Tafsir Al Baqarah Ayat 283-286

Ayat 283: Menerangkan tentang hukum-hukum persaksian dan gadai

وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ وَمَنْ يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ (٢٨٣

Terjemah Surat Al Baqarah Ayat 283

283. Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang[1] (oleh yang berpiutang)[2]. Tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain[3], maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya[4]. Dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan kesaksian[5], karena barang siapa menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.[6]

[1] Barang tanggungan (rahn/borg) itu diadakan ketika satu sama lain tidak saling mempercayai sampai orang yang berhutang membayar hutangnya.

[2] Dalam As Sunnah dibolehkan mengadakan rahn ketika tidak safar dan adanya orang yang siap menulis.

Jika terjadi perselisihan tentang barang yang digadaikan, misalnya tentang jumlah atau ukurannya, maka perkataan yang dipegang adalah perkataan orang yang memegang rahn (yaitu orang yang berpiutang).

[3] Tidak mengapa tanpa barang jaminan.

[4] Sehingga dia tidak mengkhianati kawannya.

[5] Jika orang yang berhutang mengingkari hutangnya, dan di sana terdapat orang yang hadir dan menyaksikan, maka orang yang ikut hadir itu wajib menunjukkan persaksiannya.

[6] Ayat 282 dan 283 menunjukkan bahwa manusia jika mau memakai petunjuk Allah, tentu dunia dan agama mereka menjadi baik, karena petunjuk-Nya mengandung keadilan dan maslahat, menjaga hak dan menghilangkan pertengkaran serta menertibkan jalan kehidupan.
----------------------------------
Ayat 284-286: Menerangkan bahwa semua yang ada di langit dan di bumi adalah milik Allah Subhaanahu wa Ta'aala, menerangkan ‘aqidah kaum mukmin dan doa mereka

لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ وَإِنْ تُبْدُوا مَا فِي أَنْفُسِكُمْ أَوْ تُخْفُوهُ يُحَاسِبْكُمْ بِهِ اللَّهُ فَيَغْفِرُ لِمَنْ يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (٢٨٤) آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللَّهِ وَمَلائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ (٢٨٥) لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلا تُحَمِّلْنَا مَا لا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ (٢٨٦)

Terjemah Surat Al Baqarah Ayat 284-286

284. [7] Milik Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi[8]. Jika kamu menyatakan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu[9]. Dia mengampuni siapa yang Dia kehendaki dan menyiksa siapa yang Dia kehendaki. Allah Mahakuasa atas segala sesuatu[10].

[7] Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ia berkata: Ketika turun ayat kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, "Lillahi maa fis samaawaati wa maa fil ardh…dst. sampai "wallahu 'alaa kulli syai'in qadiir." Maka yang demikian membuat para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam keberatan, lalu mereka mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sambil berlutut dan berkata, "Wahai Rasulullah, kami dibebani dengan amal berat yang kami tidak sanggup melakukannya. (Sudah ada beban) shalat, puasa, jihad dan sedekah. Sesungguhnya telah diturunkan kepadamu ayat ini (yakni ayat di atas) dan kami tidak sanggup memikulnya," maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Apakah kamu ingin mengatakan seperti yang dikatakan dua Ahli Kitab sebelum kamu, yaitu, "Kami mendengar, namun kami mendurhakai? Bahkan katakanlah, "Kami mendengar dan kami taat. Ampunan-Mu wahai Tuhan kami, kami minta dan kepada-Mulah tempat kembali." Mereka pun berkata, "Kami mendengar dan kami taat. Ampunan-Mu yang Tuhan kami, kami minta dan kepada-Mulah tempat kembali." Ketika mereka telah mengucapkannya, maka lisan mereka pun tunduk mengikuti. Setelah itu, Allah menurunkan ayat, "Aamanar rasuulu bimaa unzila ilaihi mir rabbihii wal mu'minuun…dst." sampai "Wa ilaikal mashiir". Saat mereka telah melakukannya, Allah menasakhnya dan menurunkan ayat (yang artinya), "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dia mendapat pahala (dari kebajikan) yang dikerjakannya dan dia mendapat siksa (dari kejahatan) yang diperbuatnya. (Mereka berdoa), "Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami melakukan kesalahan." Allah berfirman, "Ya.". selanjutnya, "Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau membebani Kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami" Allah berfirman, "Ya." Selanjutnya, "Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya." Allah berfirman, "Ya." Selanjutnya, "Ma'afkanlah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong Kami. Maka tolonglah kami menghadapi orang-orang kafir. " Allah berfirman, "Ya."

