Tafsir Al Baqarah Ayat 120-129

Ayat 120-123: Peringatan agar jangan mengikuti keinginan orang-orang Yahudi dan Nasrani dan agar jangan menyerupai mereka, serta mengingatkan orang-orang Yahudi terhadap nikmat-nikmat Allah yang dikaruniakan-Nya kepada mereka, serta memperingatkan manusia terhadap azab-Nya

وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلا نَصِيرٍ (١٢٠) الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلاوَتِهِ أُولَئِكَ يُؤْمِنُونَ بِهِ وَمَنْ يَكْفُرْ بِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ (١٢١) يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اذْكُرُوا نِعْمَتِيَ الَّتِي أَنْعَمْتُ عَلَيْكُمْ وَأَنِّي فَضَّلْتُكُمْ عَلَى الْعَالَمِينَ (١٢٢) وَاتَّقُوا يَوْمًا لا تَجْزِي نَفْسٌ عَنْ نَفْسٍ شَيْئًا وَلا يُقْبَلُ مِنْهَا عَدْلٌ وَلا تَنْفَعُهَا شَفَاعَةٌ وَلا هُمْ يُنْصَرُونَ (١٢٣

120. Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepadamu sebelum kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah, "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya)"[1]. dan jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu[2], maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu[3].


[1] Maksudnya: Agama Islam itulah agama yang benar dan petunjuk yang sebenarnya, sedangkan yang mereka pegang adalah hawa nafsu belaka.

[2] Yakni setelah kebenaran datang.

[3] Ayat ini meskipun khithab (arah pembicaraan) ditujukan kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, namun ia umum untuk umatnya juga. Di dalam ayat ini terdapat larangan keras mengikuti keinginan orang-orang Yahudi dan Nasrani, bertasyabbuh dengan mereka terutama dalam hal yang menjadi ciri khas agama mereka.

121. Orang-orang yang telah Kami berikan Al kitab kepadanya, mereka membacanya[4] sebagaimana mestinya, mereka itulah yang beriman kepadanya. Barangsiapa yang ingkar kepadanya[5], mereka itulah orang-orang yang rugi.


[4] Di antara mufassirin ada yang mengartikan "yat-luunahu haqqa tilaawatih" dengan "mengikutinya sebagaimana mestinya", karena tilawah adalah ittibaa' (mengikuti). Oleh karenanya, maksud ayat ini adalah mereka mengikutinya sebagaimana mestinya, mereka halalkan yang halal, mengharamkan yang haram, mengamalkan muhkamnya (ayat yang jelas) dan mengimani ayat yang mutasyabihatnya, tidak merobah dan mentakwilkan Al kitab sekehendak hatinya, ia mengimani isinya dan mengikutinya, termasuk beriman kepada nabi yang diberitakan di sana, yaitu Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, mereka inilah ahlul kitab yang beriman. Mereka mengenal nikmat Allah dan mensyukurinya serta beriman kepada semua rasul tanpa membeda-bedakan (tidak hanya beriman kepada sebagiannya), tetapi beriman kepada semuanya.

[5] Maksudnya: ingkar kepada kitab itu; dengan bersikap berbeda dengan yang disebutkan sebelumnya (lihat footnote 288).

122. Wahai Bani Israil! ingatlah nikmat-Ku yang telah Aku berikan kepadamu dan Aku telah melebihkan kamu di atas segala umat (pada masa itu)[6].

[6] Maksudnya: Mereka dilebihkan di atas umat yang lain pada masa itu dengan banyaknya para nabi dari kalangan mereka dan diturunkan kepada mereka kitab-kitab.

123. Dan takutlah kamu pada hari, (ketika) tidak seorang pun dapat menggantikan[7] orang lain sedikitpun, tebusan tidak diterima, bantuan tidak berguna baginya dan mereka tidak akan ditolong.

[7] Maksudnya: dosa dan pahala seseorang tidak dapat dipindahkan kepada orang lain.

Ayat 124-129: Menerangkan kedudukan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam, pembangunan yang dilakukannya terhadap ka’bah dan doa Beliau di dekatnya

وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ (١٢٤) وَإِذْ جَعَلْنَا الْبَيْتَ مَثَابَةً لِلنَّاسِ وَأَمْنًا وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى وَعَهِدْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ (١٢٥) وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا بَلَدًا آمِنًا وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آمَنَ مِنْهُمْ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ قَالَ وَمَنْ كَفَرَ فَأُمَتِّعُهُ قَلِيلا ثُمَّ أَضْطَرُّهُ إِلَى عَذَابِ النَّارِ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ (١٢٦) وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ (١٢٧) رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِنَا أُمَّةً مُسْلِمَةً لَكَ وَأَرِنَا مَنَاسِكَنَا وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ (١٢٨) رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيهِمْ رَسُولا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيهِمْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ (١٢٩

124.[8] Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji[9] Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikan kamu sebagai imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku"[10]. Allah berfirman: "(Benar, tetapi) Janji-Ku tidak berlaku bagi orang-orang yang zalim".


[8] Pada ayat ini, Allah Subhaanahu wa Ta'aala menyebutkan tentang hamba dan kekasih-Nya, yaitu Ibrahim 'alaihis salam, seorang yang telah diakui kepemimpinan dan kemuliaannya oleh semua golongan ahlul kitab, bahkan oleh kaum musyrik.

[9] Ujian terhadap Nabi Ibrahim 'alaihis salam berupa beban perintah dan larangan. Contohnya: membangun Ka'bah, membersihkan ka'bah dari kemusyrikan, mengorbankan anaknya Ismail, menghadapi raja Namrudz dan lain-lain. Hal yang sudah menjadi kebiasaan, Allah Subhaanahu wa Ta'aala menguji hamba-hamba-Nya agar diketahui siapa di antara mereka yang dusta dan siapa di antara mereka yang jujur. Orang yang dusta tidak teguh ketika mendapatkan ujian dan cobaan, sedangkan orang yang jujur tetap teguh pendirian, tidak goyang meskipun banyak rintangan dan hambatan. Dengan ujian tersebut, orang yang jujur semakin tinggi derajatnya, bertambah tinggi kedudukannya, semakin bersih amalnya serta semakin kelihatan keistimewaannya, dan di antara contoh terdepan orang yang jujur imannya adalah Nabi Ibrahim 'alaihis salam. Saat ia mendapatkan ujian, ia mampu memenuhinya, maka Allah Subhaanahu wa Ta'aala bersyukur kepadanya, dan Dia senantiasa Maha mensyukuri, Firman-Nya, "Sesungguhnya Aku akan menjadikan kamu sebagai imam bagi seluruh manusia" yakni sebagai teladan dan panutan dalam hal petunjuk bagi manusia, mereka yang mengikutinya akan memperoleh petunjuk dan berbahagia, dan ia (Nabi Ibrahim) akan memperoleh pujian yang kekal, pahala yang besar serta penghormatan dari semua orang. Hal ini merupakan kedudukan yang paling tinggi dan paling utama. Ketika Nabi Ibrahim 'alaihis salam telah menerima kedudukan ini, ia meminta kepada Allah agar kedudukan ini diperoleh pula oleh keturunannya. Permintaan ini menunjukkan keimamannya, dan sikap nasihat (tulus) kepada hamba-hamba Allah, kecintaannya agar di antara mereka banyak yang mendapat petunjuk, maka Allah Subhaanahu wa Ta'aala mengabulkannya dan memberitahukan bahwa janji-Nya, yakni kedudukan itu tidak akan diperoleh oleh orang-orang yang zalim. Dengan demikian imamah fid din (kepemimpinan dalam agama) tidak akan diperoleh oleh mereka yang zalim, karena kedudukan tersebut hanyalah bisa diraih dengan sabar dan yakin (lihat surat As Sajdah: 24), di mana dengannya seseorang dapat memiliki iman yang besar dan dapat beramal shalih yang banyak, berakhlak mulia, berkepribadian lurus, memiliki rasa takut yang tinggi kepada Allah dan inabah (kembali) kepada-Nya. (Lihat tafsir Syaikh as Sa'diy).

