ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا ۖ فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ
Dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu yaitu Al-Kitab (Al-Qur`ân) itulah yang benar, dengan membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Mengetahui lagi Maha Melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya.[Fâthir/35:31]
Al-Qur`ân membenarkan kitab-kitab dan para rasul sebelumnya. Para rasul juga telah mengabarkan akan datangnya Al-Qur`ân. Oleh sebab itu, tidak mungkin seseorang beriman kepada kitab-kitab tersebut, akan tetapi mengingkari Al-Qur`ân. Pasalnya, pengingkarannya kepada Al-Qur`ân bertentangan dengan keimanannya kepada kitab-kitab sebelumnya. Bahwa berita tentang Al-Qur`ân telah termuat di dalam kitab-kitab tersebut. Ditambah lagi, keterangan-keterangan kitab-kitab sebelumnya bersesuaian dengan apa yang ada di dalam Al-Qur`ân.
Misalnya, Allah memberi kepada masing-masing umat sesuatu yang sesuai dengan kondisinya. Dalam konteks ini, syariat-syariat yang berlaku pada zaman dulu tidak relevan kecuali untuk masa dan zaman mereka. Oleh karena itu, Allah senantiasa mengutus para rasul, sampai akhirnya ditutup oleh Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang dengan aturan syariat yang relevan untuk setiap tempat dan masa. Demikian ringkasan keterangan Syaikh as-Sa’di tentang ayat pertama.[1]
Tiga Golongan Kaum Muslimin
ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا ۖ فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ
Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan idzin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar. [Fâthir/35:32]
Allah Azza wa Jalla mengabarkan betapa agung kemurahan dan kenikmatan-Nya yang telah dicurahkan kepada umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pilihan Allah Azza wa Jalla kepada mereka, lantaran mereka umat yang sempurna dengan akalnya, memiliki pemikiran terbaik, hati yang lunak, dan jiwa yang bersih.[2]
Secara khusus, Allah Subhanahu wa Ta’ala mewariskan kitab yang berisi kebenaran dan hidayah hakiki (Al-Qur`ân) kepada mereka. Kitab suci yang juga telah memuat kandungan al-haq yang ada dalam Injil dan Taurat. Sebab, dua kitab tersebut sudah tidak relevan untuk menjadi hidayah dan pedoman bagi umat manusia, lantaran telah terintervensi oleh campur tangan manusia.[3]
Allah Azza wa Jalla mengklasifikasi orang-orang yang menerima Al-Qur`ân, yaitu kaum muslimin menjadi tiga macam. Golongan pertama disebut zhâlim linafsihi. Golongan kedua disebut muqtashid. Jenis terakhir bergelar sâbiqun bil-khairât. Berikut penjelasan singkatnya.
وَآخَرُونَ اعْتَرَفُوا بِذُنُوبِهِمْ خَلَطُوا عَمَلًا صَالِحًا وَآخَرَ سَيِّئًا عَسَى اللَّهُ أَنْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampur-baurkan perkerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [at-Taubah/9: 102].
Adalah merupakan sesuatu yang menarik, manakala Imam al-Qurthubi rahimahullah mengetengahkan sekian banyak pendapat ulama berkaitan dengan sifat-sifat tiga golongan di atas. Sheingga bisa dijadikan sebagai cermin dan bahan muhasabah (introspeksi diri) bagi seorang muslim dalam kehidupan sehari-harinya; apakah ia termasuk dalam golongan pertama (paling rendah), tengah-tengah, atau menempati posisi yang terbaik dalam setiap sikap, perkataan dan tindakan.[10]
جَنَّاتُ عَدْنٍ يَدْخُلُونَهَا يُحَلَّوْنَ فِيهَا مِنْ أَسَاوِرَ مِنْ ذَهَبٍ وَلُؤْلُؤًا ۖ وَلِبَاسُهُمْ فِيهَا حَرِيرٌ
(Bagi mereka) surga ‘Adn, mereka masuk ke dalamnya, di dalamnya mereka diberi perhiasan dengan gelang-gelang dari emas, dan dengan mutiara, dan pakaian mereka di dalamnya adalah sutera. [Fâthir/35:33]
Janji Allah Azza wa Jalla berupa Jannatun-Na’iim kepada semua golongan tersebut, digapai pertama kali – berdasarkan urutan pada ayat – oleh zhâlim linafsih. Hal tersebut menunjukkan bahwa ayat ini termasuk arjâ âyâtil-Qur`ân. Yaitu ayat Al-Qur`ân yang sangat membekaskan sikap optimisme umat yang sangat kuat. Tidak ada satu pun seorang muslim yang keluar dari tiga klasifikasi di atas. Sehingga ayat ini dapat dijadikan sebagai dasar argumentasi bahwa pelaku dosa besar tidak kekal abadi di neraka. Pasalnya, golongan orang kafir dan balasan bagi mereka, secara khusus telah dibicarakan pada ayat-ayat setelahnya [Fâthir/35 ayat 36-37].
