Ayat 63-68: Hari Kiamat adalah benar dan tidak ada keraguan padanya, hanya Allah yang mengetahui kapan terjadinya hari Kiamat, balasan bagi orang-orang kafir dan peringatan agar tidak mengikuti orang-orang yang menyimpang.
يَسْأَلُكَ النَّاسُ عَنِ السَّاعَةِ قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ اللَّهِ وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّ السَّاعَةَ تَكُونُ قَرِيبًا (٦٣) إِنَّ اللَّهَ لَعَنَ الْكَافِرِينَ وَأَعَدَّ لَهُمْ سَعِيرًا (٦٤) خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا لا يَجِدُونَ وَلِيًّا وَلا نَصِيرًا (٦٥) يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ يَقُولُونَ يَا لَيْتَنَا أَطَعْنَا اللَّهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولا (٦٦) وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلا (٦٧) رَبَّنَا آتِهِمْ ضِعْفَيْنِ مِنَ الْعَذَابِ وَالْعَنْهُمْ لَعْنًا كَبِيرًا (٦٨
Terjemah Surat Al Ahzab Ayat 63-68
63. [1]Manusia bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hari Kiamat[2]. Katakanlah, "Ilmu tentang hari Kiamat itu hanya di sisi Allah[3].” Dan tahukah engkau (wahai Muhammad), boleh jadi hari Kiamat itu sudah dekat waktunya[4].
64. Sungguh, Allah melaknat orang-orang kafir[5] dan menyediakan bagi mereka api yang menyala-nyala (neraka)[6],
65. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; mereka tidak akan mendapatkan pelindung[7] dan penolong[8].
66. Pada hari (ketika) wajah mereka dibolak-balikan dalam neraka[9], mereka berkata, "Wahai, kiranya dahulu kami taat kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul[10].”
67. Dan mereka[11] berkata, "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menaati para pemimpin dan para pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar)[12].
68. [13]Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan laknatlah mereka dengan laknat yang besar[14].”
Ayat 69-73: Takwa kepada Allah membawa kepada kebaikan amal dan ampunan dosa, sisi kezaliman dan kebodohan manusia adalah ketika mau menerima tugas, tetapi tidak mau melaksanakannya, dan pemberitahuan tentang besarnya tanggung jawab amanah.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَكُونُوا كَالَّذِينَ آذَوْا مُوسَى فَبَرَّأَهُ اللَّهُ مِمَّا قَالُوا وَكَانَ عِنْدَ اللَّهِ وَجِيهًا (٦٩) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلا سَدِيدًا (٧٠) يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا (٧١) إِنَّا عَرَضْنَا الأمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الإنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولا (٧٢) لِيُعَذِّبَ اللَّهُ الْمُنَافِقِينَ وَالْمُنَافِقَاتِ وَالْمُشْرِكِينَ وَالْمُشْرِكَاتِ وَيَتُوبَ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا (٧٣)
Terjemah Surat Al Ahzab Ayat 69-73
69. [15]Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu[16] seperti orang-orang yang menyakiti Musa; maka Allah membersihkannya dari tuduhan-tuduhan yang mereka lontarkan[17]. Dan dia seorang yang mempunyai kedudukan terhormat di sisi Allah.
70. [18]Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar,
71. [19]niscaya Allah akan memperbaiki amal-amalmu[20] dan mengampuni dosa-dosamu[21]. Dan barang siapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia telah mendapat kemenangan yang besar.
72. [22]Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat[23] kepada langit, bumi dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya (berat)[24], lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat bodoh,
73. [25]Sehingga Allah mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, orang-orang musyrik, laki-laki dan perempuan[26]; dan Allah akan menerima tobat orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan[27]. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang[28].
KANDUNGAN AYAT
[1] Manusia bertanya kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam tentang hari Kiamat dengan maksud meminta disegerakan, sedangkan sebagian lagi mendustakan kejadiannya dan mencoba melemahkan yang memberitahukannya.
[2] Yakni kapan terjadinya?
[3] Yakni tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah, aku dan selainku tidak mengetahui kapan terjadinya, namun kamu janganlah menganggapnya lambat.
[4] Dekat atau jauh kiamat tidak ada faedahnya, yang ada faedahnya adalah rugi atau beruntung, celaka atau bahagia, apakah seorang hamba berhak mendapatkan azab atau berhak mendapatkan pahala di hari itu? Inilah yang perlu diberitahukan. Maka di ayat selanjutnya disebutkan sifat orang yang berhak mendapatkan azab dan sifat azabnya, karena azab tersebut sesuai dengan mereka yang mendustakan kiamat.
