Tafsir Al Baqarah Ayat 204-212

Ayat 204-207: Contoh perbuatan orang munafik yang berdusta dan orang mukmin yang saleh

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُعْجِبُكَ قَوْلُهُ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيُشْهِدُ اللَّهَ عَلَى مَا فِي قَلْبِهِ وَهُوَ أَلَدُّ الْخِصَامِ (٢٠٤) وَإِذَا تَوَلَّى سَعَى فِي الأرْضِ لِيُفْسِدَ فِيهَا وَيُهْلِكَ الْحَرْثَ وَالنَّسْلَ وَاللَّهُ لا يُحِبُّ الْفَسَادَ (٢٠٥)وَإِذَا قِيلَ لَهُ اتَّقِ اللَّهَ أَخَذَتْهُ الْعِزَّةُ بِالإثْمِ فَحَسْبُهُ جَهَنَّمُ وَلَبِئْسَ الْمِهَادُ (٢٠٦) وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللَّهِ وَاللَّهُ رَءُوفٌ بِالْعِبَادِ (٢٠٧

Terjemah Surat Al Baqarah Ayat 204-207

204. Dan di antara manusia[1] ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu[2], dan dia bersaksi kepada kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal dia adalah penentang yang paling keras[3].

205. Dan apabila dia berpaling (dari kamu), dia berusaha untuk berbuat kerusakan di bumi[4], serta merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, sedangkan Allah tidak menyukai kerusakan[5].

206. Dan apabila dikatakan kepadanya: "Bertakwalah kepada Allah", bangkitlah kesombongannya untuk berbuat dosa[6]. Maka cukuplah (balasannya) neraka Jahannam. dan sungguh neraka Jahannam itu tempat tinggal yang terburuk.

207.[7] Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah[8], dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya[9].
Ayat 208-212: Wajibnya masuk ke dalam ketaatan kepada Allah dan peringatan terhadap sikap mendurhakai-Nya

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ (٢٠٨) فَإِنْ زَلَلْتُمْ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْكُمُ الْبَيِّنَاتُ فَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (٢٠٩) هَلْ يَنْظُرُونَ إِلا أَنْ يَأْتِيَهُمُ اللَّهُ فِي ظُلَلٍ مِنَ الْغَمَامِ وَالْمَلائِكَةُ وَقُضِيَ الأمْرُ وَإِلَى اللَّهِ تُرْجَعُ الأمُورُ (٢١٠) سَلْ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَمْ آتَيْنَاهُمْ مِنْ آيَةٍ بَيِّنَةٍ وَمَنْ يُبَدِّلْ نِعْمَةَ اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُ فَإِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (٢١١) زُيِّنَ لِلَّذِينَ كَفَرُوا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَيَسْخَرُونَ مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ اتَّقَوْا فَوْقَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَاللَّهُ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ (٢١٢

Terjemah Surat Al Baqarah Ayat 208-212

208.[10] Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan[11], dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan[12]. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.
209.[13] Tetapi jika kamu menyimpang (dari jalan Allah) setelah bukti-bukti yang nyata sampai kepadamu, maka ketahuilah, bahwa Allah Maha Perkasa[14] lagi Maha Bijaksana[15].
210. Tidak ada yang mereka tunggu-tungggu kecuali datangnya Allah dan Malaikat (pada hari kiamat) dalam naungan awan, ketika itu perkara diputuskan[16]. Dan kepada Allah-lah segala perkara dikembalikan.
211. Tanyakanlah kepada Bani Israil, "Berapa banyak bukti (kebenaran) yang nyata[17], yang telah Kami berikan kepada mereka". Barang siapa menukar nikmat Allah[18] setelah datang nikmat itu kepadanya, maka sesungguhnya Allah sangat keras siksa-Nya[19].
212. Kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang yang kafir[20], dan mereka memandang hina orang-orang yang beriman. Padahal orang-orang yang bertakwa itu berada di atas mereka pada hari kiamat[21]. Dan Allah memberi rezki kepada orang-orang yang Dia kehendaki tanpa batas[22].

