Tafsir Al Baqarah Ayat 17-25

Ayat 17-20: Allah membuat dua permisalan untuk orang-orang munafik, menerangkan keadaan mereka, kebingungan dan kesesatan mereka

Ayat 21-22: Menetapkan keesaan Allah dan kekuasaan-Nya, serta wajibnya beribadah kepada-Nya

Ayat 23-25: Menyebutkan kemukjizatan Al Qur’an, tantangan kepada kaum musyrikin mengenai Al Qur'an, menetapkan kenabian Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, menerangkan balasan orang-orang kafir dan balasan untuk orang-orang mukmin


مَثَلُهُمْ كَمَثَلِ الَّذِي اسْتَوْقَدَ نَارًا فَلَمَّا أَضَاءَتْ مَا حَوْلَهُ ذَهَبَ اللَّهُ بِنُورِهِمْ وَتَرَكَهُمْ فِي ظُلُمَاتٍ لا يُبْصِرُونَ (١٧)صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لا يَرْجِعُونَ (١٨)أَوْ كَصَيِّبٍ مِنَ السَّمَاءِ فِيهِ ظُلُمَاتٌ وَرَعْدٌ وَبَرْقٌ يَجْعَلُونَ أَصَابِعَهُمْ فِي آذَانِهِمْ مِنَ الصَّوَاعِقِ حَذَرَ الْمَوْتِ وَاللَّهُ مُحِيطٌ بِالْكَافِرِينَ (١٩)يَكَادُ الْبَرْقُ يَخْطَفُ أَبْصَارَهُمْ كُلَّمَا أَضَاءَ لَهُمْ مَشَوْا فِيهِ وَإِذَا أَظْلَمَ عَلَيْهِمْ قَامُوا وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَذَهَبَ بِسَمْعِهِمْ وَأَبْصَارِهِمْ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (٢٠)يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (٢١)الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الأرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ فَلا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ (٢٢)وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (٢٣)فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا وَلَنْ تَفْعَلُوا فَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ (٢٤)وَبَشِّرِ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ كُلَّمَا رُزِقُوا مِنْهَا مِنْ ثَمَرَةٍ رِزْقًا قَالُوا هَذَا الَّذِي رُزِقْنَا مِنْ قَبْلُ وَأُتُوا بِهِ مُتَشَابِهًا وَلَهُمْ فِيهَا أَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ وَهُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (٢٥
Terjemah Surat Al Baqarah Ayat 17-25


17. Perumpamaan mereka adalah seperti orang-orang yang menyalakan api[1], setelah menerangi sekelilingnya, Allah melenyapkan cahaya (yang menyinari) mereka dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat[2].

[1] Orang-orang munafik itu tidak dapat mengambil manfaat dari petunjuk-petunjuk yang datang dari Allah, karena sifat-sifat kemunafikkan yang bersemi dalam dada mereka. Keadaan mereka digambarkan Allah seperti dalam ayat tersebut di atas.

[2] Mereka terombang-ambing dalam gelapnya kesesatan namun mereka tidak sadar dan tidak ada harapan lagi untuk keluar daripadanya tidak ubahnya seperti sebuah rombongan yang berada di malam yang gelap, di mana salah seorang di antara mereka menyalakan api yang besar untuk penerangan dan menghangatkan badan. Ketika api telah membesar dan menerangi sekelilingnya, saat itu juga api pun padam sehingga mereka kebingungan tidak dapat melihat apa-apa dan tidak mengetahui jalan.
-------------------------------------
18. Mereka tuli, bisu dan buta[3], sehingga mereka tidak dapat kembali (ke jalan yang benar),

[3] Walaupun pancaindera mereka sehat mereka dipandang tuli, bisu dan buta karena tidak dapat menerima kebenaran. Oleh karena itu, mereka tidak dapat kembali kepada keimanan dan kebenaran yang telah mereka tinggalkan dan mereka ganti dengan kesesatan. Berbeda dengan orang-orang yang meninggalkannya karena tidak mengetahui, mereka ini lebih mudah kembali.
----------------------------------------
19. Atau seperti (orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit, yang disertai kegelapan[4], petir dan kilat. Mereka menyumbat telinga dengan jari-jarinya, (menghindari) suara petir itu karena takut mati[5]. Allah meliputi orang-orang yang kafir[6].

[4] Kegelapan malam dan kegelapan awan.

[5] Keadaan orang-orang munafik itu, ketika mendengar ayat-ayat yang mengandung peringatan adalah seperti orang yang ditimpa hujan lebat dan petir. Mereka menyumbat telinganya karena tidak sanggup mendengar peringatan-peringatan Al Qur’an itu.

[6] Maksudnya pengetahuan dan kekuasaan Allah meliputi orang-orang kafir.
-------------------------------------
20. Hampir saja kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali (kilat itu) menyinari, mereka berjalan di bawah (sinar) itu, dan apabila gelap menimpa mereka, mereka berhenti. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia menghilangkan pendengaran dan penglihatan mereka[7]. Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu[8].