[5] Yaitu yang kekafiran sudah menjadi kebiasaan mereka, di mana jalan mereka adalah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya serta kafir kepada kepada apa yang mereka (para rasul) bawa dari sisi Allah, maka Allah menjauhkan mereka di dunia dan akhirat dari rahmat-Nya, dan cukuplah yang demikian sebagai hukumannya.
[6] Api tersebut naik sampai ke hati dan mereka kekal di dalam azab itu, tidak keluar darinya dan tidak diringankan walau sesaat.
[7] Yang memberikan apa yang mereka minta.
[8] Yang menghindarkan azab dari mereka. Pelindung maupun penolong telah meninggalkan mereka, dan mereka diliputi oleh azab yang menyala-nyala serta terasa sampai ke hati saking dahsyatnya.
[9] Mereka pun merasakan panasnya, perkaranya semakin dahsyat dan mereka menyesali perbuatan yang mereka lakukan di masa lalu.
[10] Sehingga kami selamat dari azab ini dan kami mendapatkan pahala yang besar sebagaimana orang-orang yang taat. Akan tetapi waktunya telah lewat, sehingga tidak ada lagi gunanya, yang ada hanyalah penyesalan, kekecewaan, kesedihan dan rasa sakit.
[11] Yang menjadi pengikut.
[12] Ayat ini seperti yang disebutkan dalam surah Al Furqan: 27-29, yaitu: “Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit dua tangannya, seraya berkata, "Wahai, kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul.-- Kecelakaan besarlah bagiku; sekiranya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan itu teman akrab(ku).-- Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al Quran ketika Al Quran itu telah datang kepadaku. Dan setan itu tidak mau menolong manusia.”
[13] Mereka mengetahui, bahwa mereka dan para pemimpin mereka berhak mendapatkan azab, namun mereka ingin membalas orang yang menyesatkan mereka.
[14] Maka Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman sebagaimana dalam surah Al A’raaf: 38, “Masing-masing mendapatkan siksaan yang berlipat ganda, akan tetapi kamu tidak mengetahui.” Oleh karena mereka sama-sama melakukan kekafiran dan kemaksiatan, maka mereka sama-sama mendapatkan azab meskipun azab yang satu dengan yang lain berbeda sesuai tingkat kejahatannya.
[15] Allah Subhaanahu wa Ta'aala mengingatkan hamba-hamba-Nya yang mukmin agar tidak menyakiti Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam; nabi yang mulia, yang memiliki sifat pengasih dan penyayang dengan bersikap kepada Beliau bertentangan dengan yang seharusnya, yaitu dimuliakan dan dihormati dan agar mereka tidak menyerupai orang-orang yang menyakiti Musa bin Imran, seorang yang diajak bicara oleh Allah, lalu Allah membersihkan Beliau dari tuduhan yang mereka lontarkan, yaitu dengan menunjukkan kebersihan Beliau. Padahal Musa ‘alaihis salam tidak pantas dijadikan sasaran tuduhan dan gangguan karena Beliau memiliki kedudukan terhormat di sisi Allah, dekat dengan-Nya, termasuk rasul pilihan dan termasuk hamba-hamba-Nya yang ikhlas. Keutamaan Beliau yang begitu banyak tidak membuat mereka berhenti dari menyakiti Beliau. Oleh karena itu, kamu wahai kaum mukmin berhati-hatilah jangan menyerupai mereka.
[16] Terhadap nabimu.