PENJELASAN AYAT

[1] Dia adalah salah seorang munafik, bernama Al Akhnas bin Syuraiq. Ucapannya sangat manis di hadapan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, bahkan dia bersumpah bahwa dirinya seorang mukmin dan mencintai Beliau, sehingga Beliau mendekatkan orang tersebut dengan majlis Beliau, maka Allah Subhaanahu wa Ta'aala mendustakannya. Orang tersebut –seperti yang dijelaskan pada ayat selanjutnya- pernah melewati tanaman dan beberapa ekor keledai milik sebagian kaum muslimin, lalu tanaman itu dibakarnya dan keledai-leledai itu disembelihnya pada malam hari (dari tafsir Al Jalaalain).

[2] Ucapannya seakan-akan benar dan memberikan manfaat. Padahal jika ucapannya benar, tentu antara ucapan dengan perbuatan tidak berbeda, namun pada kenyataannya ia menentang Islam dengan keras.

[3] Yakni terhadap Islam dan kaum muslimin. Sikapnya akan nampak ketika dia bertengkar, dia akan menampakkan sifat-sifat buruk dan menampakkan akhlak yang bukan akhlak seorang mukmin. Berbeda dengan seorang mukmin, di mana bahtera yang ditumpanginya adalah mudah memaafkan, tugasnya tunduk kepada kebenaran dan tabi'atnya lapang dada.
Dalam ayat ini terdapat dalil bahwa ucapan yang keluar dari mulut seseorang bukanlah dalil yang menunjukkan benar atau dusta serta baik atau buruknya seseorang sampai ada amal yang membenarkan atau mentazkiyahnya, dan bahwa sepatutnya kita mengetest keadaan para saksi serta tidak tertipu dengan tazkiyah (rekomendasi) dari diri mereka sendiri.

[4] Dengan melakukan perbuatan maksiat.

[5] Ada yang berpendapat bahwa ayat di atas merupakan perumpamaan orang-orang yang berusaha menggoncangkan iman orang-orang mukmin dan selalu mengadakan kekacauan.

[6] Orang tersebut menggabung antara dua sifat buruk: suka bermaksiat dan sombong ketika dinasehati. Balasan yang pantas terhadap orang tersebut adalah neraka jahannam, dan neraka jahannam adalah seburuk-buruk tempat kembali.

[7] Hakim meriwayatkan dari Ikrimah, ia berkata: Ketika Shuhaib keluar berhijrah, maka penduduk Mekah mengejarnya, ia pun mengeluarkan wadah panahnya dan mengambil empat puluh anak panahnya sambil berkata, "Kamu tidak dapat sampai kepadaku sebelum saya timpakan anak panah kepada masing-masing kamu, setelah itu saya akan menggunakan pedang sehingga kamu pun tahu bahwa saya adalah seorang laki-laki, dan sesungguhnya saya telah meninggalkan di Mekah dua orang budak wanita, dan keduanya boleh kamu ambil." Hakim juga meriwayatkan dari Anas yang sama seperti itu, ketika itu turun ayat kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, "Wa minan naasi may yasyriy nafsahub tighaa'a mardhaatillah…dst." ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melihat Shuhaib, Beliau bersabda, "Wahai Abu Yahya! Beruntunglah jual beli(mu)." Beliau pun membacakan ayat tersebut. (Hadits ini shahih sesuai syarat Muslim, namun ia tidak mengeluarkan dalam shahihnya).

[8] Dengan berjihad di jalan Allah dan ta'at kepada-Nya.
Ada yang berpendapat bahwa ayat ini turun berkenaaan dengan Shuhaib yang disakiti oleh kaum musyrikin, kemudian dia berhijrah ke Madinah dan meninggalkan hartanya untuk mereka di Makkah.

[9] Oleh karena itu, Allah Subhaanahu wa Ta'aala tidak akan menyia-nyiakannya, bahkan akan memberikan balasan yang paling baik.

