنْدَ اللَّهِ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِمَا يَعْمَلُونَ (١٦٣) لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ (١٦٤

Terjemah Surat Ali Imran Ayat 159-164

159. Maka berkat rahmat dari Allah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu[1]. Karena itu maafkanlah mereka[2], mohonkanlah ampunan bagi mereka[3], dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu[4]. Kemudian, apabila kamu telah membulatkan tekad[5], maka bertawakallah kepada Allah[6]. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal.

[1] Berdasarkan ayat ini, maka di antara sarana dakwah yang ampuh, yang dapat menarik manusia ke dalam agama Allah adalah akhlak mulia, di samping adanya pujian dan pahala yang istimewa bagi pelakunya.

[2] Karena tidak sempurna memenuhi hak Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam.

[3] Hal ini merupakan sikap ihsan. Oleh karena itu, Beliau menggabung antara sikap memaafkan dan sikap ihsan.

[4] Maksudnya: dalam urusan yang butuh adanya musyawarah, pemikiran yang matang dan pandangan yang tajam. Misalnya dalam urusan peperangan dan hal-hal duniawiyah lainnya, seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan dan lain-lain. Musyawarah memiliki banyak faedah dan maslahat duniawi maupun agama, antara lain:

- Musyawarah termasuk ibadah yang mendekatkan diri seseorang kepada Allah.

- Di dalamnya terdapat sikap menghargai pendapat orang lain, sehingga mereka menjadi senang kepada kita.

- Dapat menyatukan visi dan misi.

- Menerangi akal-fikiran.

- Menutupi kekurangan yang ada pada orang lain.

- Membuahkan keputusan yang bijak, tepat dan benar. Hal itu, karena hampir tidak ditemukan ada keputusan yang salah dalam musyawarah.

[5] Setelah bermusyawarah.

[6] Bersandarlah dengan kemampuan dan kekuatan Allah; tidak mengandalkan kemampuan kamu.

160. Jika Allah menolong kamu[7], maka tidak ada yang dapat mengalahkanmu[8], tetapi jika Allah membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan)[9], maka siapa yang dapat menolongmu setelah itu?[10] Karena itu, hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakkal.

[7] Ketika menghadapi musuhmu, seperti dalam Perang Badar.

[8] Meskipun semua musuh berkumpul dengan jumlah yang besar lengkap dengan persenjataan.

[9] Menyerahkan kamu kepada dirimu sendiri.

[10] Yakni tidak ada lagi penolong bagimu. Dalam ayat ini terdapat perintah meminta pertolongan kepada Allah, bersandar kepada-Nya dan berlepas diri dari kekuatan dan kemampuan dirinya.

161.[11] Tidak mungkin seorang Nabi berkhianat (dalam urusan harta rampasan perang)[12]. Barang siapa berkhianat, niscaya pada hari Kiamat dia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu[13]. Kemudian setiap orang akan diberi balasan yang sempurna sesuai dengan apa yang dilakukannya[14], dan mereka tidak dizalimi[15].

[11] Al Bazzar meriwayatkan dari Ibnu Abbas, tentang ayat di atas, ia berkata, "Tidak pantas bagi para sahabat menuduh Beliau begitu (yakni berbuat ghulul)." (Hadits ini dalam sanadnya Harun bin Musa Al Azdiy seorang ahli qira'at, ia ditsiqahkan oleh Ibnu Ma'in dan lainnya sebagaimana dalam Tahdzibuttahdzib).

[12] Karena khianat dalam urusan harta rampasan perang adalah haram, bahkan termasuk dosa besar. Tidak mungkinnya seorang nabi berbuat itu adalah karena Allah Subhaanahu wa Ta'aala telah menjaga para nabi-Nya dari segala cacat yang menodai kepribadiannya, menjadikan mereka manusia yang paling utama akhlaknya, paling bersih jiwanya. Oleh karenanya, Allah Subhaanahu wa Ta'aala mengangkatnya sebagai rasul-Nya.