[17] Imam Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Musa adalah seorang pemalu dan menutupi diri. Kulitnya sedikit pun tidak terlihat karena malu (ketika mandi), lalu di antara Bani Israil ada orang-orang yang menyakiti Beliau, mereka berkata, “Tidaklah Beliau menutup diri seperti ini kecuali karena cacat di kulitnya, entah itu sopak, udrah (bengkak biji kemaluannya), atau karena penyakit. Allah ingin membersihkan Beliau dari tuduhan yang mereka lontarkan kepada Musa itu. Maka pada suatu hari, Musa menyendiri, ia taruh pakaiannya di atas sebuah batu, kemudian mandi. Setelah selesai, ia datangi pakaiannya untuk mengambilnya, tetapi batu itu malah membawa lari pakaiannya, maka Musa mengambil tongkatnya dan mengejar batu itu sambil berkata, “Pakaianku hai batu, pakaianku hai batu.” Sehingga Beliau tiba di tengah kumpulan Bani Israil, lalu mereka melihat Beliau dalam keadaan telanjang ternyata fisiknya fisik terbaik yang diciptakan Allah. Allah membersihkan Beliau dari tuduhan yang mereka katakan itu, lalu batu itu berdiri, kemudian Musa mengambil pakaiannya dan memakainya, lalu dipukullah batu itu dengan tongkatnya. Demi Allah, sesungguhnya pada batu itu ada bekas pukulannya tiga, empat atau lima pukulan. Itulah maksud firman Allah Ta’ala, “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar,” (terj. Al Ahzaab: 70)
Imam Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Pada saat perang Hunain, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengutamakan beberapa orang dalam pembagian (harta rampasan perang). Beliau memberikan Aqra’ bin Habis seratus ekor unta, memberikan kepada ‘Uyainah seperti itu dan memberikan juga kepada beberapa pemuka Arab. Ketika itu, Beliau melebihkan mereka dalam pembagian. Lalu ada seseorang yang berkata, “Demi Allah, sesungguhnya pembagian ini tidak ada keadilannya, dan tidak dimaksudkan untuk mencari wajah Allah.” Aku (Ibnu Mas’ud) berkata, “Demi Allah, saya akan laporkan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu aku mendatanginya dan memberitahukan hal itu. Maka Beliau bersabda, “Siapakah yang akan berbuat adil jika Allah dan Rasul-Nya tidak berbuat adil? Semoga Allah merahmati Musa. Sungguh, dia telah disakiti dengan yang lebih dari ini, namun ia bersabar.”
[18] Allah Subhaanahu wa Ta'aala menerintahkan kaum mukmin agar bertakwa kepada-Nya dalam setiap keadaan mereka, ketika sembunyi atau terang-terangan. Demikian pula mengajak mereka berkata benar, yakni perkataan yang sesuai kebenaran atau mendekatinya ketika sulit dipastikan. Termasuk ke dalam perkataan yang benar adalah membaca Al Qur’an, berdzikr, beramar ma’ruf dan bernahi mungkar, mempelajari ilmu dan mengajarkannya, berusaha sesuai dengan kebenaran dalam berbagai masalah ilmiah, menempuh jalan yang mengarah kepadanya serta sarana yang dapat membantu kepadanya. Termasuik perkataan yang benar pula adalah ucapan yang lembut dan halus ketika berbicara dengan orang lain dan ucapan yang mengandung nasihat serta isyarat kepada yang lebih bermaslahat.
[19] Selanjutnya Allah Subhaanahu wa Ta'aala menyebutkan manfaat dari bertakwa kepada-Nya dan mengucapkan perkataan yang benar.
[20] Yang demikian menjadi sebab baiknya amal yang dilakukan dan jalan agar diterima, karena menggunakan takwa menjadikan semua amal diterima, sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Allah hanya menerima dari orang-orang yang bertakwa.” (Terj. Al Maa’idah: 27) Di samping itu, dengan takwa, Allah akan memberi taufik kepada seseorang untuk beramal saleh, menjaga amal tersebut dari yang merusaknya, menjaga pahalanya dan melipatgandakannya, sebagaimana jika seseorang meremehkan ketakwaan dan perkataan yang benar menjadikan sebab rusaknya amal, tidak diterimanya dan tidak ada pengaruhnya.
[21] Dosa merupakan penyebab binasanya seseorang, maka dengan takwa Allah akan ampuni dosa-dosa itu, perkara menjadi lurus dan semua yang dikhawatirkan terjadi hilang.
[22] Allah Subhaanahu wa Ta'aala membesarkan masalah amanah yang dibebankannya kepada orang-orang mukallaf.
[23] Yang dimaksud dengan amanah di sini ialah tugas-tugas agama, yaitu mengerjakan perintah dan menjauhi larangan seperti shalat dan lainnya, di mana jika dikerjakan mereka akan mendapatkan pahala, dan jika ditinggalkan mereka akan mendapatkan siksa. Allah Subhaanahu wa Ta'aala menawarkannya kepada makhluk-makhluk yang besar, seperti langit, bumi dan gunung-gunung, penawaran pilihan bukan paksaan.
[24] Mereka khawatir tidak sanggup memikulnya dan malah mendurhakai Tuhannya, bukan karena tidak suka pahalanya. Lalu Allah menawarkannya kepada manusia, kemudian manusia menerimanya dan siap memikulnya dengan keadaannya yang zalim lagi jahil (bodoh).
[25] Dalam memkul tugas amanah itu, manusia terbagi menjadi tiga golongan:
Pertama, kaum munafik yang menampakkan dirinya bahwa mereka melaksanakannya baik lahir maupun batin, padahal tidak.
Kedua, kaum musyrik yang tidak melaksanakannya sama sekali, baik lahir maupun batin.
Ketiga, kaum mukmin yang melaksanakannya lahir maupun batin.