[10] Di antara ahli tafsir ada yang mengatakan bahwa ayat ini turun berkenaan Abdullah bin Salam dan kawan-kawannya yang masih memuliakan hari Sabtu dan enggan makan unta, padahal mereka sudah masuk Islam.

[11] Yakni terapkanlah ajaran Islam semuanya, jangan ditinggalkan salah satu apalagi sebagiannya dan jangan menjadikan hawa nafsu sebagai tuhannya, di mana orang yang seperti itu tolok ukur utamanya adalah hawa nafsu, jika syari'at Islam sejalan dengan selera hawa nafsunya, maka dikerjakan, tetapi jika tidak sejalan dengan selera hawa nafsunya, maka ditinggalkan. Bahkan seharusnya hawa nafsu mengikuti syari'at, dan hendaknya ia mengerjakan perbuatan baik yang bisa dilakukan, sedangkan yang belum bisa dilakukan, maka dengan diniatkan dalam hatinya agar dapat mengejarnya.

[12] Berupa kemaksiatan yang diserukannya.

[13] Di dalam ayat ini terdapat ancaman keras terhadap sikap menyimpang dari jalan Allah, seperti dengan mengerjakan maksiat. Hal itu, karrena Allah yang Maha Perkasa mampu menyiksa orang yang bermaksiat dengan kekuatan-Nya dan berdasarkan hikmah (kebijaksanaan)-Nya, karena termasuk hikmah-Nya adalah menyiksa pelaku maksiat dan pelaku kejahatan.

[14] Oleh karena itu, tidak ada yang luput dari-Nya dan tidak ada yang dapat melemahkan-Nya

[15] Dia menetapkan segala sesuatu tepat pada tempatnya atau tindakan-Nya tepat.

[16] Yakni tidak ada yang ditunggu-tunggu oleh para pembuat kerusakan di muka bumi yang mengikuti langkah-langkah setan selain hari pembalasan terhadap amal, di mana hari itu penuh dengan kedahsyatan dan hal-hal yang menegangkan. Ketika itu, Allah Subhaanahu wa Ta'aala melipat langit-langit dan bumi, bintang-bintang jatuh berserakan, matahari dan bulan digulung, para malaikat yang mulia turun lalu mengepung semua makhluk, kemudian Allah Subhaanahu wa Ta'aala turun dalam naungan awan untuk memutuskan perkara hamba-hamba-Nya dengan keputusan yang adil. Lalu disiapkan timbangan, dibuka catatan amal, diputihkan muka orang-orang yang berbahagia dan dihitamkan muka orang-orang yang celaka serta dibedakan antara orang-orang yang baik dengan orang-orang yang buruk. Semuanya dibalas sesuai amal yang dikerjakan, saat itulah orang yang zhalim menggigit jari-jemarinya setelah mengetahui keadaan yang sebenarnya.
Ayat di atas dan semisalnya adalah dalil bagi Ahlussunnah wal Jama'ah yang menetapkan sifat ikhtiyariyyah (pilihan) bagi Allah Subhaanahu wa Ta'aala, seperti istiwa' (bersemayam), turun, datang dan sifat-sifat lainnya yang diberitakan oleh Allah Ta'ala atau diberitakan oleh Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam. Ahlussunnah menetapkan semua itu sesuai dengan kebesaran Allah dan keagungan-Nya tanpa menyerupakan sifat itu dengan sifat makhluk atau pun menta'wilnya.

[17] Yaitu ayat-ayat yang jelas di kitab-kitab mereka yang menunjukkan mereka kepada kebenaran. Namun ayat-ayat itu mereka ingkari, bahkan mereka sempat merubahnya. Demikian juga ayat-ayat yang berupa mukjizat sekaligus sebagai nikmat, seperti terbelahnya lautan sehingga mereka berhasil lolos dari kejaran bala tentara Fir'aun, diturunkannya Al Mann dan As Salwa dsb. lalu mereka merubah nikmat itu dengan bersikap kufur.