[13] Di atas punggungnya.

[14] Baik orang yang berkhianat maupun lainnya akan diberi pahala atau dosa sesuai amal yang dikerjakannya.

[15] Keburukannya tidak ditambah dan kebaikannya tidak dikurangi.

162. Maka apakah orang yang mengikuti keridaan Allah[16] sama dengan orang yang kembali membawa kemurkaan dari Allah[17] dan tempatnya di neraka Jahannam?[18] Itulah seburuk-buruk tempat kembali.

[16] Orang yang niatnya mencari keridaan Allah dan mengerjakan amalan yang mendatangkan keridaan-Nya.

[17] Karena maksiat dan berkhianat.

[18] Tentu tidak sama baik menurut hukum Allah, hikmah (kebijaksanaan) Allah maupun fitrah yang ada dalam diri manusia.

163. (Kedudukan) mereka itu bertingkat-tingkat di sisi Allah[19], dan Allah Maha melihat apa yang mereka kerjakan.

[19] Sesuai amal yang mereka kerjakan. Orang yang mencari keridaan Allah berusaha menggapai derajat dan kedudukan yang tinggi, sehingga Allah memberikannya kepada mereka karena karunia dan kepemurahan-Nya sesuai amal yang mereka kerjakan. Adapun orang-orang yang mengerjakan amalan yang mendatangkan kemurkaan Allah, maka sesungguhnya mereka berlomba-lomba untuk turun ke bawah sampai ke bagian yang paling bawah sesuai amalnya.

164. Sungguh, Allah telah memberi karunia[20] kepada orang-orang beriman ketika Allah mengutus seorang Rasul (Muhammad) di tengah-tengah mereka dari kalangan mereka sendiri[21], yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka[22], dan mengajarkan kepada mereka Kitab (Al Qur'an) dan Hikmah (As Sunnah)[23]. Sesungguhnya sebelum itu, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata[24].

[20] Karunia ini merupakan karunia yang paling besar, bahkan asasnya. Karunia ini merupakan karunia yang menyelamatkan mereka dari kesesatan dan dari jurang kebinasaan (neraka).

[21] Yakni orang Arab seperti mereka agar mereka dapat memahami perkataannya, bukan dari kalangan malaikat dan bukan pula orang asing (non Arab). Mereka mengenali nasab Beliau, keadaannya, bahasanya dan sifatnya yang tulus dan sayang kepada mereka, ia membacakan ayat-ayat Allah, mengajarkan lafaz dan maknanya.

[22] Dari dosa-dosa seperti dosa syirk, maksiat, perbuatan-perbuatan rendah dan semua akhlak buruk lainnya..

[23] Adapula yang mengartikan hikmah dengan menempatkan sesuatu pada tempatnya dan mengetahui rahasia syari'at.

[24] Mereka tidak mengetahui jalan yang dapat mengantarkan mereka kepada Tuhan mereka serta tidak mengetahui sesuatu yang dapat membersihkan jiwa dan menyucikannya.

===============

TAFSIR RINGKAS [Ali ‘Imrân/3:159]

(Maka disebabkan rahmat dari Allâh-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka)

Maksudnya dengan rahmat atau kasih sayang Allâh Azza wa Jalla kepadamu dan kepada para Sahabatmu, engkau bisa berlemah lembut dan bisa menurunkan sayapmu (bersikap rendah hati). Engkau berlaku lembut dan berakhlak mulia kepada mereka, sehingga mereka bisa berkumpul bersamamu dan mencintaimu serta melaksanakan perintahmu.

(Sekiranya kamu bersikap keras), yaitu berakhlak buruk, (lagi berhati kasar), yaitu berhati keras, (tentu mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu). Karena akhlak (buruk) dapat menyebabkan mereka lari dan membuat mereka benci kepada orang yang memiliki akhlak tersebut.