Maka di ayat tersebut Allah Subhaanahu wa Ta'aala menyebutkan amal ketiga golongan itu dan balasan kepada masing-masingnya.
[26] Yang tidak menjalankan amanah itu.
[27] Yang menjalankan amanah itu.
[28] Segala puji bagi Allah Ta’ala karena Dia mengakhiri ayat ini dengan dua nama-Nya yang mulia, yang menunjukkan sempurnanya ampunan Allah, luasnya rahmat-Nya dan meratanya kepemurahan-Nya, tetapi sayangnya kebanyakan mereka tidak mau mendapatkan ampunan dan rahmat-Nya karena perbuatan nifak dan syirknya.
=====================
TAFSIR AYAT 33:72
إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ ۖ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا﴿٧٢﴾لِيُعَذِّبَ اللَّهُ الْمُنَافِقِينَ وَالْمُنَافِقَاتِ وَالْمُشْرِكِينَ وَالْمُشْرِكَاتِ وَيَتُوبَ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh. Sehingga Allâh mengadzab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrikin laki-laki dan perempuan; dan sehingga Allâh menerima taubat orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan. dan adalah Allâh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Al-Ahzâb/33: 72-73]
Firman Allâh Azza wa Jalla :
إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung. [Al-Ahzâb/33:72]
TAFSIR AYAT
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata, “Allâh Azza wa Jalla mengagungkan urusan amanah yang telah Dia bebankan kepada para mukallaf (orang-orang yang berakal dan sudah dewasa). Amanah tersebut adalah melaksanakan semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya dalam keadaan rahasia dan sepi sebagaimana dia melaksanakannya dalam keadaan bersama orang banyak. Dan Allâh Azza wa Jalla telah menawarkan amanah itu kepada makhluk-makhluk yang besar, langit, bumi, dan gunung. Penawaran ini adalah penawaran untuk memilih, bukan penawaran untuk mengharuskan. Yaitu ‘jika kamu melaksanakan dengan sebaik-baiknya, maka kamu akan mendapatkan pahala, namun jika kamu tidak melaksanakannya, maka kamu akan mendapatkan hukuman’. [Tafsir Taisîr Karîmir Rahmân fi Tafsîril Kalâmin Mannân, 1/673]
Firman Allâh Azza wa Jalla :
فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا
tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya. [Al-Ahzâb/33: 72]
TAFSIR AYAT:
Syaikh Muhammad asy-Syinqithi rahimahullah berkata, “Allâh Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan dalam ayat yang mulia ini bahwa Allâh Azza wa Jalla telah menawarkan amanah, yaitu beban-beban agama yang diiringi dengan pahala dan hukuman, kepada langit, bumi, dan gunung, tetapi semuanya enggan memikulnya. Mereka khawatir, mereka takut dari akibat memikulnya, karena hal itu akan menyebabkan siksa dan murka Allâh kepada mereka. Penawaran (dari Allâh Azza wa Jalla ) , dan kengganan serta kekhawatiran (makhluk-makhluk tersebut), semuanya haq (benar-benar terjadi-pen). Karena sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla telah menciptakan pemahaman bagi langit, bumi, dan gunung, dengan ilmu-Nya, walaupun kita tidak mengetahuinya. Dengan pemahaman tersebut makhluk-makhluk itu memahami penawaran amanah kepada mereka, mereka enggan dan takut. (Pemahaman makhluk) seperti ini ditunjukkan oleh ayat-ayat dan hadits-hadits yang banyak. Di antara ayat-ayat yang menunjukkan adanya pemahaman yang dimiliki oleh benda-benda mati adalah:
Firman Allâh Azza wa Jalla di dalam surat al-Baqarah tentang batu:
وَإِنَّ مِنْهَا لَمَا يَهْبِطُ مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ
Padahal diantara batu-batu itu sungguh ada yang meluncur jatuh, karena takut kepada Allâh. [Al-Baqarah/2: 74]
Allâh Azza wa Jalla menyatakan dengan gamblang bahwa diantara batu-batu itu sungguh ada yang meluncur jatuh karena takut kepada Allâh Azza wa Jalla . Rasa takut yang Allâh Azza wa Jalla nisbatkan kepada sebagian batu-batu adalah dengan sebab pemahaman (pada batu) yang diketahui oleh Allâh Azza wa Jalla .