[7] Dalam ayat ini, Allah menakut-nakuti orang-orang munafik dengan azab di dunia agar mereka takut sehingga berhenti dari melakukan keburukan dan berbuat nifak.

[8] Sekiranya Allah tidak memberikan tangguh kepada mereka, tentu Allah akan menghilangkan pendengaran dan penglihatan mereka, dan Dia Mahakuasa terhadapnya kapan saja waktunya, tidak ada sesuatu pun yang menghalangi-Nya. Di ayat ini juga terdapat bantahan kepada kaum Qadariyyah (yang mengingkari taqdir) yang mengatakan bahwa perbuatan mereka tidak di bawah kekuasaan Allah Ta'ala, padahal perbuatan mereka termasuk yang berada di bawah kekuasaan-Nya.
---------------------------
21. Wahai manusia! Sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa[9].

[9] Ayat ini merupakan seruan Allah kepada semua manusia agar beribadah kepada Allah yang mengurus mereka dengan nikmat-nikmat-Nya dan agar mereka takut kepada-Nya serta tidak menyelisihi agama-Nya. Dialah yang mengadakan mereka yang sebelumnya tidak ada, Dia pula yang mengadakan orang-orang sebelum mereka. Ayat "agar kamu bertakwa" bisa maksudnya bahwa jika kita beribadah kepada Allah saja, berarti kita telah menjaga diri dari kemurkaan dan siksa-Nya, bisa juga maksudnya bahwa jika kita beribadah kepada Allah, kita dapat menjadi orang-orang yang bertakwa. Kedua maksud tersebut adalah benar, oleh karena itu barangsiapa yang beribadah kepada Allah Ta'ala secara sempurna maka ia tergolong sebagai orang-orang yang bertakwa, dan jika tergolong orang-orang yang bertakwa, maka ia akan memperoleh keselamatan dari azab Allah dan kemurkaan-Nya.
-----------------------
22. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu[10] dan langit[11] sebagai atap, dan Dialah yang menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Karena itu janganlah kamu mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah[12], padahal kamu mengetahui[13].

[10] Agar manusia dapat hidup dengan mudah di atasnya.

[11] Langit atau dalam bahasa Arabnya disebut samaa' artinya semua yang ada di atas kita. Oleh karena itu, ahli tafsir menafsirkan samaa' atau langit di sini dengan awan.

[12] Ialah segala sesuatu yang disembah selain Allah seperti berhala-berhala, dewa-dewa, dan sebagainya.

[13] Yakni mengetahui bahwa Dialah satu-satunya yang menciptakan dan memberikan rezeki. karena itu hanya Dia sajalah yang berhak disembah, tidak selain-Nya. Ayat ini memerintahkan kita untuk beribadah kepada Allah Ta'ala saja dan meniadakan sesembahan selain Allah apa pun bentuknya sebagai cerminan dari kalimat Laailaahaillallah. Dalam ayat ini terdapat tauhid Rububiyyah (pernyataan bahwa hanya Allah saja yang menciptakan, mengatur, menguasai dan memberikan rezeki kepada alam semesta) dan uluhiyyah (keberhakan-Nya diibadahi). Jika kita mengetahui bahwa hanya Dia yang menciptakan dan mengatur alam semesta, maka hanya Dia pula yang berhak diibadahi; tidak selain-Nya.
-------------------------------
23. Dan jika kamu meragukan (Al Quran)[14] yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad)[15], maka buatlah[16] satu surat yang semisal dengannya dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.

[14] Orang yang masih meragukan jika sebelumnya tidak mengenal yang hak, lalu diterangkan yang hak itu, maka diharapkan mau mengikuti jika memang dalam hatinya ada niat mencari yang hak. Adapun orang yang tetap menentang, yakni sudah mengetahui yang hak, namun malah ditinggalkannya, maka tidak mungkin rujuk, demikian juga orang yang meragukannya dan niat untuk mencari yang hak tidak benar, pada umumnya ia juga tidak mau mengikuti.

[15] Jika kalian wahai orang-orang kafir tetap meragukan Al Qur'an yang diturunkan kepada Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam yang tidak mengenal tulis-baca dan kalian mengira bahwa ia bukan dati sisi Allah. Disebut "hamba Kami" oleh Allah Ta'ala dalam ayat tersebut merupakan kedudukan besar bagi Beliau.

[16] Ayat ini merupakan tantangan bagi mereka yang meragukan tentang kebenaran Al Quran. Al Qur'an itu tidak dapat ditiru walaupun hanya satu surat meskipun mengerahkan semua ahli sastera dan bahasa karena ia merupakan mukjizat Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.
-----------------------------------
24. Jika kamu tidak mampu membuatnya dan pasti kamu tidak akan mampu[17], maka takutlah kamu akan api neraka[18] yang bahan bakarnya manusia dan batu yang disediakan bagi orang-orang kafir[19].