Akhlak yang baik termasuk penentu dalam agama, yang dapat menarik manusia menuju agama Allâh Azza wa Jalla dan membuat mereka tertarik kepada agama Allâh Azza wa Jalla . Selain itu, orang yang memiliki akhlak yang baik juga mendapatkan pujian dan pahala khusus (dari Allâh). Sebaliknya akhlak yang buruk termasuk penentu di dalam agama yang dapat membuat manusia lari dari agama Allâh Azza wa Jalla dan membuat manusia benci kepadanya. Selain itu, orang yang memilikinya juga mendapatkan penghinaan dan hukuman khusus. (Tentang akhlak yang seperti itu), Rasul yang ma’shûm (terjaga dari kesalahan) saja dikatakan oleh Allâh seperti itu, apalagi manusia yang bukan rasul.

Bukankah termasuk kewajiban yang paling wajib dikerjakan dan kepentingan yang paling utama untuk didahulukan, seseorang mengikuti Beliau dalam akhlaknya yang mulia? Begitu pula berinteraksi dengan manusia sebagaimana Beliau berinteraksi dengan manusia?

Kita mengikuti Beliau dalam kelemahlembutan dan akhlak baik Beliau serta cara melunakkan hati seseorang. Hal ini dilakukan untuk melaksanakan perintah Allâh Azza wa Jalla dan menarik minat para hamba Allâh untuk menuju agama Allâh.

(Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka).

Kemudian Allâh Azza wa Jalla memerintahkan agar Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memaafkan mereka atas kekurangan-kekurangan yang mereka lakukan kepada Beliau dalam penunaian hak-hak Beliau. Allah k juga memerintahkan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar memintakan ampun untuk mereka atas kekurangan-kekurangan mereka dalam hal penunaian hak-hak Allâh Azza wa Jalla . Dengan demikian Beliau mengumpulkan antara sifat pemaaf dan berbuat baik.

(Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu), yaitu bermusyawarahlah dalam urusan-urusan yang membutuhkan perundingan, pandangan dan pemikiran. Sesungguhnya bermusyawarah memiliki banyak faidah dan kebaikan, baik dalam urusan agama maupun urusan dunia. Di antara faidahnya, musyawarah merupakan salah satu ibadah dan bentuk mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla

(Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad,) untuk melakukan suatu urusan yang telah dimusyawarahkan jika urusan tersebut membutuhkan musyawarah, (maka bertawakkallah kepada Allâh), bergantunglah kepada daya dan kekuatan Allâh dan jangan tergantung kepada daya dan kekuatanmu sendiri. (Sesungguhnya Allâh menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya), yang bergantung dan kembali kepada-Nya.”[1]

PENJABARAN AYAT

Firman Allâh Azza wa Jalla :

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ 

Maka disebabkan rahmat dari Allâh-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus sebagai bentuk rahmat Allâh Azza wa Jalla kepada seluruh manusia. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

Tidaklah Kami mengutusmu kecuali sebagai rahmat untuk semesta alam. [Al-Anbiyâ/21:107]

Salah satu bentuk rahmat Allâh kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kepada seluruh umat adalah Allâh menjadikan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai nabi yang memiliki sifat lemah lembut. Pada saat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus, sifat lemah lembut ini sangat jarang dimiliki oleh orang-orang Arab Jahiliyah. Karena orang-orang Arab pada saat itu terkenal dengan sifat keras dan kasar mereka.

Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki sifat lemah lembut, maka ini akan menjadikan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih mudah untuk mendakwahi mereka. Dengan demikian, banyak orang yang masuk Islam karena kelemahlembutan Beliau.[2] Para Sahabat sangat dekat dengan Beliau dan sangat mencintai Beliau.