Termasuk firman Allâh Azza wa Jalla :
تُسَبِّحُ لَهُ السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ ۚ وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ وَلَٰكِنْ لَا تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ ۗ إِنَّهُ كَانَ حَلِيمًا غَفُورًا
Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allâh. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun. [Al-Isra’/17: 44]
Termasuk firman Allâh Azza wa Jalla :
فَفَهَّمْنَاهَا سُلَيْمَانَ ۚ وَكُلًّا آتَيْنَا حُكْمًا وَعِلْمًا ۚ وَسَخَّرْنَا مَعَ دَاوُودَ الْجِبَالَ يُسَبِّحْنَ وَالطَّيْرَ ۚ وَكُنَّا فَاعِلِينَ
Maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat); dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu dan telah Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud dan Kamilah yang melakukannya. [Al-Anbiyâ’/21: 79]
Dan ayat-ayat lainnya. Adapun hadits-hadits shahih yang menunjukkan hal tersebut antara lain:
Kisah tangisan kayu, yang biasa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah padanya kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkannya dan berkhutbah di atas mimbar. Kisah ini diriwayatkan dalam Shahîh al-Bukhâri.
Juga hadits shahih riwayat Muslim, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنِّى لأَعْرِفُ حَجَرًا بِمَكَّةَ كَانَ يُسَلِّمُ عَلَىَّ قَبْلَ أَنْ أُبْعَثَ إِنِّى لأَعْرِفُهُ الآنَ
Sesungguhnya sekarang aku mengerti sebuah batu di kota Makkah yang dahulu mengucapkan salam kepadaku sebelum aku diutus sebagai Rasul. Sekarang aku mengerti. [HR. Muslim, no. 2277. Lafazh ini mengikuti lafazh di dalam Shahîh Muslim-pen]
Dan hadits-hadits semisal ini banyak. Semua yang disebutkan dalam al-Kitab dan as-Sunnah (tentang pemahaman yang dimiliki benda-benda mati-pen) adalah dengan pemahaman yang diketahui oleh Allâh Azza wa Jalla , sedangkan kita tidak mengetahuinya, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :
وَلَٰكِنْ لَا تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ
Tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. [Al-Isra’/17: 44]
Seandainya yang dimaksud dengan tasbihnya benda-benda mati adalah pemberian petunjuk kepadanya untuk mengenal Penciptanya, tentulah kita memahaminya, sebagaimana hal itu telah difahami dan ditunjukkan oleh ayat-ayat yang banyak”. [Tafsîr Adh-wâul Bayân fi Tafsîril Qur’ân bil Qur’ân, 6/362]
Firman Allâh Azza wa Jalla :
وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ
dan dipikullah amanat itu oleh manusia. [Al-Ahzâb/33: 72]
TAFSIR AYAT:
Syaikh Muhammad asy-Syinqithi rahimahullah ,“Secara zhahir bahwa yang dimaksud dengan ‘manusia’ (di dalam ayat ini) adalah (Nabi) Adam Alaihissallam ”. [Tafsîr Adh-wâul Bayân fi Tafsîril Qur’ân bil Qur’ân, 6/362]
Firman Allâh Azza wa Jalla :
إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا
Sesungguhnya dia (manusia) itu amat zalim dan amat bodoh [Al-Ahzâb/33:72]
TAFSIR AYAT:
Syaikh Muhammad asy-Syinqithi t berkata, “Kata ganti dalam firmanNya ‘Sesungguhnya dia (manusia) itu amat zhalim dan amat bodoh’ kembali kepada lafazh ‘manusia’ tanpa kehendak yang disebutkan, yaitu Nabi Adam q . Maknanya: bahwa manusia mana saja yang tidak menjaga amanah dia amat zalim dan amat bodoh, yaitu banyak kezhaliman dan kebodohan.
Dalil terhadap hal ini dua perkara:
Pertama: Isyarat dari al-Qur’ân yang menunjukkan terbaginya manusia dalam mengemban amanah yang disebutkan menjadi: (manusia) yang disiksa dan dirahmati, yaitu dalam firman Allâh Azza wa Jalla setelahnya:
لِيُعَذِّبَ اللَّهُ الْمُنَافِقِينَ وَالْمُنَافِقَاتِ وَالْمُشْرِكِينَ وَالْمُشْرِكَاتِ وَيَتُوبَ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
Sehingga Allâh mengadzab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrikin laki-laki dan perempuan; dan sehingga Allâh menerima taubat orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan. dan adalah Allâh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Al-Ahzâb/33:73]
Ini menunjukkan bahwa manusia yang amat zhalim dan amat bodoh itu adalah manusia yang disiksa, -wal-iyadzu billah- yaitu orang-orang munafik, laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan, bukan orang-orang Mukmin laki-laki dan perempuan.