[18] Yang dimaksud dengan nikmat Allah di sini ialah perintah-perintah dan ajaran-ajaran Allah atau petunjuk-Nya.

[19] Orang yang mendapatkan nikmat, baik berupa nikmat agama maupun dunia, namun tidak mensyukurinya, maka Allah Subhaanahu wa Ta'aala bisa segera menyiksanya, baik dengan mencabut nikmat itu atau memberikan siksaan kepadanya.

[20] Dijadikan nampak indah kehidupan dunia bagi orang-orang yang kafir baik di mata mereka maupun di hati, sehingga mereka merasa tenteram dan puas dengan kehidupan yang sebentar ini. Oleh karena itu, niat, harapan dan hawa nafsu mereka tertuju kepada dunia. Hal ini merupakan bukti lemahnya akal mereka dan terbatasnya pandangan mereka, padahal dunia adalah tempat ujian dan cobaan, tempat yang penuh penderitaan, kerja keras dan terkadang kekecewaan. Adapun seorang mukmin, meskipun ia tertimpa musibah, ia bisa bersabar dan mengharap pahala dari Allah sehingga dengan iman dan kesabarannya, Allah Subhaanahu wa Ta'aala meringankan bebannya. Bahkan sebenarnya keunggulan hakiki adalah di akhirat.

[21] Allah Subhaanahu wa Ta'aala akan memasukkan orang-orang yang beriman ke dalam surga yang berada tinggi di atas orang-orang kafir. Sedangkan orang-orang kafir akan Allah tempatkan di neraka yang letaknya jauh ke bawah. Dalam ayat ini terdapat hiburan bagi kaum mukmin dan musibah bagi kaum kafir.

[22] Rezeki duniawi diberikan baik kepada orang mukmin maupun orang kafir, adapun rezeki bagi hati yang berupa ilmu dan iman, rasa cinta kepada Allah, takut dan berharap kepada-Nya dsb. Maka tidaklah diberikan kecuali kepada orang yang dicintai-Nya.

===============================================

PENJELASAN AYAT 208-209

MUFRADAT
السِّلْمُ (as-silmu), maksudnya adalah Islam.[1] Pendapat lainnya, ketaatan (kepada Allâh).[2] 

كَافَّةً (kâffatan), maksudnya jamî’an (secara keseluruhan, totalitas).[3] 

PENAFSIRAN AYAT
Ini adalah satu khithâb (panggilan ilahi) yang tertuju kepada kaum Mukminin[4] yang harus didengar dan diperhatikan, untuk melaksanakan kandungan perintahnya dan menjauhi kandungan larangannya. 

Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhu, Mujahid rahimahullah, Abul ‘Aliyah rahimahullah, Qatâdah rahimahullah, Adh-Dhahhâk rahimahullah dan ulama lainnya memaknai dengan, 'kerjakanlah semua amal shalih dan seluruh jenis kebajikan'.[5] 

Sedangkan Ibnu Katsîr rahimahullah mengatakan, maksudnya adalah Allâh Ta’ala memerintahkan para hamba-Nya yang beriman kepada-Nya dan membenarkan para Rasul-Nya, supaya mereka kuat berpegang dengan seluruh tali ajaran Islam dan syariat-syariatnya, mengaplikasikan seluruh perintah-Nya dan meninggalkan semua larangan-Nya, sesuai jangkauan kemampuan mereka.[6] 

Kaum Mukminin diperintahkan untuk mengerjakan seluruh cabang keimanan dan syariat-syariat Islam, yang banyak jumlahnya sesuai dengan kemampuan,[7] tetapi bukan dengan memilih-milih aturan syariat dan hukum-hukum. Misal, yang sesuai dengan kemaslahatan (kepentingan) dan hawa nafsunya akan diterima dan diamalkan. Sedangkan ajaran yang tidak selaras dengan kemaslahan dan hawa nafsu pribadi, ditolak atau ditinggalkan dan abaikan. Kewajiban kita ialah menerima semua aturan syariat Islam dan hukum-hukumnya secara keseluruhan.[8] 

Mengagungkan syariat dan mengamalkannya termasuk wujud pengagungan seorang hamba kepada Allâh Azza wa Jalla dan bukti keimanannya kepada Allâh Azza wa Jalla . Allâh Azza wa Jalla berfirman: 

ذَٰلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ

Demikianlah (perintah Allâh). Dan barangsiapa mengagungkan syi'ar-syi'ar Allâh, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati”. [al-Hajj/22:32]. 