[8] Alah memilikinya, mengaturnya dan meliputinya, tidaklah samar sesuatu pun bagi-Nya.

[9] Saat turun ayat di atas, kaum muslimin mengeluhkan was-was yang kadang menimpa hati mereka, dan mereka keberatan dengan dihisabnya apa yang ada dalam hati mereka, maka turunlah ayat selanjutnya, yaitu ayat 286. Dengan turunnya ayat tersebut, berarti Allah Subhaanahu wa Ta'aala memaafkan apa saja yang terlintas dalam hati dan tidak sampai diucapkan atau dikerjakan. Demikian juga, Allah memaafkan perbuatan dosa yang terjadi karena lupa dan tidak disengaja.

[10] Termasuk di antaranya mampu menghisab dan memberikan balasan.
---------------------------------
285. Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semua beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan), "Kami tidak membeda-bedakan seseorang pun dari rasul-rasul-Nya[11]." Dan mereka berkata, "Kami dengar dan kami taat." Dan mereka berkata[12], "Ampunilah kami Ya Tuhan Kami, dan kepada-Mulah tempat kembali."

[11] Yakni kami beriman kepada semuanya.

[12] Yakni karena seorang hamba pasti memiliki kekurangan dalam memenuhi hak Allah Subhaanahu wa Ta'aala, oleh karenanya dia membutuhkan ampunan Allah secara terus-menerus.
--------------------------
286.[13] Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dia mendapat pahala (dari kebajikan) yang dikerjakannya dan dia mendapat siksa (dari kejahatan) yang diperbuatnya[14]. (Mereka berdoa), "Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami melakukan kesalahan[15]. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau membebani Kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami[16]. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Ma'afkanlah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong Kami[17], maka tolonglah kami[18] menghadapi orang-orang kafir[19]."

[13] Agama Allah adalah mudah, tidak ada kesulitan di dalamnya. Oleh karena itu, Allah Subhaanahu wa Ta'aala tidak membebani sesuatu yang mereka tidak sanggup memikulnya. Pada asalnya perintah dan larangan tidaklah memberatkan seseorang, bahkan hal itu merupakan makanan bagi ruh dan obat bagi badan serta menjaganya dari bahaya. Allah Subhaanahu wa Ta'aala memerintahkan hamba-hamba-Nya sebagai rahmat dan ihsan-Nya. oleh karena itu, apabila ada udzur yang mengakibatkan berat melaksanakan perintah itu, maka ada keringanan dan kemudahan, baik dengan digugurkan kewajiban itu atau digugurkan sebagiannya sebagaimana pada keringanan-keringanan bagi musafir dan orang yang sakit.

[14] Oleh karena itu, seseorang tidaklah dihukum karena dosa orang lain dan tidak dihukum karena was-was yang menimpa hatinya selama tidak diucapkan atau dikerjakan. Demikian juga amal baik yang dilakukan seseorang tidaklah diberikan kepada orang lain.

seseorang yang melakukan kebaikan akan dicatat untuknya kebaikan yang dilakukan itu

[15] Yakni niatnya hendak melakukan perbuatan yang boleh dilakukan, namun ternyata malah terjatuh ke dalam perbuatan yang dilarang, atau melakukan kesalahan tanpa disengaja. Kedua hal ini (lupa dan tersalah) dimaafkan oleh Allah Subhaanahu wa Ta'aala. Berdasarkan ayat ini, maka barang siapa shalat memakai baju bekas rampasan, memakai baju bernajis, ada najis yang menimpa badannya, berbicara ketika shalat dsb. semua itu dilakukan karena lupa atau berbuka puasa karena lupa, mengerjakan larangan-larangan ihram yang tidak termasuk perbuatan yang membinasakan karena lupa, maka dimaafkan. Demikian juga, jika seorang yang bersumpah untuk tidak melakukan sesuatu, ternyata malah dikerjakan karena lupa, maka dimaafkan. Termasuk juga jika seseorang melakukan sesuatu ternyata malah membinasakan jiwa atau harta orang lain, maka dia tidak berdosa, akan tetapi wajib menanggung karena telah membinasakan. Demikian pula pada tempat atau keadaan yang mewajibkan membaca basmalah, namun ia lupa membacanya, maka tidak mengapa. Imam Abu Hanifah berkata: “Jika seseorang sengaja tidak membaca (basmalah ketika menyembelih), maka haram dimakan. Namun jika tidak membacanya karena lupa, maka halal.”