Huruf lam dalam firman Allâh ‘liyu’adziba’ (sehingga Allâh Azza wa Jalla mengazab), adalah huruf lam ta’lil (yang menjelaskan sebab) yang berkaitan dengan ‘dan dipikullah amanat itu oleh manusia’.
Kedua: Bahwa metode yang telah disebutkan, yaitu kembalinya dhamir (kata ganti) kepada lafazh semata, tanpa makna rincinya, telah dikenal dalam bahasa Arab yang al-Qur’an turun dengan bahasa Arab. [Tafsîr Adh-wâul Bayân fi Tafsîril Qur’ân bil Qur’ân, 6/362]
Firman Allâh Azza wa Jalla :
لِيُعَذِّبَ اللَّهُ الْمُنَافِقِينَ وَالْمُنَافِقَاتِ وَالْمُشْرِكِينَ وَالْمُشْرِكَاتِ وَيَتُوبَ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
Sehingga Allâh mengadzab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrikin laki-laki dan perempuan; dan sehingga Allâh menerima taubat orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan. Dan adalah Allâh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
TASIR AYAT:
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah (1/673) berkata, “Terkait manusia yang melaksakan amanah dan tidak, mereka terbagi menjadi 3 bagian:
1. Orang-orang munafik. Mereka menampakkan bahwa mereka melaksanakan amanah secara lahir dan batin.
2. Orang-orang musyrikin. Mereka meninggalkan amanah secara lahir dan batin.
3. Orang-orang Mukmin. Mereka melaksanakan amanah secara lahir dan batin.
Allâh Azza wa Jalla menyebutkan perbuatan-perbuatan tiga golongan manusia ini dan pahala serta siksa yang mereka dapatkan. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
لِيُعَذِّبَ اللَّهُ الْمُنَافِقِينَ وَالْمُنَافِقَاتِ وَالْمُشْرِكِينَ وَالْمُشْرِكَاتِ وَيَتُوبَ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
Sehingga Allâh mengadzab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrikin laki-laki dan perempuan; dan sehingga Allâh menerima taubat orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan. dan adalah Allâh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Al-Ahzâb/33: 73]
Maka segala puji milik Allâh Azza wa Jalla , yang mana Dia menutup ayat ini dengan dua nama-Nya yang mulia, yang menunjukkan kesempurnaan ampunan Allâh Azza wa Jalla dan keluasan rahmat-Nya, serta kemurahan-Nya. Padahal kebanyakan manusia tidak berhak mendapatkan ampunan dan rahmat, karena kemunafikannya dan kemusyrikannya”.
FAEDAH-FAEDAH AYAT
1. Keagungan urusan amanah yang telah Allâh Azza wa Jalla bebankan kepada para mukallaf (orang-orang yang berakal dan sudah dewasa). Amanah tersebut adalah melaksanakan semua perintahNya dan menjauhi semua laranganNya.
2. Langit, bumi, dan gunung semuanya enggan memikul amanat itu, karena mereka takut siksa dan murka Allâh Azza wa Jalla kepada mereka jika mengkhianati amanat.
3. Sesungguhnya Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah menciptakan pemahaman bagi langit, bumi, dan semua yang ada di dalamnya dengan ilmu-Nya, walaupun kita tidak mengetahuinya.
4. Nabi Adam Alaihissallam sanggup memikul amanat untuk melaksanakan semua perintah Allâh dan menjauhi semua larangan-Nya.
5. Sesungguhnya manusia mana saja itu yang tidak menjaga amanah dia amat zhalim dan amat bodoh, yaitu banyak kezhaliman dan kebodohan.
6. Berkaitan dengan pelaksanaan amanah manusia terbagi menjadi 3 bagian: orang-orang munafik, orang-orang musyrikin, dan orang-orang mukmin.
7. Orang-orang munafik dan orang-orang musyrikin adalah orang-orang yang akan mendapatkan siksa Allâh, karena mereka mengkhianati amanah.
8. Orang-orang mukmin adalah orang-orang yang akan mendapatkan rahmat Allâh, karena mereka melaksanakan amanah.
9. Allâh Maha Pengampun terhadap orang-orang yang bertaubat.
10. Allâh Maha Penyayang dan Maha Murah kepada orang-orang yang beriman.
Al-hamdulillahi Rabbil ‘alamin.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XVIII/1435H/2014.]
======================
TAFSIR RINGKAS [Al-Ahzab/33:66-68]
“Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikan dalam neraka,” seperti daging yang dipanggang dan dibolak-balikkan di dalam api.
“Mereka berkata, ‘Alangkah baiknya, andaikata kami dulu taat kepada Allâh dan taat (pula) kepada Rasul.’.” Mereka berharap dengan perkataan-perkataan mereka, andai mereka dulu mentaati Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya dan tidak bermaksiat kepada Allâh dan Rasul-Nya.