Seperti halnya para sahabat Nabi, mereka insan-insan yang sangat kuat dalam berpegang dengan ajaran Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya, dan tunduk kepada al-haq. Mereka memiliki kesempurnaan iman dibandingkan generasi selanjutnya. 

Simaklah ‘Umar bin Khaththab memuji Abu Bakr ash-Shiddiq: “Dia seorang yang jujur, gemar berbuat baik, memiliki akal yang lurus dan mengikuti al-haq”. [9] 

Simak juga pujian Ibnu ‘Abbas terhadap ‘Umar bin Khaththab Rdhiyallahu anhu : “Dia seorang yang sangat memperhatikan garis-garis aturan Kitabullâh”.[10] 

HARUS MENGHINDARI TIPU-DAYA SETAN
Masuk ke dalam Islam secara total tidak mungkin dilakukan seorang hamba kecuali hanya dengan menghindari dan menjauhi jalan dan bisikan, serta tipu daya setan.[11] Karenanya, pada lanjutan ayat, Allâh Azza wa Jalla berfirman: وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ (dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan). 

Maksudnya, kata Imam Ibnu Katsir rahimahullah: “Kerjakanlah seluruh amal ketaatan dan hindarilah oleh kalian semua yang dibisikkan setan kepada kalian. Karena, “Sesungguhnya setan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allâh apa yang tidak kamu ketahui" (al-Baqarah/2:169), dan “karena sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala” (Fâthir/35:6). 

Allâh Azza wa Jalla mengingatkan pada penutup ayat dengan berfirman إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ (sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu). 

Mutharrif berkata, “Makhluk Allâh yang paling ampuh tipu muslihatnya terhadap hamba Allâh adalah setan”.[12] 

TIDAK ADA ISTILAH "KULIT" UNTUK AJARAN ALLÂH DAN RASUL-NYA 
Konsistensi dengan ajaran syariat dan mentaati Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan mendatangkan hidayah dan menjauhkan dari kesesatan. Allâh Azza wa Jalla berfirman: 

قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ ۖ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْهِ مَا حُمِّلَ وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ ۖ وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا ۚ وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ

Katakanlah: "Taat kepada Allah dan taatlah kepada Rasul; dan jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban Rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban Rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang." [an-Nûr/24:54]. 

Allâh Azza wa Jalla berfirman: 

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ يَهْدِيهِمْ رَبُّهُمْ بِإِيمَانِهِمْ ۖ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهِمُ الْأَنْهَارُ فِي جَنَّاتِ النَّعِيمِ 

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal shalih, mereka diberi petunjuk oleh Rabb mereka karena keimanannya, di bawah mereka mengalir sungai-sungai di dalam surga yang penuh kenikmatan. [Yunus/10:9]. 

Allâh juga berfirman:

وَيَزِيدُ اللَّهُ الَّذِينَ اهْتَدَوْا هُدًى ۗ وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ مَرَدًّا 

Dan Allâh akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk. Dan amal-amal shalih yang kekal itu lebih baik pahalanya di sisi Rabbmu dan lebih baik kesudahannya. [Maryam/19:76]. 