Allâh Azza wa Jalla menyebutkan sifat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam al-Qur’an:

لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

Sungguh telah datang kepada kalian seorang Rasul dari kaum kalian sendiri, berat terasa olehnya penderitaan kalian, (beliau) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagi kalian, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang yang beriman [At-Taubah/9:128]

Ini menunjukkan kemuliaan akhlak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dihiasi dengan sifat lemah lembut dan sifat penyayang. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُونُ فِى شَىْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَىْءٍ إِلاَّ شَانَهُ

Sesungguhnya, kelemahlembutan tidaklah berada pada sesuatu kecuali dia akan menghiasinya dan tidaklah dicabut dari sesuatu kecuali akan membuatnya menjadi jelek[3]

Jika seseorang memiliki sifat lemah lembut, maka sifat itu akan menghiasinya dan orang-orang di sekitarnya akan senang dan tidak takut dengannya.

Salah satu bentuk kelembutan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ketika Beliau selesai dari perang Uhud. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memaki para Sahabat atas kesalahan yang mereka lakukan karena tidak mengikuti perintah Beliau. Padahal dengan jelas, Beliau telah menyuruh para pemanah agar tidak turun dari bukit dalam keadaan apapun, tetapi sebagian besar mereka justru meninggalkannya. Sehingga kaum Muslimin mendapatkan kekalahan pada saat itu. Ini semua berkat rahmat atau kasih sayang yang Allâh Azza wa Jalla berikan kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,[4] sehingga Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa berlemah lembut terhadap mereka.

Tetapi perlu kita ketahui bahwa sifat lemah lembut yang Beliau miliki, tidak menghalangi Beliau untuk tetap ber-amr bil-ma’ruf wan-nahy ‘anil-munkar, tidak menghalangi Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memimpin para Sahabat dan tidak menghalangi Beliau untuk tetap bersikap tegas. Dan kita ketahui bahwa untuk memimpin umat dibutuhkan ketegasan. Dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki keduanya.[5]

Seorang pemimpin yang memiliki sifat tegas akan bisa mengatur orang-orang yang dipimpinnya. Jika ketegasan itu dihiasi dengan sifat lemah lembut maka akan membuat mereka menuruti perintahnya dengan senang hati dan bukan terpaksa.

Begitu pula dalam berdakwah, sifat lemah lembut sangat dibutuhkan oleh seorang da’i. Orang-orang yang didakwahi tidak merasa takut dengan seorang da’i yang memiliki sifat lemah lembut. Dengan demikian mereka bisa menerima apa yang disampaikan oleh da’i tersebut dengan ijin Allâh Azza wa Jalla .

Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ 

Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu

Bersikap keras maksudnya bersikap keras di dalam perkataan, sedangkan “berhati keras” maksudnya adalah di dalam perbuatan, sebagaimana dikatakan oleh al-Kalbi. Imam al-Baghawi t mengatakan, “Bersikap keras artinya bersikap keras dalam bermuamalah, memiliki akhlak yang buruk dan tidak bisa bersabar.”

Arti “tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu” adalah berpisah, menjauh dari sekelilingmu dan meninggalkanmu.

Dengan sifat lemah lembut yang Beliau miliki para Sahabat tidak merasa segan untuk dekat dengan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .[6] Bahkan mereka sangat merindukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika mereka berpisah dengan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Firman Allâh:

فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ

Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka

Imam Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah mengatakan, “Arti dari perkataan Allâh ‘maafkanlah mereka’ yaitu wahai Muhammad! Maafkanlah para pengikut dan para Sahabatmu yang beriman kepadamu dan beriman kepada risalah yang engkau bawa dari-Ku. Maafkanlah mereka atas segala yang bersumber dari mereka yang telah menyakitimu atau tidak menyenangkanmu.

Arti ‘mohonkanlah ampun bagi mereka’ maksudnya berdoalah kepada Rabb-mu agar Allâh Azza wa Jalla mengampuni mereka yang telah melakukan perbuatan dosa yang sejatinya mereka berhak untuk mendapatkan hukuman atas perbuatan tersebut.”[7]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukan hal yang luar biasa. Meskipun Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dizhalimi dengan tidak diberikan hak-haknya, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memaafkan orang yang menzhaliminya, bahkan Beliau mendoakan kebaikan untuknya.

Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ 

Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu

Para Ulama berbeda pendapat di dalam menafsirkan potongan ayat ini. Diantara pendapat yang mereka sebutkan adalah sebagai berikut:

– Bermusyawarahlah dengan mereka dalam hal-hal yang tidak ada wahyu dari Allâh tentanghal tersebut, misalnya, cara menghadapi musuh dan membuat tipu daya dalam peperangan, sebagaimana dikatakan oleh al-Kalbi.

– Bermusyawarahlah dengan mereka untuk membuat nyaman hati mereka dan menghilangkan kemarahan-kemarahan mereka. Dahulu orang-orang Arab jika tidak diajak bermusyawarah maka itu sangat menyakitkan bagi mereka, sebagaimana dikatakan oleh Muqâtil dan Qatâdah rahimahullah.

– Bermusyawarahlah dengan mereka, walaupun Allâh Azza wa Jalla sudah mengetahui bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membutuhkannya. Akan tetapi, hal ini dilakukan agar bisa ditiru oleh orang-orang setelah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, sebagaimana dikatakan oleh al-Hasan rahimahullah.[8]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat sering mengumpulkan para Sahabatnya untuk bermusyawarah, di antara musyawarah-musyawarah yang pernah Beliau lakukan adalah:
Musyawarah untuk menghadapi kaum musyrikin Quraisy, sebelum perang Uhud terjadi. Apakah mereka akan menghadapi orang-orang musyrik di kota Madinah ataukah diluar kota Madinah?
Musyawarah untuk menghadapi kaum musyrikin Quraisy dan Ghathfan, sebelum terjadi perang Khandaq. Akhirnya Beliau menerima pendapat Salman al-Fârisi Radhiyalahu anhu untuk membuat parit besar, panjang dan dalam, sehingga kaum musyrikin tidak bisa melewati parit tersebut dengan mudah.
Musyawarah ketika berada di al-Hudaibiyah, apakah mereka akan melanjutkan umrah ataukah tidak dan jika dihalangi untuk berumrah apakah yang harus mereka lakukan?

Dan ada musyawarah-musyawarah lain yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan.

Sudah sepantasnya seorang Muslim yang bekerjasama dengan orang lain untuk membiasakan musyawarah dengan mereka. Masing-masing orang itu memiliki kelebihan dan kekurangan yang tidak dimiliki orang lain.

Dengan musyawarah, maka seseorang bisa berlepas diri dari ketergantungan dan kekaguman pada dirinya sendiri. Dengan meminta pendapat orang lain, setidaknya dia bisa melatih dirinya untuk merendahkan diri di hadapan orang yang beriman, dan menganggap bahwa pendapat orang lain mungkin jauh lebih baik daripada pendapatnya.

Dengan kesamaan niat untuk mendapatkan kebaikan atau menghilangkan keburukan, maka insya Allâh musyawarah akan menghasilkan kebenaran atau yang mendekati kebenaran dan diharapkan bisa menghindarkan semua resiko, meskipun yang paling ringan.

Meskipun demikian, musyawarah yang dilakukan oleh orang-orang yang beriman bukanlah wahyu dari Allâh Azza wa Jalla , sehingga sangat mungkin untuk terjatuh kepada kesalahan. Oleh karena itu, meskipun seorang Muslim sudah melakukan musyawarah, maka dia tetap harus bertawakkal kepada Allâh Azza wa Jalla dalam segala kejadian yang akan terjadi di masa yang akan datang dan tidak menggantungkannya terhadap dirinya sendiri.

Firman Allâh Azza wa Jalla :

فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ

Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allâh.