“Dan mereka berkata, ‘Wahai Rabb kami! Sesungguhnya kami dulu telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar).’.” Ini adalah aduan dan alasan yang mereka sampaikan. (Namun) aduan mereka tidak mungkin bisa diterima dan tidak akan bermanfaat untuk mereka. Mereka mengatakan, “Sesungguhnya kami telah mentaati mereka, karena dahulu mereka menyuruh kami untuk melakukan kekufuran, kesyirikan dan melakukan hal-hal buruk, sehingga mereka menyesatkan kami dari jalan, yaitu dari jalan petunjuk, sehingga kami hidup dalam keadaan sesat, kami mati dalam keadaan kafir dan kami dikumpulkan bersama orang-orang yang berbuat dosa,
“Wahai Rabb kami! Timpakanlah kepada mereka dua kali lipat dari azab dan laknatlah mereka dengan laknat yang besar.” Maksudnya, Wahai Rabb kami! Lipat gandakanlah (adzab-Mu) kepada para pemimpin dan para pembesar kami yang telah menyesatkan kami. Lipat gandakanlah azab mereka dua kali lipat.
“Dan laknatlah mereka,” maksudnya timpakanlah kepada mereka adzab yang besar yang selalu menimpa mereka selama-lamanya.[1]
PENJABARAN AYAT
Firman Allâh Azza wa Jalla :
يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ يَقُولُونَ يَا لَيْتَنَا أَطَعْنَا اللَّهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولَا
Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikan dalam neraka, mereka berkata, “Alangkah baiknya, andaikata kami dulu taat kepada Allâh dan taat (pula) kepada Rasul.”
Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan kepada kita tentang keadaan orang-orang kafir yang menjadi korban penyesatan para pembesar mereka di akhirat nanti. Wajah mereka akan dibolak-balikkan di dalam neraka. Mereka sangat menyesali apa yang telah mereka lakukan di dunia, karena mereka tidak mau mengikuti apa yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya perintahkan.
Arti “dibolak-balikkan wajah mereka”
Adzab di neraka amat sangat pedih. Para penghuninya akan merasakan kesakitan yang luar biasa dan mendapatkan berbagai macam jenis adzab, termasuk di dalamnya adalah wajah mereka akan dibolak-balikkan oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Ada beberapa penafsiran dari para Ulama tentang cara pembolak-balikan wajah mereka.
Asy-Syaukani rahimahullah mengatakan, “Arti dibolak-balikkan wajah-wajah adalah dibolak-balik dari satu arah, kemudian dibalikkan ke arah yang lain, seperti dari arah punggung ke arah perut, atau berubah-ubah warna mereka karena terkena sambaran api, sehingga terkadang berubah menjadi hitam dan terkadang berubah menjadi hijau, atau diubah kulit mereka dengan kulit yang lain.”[2]
Asy-Syaukani rahimahullah menyebutkan tiga kemungkinan untuk makna dibolak-balikkan tersebut.
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Mereka diseret di dalam neraka dengan wajah-wajah yang tersungkur, dan wajah-wajah mereka dihadapkan ke neraka. Dalam keadaan seperti itu, mereka mengatakan dan berharap seandainya mereka dahulu di dunia termasuk ke dalam golongan orang-orang yang taat kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, sebagaimana yang mereka katakan ketika mereka berada di padang luas (di hari kiamat):
وَيَوْمَ يَعَضُّ الظَّالِمُ عَلَىٰ يَدَيْهِ يَقُولُ يَا لَيْتَنِي اتَّخَذْتُ مَعَ الرَّسُولِ سَبِيلًا ﴿٢٧﴾ يَا وَيْلَتَىٰ لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلًا﴿٢٨﴾ لَقَدْ أَضَلَّنِي عَنِ الذِّكْرِ بَعْدَ إِذْ جَاءَنِي ۗ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِلْإِنْسَانِ خَذُولًا
Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zhalim menggigit dua tangannya, seraya berkata, ‘Aduhai kiranya (dulu) aku mengikuti jalan bersama rasul itu.