[16] Seperti yang menimpa Bani Israil, di mana tobat mereka dengan membunuh dirinya, zakatnya dengan mengeluarkan seperempat harta dan pakaian yang terkena najis harus dipotong.

[17] Yakni Engkau-lah Tuhan kami, Penguasa kami, sesembahan Kami, Engkau mengurus kami sejak Engkau ciptakan kami. Nikmat-Mu kepada kami begitu banyak, bergulir terus dengan berjalannya waktu. Engkau pula yang melimpahkan kepada kami nikmat yang sangat besar, di mana semua nikmat mengikutinya, yaitu nikmat Islam.

[18] Dengan menegakkan hujjah dan memenangkan peperangan ketika melawan mereka.

[19] Do'a yang dipanjatkan kaum mukminin ini diterima oleh Allah Subhaanahu wa Ta'aala sebagaimana yang diberitakan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
----------------------------------------

Hubungan surat Al Fatihah, Al Baqarah dan Ali Imran

1. Dalam surat Al Fatihah, kita meminta kepada Allah agar ditunjukkan jalan yang lurus, bukan jalan orang-orang yang dimurkai (yaitu orang-orang Yahudi dan yang serupa dengan mereka) dan bukan jalan orang-orang yang sesat (yaitu orang-orang Nasrani dan yang serupa dengan mereka). Dalam surat Al Baqarah disebutkan secara luas sifat-sifat orang Yahudi, sedangkan dalam surat Ali Imran disebutkan keadaan orang-orang Nasrani.

2. Dalam surat Al Baqarah disebutkan Nabi Adam 'alaihis salam yang diciptakan tanpa bapak dan ibu, sedangkan dalam surat Ali 'Imran disebutkan tentang kelahiran Nabi Isa 'alaihis salam dari seorang ibu tanpa bapak, keduanya diciptakan Allah menyimpang dari kebiasaan untuk menunjukkan bahwa yang demikian adalah mudah bagi Allah.

3. Dalam surat Al Baqarah sifat dan perbuatan orang-orang Yahudi dibentangkan secara luas, disertai dengan hujjah untuk mematahkan alasan-alasan mereka yang membela kesesatan, sedangkan dalam surat Ali 'Imran dibentangkan hal-hal yang serupa namun yang berhubungan dengan orang Nasrani.

4. Surat Al Baqarah dimulai dengan menyebutkan tiga golongan manusia, ialah orang-orang mukmin, orang-orang kafir dan orang-orang munafik, sedangkan surat Ali 'Imran dimulai dengan menyebutkan orang-orang yang suka menta'wilkan ayat yang mutasyabihaat dengan ta'wil yang salah untuk menimbulkan fitnah, dan menyebutkan orang yang mempunyai keahlian dalam menta'wilkannya, yaitu para ulama yang dalam ilmunya.

5. Surat Al Baqarah disudahi dengan permohonan kepada Allah agar diampuni kesalahan-kesalahan dan kealpaan dalam melaksanakan taat, sedangkan surat Ali 'Imran diakhiri dengan permohonan kepada Allah agar Dia memberi pahala atas amal kebaikan hamba-Nya.

6. Didahulukan surat Al Baqarah sebelum Ali Imran, karena dakwah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam setelah hijrah ditujukan kepada orang-orang Yahudi, baru kemudian kepada orang-orang Nasrani.

7. Di awal surat Al Baqarah diterangkan bahwa Al Qur'an ini tidak ada keraguan padanya, sedangkan di awal surat Ali Imran disebutkan yang menguatkan pernyataan itu.

8. Dalam surat Al Baqarah diterangkan tentang keutamaan umat Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, namun secara isyarat (lihat ayat: 139 dan 143), sedangkan di surat Ali Imran disebutkan secara tegas (lih. ayat: 110).