Syaikh’Abdul-Muhsin al-Abbâd hafizhahullah berkata tentang ayat di atas: “Allah Azza wa Jalla mengabarkan tentang besarnya kemurahan dan kenikmatan dengan memilih siapa saja yang Dia kehendaki untuk masuk Islam dengan mencakup tiga golongan secara keseluruhan. Setiap orang yang telah memperoleh hidayah Islam dari Allah Azza wa Jalla , maka tempat kembalinya adalah jannah, kendati golongan pertama akan mengalami siksa atas perbuatan kezhaliman yang dilakukan terhadap dirinya sendiri”.[11]
Hal ini sangat berbeda dengan kondisi Ahlul Kitab. Mereka hanya terbagi menjadi dua kelompok, yakni golongan yang muqtashid dalam beramal, dan kedua golongan –yang secara- prosentase, kebanyakan adalah orang-orang yang amalannya buruk. Allah Azza wa Jalla berfirman:
مِنْهُمْ أُمَّةٌ مُقْتَصِدَةٌ ۖ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ سَاءَ مَا يَعْمَلُونَ
… Di antara mereka ada golongan yang pertengahan. Dan alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh kebanyakan mereka. [al-Mâ`idah/5:66].[12]
Para ulama telah mencoba menganalisa penyebabnya. Sebagian ulama berpendapat, supaya golongan pertama itu tidak mengalami keputusasaan dari rahmat Allah Azza wa Jalla , dan golongan sâbiqun bil-khairat tidak silau dan terperdaya dengan amalan sendiri. Sebagian ulama lain menyatakan, alasan mendahulukan golongan zhâlimun linafsihi lantaran mayoritas penghuni surga berasal dari golongan itu. Sebab, orang yang tidak pernah terjerumus dalam perbuatan maksiat jumlahnya sedikit. Ini berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla :
وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْخُلَطَاءِ لَيَبْغِي بَعْضُهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَقَلِيلٌ مَا هُمْ
… Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zhalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih; dan amat sedikitlah mereka ini… [Shâd/38:24]
Secara lebih luas, Imam al-Qurthubi rahimahullah telah memaparkan pendapat-pendapat ulama yang lain dalam kitab tafsirnya.[13]
Pelajaran Dari Ayat
- Tingginya kemuliaan umat Muhammad dengan memperoleh anugerah kitab Al-Qur`an yang memuat kebenaran dan hidayah kitab Injil dan Taurat.
- Luasnya rahmat Allah Azza wa Jalla bagi umat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
- Kaum muslimin terbagi menjagi tiga tingkatan dalam beramal.
- Pentingnya berlomba-lomba dalam kebajikan.
- Orang yang berbuat dosa selain kufur dan syirik tidak kekal di neraka.
- Penjelasan mengenai kenikmatan penghuni surga. Wallahu a’lam
Marâji.
- Aisarut-Tafâsîr, Abu Bakar Jâbir al-Jazâiri, Maktabah ‘Ulum wal-Hikam, Madinah.
- Adhwâ-ul Bayân fi Îdhâhil-Qur`ân bil-Qur`ân, Muhammad al-Amin asy-Syinqîthi, Maktabah Ibnu Taimiyyah, Mesir, 1415 H – 1995 M.
- Al-Jâmi li Ahkâmil-Qur`ân (Tafsir al-Qurthubi), Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshâri al-Qurthubi, Tahqîq: ‘Abdur-Razzâq al-Mahdi, Dârul-Kitâbil-‘Arabi, Cetakan IV, Tahun 1422 H – 2001 M.
- Jâmi’ul-Bayân ‘an Ta`wil Ay Al-Qur`ân, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Dâr Ibnu Hazm, Cetakan I, Tahun 1423 H – 2002M.
- Kutub wa Rasâ`il, Min Kunûzil-Qur`anil-Karîm, ‘Abdul-Muhsin al-Abbâd al-Badr.
- Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm, al-Hafizh Abul-Fida Isma’îl bin ‘Umar bin Katsîr al-Qurasyi, Dârul Hadîts Kairo 1426H-2005M.
- Taisîrul-Karîmir-Rahmân, ‘Abdur-Rahmân bin Nâshir as-Sa’di, Dârul-Mughni, Riyadh, Cet. I, Th. 1419 H – 1999 M.
0 Response to "Tafsir Fathir Ayat 29-38"
Post a Comment