Imam al-‘Izz bin ‘Abdus-Salam berkata, “Tidak boleh mengatakan bahwa syariat itu qisyrûn (kulit), padahal memuat banyak sekali manfaat dan kebaikan. Bagaimana bisa perintah untuk taat dan beriman disebut ‘kulit’?! Siapapun yang melontarkan sebutan seperti ini tiada lain ia seorang yang dungu, celaka lagi kurang beradab. Seandainya pernyataannya itu dikomentari sebagai qusyûr (tidak penting) pastilah serta-merta ia akan mengingkari orang yang menanggapinya. Bagaimana ia bisa melontarkan penyebutan ‘kulit’ (tidak penting) kepada syariat, padahal syariat itu adalah Kitabullâh dan Sunnah Rasul-Nya. Maka, orang bodoh ini pantas mendapatkan sanksi yang sesuai dengan kesalahannya ini.”[13] 

ANCAMAN BAGI SESEORANG YANG MENYIMPANG DARI JALAN ALLAH AZZA WA JALLA
Seseorang yang tidak taat kepada Allâh Azza wa Jalla , hakikatnya ia justru terjerumus ke dalam perbuatan yang buruk, yaitu mempertuhankan dan mendewakan hawa nafsunya, sehingga menyeretnya kepada kehinaan, kenistaan dan kesengsaraan hakiki. Realitas ini harus disadari oleh setiap Mukmin yang berharap keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. 

Seseorang yang beriman kepada Allâh Azza wa Jalla tidak sepantasnya menjadikan hawa nafsunya sebagai "tuhan" yang ditaati. Maksudnya, jika satu perintah sesuai dengan keinginannya, maka ia akan menjalankannya. Bila satu aturan tidak sejalan dengan hawa nafsunya, ia pun menolak menaatinya. Mestinya, hawa nafsunya harus tunduk patuh kepada aturan agama (Islam), dan mengerjakan amalan kebajikan yang berada dalam jangkauan kemampuannya. Adapun perintah-perintah yang belum sanggup untuk menjalankannya, maka hendaklah ia mematuhi dan menanamkan niat untuk menjalankannya, sehingga ia mendapatkan pahala dengan niatnya itu.[14]

Selanjutnya, pada ayat berikutnya Allâh Azza wa Jalla berfirman:

فَإِنْ زَلَلْتُمْ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْكُمُ الْبَيِّنَاتُ فَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Tetapi jika kamu menyimpang (dari jalan Allah) sesudah datang kepadamu bukti-bukti kebenaran. 

Ayat ini memuat peringatan dan ancaman terhadap seseorang yang menyimpang dan menolak syariat Allâh Azza wa Jalla . Syaikh as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Bila kalian meninggalkan kebenaran setelah hujjah-hujjah tegak dan jelas di hadapan kalian, maka ketahuilah, bahwasanya Allâh Maha Perkasa untuk membalas (sikap kalian). Tidak ada seorang(pun) yang sanggup melarikan diri dari-Nya, dan tidak ada seorang pun yang mampu mengalahkan-Nya. Dia (Allâh) Maha Bijaksana dalam ketentuan hukum-hukum-Nya, pembatalan dan penetapan hukum-Nya. Oleh sebab itu para ulama mengatakan, Allâh Maha Perkasa dalam menjatuhkan siksa-Nya, Maha Bijaksana dalam ketentuan-ketentuan-Nya." 

Seorang hamba yang telah mengetahui al-haq, namun kemudian membencinya, maka orang yang seperti ini pantas mendapatkan perlakuan dari Allâh Azza wa Jalla untuk semakin dijauhkan dari kebenaran dan kemudian ditambah kesesatannya. Allâh Azza wa Jalla berfirman: 

فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ

Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allâh memalingkan hati mereka. [ash-Shaff/61:5].

Syaikh ‘Abdur-Rahmân as-Sa’di rahimahullah berkata, “Orang yang membenci al-haqq dan justru berjalan mengikuti hawa nafsunya, pantaslah Allâh Azza wa Jalla menambahkan kesesatan untuknya”.[15] 

Cermati pula perkataan Abu Bakr Ash-Shiddîq Radhiyallahu anhu berikut ini, “Aku khawatir akan menjadi orang yang sesat (menyimpang) bila aku tinggalkan sesuatu dari petunjuk Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam “. 