[10] Allah telah mengabulkan doa Nabi Ibrahim 'alaihis salam, karena banyak di antara rasul-rasul itu adalah keturunan Nabi Ibrahim 'alaihis salam.

125.[11] Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah (Ka'bah) tempat berkumpul bagi manusia[12] dan tempat yang aman[13]. Jadikanlah maqam Ibrahim[14] itu tempat shalat[15]. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: "Bersihkanlah[16] rumah-Ku[17] untuk orang-orang yang thawaf, orang yang i'tikaf, orang yang ruku' dan orang yang sujud".


[11] Syaikh As Sa'diy berkata, "Kemudian Allah Ta'ala menyebutkan contoh tetap yang menunjukkan keimaman Nabi Ibrahim, yaitu Baitullah Al Haram, di mana pergi berhajji ke tempat itu merupakan salah satu rukun Islam yang dapat menghapuskan dosa-dosa dan kelasahan. Di sana terdapat bekas-bekas peninggalan Al Khalil (Nabi Ibrahim 'alaihis salam) dan anak cucunya yang menunjukkan keimamannya dan dapat dikenang keadaannya."

[12] Seperti untuk hajji, umrah, shalat dan thawaf.

[13] Yakni setiap orang yang berada di sana aman, bahkan tidak hanya manusia, hewan pun aman, termasuk juga pepohonan. Oleh karena itu, orang-orang dahulu di zaman Jahiliyyah sangat memuliakan sekali tempat itu, sampai-sampai ketika seseorang berjumpa dengan pembunuh ayahnya di tanah haram, ia tidak berani bangkit menyerangnya. Ketika Islam datang, maka ditambah lagi kehormatan dan kemuliaannya.

[14] Ialah tempat berdiri Nabi Ibrahim alaihis salam di waktu membangun Ka'bah. Menurut Syaikh As Sa'diy, maqam di sini ada dua makna, bisa maksudnya adalah maqam yang menghadap ke pintu Ka'bah, sehingga perintah menjadikannya sebagai tempat shalat adalah anjuran untuk mengerjakan dua rak'at thawaf yang dilakukan di belakang Maqam Ibrahim (inilah pendapat mayoritas para mufassir). Bisa juga maksud maqam adalah semua maqam (tempat berdiri) Nabi Ibrahim dalam ibadah hajji, yaitu semua syia'r hajji, seperti: thawaf, sa'i, wuquf di 'Arafah dan Muzdalifah, melempar jumrah, berkurban dan perbuatan lainnya yang termasuk ibadah hajji. Sehingga perintah menjadikan mushalla maksudnya adalah perintah menjadikan tempat beribadah.

Perhatian:

Maqam di sini bukanlah berati kuburan, karena kuburan dalam bahasa Arab disebut maqbarah, jamaknya adalah maqaabir. Adapun maqaam, berasal dari kata "Qaama-yaquumu-qiyaam" artinya berdiri, maqam adalah ismul makaan, yakni tempat berdiri. Hal ini kami sebutkan karena ada sebagian orang yang menganggap bahwa maqam Ibrahim maksudnya adalah kuburan Ibrahim, dengan anggapan yang salah ini akhirnya ia menyatakan tidak mengapa kuburan berada di dalam masjid atau didekatkan dengan masjid. Bahkan hal itu tidak dibenarkan dalam Islam, di samping hal itu merupakan wasilah (sarana) yang bisa mengarah kepada kemusyrikan.

[15] Imam Bukhari meriwayatkan dari Anas, bahwa Umar berkata, "Aku sesuai dengan keputusan Tuhanku dalam tiga hal. Aku pernah berkata, "Wahai Rasulullah, apa tidak sebaiknya kita jadikan maqam Ibrahim sebagai tempat shalat," maka turunlah ayat "Wattakhidzuu mim maqaami Ibraahiima mushallaa". Pada ayat hijab, aku pernah berkata, "Wahai Rasulullah, tidakkah engkau perintahkan istri-istrimu berhijab? Karena yang berbicara dengan mereka ada orang yang baik dan ada orang yang buruk," sehingga turunlah ayat hijab. Demikian juga ketika istri-istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkumpul karena cemburu kepada Beliau, maka aku berkata kepada mereka, "Jika Beliau menceraikan kamu, boleh jadi Allah akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik dari kamu," sehingga turunlah ayat tersebut (lih. At Tahrim: 4). Imam Bukhari menyebutkan juga hadits ini dalam bagian tafsir juz 9 hal. 235, di sana terdapat mutaba'ah Yahya bin Sa'id terhadap Hasyim, Imam Bukhari menyebutkan dalam dua tempat secara mu'allaq. Di sana disebutkan secara tegas, bahwa Humaid mendengar dari Anas. Al Haafizh dalam Al Fat-h juz 2 hal. 51 berkata, "Oleh karena itu, menjadi aman dari tadlisnya."

Imam Muslim meriwayatkan dari Ibnu Umar, bahwa Umar berkata, "Aku sesuai dengan keputusan Tuhanku dalam tiga hal; dalam hal maqaam Ibrahim, dalam hal hijab dan dalam hal pemberian keputusan kepada para tawanan perang Badar."

[16] Yakni wahyu dan perintah kepada keduanya untuk membersihkan Baitullah dari kemusyrikan, dari kekafiran dan kemaksiatan. Demikian juga membersihkan dari kotoran dan najis.

[17] Diidhafatkan/dihubungkan rumah tersebut kepada Allah menjadi "Rumah Allah" karena beberapa fa'idah:

1. Agar mendapat perhatian dari Nabi Ibrahim dan Isma'il, karena rumah itu adalah rumah-Nya, sehingga keduanya semangat dalam melakukannya.

2. Diidhafatkan menghendaki agar dimuliakan dan dihormati.

3. Diidhafatkan dengan Allah adalah memiliki daya tarik yang dalam terhadap hati agar kembali kepada-Nya. (Diringkas dari Tafsir As Sa'diy)

126. Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: "Ya Tuhanku, Jadikanlah negeri ini, negeri yang aman dan berikanlah rezki berupa buah-buahan kepada penduduknya, yaitu yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian[18]. Allah berfirman: "Dan kepada orang yang kafir akan aku beri juga[19] kesenangan sementara, kemudian aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali".


[18] Do'a awalnya mutlak untuk semua penduduknya, namun kemudian Nabi Ibrahim 'alaihis salam membatasinya untuk orang-orang mukmin saja sebagai adabnya kepada Allah Subhaanahu wa Ta'aala.

[19] Rezeki yang Allah berikan adalah untuk semua makhluk baik yang mukmin maupun yang kafir, yang shalih maupun yang bermaksiat. Orang mukmin menggunakan rezeki itu untuk beribadah kepada Allah dan ia akan masuk ke dalam surga, sedangkan orang kafir menggunakannya untuk bersenang-senang saja, dan ia akan dipaksa masuk neraka.

127. Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan pondasi Baitullah bersama Ismail, (seraya berdoa), "Ya Tuhan kami, terimalah (amal) dari kami.[20] Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mendengar[21] lagi Maha Mengetahui[22]".