[17] Hal ini merupakan bukti kebenaran Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan apa yang dibawanya. bagaimana mungkin makhluk yang diciptakan dari tanah (manusia) sanggup mengatakan perkataan yang sama dengan perkataan Rabbul 'aalamin, apakah makhluk yang memiliki kekurangan dan fakir ini mampu menandingi perkataan Zat yang memiliki kesempurnaan secara mutlak. Setiap orang yang memiliki rasa bahasa dan pengetahuan tentang berbagai macam perkataan pasti akan mengetahui perbedaan yang nampak ketika Al Qur'an ini dibandingkan dengan perkataan para ahli sastera.

[18] Yaitu dengan beriman kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan ta'at kepada Allah Ta'ala. Api neraka yang sudah disiapkan Allah Ta'ala untuk orang-orang yang kafir kepada Allah dan Rasul-Nya bahan bakarnya manusia dan batu, maka janganlah kamu kafir setelah jelas bagimu kebenarannya. Setelah itu, pada ayat selanjutnya Allah Ta'ala menyebutkan balasan jika mereka mau beriman sebagaimana pada ayat selanjutnya. Seperti inilah cara yang digunakan Al Qur'an, menggabung antara targhib (memberikan dorongan) dan tarhib (menakut-nakuti) agar seorang hamba ketika berharap sambil bersikap cemas, dan ketika takut sambil tetap berharap dan tidak berputus asa.

[19] Ayat ini menunjukkan bahwa orang-orang kafirlah yang kekal di neraka. Adapun orang yang beriman (muslim) meskipun melakukan dosa besar, maka ia tidak kekal di neraka.
------------------------------------
25. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang beriman dan berbuat baik, bahwa untuk mereka disediakan surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai[20]. Setiap kali mereka diberi rezeki buah-buahan dari surga, mereka berkata, "Inilah rezeki yang pernah diberikan kepada kami dahulu[21]." Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan di sana mereka (memperoleh) pasangan-pasangan yang suci[22]. Mereka kekal di dalamnya[23].

[20] Yakni berikanlah kabar gembira wahai Rasul dan orang yang menjadi pewarisnya (para ulama) kepada orang-orang yang beriman dengan hatinya dan beramal shalih dengan anggota badannya, di mana mereka membuktikan iman mereka dengan amal shalih, bahwa mereka akan memperoleh taman-taman yang indah, dan di bawah istana yang tinggi serta pohon yang lebat ada sungai-sungai yang mengalir; ada sungai yang berair tawar, sungai susu, sungai madu dan sungai khamr (arak) sebagaimana dalam surat Muhammad ayat 15; mereka bisa memancarkan dan mengarahkannya ke arah yang mereka kehendaki.
Amal yang baik disebut amal yang shalih, karena dengan amal shalih akan menjadi baik keadaan seorang hamba, urusan agama dan dunianya, hidupnya di dunia dan akhiratnya dan hilang daripadanya keadaan yang buruk sehingga ia termasuk ke dalam golongan orang-orang yang shalih, dan cocok untuk tinggal di sisi Ar Rahman di surga-Nya.

[21] Setiap kali Allah memberikan rezeki berupa satu jenis buah-buahan yang nikmat, mereka berkata, "Dahulu, Allah juga melimpahkan rezeki jenis ini." Ketika mereka memakannya, mereka merasakan sesuatu yang baru dalam hal rasa dan lezatnya, meskipun buah-buahan itu mirip dengan sebelumnya di dunia baik warna, nama dan nampak dari luarnya.

[22] Suci dari semua kotoran hissiy (yang dapat dirasakan) seperti buang air kecil, buang air besar, ingus, riak, haidh, dsb. demikian juga suci dari kotoran maknawi seperti dusta dan akhlak yang buruk.

[23] Kenikmatan di surga itu adalah kenikmatan yang serba lengkap, baik jasmani maupun rohani, penghuninya senantiasa memperoleh kenikmatan, mereka tidak mati di dalamnya dan tidak akan dikeluarkan. Dalam ayat ini terdapat anjuran memberikan kabar gembira kepada kaum mukmin untuk mendorong mereka beramal dengan menyebutkan balasan yang akan diperoleh, dengan begitu membuat mereka ringan dalam beramal shalih. Kabar gembira yang paling besar bagi seseorang adalah diberi-Nya taufiq untuk beriman dan beramal shalih, ia merupakan awal kabar gembira dan asalnya, setelahnya kabar gembira ketika meninggal dan setelahnya lagi adalah masuk ke tempat yang penuh kenikmatan. Kita meminta kepada Allah agar kita semua dimasukkan ke dalamnya, Allahumma aamiin.