Maksud membulatkan tekad adalah setelah musyawarah dilakukan, baik hal tersebut sesuai dengan pendapat yang engkau pilih ataupun tidak, kemudian engkau telah membulatkan tekad untuk melaksanakannya, maka bertawakkallah kepada Allâh.[9]

Imam al-Baghawi rahimahullah mengatakan, “Apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah hanya kepada Allâh bukan bertawakkal kepada musyawarah dengan mereka, yakni laksanakanlah perintah Allâh! Yakinlah dengan-Nya dan minta tolonglah kepada-Nya!”[10]

Firman Allâh Azza wa Jalla :

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ

Sesungguhnya Allâh menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya

Arti tawakkal adalah bersandar kepada Allâh dengan menunjukkan kelemahan diri dan kelemahan nama serta menggantungkan diri (kepada-Nya).[11]

Syaikh Abu Bakr Jabir al-Jazairi t mengatakan, “Tawakkal adalah memulai melakukan perbuatan yang diperintahkan oleh Allâh Azza wa Jalla atau diizinkan untuk melakukan perbuatan tersebut, setelah mengerjakan sebab-sebab yang dibutuhkan untuk itu dan tidak menggantungkan pada diri sendiri atas apa-apa yang akan terjadi setelah itu, tetapi dia menyerahkan hasilnya hanya kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala .”[12]

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ

Dan hanya kepada Allâh orang-orang yang beriman bertawakkal.[13]

Tidaklah dinamakan tawakkal, seorang yang mengaku bergantung kepada Allâh Azza wa Jalla namun dia tidak mengerjakan sebab-sebab untuk bisa mendapatkan apa yang dia inginkan. Seseorang yang ingin makan, maka dia harus mencari sebab dengan cara bekerja untuk mendapatkan uang. Tidak cukup dengan itu, dia harus membeli makanan untuk bisa mendapatkan makanan, kemudian dia masukkan makanan tersebut ke dalam mulutnya.

Ada aliran yang mengaku Islam menyatakan bahwa hidup kita ini harus benar-benar bertawakkal kepada Allâh, sehingga tidak perlu bekerja, tidak perlu berusaha dan tidak perlu mengerjakan sebab-sebab, semuanya akan datang dari Allâh. Mereka hanya memfokuskan pada ibadah dan zikir. Mereka menyatakan bahwa mengambil sebab-sebab tersebut termasuk hal-hal duniawi yang menyibukkan dari akhirat.

Apa yang mereka yakini sangat jelas berbeda dengan apa yang diajarkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan:

وَلَوْأَنَّكُمْ تَوَكَّلْتُمْ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ ، لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا

Jika kalian bertawakkal kepada Allâh dengan benar, maka Allâh akan memberikan rezeki kepada kalian sebagaimana Allâh memberikan rezeki kepada seekor burung yang pergi di waktu pagi dalam keadaan lapar dan pulang di waktu sore dalam keadaan kenyang[14]

Dalam hadits ini digambarkan hakikat dari tawakkal yang benar, seekor burung untuk bisa mendapatkan makan, maka dia harus terbang untuk mencari makan dan tidak tinggal diam dalam sarangnya. Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memberitahukan agar seseorang tidak perlu khawatir dengan rezeki yang Allâh Azza wa Jalla berikan kepadanya, akan tetapi untuk mendapatkan rezeki tersebut ia harus berusaha.

Jika seseorang bertawakkal kepada Allâh, maka seluruh apa yang dia dapatkan setelah dia bekerja, banyak maupun sedikit, dia tidak akan mengeluhkannya, karena dia telah menyerahkan seluruhnya hanya kepada Allâh Azza wa Jalla dengan mengerjakan sebab, adapun hasilnya itu terserah Allâh Azza wa Jalla .