[20] Dari tindakan dan ucapan Nabi Ibrahim dan Isma'il 'alaihimas salam dapat diketahui tingginya rasa khauf (takut) dan rajaa' (harap) serta jauh dari ujub (bangga diri). Amal mereka berdua yang begitu mulia dan agung dianggap kurang oleh mereka berdua, sampai-sampai mereka berdo'a kepada Allah agar amal mereka diterima sehingga bermanfa'at, dan seperti inilah kesempurnaan. Mereka juga berdua berdo'a untuk diri mereka dan anak cucu mereka agar tetap di atas Islam; yang hakikatnya adalah ketundukan hati dan patuh kepada Allah Azza wa jalla yang mencakup ketundukan anggota badan.

[21] Maha Mendengar ucapan hamba-hamba-Nya.

[22] Maha Mengetahui keadaan mereka.

128. Ya Tuhan Kami, Jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau, dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau serta tunjukkanlah kepada kami cara-cara melakukan ibadah (haji) Kami[23], dan terimalah tobat kami. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang[24].


[23] Kata "manasik" pada ayat tersebut bisa maksudnya semua pekerjaan hajji, dan bisa maksudnya lebih umum lagi yaitu agama yang benar dan tata cara ibadah semuanya karena arti nusuk adalah ibadah, namun biasanya dipakai untuk pelaksanaan ibadah hajji. Singkatnya, mereka berdua berdo'a agar diberi taufiq kepada ilmu yang bermanfa'at serta amal yang shalih.

[24] Seorang hamba betapa pun banyak ibadahnya, namun tetap tidak lepas dari kekurangan dan butuhnya ia kepada tobat, dan pada pengakuan ini terdapat obat dari penyakit ujub.

129. Ya Tuhan Kami, utuslah di tengah mereka sesorang rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan Al kitab (Al Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah)[25] kepada mereka serta menyucikan mereka[26]. Sesungguhnya Engkaulah yang Mahaperkasa[27] lagi Mahabijaksana[28].

[25] Ada yang mengartikan hikmah di ayat tersebut dengan tafsirnya. Diartikan dengan Sunnah juga tepat, karena Sunnah merupakan penjelas Al Qur'an, dan di dalamnya terdapat hikmah.

[26] Dari syirk dan akhlak yang buruk. Ayat ini menjadi dalil tasfiyah dan tarbiyah dalam berdakwah, yakni dibersihkan segala yang bukan dari Islam dan dibina kaum muslimin dengan Tarbiyah Islamiyyah yang bersumber dari ajaran Islam yang murni. Tasfiyah dan Tarbiyah harus dilakukan, terlebih di zaman sekarang, zaman di mana umat Islam tidak mampu membedakan mana ajaran Islam dan mana yang bukan ajaran Islam, maka seorang da'i hendaknya dalam dakwahnya membersihkan ajaran Islam yang dicampuri oleh berbagai bid'ah serta menerangkan ajaran Islam yang sesungguhnya.

[27] Tidak ada sesuatu pun yang dapat menghalangi Allah.

[28] Bijaksana artinya tepat, yakni menempatkan sesuatu tepat sesuai dengan tempatnya.

Allah Subhaanahu wa Ta'aala mengabulkan permohonan keduanya dan mengutus setelah mereka seorang nabi yang mulia, yaitu Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.

============

Kaidah Ushuliyyah Untuk Memahami Ayat 120 Surat Al-Baqarah 

Pendahuluan

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَلَن تَرْضَىٰ عَنكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ
Orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak akan ridha’ kepadamu hingga kamu mengikuti millah mereka (QS. al-Baqarah: 120).
Makna ayat di atas sejatinya sungguh gamblang, jelas dan terang benderang bagi orang yang hatinya bersih dan mau menerima Al Qur’an dengan tasliim. Bisa dipahami orang yang awam sekalipun. Namun orang yang di dalam hatinya ada penyakit, senantiasa berusaha menimbulkan kerancuan dan keraguan. Sehingga dari ayat di atas, dimunculkan tiga pertanyaan dan kerancuan yang disebarkan sebagian orang di internet belakangan ini.
Pertanyaan 1: Mengapa Allah Subhanahu wa Ta’ala menggunakan kata “kepadamu..” pada ayat tersebut? Apakah maksudnya adalah bahwa ayat ini hanya ditujukan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam saja? Sehingga maknanya ketidak-senangan kaum Yahudi dan Nasrani bukan kepada kaum Muslimin secara umum?
Pertanyaan 2: Apakah benar bahwa yang dimaksud dengan “orang-orang Yahudi dan Nashrani” pada ayat di atas adalah hanya orang-orang Yahudi dan Nashrani yang ada di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bukanlah kaum Yahudi dan Nashrani secara umum?
Pertanyaan 3: Apa makna kata “millah” pada ayat di atas? Apakah maknanya adalah “agama”, atau maknanya adalah “jalan”, seperti yang disebutkan oleh Imam al-Baghawiy rahimahullah dalam kitab tafsirnya? Sehingga menyatakan bahwa kaum Yahudi dan Nasrani selalu berusaha mengajak kaum Muslimin ke agama mereka itu tidak benar?
Mari kita bahas pertanyaan-pertanyaan ini, insyaAllah. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan taufiqNya.