==========================
Oleh Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ﴿٢١﴾ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ ۖ فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Wahai manusia, beribadahlah kepada Rabbmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allâh, padahal kamu mengetahui. [al-Baqarah/2:21-22]

MUQADDIMAH

Ketika kita membuka lembaran-lembaran mush-haf al-Qur’ân, kita akan mendapatkan kata perintah pertama kali terdapat dalam surat al-Baqarah ayat ke-21 dan kata larangan pertama kali terdapat dalam surat al-Baqarah ayat ke-22. Oleh karenanya, kedua ayat ini sangat penting untuk kita fahami dengan baik. Berikut ini sedikit penjelasan tentang dua ayat tersebut. Semoga bermanfaat.

Tafsir Ayat ke-21:

Firman Allâh Azza wa Jalla.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ 

Wahai manusia!

Ini adalah seruan kepada seluruh manusia, dari semua bangsa atau suku, di semua tempat dan waktu, setelah diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ini menunjukkan bahwa agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditujukan kepada seluruh manusia. Hal ini sebagaimana Firman Allâh Azza wa Jalla:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

Dan Kami tidak mengutusmu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya, sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui. [Saba’/34:28]

Firman Allâh Azza wa Jalla:

اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ 

“beribadahlah kepada Robb-mu Yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu”, 

Ini menunjukkan bahwa manusia wajib beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla karena Dia telah menciptakan manusia. Hal ini sebagaimana Firman Allâh Azza wa Jalla yang menyebutkan perkataan Nabi Syu’aib Alaihissallam kepada kaumnya :

وَاتَّقُوا الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالْجِبِلَّةَ الْأَوَّلِينَ

dan bertaqwalah kepada Allâh yang telah menciptakan kamu dan umat-umat yang dahulu". [asy-Syu’arâ’/26:184]

Dan sesungguhnya perintah Allâh Azza wa Jalla ini merupakan hikmah manusia diciptakan di dunia ini, sebagaimana firman-Nya:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. [adz-Dzâriyât/51:56]

Beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla yaitu: taat secara mutlak kepada Allâh Azza wa Jalla, disertai dengan rasa cinta dan pengangungan, berharap dan takut, dengan cara melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya lewat syari’at Rasul-Nya (Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam) dengan hati yang ikhlas.

Firman Allâh Azza wa Jalla:

لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“agar kamu bertaqwa”, 

Ini adalah tujuan ibadah seorang hamba, yaitu agar bertaqwa, agar hamba terlindungi dari murka dan siksa Allâh Azza wa Jalla . 

Imam Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah (wafat 795 H) berkata, “Makna dasar dari kata taqwa adalah seorang hamba membuat perlindungan yang akan melindunginya dari apa yang dia takutkan dan dia waspadai. Jadi makna ketaqwaan hamba kepada Rabbnya adalah dia membuat perlindungan yang akan melindunginya dari apa yang dia takutkan dan dia waspadai dari Rabbnya, seperti kemarahan-Nya dan siksa-Nya, dengan cara mentaati-Nya dan menjauhi kemaksiatan-kemaksiatan kepada-Nya.” [1] 

Ini juga menujukkan bahwa manfaat ibadah yang dilaksanakan hamba akan kembali kepada hamba tersebut, bukan untuk Allâh Azza wa Jalla , juga bukan untuk orang lain. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ ۖ وَمَنْ أَسَاءَ فَعَلَيْهَا ۗ وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيدِ

Barangsiapa mengerjakan amal saleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri, dan barangsiapa berbuat jahat maka (dosanya) atas dirinya sendiri; dan sekali-sekali tidaklah Rabbmu menganiaya hamba-hamba(Nya) [Fusshilat/41:46]

Tafsir Ayat ke-22:
Firman Allâh Azza wa Jalla:

الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ 

Dialah Yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu.[al-Baqarah/2:22]

Ini menunjukkan bahwa di antara sebab hamba diwajibkan beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla adalah Allâh Azza wa Jalla telah memberi rezeki kepada manusia. Dan Allâh Azza wa Jalla telah menyiapkan segala keperluan hidup manusia, dan telah melimpahkan berbagai nikmat-Nya kepada hamba. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ ﴿٥٦﴾ مَا أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَنْ يُطْعِمُونِ ﴿٥٧﴾ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya memberi Aku makan. Sesungguhnya Allâh Dialah Maha Pemberi rezki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.[adz-Dzâriyât/51:56-58]

Syaikh Abdurrahman bin Nâshir as-Sa’di (wafat 1376 H) rahimahullah berkata ketika menjelaskan ayat ke-22 dari surat al-Baqarah ini, “Kemudian Allâh Azza wa Jalla menyebutkan hujjah (argumentasi-red) wajibnya beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla semata, yaitu Dia adalah Rabb (Pencipta; Pemilik; Penguasa; Pemelihara) kamu (manusia), Yang telah memelihara kamu dengan berbagai macam kenikmatan. 

Dia telah menciptakan kamu yang sebelumnya tidak ada. Dia juga telah menciptakan orang-orang sebelum kamu. Dia telah memberikan kenikmatan kepada kamu dengan kenikmatan-kenikmatan lahir dan batin. 