Syaikh Hamd bin Ibrâhîm al-‘Utsmân hafizhahullâh mengatakan, dengan demikian (melalui ayat ini), dapat diketahui kesalahan orang-orang yang berada di atas manhaj-manhaj yang tidak berdiri di atas al-haq. Mereka memperlakukan syariat sesuai dengan kehendak sendiri, menjalankan sebagian petunjuk syariat dan berpaling dari petunjuk syariat lainnya yang dianggapnya qusyûr (kulit), atau masalah cabang yang tidak ada urgensi dan kepentingannya. Demikian dalih mereka".

Dengan anggapan yang keliru tersebut, maka tidak diragukan jika mereka telah menodai hikmah Allâh Azza wa Jalla . Syariat Allâh Azza wa Jalla ini tidak diturunkan kecuali ada tujuan dan hikmahnya. Sehingga seandainya ada bagian syariat yang tidak penting, tentu Allâh Azza wa Jalla tidak menurunkan dan mensyariatkannya pada hamba-hamba-Nya, serta memerintahkan mereka untuk bertaqarrub dengan-Nya. 

Allâh Ta’ala mengingatkan: 

أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ 

Apakah kamu beriman kepada sebagian al-Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebagian yang lain? [al-Baqarah/2:85].[16] 

PELAJARAN DARI AYAT 
1.Kewajiban menerima semua aturan syariat Allâh dan Rasul-Nya, tidak boleh memilih sesuai dengan yang disukainya saja.

2. Semua petunjuk syariat baik dan mendatangkan kemaslahatan.

3.Kewajiban bagi kaum Mukminin agar meningkatkan semangat belajar dan mendalami syariat Islam, agar mengetahui semua ajaran Allâh Azza wa Jalla sehingga mengenal Islam dengan lebih baik dan dapat melaksanakannya. 

4.Harus merasa takut terhadap ancaman dan makar dari Allâh Azza wa Jalla.

5. Konsisten dengan ajaran syariat akan mendatangkan hidayah demi hidayah.

6. Pelanggaran terhadap syariat dapat menjauhkan seseorang dari hidayah Allâh Azza wa Jalla . 

Wallahu a’lam. 

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XVI/1434H/2013M.]
_______
Footnote
[1]. Dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas, Ikrimah, Qatadah, adh-Dhahhaak dan lainnya. Lihat Zâdul-Masîr, 1/174; Tafsir al-Qur`ânil-‘Azhim, 1/569. 
[2]. Dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas, Abul ‘Aliyah dan Rabi’ bin Anas. 
[3]. Zâdul-Masîr, 1/174. 
[4]. Taisiru al-Karîmi ar-Rahmân, hlm. 84. 
[5]. Tafsîru al-Qur`ânil-‘Azhîm, 1/569.
[6]. Tafsîru al-Qur`ânil-‘Azhîm, 1/569.
[7]. Tafsîru al-Qur`ânil-‘Azhîm, 1/570.
[8]. Aisaru at-Tafâsîr 1/.90.
[9]. HR al-Bukhâri no.3094.
[10]. HR al-Bukhâri kitab tafsir no.4642
[11]. Taisir al-Karîmir ar-Rahmân, hlm. 84.
[12]. Tafsîru al-Qur`ânil-‘Azhîm, 1/570.
[13]. Al-Fatawa al-Maushiliyyah, hlm.68-69. Nukilan dari ash-Shawaarifu ‘anil-Haqq, hlm.72-73.
[14]. Taisiru al-Karimi ar-Rahmân, hlm. 84 
[15]. At-Tankîl, hlm. 2/201. Nukilan dari ash-Shawârifu ‘anil Haqqi, hlm.74. 
[16]. Lihat ash-Shawârifu ‘anil-Haqq, hlm.72.


Related Posts:

0 Response to "Tafsir Al Baqarah Ayat 204-212"

Post a Comment