Kaidah ilmu tafsir: memahami ayat dengan keumuman lafazh, bukan kekhususan sebab

Sebuah metode yang telah diajarkan oleh para ulama’ agar kita terhindar dari salah tafsir atau salah dalam memahami makna ayat/hadits adalah dengan mengumpulkan dalil-dalil yang berbicara tentang permasalahan tersebut, kemudian baru menarik kesimpulan. Janganlah hanya membaca satu ayat/hadits, kemudian langsung menyimpulkan. Ini karena bisa saja ada dalil lain yang menjelaskan makna ayat/hadits tersebut, atau bisa saja keumuman lafazhnya dikhususkan, atau kekhususan lafazhnya diumumkan, dsb.
Dalam permasalahan ini, dalil lain yang bisa membantu kita memahami surat Al Baqarah ayat 120 di atas, adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,,
وَدَّ كَثِيرٌ مِّنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُم مِّن بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِّنْ عِندِ أَنفُسِهِم مِّن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ ۖ فَاعْفُوا وَاصْفَحُوا حَتَّىٰ يَأْتِيَ اللَّـهُ بِأَمْرِهِ ۗ إِنَّ اللَّـهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Banyak dari kalangan ahli kitab yang menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki (yang timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintahNya. Sungguh Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah: 109).
Dalam kitab tafsirnya, Ibn Katsir rahimahullah menukil beberapa atsar yang menyebutkan tentang asbaabun-nuzuul (sebab turunnya) ayat ini, yaitu bahwa ayat tersebut turun dengan sebab satu atau dua orang Yahudi. Namun demikian, ternyata beliau tetap menafsirkan ayat ini dengan keumuman lafazhnya, bukan dengan kekhususan asbaabun-nuzuul-nya. Perhatikan perkataan beliau berikut,
يحذر تعالى عباده المؤمنين عن سلوك طرائق الكفار من أهل الكتاب، ويعلمهم بعداوتهم لهم في الباطن والظاهر وما هم مشتملون عليه من الحسد للمؤمنين، مع علمهم بفضلهم وفضل نبيهم. ويأمر عباده المؤمنين بالصفح والعفو والاحتمال، حتى يأتي أمر الله من النصر والفتح. ويأمرهم بإقامة الصلاة وإيتاء الزكاة. ويحثهم على ذلك ويرغبهم فيه، كما قال محمد بن إسحاق: حدثني محمد بن أبي محمد ، عن سعيد بن جبير، أو عكرمة، عن ابن عباس، قال: كان حيي بن أخطب وأبو ياسر بن أخطب من أشد يهود للعرب حسدا، إذ خصهم الله برسوله صلى الله عليه وسلم، وكانا جاهدين في رد الناس عن الإسلام ما استطاعا، فأنزل الله فيهما: (ود كثير من أهل الكتاب لو يردونكم) الآية.
“Allah Ta’ala memperingatkan para hambaNya untuk tidak berjalan di atas jalan orang kafir dari kalangan ahli kitab, dan mengabarkan kepada mereka (yaitu, para hambaNya) tentang permusuhan ahli kitab (kepada kaum muslimin) baik secara bathin maupun zhahir, dan (mengabarkan juga) tentang hasad/dengki yang mereka miliki kepada kaum mukminin, padahal mereka tahu keutamaan kaum mukminin dan keutamaan Nabi. Allah juga memerintahkan para hambaNya, yaitu orang-orang yang beriman, untuk membiarkan, memaafkan, dan menoleransi mereka hingga datang ketetapan dari Allah berupa pertolongan dan kemenangan. Allah juga memerintahkan mereka untuk menegakkan shalat dan membayar zakat. Allah menyemangati dan memotivasi mereka untuk melakukannya. Muhammad ibn Ishaq berkata: Telah mengabarkan kepadaku Muhammad ibn Abi Muhammad, dari Sa’id ibn Jubair, atau ‘Ikrimah, dari Ibn ‘Abbas, bahwa beliau berkata: Huyay ibn Akhthab dan Abu Yasir ibn Akhthab adalah termasuk orang-orang Yahudi yang paling dengki kepada orang Arab karena Allah mengistimewakan mereka dengan RasulNya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka berdua itu sangat berusaha semampu mereka untuk menjauhkan manusia dari Islam. Maka Allah menurunkan ayat ini tentang mereka, ‘Banyak dari kalangan ahli kitab yang menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran.’1
Ibn Katsir rahimahullah kemudian melanjutkan,
وقال عبد الرزاق، عن معمر عن الزهري، في قوله تعالى: (ود كثير من أهل الكتاب) قال: هو كعب بن الأشرف. وقال ابن أبي حاتم: حدثنا أبي، حدثنا أبو اليمان، حدثنا شعيب، عن الزهري، أخبرني عبد الرحمن بن عبد الله بن كعب بن مالك، عن أبيه: أن كعب بن الأشرف اليهودي كان شاعرا، وكان يهجو النبي صلى الله عليه وسلم. وفيه أنزل الله: (ود كثير من أهل الكتاب لو يردونكم) إلى قوله: (فاعفوا واصفحوا)
“‘Abdur-Razzaq berkata, ‘Dari Ma’mar, dari az-Zuhriy, tentang firman Allah Ta’ala‘Banyak dari kalangan ahli kitab,’ (maka ‘Abdur-Razzaq berkata) ia adalah Ka’b ibn al-Asyraf.’ Ibn Abi Hatim berkata: Ayahku telah mengabarkan kepada kami, (di mana beliau berkata) telah mengabarkan kepada kami Abul-Yaman, (di mana beliau berkata) telah mengabarkan kepada kami Syu’aib, dari az-Zuhriy, (di mana beliau berkata) telah mengabarkan kepadaku ‘Abdur-Rahman ibn ‘Abdillah ibn Ka’b ibn Malik, dari ayahnya, bahwa Ka’b ibn al-Asyraf, seorang Yahudi, adalah seorang penyair, dan bahwa dia ini mengolok-ngolok Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka Allah menurunkan ayat tentangnya, ‘Banyak dari kalangan ahli kitab yang menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran,’ hingga firmanNya, ‘Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka.’2
Perhatikanlah bagaimana Ibn Katsir rahimahullah, yang telah mengetahui bahwa asbaabun-nuzuul dari ayat ini adalah tentang satu atau dua orang Yahudi, tetap mengambil pelajaran dari keumuman lafazh ayat. Pelajaran yang bisa diambil adalah bahwa kita harus memaknai ayat sesuai dengan keumuman lafazhnya, bukan dengan kekhususan sebab turunnya. Misalnya, pada ayat di atas, tentu tidak diragukan lagi bahwa Huyay ibn Akhthab, Abu Yasir ibn Akhthab, dan Ka’b ibn al-Asyraf tercakup dalam makna ayat. Namun, ini tidak berarti bahwa ayat itu hanya mencakup mereka. Jika ayat tersebut menggunakan lafazh umum, kita tidak boleh menyempitkannya pada makna khusus kecuali jika ada dalil atau qarinah (petunjuk) yang mendukung.3
Jika kita bersikeras bahwa yang dimaksud oleh ayat ini hanyalah satu atau dua orang Yahudi tersebut, maka itu justru bertentangan dengan lafazh “katsir” (banyak) yang digunakan pada ayat di atas. ath-Thabariy rahimahullah telah menjelaskan dalam kitab tafsirnya kemungkinan lain dari makna “katsir” ini, di mana beliau kemudian menegaskan bahwa makna yang benar untuk kata tersebut adalah “banyak secara jumlah”4
Dari ayat ini kita ketahui para ulama memaknai bahwa secara umum kaum Yahudi dan Nasrani berusaha mengajak kaum Muslimin kepada kekafiran, bukan hanya dilakukan oleh sebagian oknum di antara mereka.

Keumuman lafazh menunjukkan bahwa kaum kafir secara umum dengki kepada kaum muslimin secara umum