Dia telah menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu, kamu dapat menetap di atasnya. Kamu juga dapat memanfaatkannya dengan (membuat) bangunan, pertanian, pengolahan tanah, berjalan dari satu tempat ke tempat yang lain dan berbagai pemanfaatan bumi yang lain.

Dia juga telah menjadikan langit sebagai atap bagi tempat tinggal kamu, dan Dia meletakkan di langit berbagai benda bermanfaat yang menjadi kebutuhan kamu, seperti matahari, bulan dan bintang-bintang....

Kemudian Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan, seperti biji-bijian dan buah-buahan dari pohon kurma, dan seluruh buah-buahan, serta tumbuh-tumbuhan, dan lainnya, sebagai rezeki untukmu, dengan itu kamu memperoleh rezeki, kamu mendapatkan makanan pokok, kamu hidup, dan bersenang-senang”.[2] 

Firman Allâh Azza wa Jalla:

فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا 

“Karena itu, janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allâh Azza wa Jalla ”, 

Ini merupakan larangan terhadap perbuatan syirik lawan dari tauhid, yaitu “Janganlah kamu menjadikan tandingan-tandingan (bagi Allâh Azza wa Jalla ) dari kalangan makhluk, yaitu kamu beribadah kepada tandingan-tandingan itu sebagaimana kamu beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla , dan kamu mencintai mereka sebagaimana kamu mencintai Allâh Azza wa Jalla , sedangkan mereka seperti kamu, diciptakan oleh Allâh Azza wa Jalla , diberi rezeki oleh Allâh Azza wa Jalla , dikuasai oleh Allâh Azza wa Jalla . Mereka tidak memiliki apapun, meskipun seberat debu di bumi dan di langit. Dan mereka tidak dapat memberikan manfaat kepada kamu dan tidak dapat membahayakan kamu”.[3] 

Firman Allâh Azza wa Jalla:

وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ 

“padahal kamu mengetahui”, 

Yaitu kamu mengetahui “bahwa Allâh Azza wa Jalla tidak memiliki sekutu dan tandingan, baik di dalam mencipta, memberi rezeki, dan mengatur. Demikian juga Allâh Azza wa Jalla tidak memiliki sekutu dan tandingan dalam ulûhiyah (hak untuk diibadahi) dan kesempurnaan. Lalu, bagaimana bisa kamu beribadah kepada tuhan-tuhan yang lain disamping beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla ? Padahal kamu mengetahui hal itu. Ini merupakan perkara yang sangat mengherankan dan kebodohan yang paling bodoh”.[4] 

Hal ini sebagaimana Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ ۖ فَأَنَّىٰ يُؤْفَكُونَ 

Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka (orang-orang musyrik), "Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?" Tentu mereka akan menjawab, "Allâh", maka bagaimanakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar). [al-‘Ankabut/29:61]

PETUNJUK-PETUNJUK AYAT.

1. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus kepada seluruh manusia.
2. Manusia wajib beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla karena Dia telah menciptakan manusia.
3. Di antara sebab manusia wajib beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla adalah karena Dia memberi rezeki kepada manusia
4. Tujuan ibadah hamba kepada Rabbnya adalah taqwa, yaitu untuk melindungi diri dari murka dan siksa Allâh Azza wa Jalla . 
5. Tauhid adalah perintah pertama kali aalam al-Qur’an. Ini menunjukkan pentingnya tauhid.
6. Syirik adalah larangan pertama kali dalam al-Qur’an. Ini menunjukkan bahaya syirik. 
7. Manusia meyakini keesaan Allâh dalam rubûbiyah-Nya (kekuasaan-Nya), maka seharusnya mereka juga meyakini keesaan Allâh dalam ulûhiyah-Nya (hak-Nya untuk diibadahi dan tidak disekutuan dengan selainNya)

Inilah sedikit penjelasan dua ayat yang agung ini. Semoga Allâh Azza wa Jalla selalu membimbing kita di atas jalan yang lurus.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi Khusus 11/Tahun XVII/1435H/2014M. ]
_______
Footnote
[1].Kitab Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam, 1/398, diteliti oleh: Syaikh Syu’aib al-Arnâuth dan Syaikh Ibrâhîm Bajis, penerbit: Muasasah ar-Risalah
[2].Tafsir Taisîr Karîmirrahmân, surat al-Baqarah ayat ke-22
[3]. Tafsir Taisîr Karîmirrahmân, surat al-Baqarah ayat ke-22, karya Syaikh Abdurrahman bin Nâshir as-Sa’di
[4]. Tafsir Taisîr Karîmirrahmân, surat al-Baqarah ayat ke-22

===========================

Allâh Azza wa Jalla berfirman.