KESIMPULAN
Akhlak mulia dan kelemahlembutan sangat dibutuhkan oleh setiap Muslim terutama dalam berdakwah agar manusia lebih tertarik untuk masuk dan mengikuti agama Islam.
Akhlak yang buruk dan perbuatan yang kasar akan membuat umat menjauhi si pelaku.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mempraktikkan sifat mulia ketika Beliau tidak diberikan hak-haknya oleh sebagian Sahabat, yaitu dengan memaafkan mereka, bahkan beliau juga memohonkan ampun kepada Allâh Azza wa Jalla .
Syariat Islam mengajarkan kita untuk selalu bermusyawarah untuk kemaslahatan bersama, baik dalam urusan dunia maupun akhirat.
Setelah seseorang berusaha dan mencari sebab-sebab untuk mendapatkan yang dia inginkan, maka dia harus bertawakkal hanya kepada Allâh Azza wa Jalla .

Demikianlah tulisan singkat ini dan mudahan bermanfaat. Mudah-mudahan Allâh memberikan akhlak yang mulia kepada kita, sehingga kita bisa berlemah lembut kepada orang lain dan bisa mengikuti jejak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

DAFTAR PUSTAKA
Aisarut-Tafâsîr li Kalâm ‘Aliyil Kabîr Wa bi Hâmisyih Nahril-Khair ‘alâ Aisarit Tafâsîr. Abu Bakr Jâbir bin Musa al-Jazâ 1423 H/2002. Al-Madinah: Maktabah Al-‘Ulûm wal-hikam
At-Tahrîr wa at-Tanwîr. Muhammad Ath-Thahir bin ‘Asyur. 1997. Tunisia: Dar Sah
Al-Jâmi’ Li Ahkâmil-Qur’aan. Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi. Kairo: Daar Al-Kutub Al-Mishriyah.
Jâmi’ul Bayân fî Ta’wîlil Qur’ân. Muhammad bin Jariir Ath-Thabari. 1420 H/2000 M. Beirut: Muassasah Ar-Risaalah.
Ma’âlimut Tanzîl. Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ûd al-Baghawi. 1417 H/1997 M. Riyaadh:Daar Ath-Thaibah.
Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm. Ismâ’îl bin ‘Umar bin Katsî 1420 H/1999 M. Riyaadh: Daar Ath-Thaibah.
Taisîr al-Karîm ar-Rahmân. Abdurrahmân bin Nâshir as-Sa’di. Beirut: Muassasah Ar-Risaalah.
Dan lain-lain. Sebagian besar telah tercantum di footnotes.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XIX/1436H/2015. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079 ]
_______
Footnote
[1] Tafsîr As-Sa’di, hlm. 154

[2] Lihat At-Tahrîr wa at-Tanwîr, III/266.

[3] HR. Muslim, no. 2594/6602.

[4] Lihat Tafsîr al-Baghawi II/124 dan Tafsîr al-Qurthubi IV/248.

[5] Lihat At-Tahrîr wa at-Tanwîr III/265.

[6] Lihat Tafsîr Al-Baghawi II/124.

[7] Tafsîr ath-Thabari VII/343.

[8] Lihat pendapat-pendapat di atas dalam Tafsîr al-Baghawi II/124.

[9] Lihat Tafsîr at-Tahrîr wat Tanwîr, III/270.

[10]Tafsir Al-Baghawi II/124.

[11]Lihat Tafsîr at-Tahrîr wat Tanwîr, IV/253.

[12] Aisarut Tafâsîr, hlm. 220.

[13] Terdapat tujuh tempat dalam al-Qur’an dengan lafaz seperti itu, yaitu di dalam: surat Ali ‘Imrân/3:122 dan 160, al-Mâidah/5:11, at-Taubah/9:51, Ibrâhîm/14: 11, al-Mujâdilah/58: 10 dan at-Taghâbun/64:13.

[14] HR. At-Tirmidzi no. 2344 dan Ibnu Mâjah no. 4164. Syaikh Al-Albani mengatakan, “Shahîh.” dalam Shahîh Sunan Ibni Mâjah

Related Posts:

0 Response to "Tafsir Ali Imran Ayat 159-164"

Post a Comment