Dalil lain yang juga bisa membantu kita memahami masalah ini adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ أُوتُوا نَصِيبًا مِّنَ الْكِتَابِ يُؤْمِنُونَ بِالْجِبْتِ وَالطَّاغُوتِ وَيَقُولُونَ لِلَّذِينَ كَفَرُوا هَـٰؤُلَاءِ أَهْدَىٰ مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا سَبِيلًا * أُولَـٰئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللَّـهُ ۖ وَمَن يَلْعَنِ اللَّـهُ فَلَن تَجِدَ لَهُ نَصِيرًا * أَمْ لَهُمْ نَصِيبٌ مِّنَ الْمُلْكِ فَإِذًا لَّا يُؤْتُونَ النَّاسَ نَقِيرًا * أَمْ يَحْسُدُونَ النَّاسَ عَلَىٰ مَا آتَاهُمُ اللَّـهُ مِن فَضْلِهِ ۖ فَقَدْ آتَيْنَا آلَ إِبْرَاهِيمَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَآتَيْنَاهُم مُّلْكًا عَظِيمًا
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bagian dari alkitab? Mereka beriman kepada jibt dan thaghut, dan mengatakan kepada orang-orang kafir, bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman. Mereka itulah orang yang dilaknat oleh Allah. Barangsiapa yang dilaknat oleh Allah, niscaya kamu sekali-kali tidak akan menemukan penolong baginya. Ataukah ada bagi mereka bagian dari kerajaan? Kendatipun ada, mereka tidak akan memberikan sedikit pun (kebajikan) kepada manusia. Ataukah mereka (kaum Ahli Kitab) dengki kepada manusia lantaran karunia yang telah Allah berikan kepada mereka? Sungguh Kami telah memberikan kitab dan hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepada mereka kerajaan yang besar.” (QS. an-Nisa’: 51-54)
Dalam ayat ini disebutkan bahwa karena dengkinya kepada kaum muslimin, kaum ahli kitab sampai mengatakan bahwa orang-orang kafir, yang di antara mereka adalah para penyembah berhala, lebih benar jalannya daripada kaum Muslimin.
Ath-Thabariy rahimahullah menyebutkan perbedaan pendapat tentang makna kata “an-naas” (manusia) pada potongan ayat, “ataukah mereka (kaum Ahli Kitab) dengki kepada manusia”. Sebagian ulama mengatakan bahwa maknanya yang membuat mereka dengki hanyalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada juga yang berkata bahwa maknanya adalah orang-orang Arab, dan ada juga yang berkata bahwa maknanya adalah orang-orang Quraisy. Namun, ath-Thabariy rahimahullah menguatkan pendapat bahwa yang dimaksud adalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, yang tercermin pada perkataan beliau,
وأولى الأقوال في ذلك بالصواب أن يقال: إنّ الله عاتب اليهودَ الذين وصف صفتهم في هذه الآيات، فقال لهم في قيلهم للمشركين من عبدة الأوثان إنهم أهدى من محمد وأصحابه سبيلا على علم منهم بأنهم في قيلهم ما قالوا من ذلك كذَبة: أتحسدون محمدًا وأصحابه على ما آتاهم الله من فضله. وإنما قلنا ذلك أولى بالصواب، لأن ما قبل قوله: (أم يحسدون الناس على ما آتاهم الله من فضله)، مضى بذّم القائلين من اليهود للذين كفروا: (هؤلاء أهدىَ من الذين آمنوا سبيلا)، فإلحاق قوله: (أم يحسدون الناس على ما آتاهم الله من فضله)، بذمهم على ذلك، وتقريظ الذين آمنوا الذين قيل فيهم ما قيل، أشبهُ وأولى، ما لم تأت دلالة على انصراف معناه عن معنى ذلك.
“Pendapat yang paling mendekati kebenaran adalah bahwa Allah mencela kaum Yahudi yang sifat mereka dijelaskan pada ayat ini. Maka Allah berkata kepada mereka tentang perkataan mereka kepada kaum musyrikin dari kalangan para penyembah berhala yaitu bahwa mereka lebih benar jalannya daripada Nabi Muhammad dan para sahabatnya padahal mereka (kaum Yahudi) tahu bahwa ada kedustaan dalam perkataan mereka tersebut: (Maka Allah berkata kepada kaum Yahudi tersebut) Apakah kalian dengki kepada Muhammad dan para sahabatnya karena karunia yang telah Allah berikan kepada mereka? (Kemudian ath-Thabariy rahimahullahmelanjutkan) Kami berpendapat bahwa perkataan inilah yang paling mendekati kebenaran karena sebelum ayat, ‘Ataukah mereka dengki kepada manusia lantaran karunia yang telah Allah berikan kepada mereka?’ adalah celaan Allah kepada kaum Yahudi yang berkata kepada orang-orang kafir dengan perkataan, ‘Mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman.’ Maka memaknai ayat, ‘Ataukah mereka dengki kepada manusia lantaran karunia yang telah Allah berikan kepada mereka?’ dengan celaan kaum Yahudi kepada kaum mukminin, dan memaknai ayat ini dengan pujian kepada kaum mukminin yang telah dicela oleh kaum Yahudi tersebut, adalah pendapat yang lebih utama, selama tidak ada dalil yang memalingkan makna ayat ini dari makna tersebut.”5
Maka, lihatlah bagaimana ath-Thabariy rahimahullah tidak memaknai kata “an-naas” (manusia) tersebut dengan makna zhahirnya yang umum, yaitu seluruh manusia, karena ada qarinah (petunjuk) yang menunjukkan bahwa maknanya hanya mencakup kaum mukminin. Lihatlah juga bagaimana ath-Thabariy rahimahullah tidak lebih menyempitkan lagi kata “an-naas” ini dari makna “kaum mukminin” karena tidak ada dalil yang dapat memalingkan maknanya ke makna yang lebih sempit.
Sampai di sini, kita dapat menyimpulkan bahwa ahli kitab itu dengki kepada kaum mukminin disebabkan karena keutamaan dan karunia yang Allah berikan kepada mereka, berupa risalah dan din. Kesimpulan ini kita dapat dari analisis terhadap dua kelompok ayat, yaitu ayat 109 surat al-Baqarah dan ayat 51-54 surat an-Nisa’. Masih banyak ayat-ayat lain yang menegaskan kesimpulan ini, di mana akan kami bawakan secara ringkas agar pembahasan kita tidak terlalu panjang. Ayat-ayat tersebut adalah sebagai berikut,6
وَلَا يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّىٰ يَرُدُّوكُمْ عَن دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا ۚ وَمَن يَرْتَدِدْ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَـٰئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ۖ وَأُولَـٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Mereka tidak henti-hentinya memerangi kalian sampai mereka mengembalikan kalian dari agama kalian (kepada kekafiran) jika mereka sanggup. Barangsiapa di antara kalian yang murtad dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat. Mereka itulah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.” (QS. al-Baqarah: 217).