مَثَلُهُمْ كَمَثَلِ الَّذِى اسْتَوْقَدَ نَارًا ۚ فَلَمَّآ اَضَاۤءَتْ مَا حَوْلَهٗ ذَهَبَ اللّٰهُ بِنُوْرِهِمْ وَتَرَكَهُمْ فِيْ ظُلُمٰتٍ لَّا يُبْصِرُوْنَ – صُمٌّ ۢ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَرْجِعُوْنَۙ

Perumpamaan mereka (orang-orang munâfiqîn) adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu, dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar) [al-Baqarah/2:17-18]

Salah Satu Permisalan Kondisi Kaum Munâfiqîn
Di sini, Allâh Azza wa Jalla menyerupakan para musuh-Nya, kaum munâfiqîn, dengan sekumpulan orang yang menyalakan api untuk penerangan bagi mereka. Melalui cahayanya, mereka dapat melihat hal-hal yang bermanfaat dan yang berbahaya bagi mereka. Jalan pun bisa mereka saksikan setelah sebelumnya berada dalam kebingungan lagi tersesat. Namun, setelah diterangi cahaya dan mereka dapat melihat dan mengetahui,, tiba-tiba api tersebut padam. Akhirnya, mereka berada dalam kegelapan (kembali).[1]

Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma mengatakan, “Allâh Azza wa Jalla memisalkan kaum munâfiqîn dengan permisalan seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. Mereka tidak dapat melihat kebenaran untuk kemudian mereka katakan. Sehingga ketika keluar dari kegelapan kekufuran dengan cahaya (keimanan tersebut), mereka memadamkan cahaya itu dengan kekufuran dan nifâq mereka. Allâh Azza wa Jalla pun kemudian membiarkan mereka dalam kegelapan kekufuran, sehingga mereka tidak dapat melihat petunjuk dan tidak istiqomah di atas kebenaran”.[2]

Demikianlah potret kaum munâfiqîn, gambaran yang sangat tepat untuk melukiskan kondisi mereka, kaum yang sebenarnya menyembunyikan kekufuran dalam relung hati terdalam, meski bibir-bibir mereka melontarkan pengakuan keimanan. Mereka memperoleh penerangan melalui cahaya iman yang dimiliki kaum Mukminin yang berada di sekitar mereka. Lantaran lentera iman itu bukan melekat pada mereka, akibatnya mereka hanya dapat memanfaatkannya sementara waktu saja. Konkretnya, darah mereka terpelihara, harta juga terjaga, dan setidaknya situasi aman sempat mereka rasakan di dunia ini. Namun ketika tiba-tiba kematian menerjang mereka, secercah cahaya yang sebelumnya menerangi hidup mereka akan hilang. Akhirnya, kegelapan demi kegelapan menerpa mereka; kegelapan alam kubur, kegelapan kekufuran, kegelapan nifak, kegelapan maksiat dengan berbagai jenisnya. Dan terakhir, kegelapan neraka. Itulah seburuk-buruknya tempat kembali. Wal ‘iyâdzu billâh.. Demikian paparan Syaikh as-Sa’di rahimahullah mengenai ayat pertama pada pembahasan ini.[3]

Sementara itu, Imam Ibnu Katsîr rahimahullah dengan merujuk penafsiran beberapa Ulama Salaf memandang bahwa cahaya yang dimaksud adalah keimanan yang sebelumnya ada di hati kaum munâfiqin. Artinya, mereka telah beriman sebelum kekufuran dan nifâq yang merasuki hati mereka. Mereka lebih mengutamakan kesesatan (dhalâlah) daripada hidayah, lebih menyukai penyimpangan setelah memperoleh pengetahuan tentang kebenaran. Kondisi ini diserupakan dengan permisalan yang telah disebutkan.[4]

Di akherat kelak, mereka akan menjadi penghuni neraka terbawah. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

اِنَّ الْمُنٰفِقِيْنَ فِى الدَّرْكِ الْاَسْفَلِ مِنَ النَّارِۚ

Sesungguhnya orang-orang munâfiq itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. [an-Nisâ/4:145]

Tiga Pintu Hidayah Tertutup dan Tidak Berfungsi
Pada diri kaum munâfiqîn, perangkat untuk memperoleh hidayah (kebenaran) yang telah disediakan bagi setiap manusia telah tertutup. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan bahwa hidayah akan masuk pada seorang hamba melalui tiga pintu; melalui apa yang ia dengar dengan telinganya, yang terlihat oleh matanya dan yang dipahami oleh hatinya. Ketiga akses hidayah ini  tidak berfungsi, sehingga hidayah pun terhalangi masuk. Akibatnya, hati mereka tidak mengetahui hal-hal yang bermanfaat bagi diri mereka sendiri.[5]

Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhuma mengatakan, “Mereka tidak dapat mendengar hidayah, tidak melihat dan tidak memahaminya”. [6] Hal itu dikarenakan mereka sudah terlampau jauh berbuat kerusakan (kufur dan nifâq)[7]

Layaknya Orang Cacat
Ketika organ tubuh tidak berfungsi sebagaimana mestinya, karena mereka tidak dapat memperoleh manfaat dari pendengaran, penglihatan dan hati, mereka pun disamakan dengan orang yang sama sekali tidak memiliki ketiga organ tersebut. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ

Mereka tuli, bisu, dan buta

Secara zhahir, dikatakan Syaikh as-Syinqîthi rahimahullah, ayat ini menyatakan kaum munâfiqîn memiliki sifat tuli, bisu dan buta. Akan tetapi, di tempat (ayat) lain, Allâh Azza wa Jalla menjelaskan bahwa makna tuli, bisu dan buta (yang ada pada mereka) adalah ketidakmampuan memperoleh  manfaat dari pendengaran, hati dan penghlihatan mereka.  seperti yang difirmankan Allâh Azza wa Jalla berikut:

وَلَقَدْ مَكَّنّٰهُمْ فِيْمَآ اِنْ مَّكَّنّٰكُمْ فِيْهِ وَجَعَلْنَا لَهُمْ سَمْعًا وَّاَبْصَارًا وَّاَفْـِٕدَةًۖ فَمَآ اَغْنٰى عَنْهُمْ سَمْعُهُمْ وَلَآ اَبْصَارُهُمْ وَلَآ اَفْـِٕدَتُهُمْ مِّنْ شَيْءٍ اِذْ كَانُوْا يَجْحَدُوْنَ بِاٰيٰتِ اللّٰهِ وَحَاقَ بِهِمْ مَّا كَانُوْا بِهٖ يَسْتَهْزِءُوْنَ

Dan Kami telah memberikan kepada mereka pendengaran, penglihatan dan hati; tetapi pendengaran, penglihatan dan hati merekatidak berguna sedikit juapun bagi mereka, karena mereka selalu mengngkari ayat-ayat Allah dan mereka telah diliputi oleh siksa yang dahulu selalu mereka memperolok-olokkannya [al-Ahqâf/46:26][8]

Mereka Tidak Akan Kembali Menuju Kebenaran
Vonis mereka tidak akan kembali kepada jalan kebenaran, sebagaimana termaktub dalam penggalan ayat yang terakhir, sangat beralasan. Selain alasan takdir yang berdasarkan ilmu (pengetahuan) Allâh Azza wa Jalla bahwa mereka tidak akan kembali kepada kebenaran[9], akhir hidup yang sangat buruk itu disebabkan usai mengetahui kebenaran dengan nyata, tidak malah mengikutinya, justru mereka menampiknya. Maka, sangat kecil kemungkinan mereka akan kembali dan sadar dalam kondisi apapun. Berbeda halnya orang yang melakukan penolakan terhadap kebenaran karena memang belum mengetahuinya atau berada dalam kesesatan. Orang seperti ini belum dapat memahami kebenaran dengan baik. Sehingga terbuka kemungkinan ia akan menerima kebenaran. [10]

Ibnu ‘Abbâs radhiyallahu anhuma mengatakan, ” Mereka tidak akan kembali menuju hidayah, juga tidak kepada kebaikan. Mereka tidak memperoleh keselamatan dari kondisi mereka”. Sedangkan Qatâdah memaknainya dengan mereka tidak akan bertaubat dan tidak akan menyadari”. [11]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan bahwa mereka tidak akan kembali karena mereka telah melihat cahaya dan menyaksikan hidayah (petunjuk Islam). Akan tetapi, ketika nyala cahaya itu padam, mereka pun tidak bisa melihat apa yang sebelumnya dapat mereka saksikan. [12]

Hal itu lantaran Allâh Azza wa Jalla telah menghilangkan cahaya itu dari sisi mereka. sehingga ma’iyyah khâshshah (kebersamaan Allâh Azza wa Jalla dengan hamba yang bersifat khusus) yang berkonsekuensi datangnya bantuan dan pertolongan dari-Nya telah terputus dari mereka. Sebab ini hanya diperuntukkan bagi kaum Mukminin semata.

Coba perhatikan firman Allah yang artinya  (Allâh hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka). Di situ disebutkan bahwa pancaran cahaya penerangan berada di luar mereka, tidak menyatu dengan mereka. Seandainya berpadu dengan mereka, tentu tidak akan hilang dari sisi mereka. Cahaya itu hanya bersifat temporer. Sementara kegelapan (baca: nifâq) adalah unsur yang permanen pada diri mereka. Selanjutnya, sinar cahaya kembali kepada sumbernya. Demikian pula, kegelapan pun tetap bertahan pada tempat asalnya. Pancaran cahaya pergi, tinggal api yang membakar yang masih menyertai mereka..