===========================
Penjelasan Mufradat dan Makna Ayat 283
وَاِنْ كُنْتُمْ عَلٰى سَفَرٍ
“Jika kalian dalam perjalanan.” Artinya, jika kalian dalam keadaan safar dan terjadi muamalah atau utang piutang sampai batas waktu yang ditentukan,
وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا
“Dan kalian tidak memperoleh penulis.” Jumhur (mayoritas) ulama membacanya كَاتِبًا yang artinya seorang (penulis) yang akan menulis untuk kalian. Ibnu Abbas, Ubai, adh-Dhahak, ‘Ikrimah, dan Abul ‘Aliyah membacanya كِتَابًا yang artinya buku/kertas untuk menulis.
Al-Anbari rahimahullah menyebutkan bahwa Mujahid menafsirkannya dengan pena. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, maknanya adalah kalian mendapatkan seorang penulis, namun tidak ada kertas atau pena. Sebagai pengganti catatan/tulisan tersebut adalah gadai barang dari orang yang meminjam.
فَرِهاَنٌ مَقْبُوْضَةٌ
“Hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh pemiutang).” Kata الرِّهَانُ artinya jaminan utang, yakni barang gadai. Al-Hafizh Ibnu Hajar menyebutkan dalam Fathul Bari, kata الرَّهْنُ dengan memfathah ra’ dan mensukun ha’, secara bahasa berarti الاِحْتِبَاسُ , yaitu menahan, sebagaimana ucapan mereka,
رَهَنَ الشَّيْءُ إِذَا دَامَ وَثَبَتَ
Artinya, sesuatu itu tergadai apabila dia diam dan tetap. Di antara penggunaan kata tersebut dalam al-Qur’an adalah,
كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِيْنَةٌ
“Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.” (al- Mudatstsir: 38)
Adapun secara syariat, rahn bermakna menjadikan harta sebagai jaminan atas suatu utang. Mayoritas qurra’, seperti Nafi’, ‘Ashim, Ibnu ‘Amir, Hamzah, dan al-Kisa’I rmae’mbacanya رِهَانٌ dengan mengkasrah , memfathah ha’, dan menetapkan alif.
Adapun Ibnu Katsir, Abu ‘Amr, dan Abdul Warits membacanya رُهُنٌ dengan mendhammah ra’ dan ha’, tanpa alif. ‘Ashim bin Abi an-Najud membacanya رَهْنٌ dengan memfathah dan mensukun ha’.
Ibnu Qutaibah rahimahullah mengatakan, ulama yang membacanya dengan lafadz الرِّهَانُ menghendaki bentuk jamak (plural) dari الرَّهْنُ . Adapun ulama yang membacanya dengan lafadz الرُّهُنُ menghendaki bentuk jamak (plural) dari الرِّهَانُ , seakan-akan mereka menjamak suatu kata yang sudah dalam bentuk jamak.
Az-Zajjaj, Ibnul A’rabi, dan al-Akhfasy mengatakan bahwa kata الرَّهْنُ bisa ditempatkan pada kata وَأَرْهَنْتُ رَهَنْتُ. Abul Farisi mengatakan, kata أَرْهَنْتُ ditempatkan dalam muamalah, sedangkan رَهَنْتُ ditempatkan dalam pinjam-meminjam dan jual beli.
Gadai, Jaminan Saat Safar dan Mukim
Ibnul Jauzi dalam tafsirnya, Zadul Masir, menyebutkan alasan dikhususkannya barang tanggungan/jaminan ketika terjadi muamalah tidak secara tunai di waktu safar. Kata beliau, pada umumnya saat safar adalah keadaan yang sulit dijumpai adanya seorang penulis dan saksi. Dengan demikian, diperlukan adanya barang tanggungan sebagai jaminan kepercayaan atas pihak yang berutang di sisi pihak yang berpiutang (mengutangi).
Asy-Syaukani dalam tafsirnya, Fathul Qadir, pada tafsir ayat sebelumnya (al-Baqarah: 282) menyatakan, AllahSubhanahu wata’ala telah menyebutkan disyariatkan adanya catatan dan saksi ketika terjadi muamalah tidak secara tunai (seperti jual beli, utang-piutang, atau sewa-menyewa) dalam batas waktu yang ditentukan. Gunanya adalah untuk menjaga harta dan tidak menimbulkan keraguan. Setelahnya, disusul oleh ayat yang menyebutkan keadaan yang umumnya seseorang sulit mendapatkan penulis, seperti ketika safar. Jadi, kesulitan tersebut digantikan kedudukannya oleh pensyariatan gadai. Ulama mengatakan bahwa disyariatkannya gadai di waktu safar ditetapkan berdasarkan nash/dalil al-Qur’an. Adapun disyariatkannya gadai di waktu mukim (di rumah, tidak sedang bepergian) ditetapkan berdasarkan perbuatan Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam.