يُرِيدُونَ لِيُطْفِئُوا نُورَ اللَّـهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَاللَّـهُ مُتِمُّ نُورِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ * هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَىٰ وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ
Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut-mulut mereka. Akan tetapi Allah justru menyempurnakan cahayaNya, walaupun orang-orang kafir membencinya. Dialah yang mengutus RasulNya dengan membawa ilmu yang bermanfaat dan amal yang shalih, agar Dia memenangkannya di atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik membencinya.” (QS. Ash-Shaff: 8-9).
وَدُّوا لَوْ تَكْفُرُونَ كَمَا كَفَرُوا فَتَكُونُونَ سَوَاءً
Mereka ingin supaya kalian menjadi kafir sebagaimana mereka kafir, sehingga kalian menjadi sama (dengan mereka) (QS. an-Nisa’: 89).
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ لِيَصُدُّوا عَن سَبِيلِ اللَّـهِ ۚ فَسَيُنفِقُونَهَا ثُمَّ تَكُونُ عَلَيْهِمْ حَسْرَةً ثُمَّ يُغْلَبُونَ ۗ وَالَّذِينَ كَفَرُوا إِلَىٰ جَهَنَّمَ يُحْشَرُونَ
Sungguh orang-orang kafir menafkahkan harta-harta mereka untuk menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian itu akan menjadi penyesalan bagi mereka, kemudian mereka akan dikalahkan. Dan orang-orang kafir itu, ke dalam neraka Jahannamlah mereka akan dikumpulkan (QS. al-Anfal: 36).
مَّا يَوَدُّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَلَا الْمُشْرِكِينَ أَن يُنَزَّلَ عَلَيْكُم مِّنْ خَيْرٍ مِّن رَّبِّكُمْ ۗ وَاللَّـهُ يَخْتَصُّ بِرَحْمَتِهِ مَن يَشَاءُ ۚ وَاللَّـهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ
Orang-orang kafir dari kalangan ahli kitab dan orang-orang musyrik itu tidak suka jika diturunkan kebaikan kepada kalian dari Rabb kalian. Dan Allah menentukan siapa yang dikehendakiNya untuk diberi rahmatNya. Dan Allah memiliki karunia yang besar” (QS. Al-Baqarah: 105).
كَيْفَ وَإِن يَظْهَرُوا عَلَيْكُمْ لَا يَرْقُبُوا فِيكُمْ إِلًّا وَلَا ذِمَّةً ۚ يُرْضُونَكُم بِأَفْوَاهِهِمْ وَتَأْبَىٰ قُلُوبُهُمْ وَأَكْثَرُهُمْ فَاسِقُونَ
Bagaimana bisa (ada perjanjian dari sisi Allah dan RasulNya dengan orang-orang musyrik), padahal jika mereka memperoleh kemenangan atas kalian, mereka tidak memelihara hubungan kekerabatan kalian dan tidak pula mengindahkan perjanjian. Mereka menyenangkan hati kalian dengan mulut-mulut mereka, sementara hati-hati mereka menolak. Dan kebanyakan dari mereka adalah orang-orang fasik (QS. At-Taubah: 8).
إِن تَمْسَسْكُمْ حَسَنَةٌ تَسُؤْهُمْ وَإِن تُصِبْكُمْ سَيِّئَةٌ يَفْرَحُوا بِهَا ۖ وَإِن تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا لَا يَضُرُّكُمْ كَيْدُهُمْ شَيْئًا ۗ إِنَّ اللَّـهَ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطٌ
Jika kalian memperoleh kebaikan, niscaya mereka bersedih hati. Tetapi jika kalian mendapat keburukan, maka mereka bergembira karenanya. Jika kalian bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka tidak akan mendatangkan kemadharatan sedikitpun kepada kalian. Sungguh Allah mengetahui segala apa yang mereka kerjakan” (QS. Ali ‘Imran: 120).
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لِمَ تَكْفُرُونَ بِآيَاتِ اللَّـهِ وَأَنتُمْ تَشْهَدُونَ * يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لِمَ تَلْبِسُونَ الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ * وَقَالَت طَّائِفَةٌ مِّنْ أَهْلِ الْكِتَابِ آمِنُوا بِالَّذِي أُنزِلَ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَجْهَ النَّهَارِ وَاكْفُرُوا آخِرَهُ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Wahai ahli kitab, mengapa kalian mengingkari ayat-ayat Allah, padahal kalian mengetahui kebenarannya? Wahai ahli kitab, mengapa kalian mencampuradukkan yang haq dengan yang bathil dan menyembunyikan kebenaran padahal kalian mengetahuinya? Segolongan dari ahli kitab berkata (kepada sesamanya), ‘Perlihatkanlah (seolah-olah) kalian beriman kepada apa yang diturunkan kepada orang-orang yang beriman pada waktu awal siang, dan ingkarilah pada waktu akhirnya, supaya mereka (orang-orang yang beriman) kembali (kepada kekafiran)’” (QS. Ali ‘Imran: 70-72).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن تُطِيعُوا الَّذِينَ كَفَرُوا يَرُدُّوكُمْ عَلَىٰ أَعْقَابِكُمْ فَتَنقَلِبُوا خَاسِرِينَ
Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian mena’ati orang-orang kafir, niscaya mereka akan mengembalikan kamu (kepada kekafiran), lalu jadilah kalian orang-orang yang merugi” (QS. Ali ‘Imran: 149).
Dari seluruh dalil-dalil yang tegas dan gamblang ini, dapat kita simpulkan bahwa kaum kafir secara umum dengki kepada kaum muslimin secara umum, dan mereka (kaum kafir) ingin dan terus berusaha untuk menjerumuskan kaum muslimin kepada kekafiran.
Lalu, bagaimana dengan pertanyaan-pertanyaan yang disebutkan di awal tentang ayat 120 surat al-Baqarah? Bagaimana kita mendudukkan ayat tersebut dengan ayat-ayat lain yang baru saja telah kita bahas secara panjang-lebar ini? Simak pembahasannya di bagian kedua dari tulisan ini, insyaAllah.
Wallaahu a’lamu bish-shawaab.
____
1 Lihat tafsir surat al-Baqarah ayat 109 pada kitab Tafsiir al-Qur’aan al-’Azhiim / Tafsiir Ibn Katsiir, karya Imam Abul-Fida’ Isma’il ibn ‘Umar ibn Katsir rahimahullah.
2 Ibid.
3 Lihat kaidah kedua pada kitab at-Ta’liiq ‘alaa al-Qawaa’id al-Hissaan al-Muta’alliqah biTafsiiril-Qur’aan, karya Muhammad ibn Shalih al-’Utsaimin rahimahullah.
4 Lihat tafsir surat al-Baqarah ayat 109 pada kitab Jaami’ul-Bayaan ‘an Ta’wiili Aayil-Qur’aan / Tafsiir ath-Thabariy, karya Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir ath-Thabariy rahimahullah.
5 Lihat tafsir surat an-Nisa’ ayat 54 pada kitab Jaami’ul-Bayaan ‘an Ta’wiili Aayil-Qur’aan / Tafsiir ath-Thabariy, karya Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir ath-Thabariy rahimahullah.
6 Kami mendapat faidah ini dari tulisan Syaikh Muhammad ibn Shalih al-Munajjid hafizhahullah berikut: https://islamqa.info/ar/11400 (dalam bahasa Arab).