Pada akhirnya, mereka menjadi ahluzh zhulumât yaitu, orang-orang yang berada dalam naungan kegelapan yang sama sekali tidak memiliki cahaya penerangan sedikit pun. Ini akibat mereka menolak kebenaran yang merupakan cahaya. Sesungguhnya Allâh telah menamakan kitab-Nya sebagai cahaya, rasul-Nya sebagai cahaya, agama-Nya sebagai cahaya, petunjuk-Nya sebagai cahaya. Termasuk juga, nama Allâh Azza wa Jalla adalah an-nûr yang bermakna cahaya. Shalat juga dinamakan cahaya. Oleh karena itu, ketika Allâh hilangkan cahaya dari mereka, berarti ini semua (semua yang disebut cahaya di atas) secata otomatis juga hilang dari mereka.[13]

Kebenaran Hanya Satu
Perlu diketahui pula, pada ayat  yang artinya (Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka) (dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat), kebenaran yang diwakili dengan kata nûr (cahaya) hanya berjumlah satu. Sedangkan kegelapan yang kemudian menjadi kondisi yang menaungi kaum munafiqîn disebutkan dengan bentuk jamak (zhulumât). Ini, menurut Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menunjukkan bahwa al-haq (kebenaran) adalah satu yaitu jalan Allâh Azza wa Jalla yang lurus yang tidak ada pintu lain menuju kepada-Nya kecuali melalui pintu itu saja. Yaitu, beribadah kepada-Nya tanpa menyekutukan-Nya dan menjalankan syariat yang dibawa oleh Rasul-Nya, bukan atas dasar hawa nafsu, bid’ah dan jalan orang-orang yang keluar dari rel misi yang diemban beliau yang berupa petunjuk dan agama yang benar. Berbeda dengan kebatilan, berjumlah banyak dan bercabang-cabang. Oleh karena itu, pada ayat-ayat lain, Allâh Azza wa Jalla hanya menyebutkan kebenaran dengan bentuk mufrad (kata tunggal, satu), dan menyebutkan kebatilan dengan bentuk jamak.[14]

Demikianlah salah satu matsal (perumpamaan) yang Allâh Azza wa Jalla buat untuk memperjelas kondisi riil kaum munâfiqîn. Golongan yang sebelumnya Allâh Azza wa Jalla sebut mereka dengan telah melakukan transaksi jual-beli yang sangat merugikan. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ اشْتَرَوُا الضَّلٰلَةَ بِالْهُدٰىۖ فَمَا رَبِحَتْ تِّجَارَتُهُمْ وَمَا كَانُوْا مُهْتَدِيْنَ

Mereka itulah yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka tidaklah beruntung perniagaan mereka dan tidaklah mereka mendapat petunjuk. [al-Baqarah/2:16].

Pelajaran Dari Ayat:

  1. Permisalan dalam al-Qur`ân sangat bermanfaat untuk direnungi. (al’Ankabuut/29:43)
  2. Kaum munâfiqîn pernah beriman, kemudian mereka kufur kembali.
  3. Iman adalah cahaya yang memiliki pengaruh baik, bahkan bagi hati kaum munâfiqîn sekalipun.
  4. Allâh Azza wa Jalla membiarkan kaum munâfiqîn dalam kesesatan dan kekufurannya. Dan siapa saja dibiarkan Allâh Azza wa Jalla , berjalan tanpa taufik dari-Nya akan binasa.
  5. Kaum munâfiqîn tidak akan kembali dari kesesatan mereka. Sebab mereka berkeyakinan telah berbuat baik. Barang siapa menganggap keburukan adalah kebaikan, sulit baginya untuk menyadari kesalahannya.
  6. Buruknya akhir kehidupan orang-orang yang hidup dalam kebatilan.
  7. Kebenaran hanya satu, sementara kegelapan berjumlah banyak.

Wallâhu a’lam

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XIII/1431/2010M. Oleh Ustadz Ashim bin Musthofa]

_______
Footnote
[1]  Ijtimâ Juyûsyil Islâmiyyah , Ibnul Qayyim, tahqîq DR. Awwâd bin ‘Abdullâh al-Mu’tiq, hlm. 63
[2]  Atsar dengan sanad hasan. At-Tafsîr ash-Shahîh, DR Hikmat bin Basyîr (1/113)
[3]  Taisîrul Karîm ar-Rahmân,as-Sa’di. Lihat juga Aisarut Tafâsîr 1/19
[4]  Tafsîr al-Qur`ânil ‘Azhîm, Ibnu Katsîr, tahqîq Muhammad Sâmi Salamah, Dâr Thaibah
[5]  Ijtimâ Juyûsyil Islâmiyyah  hlm. 63
[6]  At-Tafsîr ash-Shahîh, DR Hikmat bin Basyîr (1/113)
[7]  Aisarut Tafâr (1/19)
[8]  Adhwâul Bayân, Muhammad al-Amîn asy-Syinqîthi  (1/41)
[9]  al-Jâmi li Ahkâmil Qur`ân  (1/259)
[10] Taisîrul Karîm ar-Rahmân hlm. 26, Aisarut Tafâr (1/19)
[11]  At-Tafsîr ash-Shahîh (1/113)
[12]  Ijtimâ Juyûsyil Islâmiyyah hlm. 63
[13] Lihat Ijtimâ Juyûsyil Islâmiyyah  hlm. 64


======================================

Related Posts:

0 Response to "Tafsir Al Baqarah Ayat 17-25"

Post a Comment