Asy-Syinqithi rahimahullah mengatakan, dari ayat ini, sebagian ulama mengambil pendapat bahwa gadai tidaklah disyariatkan selain dalam safar. Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah Mujahid, adh-Dhahhak, dan Dawud (azh-Zhahiri). Akan tetapi, yang benar gadai berlaku juga di waktu mukim. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah, sebagaimana hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu,
دِرْعَهُ بِشَعِيرٍ صل الله عليه وسلم وَلَقَدْ رَهَنَ النَّبِيُّ
“Sungguh, Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam telah menggadaikan baju besinya untuk mendapatkan gandum.” (HR. al-Bukhari)
Demikian pula hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
اشْتَرَى رَسُولُ اللهِ صل الله عليه وسلم مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا بِنَسِيئَةٍ  وَرَهَنَهُ دِرْعَهُ
“Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam membeli makanan (gandum) dari seorang Yahudi (Abu Syahm) tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan (setahun), dan beliau menggadaikan baju besinya.” (HR. al-Bukhari)
Al-Baghawi rahimahullah mengatakan, gadai diperbolehkan di waktu mukim meskipun didapati adanya penulis. Al Imam al-Bukhari rahimahullah menyebutkan dalam kitab Shahih-nya, pada “Kitabur Rahn”, “Bab fi ar-Rahn fi al-Hadhar (Bab tentang gadai di waktu mukim)”, kemudian beliau menyebutkan surat al-Baqarah ayat 283, dan disusul hadits Anas radhiyallahu ‘anhu dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha di atas.
Barang Gadai Harus Dipegang Pemiutang
Al-Baghawi mengatakan, para ulama bersepakat bahwa gadai tidak sempurna kecuali jika barang gadai telah diterima/dipegang oleh pihak pemiutang.
Ibnu Katsir menyatakan, sebagian ulama berdalil dengan ayat ini bahwa gadai tidak wajib kecuali jika dipegang (diterima), seperti pendapat asy-Syafi’i rahimahullah dan jumhur. Adapun al-Imam Ahmadrahimahullah berpendapat bahwa barang gadai harus berada di tangan pihak pemiutang.
Al-Alusi rahimahullah mengatakan, kalimat مَقْبُوْضَةٌ adalah isyarat bahwa gadai dapat dipegang oleh yang mewakili dan tidak harus dipegang oleh yang berpiutang itu sendiri.
Hukum Gadai
Asy-Syinqithi rahimahullah mengatakan bahwa gadai tidaklah wajib karena fungsinya sebagai pengganti catatan. Sebagaimana halnya hukum catatan tidak wajib, maka gadai juga demikian. Penjabarannya adalah ayat yang sebelumnya,
يَآاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوآاِذَا تَدَا يَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلىٰ اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya.” (al-Baqarah: 282)
Zahir ayat ini menunjukkan, penulisan utang hukumnya wajib karena hukum asal perintah menunjukkan kewajiban. Namun, diisyaratkan bahwa perintah dalam ayat ini maksudnya adalah irsyad (bimbingan/sunnah) dan bukan wajib. Hal ini berdasarkan ayat,
وَاِنْ كُنْتُمْ عَلٰى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهاَنٌ مَقْبُوْضَةٌ
Jika kalian dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) dan tidak memperoleh seorang penulis, hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).” (al- Baqarah: 283)
Sebab, gadai hukumnya tidak wajib menurut ijma’. Gadai adalah pengganti dari catatan saat kesulitan (mendapatkan penulis/catatan). Apabila hukum catatan itu wajib, penggantinya pun wajib. Yang memperjelas tidak wajibnya gadai adalah kelanjutan ayat tersebut,
فَإِنْ اَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِى اؤْ تُمِنَ اَمَانَتَه وَلْيَتَّقِ اللهَ رَبَّهُ
“Akan tetapi, jika sebagian kalian memercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya).”
==========
Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 284-286 - Ustadz Ahmad Zainuddin Al-Banjary

https://youtu.be/ATOZVX67xw4?list=PLWmTzu8iHl-Mb5hTknjHh2BuX0egozu8P&t=6


Related Posts:

0 Response to "Tafsir Al Baqarah Ayat 283-286"

Post a Comment