Jawaban syubhat pertama

Mengapa Allah Subhanahu wa Ta’ala menggunakan kata “kepadamu..” pada ayat 120 surat al-Baqarah tersebut? Apakah maknanya adalah bahwa yang dimaksud oleh ayat itu hanyalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam saja dan bukan para sahabat radhiyallahu ‘anhum dan bukan juga kaum muslimin secara umum?
Jawabannya adalah bahwa ini termasuk dalam bab mafhuum muwaafaqah. Apa maksudnya? Mari kita perhatikan ayat tersebut. Kaum Yahudi dan Nashrani tidak ridha’ kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Baik, tapi apa yang menyebabkan mereka tidak ridha’ kepada beliau? Adakah sifat dari Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam yang layak untuk dibenci oleh mereka? Apakah kepribadian beliau, perilaku beliau, sikap beliau? Tentu tidak! Kita telah tahu bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terkenal dengan keteladanan akhlaknya, dengan kelembutan budi pekertinya, dengan kejujuran dan sifat amanahnya, serta sifat-sifat unggul beliau yang lain. Sebelum risalah kenabian turun kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, semua orang mencintai dan mengagumi beliau. Ini adalah fakta yang banyak disebutkan dalam kitab-kitab sirah, yang tidak mungkin luput oleh kita semua. Namun, setelah beliau diutus menjadi Nabi dan Rasul, barulah mereka kaum kafir menjadi membenci dan memusuhi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta memusuhi para sahabat yang mengikuti beliau, walaupun itu anak atau ayah mereka sendiri. Ini berarti faktor yang mereka benci dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah risalah yang beliau bawa, bukan sisi personal beliau seperti akhlak, harta, kedudukan, atau selainnya.
Oleh karena itu, sebenarnya ayat ini bermakna umum. Ketahuilah bahwa dalil umum itu terdiri atas dua macam, yaitu ‘umuum lafzhiy (keumumannya disebabkan oleh keumuman lafazh yang digunakan) dan ‘umuum ma’nawiy (keumumannya disebabkan oleh keumuman makna yang disampaikan). Jika sebuah dalil adalah‘umuum lafzhiy, maka kita harus memasukkan seluruh makna yang terkandung dalam lafazh tersebut, sampai ada dalil yang memalingkan dari keumuman makna ini. Contohnya adalah kata “al-insaan” pada surat al-’Ashr, harus dimaknai umum mencakup seluruh manusia, sebagaimana keumuman lafazhnya. Adapun jika sebuah dalil adalah ‘umuum ma’nawiy, maka kita harus memasukkan seluruh hal yang memiliki ‘illah (sifat) yang sama dengan ‘illah yang disebutkan dalam dalil tersebut. Contohnya adalah ayat 120 surat al-Baqarah ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam didengki dan dibenci karena risalah yang dibawa oleh beliau, maka kaum muslimin pada generasi setelah beliau hingga saat ini, yang juga membawa risalah tersebut, juga akan didengki dan dibenci oleh mereka.
Ini sesuai dengan kaidah,
الحكم يدور مع علته، وجودا وعدما، قوة وضعفا
Hukum itu berkaitan dengan ‘illah-nya, dalam hal ada atau tidaknya, dalam hal kuat atau lemahnya.”1
Maknanya adalah bahwa jika ‘illah-nya ada, maka hukumnya pun ada. Sebaliknya, jika ‘illah-nya tidak ada, maka hukumnya pun tidak ada. Jika seseorang adalah muslim, maka ‘illah ayat di atas ada padanya, sehingga akibatnya pun akan ada padanya, yaitu kedengkian kaum kafir. Jika ‘illah-nya kuat, maka hukumnya pun kuat. Sebaliknya, jika ‘illah-nya lemah, maka hukumnya pun lemah. Jika seseorang adalah muslim yang fasik, yang sangat hedonis dan mengikuti budaya orang kafir, maka kedengkian kepadanya pun lemah. Namun, jika seseorang adalah muslim yang ta’at, shalih, dan komitmen dengan agamanya dalam setiap langkah kehidupannya, maka kedengkian mereka pun menjadi kuat.
Jika ada yang berkata, “Baik, saya terima bahwa banyak ayat yang menyebutkan bahwa kaum Yahudi dan Nashrani itu dengki kepada kaum muslimin, sebagaimana sebagian ayat yang telah anda sebutkan di atas. Namun, ayat 120 surat al-Baqarah ini maknanya khusus hanya kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi, semua ayat-ayat lain yang telah anda sebutkan tersebut dikenai takhshiish (pengkhususan) oleh ayat 120 surat al-Baqarah. Ayat-ayat lain tersebut memang bermakna umum, namun ternyata dikhususkan oleh ayat 120 surat al-Baqarah ini.”
Maka jawabannya, “Takhshiish dalam kasus ini tidak bisa diberlakukan, karena syarat takhshiish adalah bahwa dalil yang khusus itu haruslah menafikan dalil yang umum.2 Misalnya, pada surat al-’Ashr, disebutkan kata ‘al-insaan’ (manusia) yang merupakan makna umum dan dihukumi akan mengalami kerugian. Kemudian disebutkan pengecualian dari kata ‘al-insaan’ ini, yaitu orang-orang yang beriman, beramal shalih, saling menasehati dengan kebenaran, dan saling menasehati untuk sabar. Penggunaan kata ‘illaa’ (kecuali) menunjukkan bahwa hukumnya berbeda, sehingga kita memahami bahwa orang yang memiliki empat karakteristik ini akan beruntung di dunia dan akhirat. Maka, ketika dalil yang khusus menafikan dalil yang umum, seperti pada contoh ini, takhshiish boleh diberlakukan. Namun, dalam kasus yang sedang kita bahas di sini, dalil-dalil yang secara umum menyebutkan kaum muslimin dan ayat 120 surat al-Baqarah yang secara khusus mengacu pada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, semuanya memiliki hukum yang sama, yaitu kedengkian kaum Yahudi dan Nashrani. Ini menunjukkan bahwa takhshiish tidak sah untuk diaplikasikan dalam kasus ini.”
Jika ada yang berkata, “Baik, saya setuju bahwa takhshiish tidak bisa diberlakukan di sini. Namun, ketahuilah bahwa lafazh umum yang tercantum di banyak ayat yang anda sebutkan di atas, itu sebenarnya merupakan lafzhul-’umuum yuraadu bihi al-khaashsh (lafazh umum tapi yang dimaksudkan adalah makna khusus). Jadi, walaupun lafazh yang digunakan itu bermakna jamak, sehingga kita memaknainya sebagai ‘kaum muslimin,’ namun sebenarnya yang ingin disampaikan oleh lafazh-lafazh umum tadi adalah makna khusus, yaitu hanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saja. Sehingga bisa disimpulkan bahwa kedengkian dan ketidaksenangan dari kaum Yahudi dan Nashrani itu hanya tertuju pada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini bukan termasuk bab takhshiish, karena dari awal saya tidak mengklaim bahwa lafazh-lafazh umum tersebut bermakna umum. Namun, saya katakan bahwa ini adalah lafazh umum tapi yang dimaksudkan adalah makna khusus.”
Maka jawabannya, “Absyir (berbahagialah) yaa akhiy. Bagimu hadits ini,
عن ثوبان مولى رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: يوشك أن تداعى عليكم الأمم من كل أفق كما تداعى الأكلة على قصعتها. قال: قلنا: يا رسول الله أمن قلة بنا يومئذ؟ قال: أنتم يومئذ كثير ولكن تكونون غثاء كغثاء السيل، ينتزع المهابة من قلوب عدوكم ويجعل في قلوبكم الوهن. قال: قلنا: وما الوهن؟ قال: حب الحياة وكراهية الموت.
Dari Tsaubaan, mantan budak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Hampir-hampir umat-umat kafir saling menyeru untuk menyerang kalian dari segenap penjuru, sebagaimana orang-orang (yang lapar) sedang mengerumuni hidangan makanan. Dia (Tsaubaan) berkata: Kami (para sahabat) bertanya: Wahai Rasulullah, apakah pada waktu itu kami sedikit? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: Bahkan pada waktu itu kalian berjumlah banyak, akan tetapi kalian bagai buih, seperti buih banjir. Allah mencabut rasa takut kepada kalian dari hati-hati musuh kalian, dan memasukkan al-wahn kepada hati-hati kalian. Dia (Tsaubaan) berkata: Kami (para sahabat) bertanya: Apakah itu al-wahn? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: Cinta dunia dan takut mati.’3
Dari hadits ini, jelaslah bahwa kedengkian dan kebencian kaum kafir itu juga ditujukan kepada kaum muslimin, baik di jaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun jaman setelahnya. Karena mereka semua memiliki ‘illah yang sama, yaitu risalah tauhid dan agama Allah yang lurus. Oleh karena itu, dapat kita simpulkan bahwa ayat 120 surat al-Baqarah tersebut secara tekstual hanya mengacu pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena ini termasuk dalam bab lafzhul-khaash yuraadu bihi al-’umuum (lafazh khusus tapi yang dimaksudkan adalah makna umum), yaitu dengan cara at-tanbiih bil-a’laa ‘alal-adnaa (mengarahkan pada hal yang lebih rendah dengan menyebutkan hal yang lebih tinggi). Yaitu, sebab mengapa hanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disebutkan pada ayat 120 surat al-Baqarah ini adalah karena beliaulah yang paling didengki dan dibenci oleh kaum Yahudi dan Nashrani, bahkan oleh kaum kafir seluruhnya, karena beliau adalah yang membawa risalah agama ini. Walaupun demikian, orang lain selain beliau dari kalangan kaum muslimin juga mendapatkan porsi kedengkian ini sesuai derajat keimanan mereka, karena ‘illah-nya adalah agama Allah yang haq, bukan pribadi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam seorang. Dan kami telah jelaskan tentang hal ini sebelumnya.”
Ini menjawab pertanyaan 1, alhamdulillah.

Jawaban syubhat kedua

Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan “orang-orang Yahudi dan Nashrani” yang disebutkan di ayat 120 surat al-Baqarah tersebut adalah orang-orang Yahudi dan Nashrani tertentu yang ada pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sesuai dengan asbaabun-nuzuul ayat tersebut.
al-Baghawiy rahimahullah berkata,
وقال ابن عباس رضي الله عنهما : هذا في القبلة وذلك أن يهود المدينة ونصارى نجران كانوا يرجون النبي صلى الله عليه وسلم حين كان يصلي إلى قبلتهم فلما صرف الله القبلة إلى الكعبة أيسوا في أن يوافقهم على دينهم
Ibn ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, ‘Ayat ini tentang kiblat, yaitu bahwa kaum Yahudi Madinah dan Nashrani Najran mengharapkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk shalat menghadap kiblat mereka. Maka ketika Allah memalingkan kiblat (kaum muslimin) kepada Ka’bah, mereka lantas berputus asa dari keinginan mereka tersebut, yaitu agar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengikuti agama mereka.’”4
Berdasarkan penjelasan yang telah kami paparkan sebelumnya, bahwa kita harus mengambil keumuman lafazh dan bukan kekhususan sebab, maka kita katakan bahwa mengkhususkan lafazh “orang-orang Yahudi dan Nashrani” kepada orang-orang Yahudi Madinah dan Nashrani Najran di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamadalah sebuah kesalahan. Ini menjawab pertanyaan 2, alhamdulillah.

Jawaban syubhat ketiga

Lalu apa yang dimaksud dengan kata “millah” pada ayat 120 surat al-Baqarah tersebut? Apakah “millah” artinya adalah “jalan”, sehingga kaum Yahudi dan Nasrani bukan ingin mengajak umat Muslim ke agama mereka namun sekedar ke “jalan” mereka?
Maka silahkan lihat ayat-ayat lain yang telah disebutkan sebelumnya untuk mencari tahu apa yang dimaksud. Misalnya, kami bawakan kembali ayat berikut,
وَدَّ كَثِيرٌ مِّنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُم مِّن بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِّنْ عِندِ أَنفُسِهِم مِّن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ ۖ فَاعْفُوا وَاصْفَحُوا حَتَّىٰ يَأْتِيَ اللَّـهُ بِأَمْرِهِ ۗ إِنَّ اللَّـهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Banyak dari kalangan ahli kitab yang menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki (yang timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintahNya. Sungguh Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (al-Qur’an, surat al-Baqarah, ayat 109)
Dari ayat ini, jelaslah bahwa yang dimaksud “millah” adalah agama, karena kaum kafir ingin mengembalikan kaum muslimin menuju kekafiran. Memang benar bahwa al-Baghawiy rahimahullah menafsirkan kata “millah” ini dengan makna “jalan,”5 sehingga ada yang beranggapan bahwa maknanya bukanlah agama. Pendapatnya ini berusaha untuk diperkuat dengan menukil asbaabun-nuzuul dari ayat ini sebagaimana yang disebutkan oleh al-Baghawiy rahimahullah dan yang telah kita nukil sebelumnya, yaitu tentang orang-orang Yahudi Madinah dan Nashrani Najran yang ingin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat menghadap kiblat mereka. Namun, bukankah permasalahan kiblat itu adalah termasuk dari agama?
Selain itu, Ibn Katsir rahimahullah menyebutkan bahwa,
وقد استدل كثير من الفقهاء بقوله: (حتى تتبع ملتهم) حيث أفرد الملة على أن الكفر كله ملة واحدة كقوله تعالى: (لكم دينكم ولي دين)، فعلى هذا لا يتوارث المسلمون والكفار، وكل منهم يرث قرينه سواء كان من أهل دينه أم لا، لأنهم كلهم ملة واحدة، وهذا مذهب الشافعي وأبي حنيفة وأحمد في رواية عنه.
Banyak ahli fiqh berdalil dengan menggunakan firman Allah Ta’ala‘Hingga kamu mengikuti millah mereka,’ di mana Allah menggunakan bentuk tunggal untuk ‘millah,’ yaitu bahwa seluruh kekafiran itu adalah millah yang satu, seperti firman Allah Ta’ala‘Bagimu agamamu dan bagiku agamaku.’ Oleh karena itu, seorang muslim dan kafir tidak saling mewarisi. Dan setiap dari orang kafir itu mewarisi kerabatnya (yang sama-sama kafir), baik apakah kerabatnya itu beragama sama dengannya atau tidak, karena semua dari mereka itu memiliki millah yang satu. Ini adalah madzhab asy-Syafi’iy, Abu Hanifah, dan Ahmad dalam sebuah riwayat dari beliau.”6
Perhatikanlah bagaimana para ulama’ madzhab tersebut, yaitu Imam asy-Syafi’iy, Imam Abu Hanifah, dan Imam Ahmad memahami kata “millah” ini sebagai agama. Ini adalah pemahaman mereka, dan metode kita dalam beragama adalah dengan mengikuti pemahaman mereka, para generasi terdahulu, rahimahumullah. Ini menjawab pertanyaan 3, alhamdulillah.
Untuk menutup tulisan ini, kami ingin mengingatkan kepada saudara-saudara kami kaum muslimin, bahwa hendaknya kedengkian dan kebencian kaum kafir ini tidak boleh menjadikan kita untuk tidak berbuat adil kepada mereka. Kita harus tetap berbuat adil kepada mereka dengan cara memberikan mereka haknya, dengan mengharap Wajah Allah, bukan mengharap pujian mereka atau siapapun juga. Jika kita bertetangga dengan orang kafir, misalnya, maka berikanlah ia haknya sebagai tetangga. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
لَّا يَنْهَاكُمُ اللَّـهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّـهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ * إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّـهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَىٰ إِخْرَاجِكُمْ أَن تَوَلَّوْهُمْ ۚ وَمَن يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَـٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil kepada orang-orang yang tidak memerangi kalian karena agama dan tidak pula mengusir kalian dari negeri kalian. Sungguh Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Sungguh Allah hanya melarang kalian untuk ber-wala’ kepada orang-orang yang memerangi kalian karena agama dan yang mengusir kalian dari negeri kalian dan membantu (orang lain) untuk mengusir kalian. Barangsiapa yang ber-wala’ kepada mereka, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim.” (al-Qur’an, surat al-Mumtahanah, ayat 8-9).
Wallaahu a’lamu bish-shawaab.
Birmingham, UK, 7 Jumaadaa al-Aakhirah 1437 H
***
Penulis: Andy Octavian Latief
Artikel Muslim.or.id
___
1 Lihat kaidah ketiga pada kitab at-Ta’liiq ‘alaa al-Qawaa’id al-Hissaan al-Muta’alliqah biTafsiiril-Qur’aan, karya Syaikh Muhammad ibn Shalih al-’Utsaimin rahimahullah.
2 Lihat beberapa paragraf terakhir dari subbab al-Qism al-Awwal fil-Mabaahits al-Lafzhiyyah pada bab al-Kalaam fil-Awaamir wan-Nawaahiy dalam kitab Nafaa’isul-Ushuul fiy Syarhil-Mahshuul, karya Syihabud-Din Abul-’Abbas Ahmad ibn Idris al-Qarafiy rahimahullah.
3 Hadits shahih, dikeluarkan oleh Abu Dawud (Sunan Abiy Daawuud, no. 4297) rahimahullah.
4 Lihat tafsir surat al-Baqarah ayat 120 pada kitab Ma’aalimut-Tanziil fiy Tafsiiril-Qur’aan / Tafsiir al-Baghawiy, karya Abu Muhammad al-Husain ibn Mas’ud al-Baghawiy rahimahullah.
5 Lihat tafsir surat al-Baqarah ayat 120 pada kitab Ma’aalimut-Tanziil fiy Tafsiiril-Qur’aan / Tafsiir al-Baghawiy, karya Imam Abu Muhammad al-Husain ibn Mas’ud al-Baghawiy rahimahullah.
6 Lihat tafsir surat al-Baqarah ayat 120 pada kitab Tafsiir al-Qur’aan al-’Azhiim / Tafsiir Ibn Katsiir, karya Abul-Fida’ Isma’il ibn ‘Umar ibn Katsir rahimahullah.

Related Posts:

0 Response to "Tafsir Al Baqarah Ayat 120-129"

Post a Comment