Kecelakaan besarlah bagiku. Seandainya dulu aku tidak menjadikan si Fulan itu sebagai teman akrab(ku). Sesungguhnya dia telah menyesatkanku dari adz-dzikr (al-Quran) ketika dia itu telah datang kepadaku. Dan syaitan itu tidak akan mau menolong manusia.” [Al-Furqân/25:27-29]
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:
رُبَمَا يَوَدُّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ كَانُوا مُسْلِمِينَ
Orang-orang yang kafir itu seringkali (nanti di akhirat) menginginkan, kiranya mereka dahulu (di dunia) menjadi orang-orang muslim. [Al-Hijr/15:2]
Seperti itulah Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan keadaan mereka. Mereka sangat berharap jika dahulu mereka mentaati Allâh dan Rasul-Nya di dunia.”[3]
Inilah penyesalan yang akan terjadi pada orang-orang yang tidak mentaati Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya.
Firman Allâh Azza wa Jalla :
وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا
Dan mereka berkata, ‘Ya Rabb kami! Sesungguhnya kami dulu telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar).’
Orang-orang kafir tersebut menyeru Allâh Azza wa Jalla sambil mengutarakan alasan mengapa mereka bisa tidak mentaati Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya. Mereka mengatakan bahwa mereka dahulu telah mengikuti para pemimpin dan para pembesar mereka, sehingga menyesatkan mereka dari jalan yang lurus.
Siapakah yang dimaksud dengan sâdah (para pemimpin) dan kubarâ’ (para pembesar) dalam ayat ini?
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahli tafsir dalam menafsirkannya. Di antara pendapat yang disebutkan adalah:
- Sâdah berarti asyrâf, yaitu orang-orang yang mulia atau terpandang, dan kubarâ’ berarti ‘Ulamâ’, yaitu orang-orang yang berilmu. Ini adalah pendapat Thâwus rahimahullah .
- Sâdah berarti para pemimpin dalam kesesatan atau keburukan sementara kubara’ berarti para pemimpin dalam kesyirikan. Ini adalah pendapat Qatâdah rahimahullah dan inilah yang dipilih oleh ath-Thabari rahimahullah dalam tafsirnya.
- Sâdah dan kubarâ’ memiliki arti yang sama, yaitu para pemimpin yang telah menyesatkan. Ini adalah pendapat Ibnu Zaid rahimahullah.[4]
Di dalam ayat ini terkandung makna yang sangat penting agar seseorang tidak terlalu mudah dalam mengikuti para pemimpin dan para pembesar, karena belum tentu mereka berada di dalam kebenaran. Apalagi kita ketahui ada para pembesar yang mengajarkan kekufuran yang “dibungkus” dengan pelajaran agama dan menyebarkan kesesatan yang “dibalut” dengan kata-kata indah. Oleh karena itu, ketika menafsirkan ayat ini, Imam al-Quthubi rahimahullah mengatakan, “…Pada ayat ini terdapat larangan untuk bertaqlid (mengikuti manusia tanpa dalil).”[5]
Firman Allâh Ta’ala:
رَبَّنَا آتِهِمْ ضِعْفَيْنِ مِنَ الْعَذَابِ وَالْعَنْهُمْ لَعْنًا كَبِيرًا
Ya Rabb kami! Timpakanlah kepada mereka dua kali lipat dari adzab dan laknatlah mereka dengan laknat yang besar.
Orang-orang rendahan yang mengikuti para pembesar tersebut sangat jengkel dan marah terhadap para pembesar yang telah mengajak mereka ke dalam kesesatan dan menyebabkan mereka masuk ke dalam neraka. Mereka berdoa kepada Allâh Azza wa Jalla agar para pembesar itu mendapatkan adzab dua kali lipat dari azab yang mereka rasakan, karena mereka telah berada di dalam kesesatan dan ditambah dengan mengajak orang lain untuk mengikuti kesesatan mereka. Akan tetapi, pada akhirnya semuanya tetap mendapat adzab yang pedih dari Allâh Azza wa Jalla .
Imam ath-Thabari rahimahullah mengatakan, “Orang-orang kafir di hari kiamat di neraka Jahannam berkata, ‘Wahai Rabb kami! Sesungguhnya kami telah mentaati para pemimpin kami dalam kesesatan dan para pembesar kami dalam kesyirikan ‘sehingga mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar),’ mereka telah memalingkan kami dari dalil yang haq, dari jalan petunjuk agar kami tidak beriman kepada-Mu juga memalingkan kami dari menetapkan keesaan-Mu serta memaling kami dari mengikhlaskan ketaatan kepada-Mu di dunia. ‘Ya Rabb kami! Timpakanlah kepada mereka dua kali lipat dari azab’ yaitu adzablah mereka dengan dua kali lipat adzab yang Engkau timpakan kepada kami. ‘Dan laknatlah mereka dengan laknat yang besar,’ dan timpakanlah kerugian kepada mereka dengan kerugian yang besar.”[6]
al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, “Qatadah mengatakan, ‘Azab dunia dan azab akhirat.’ Disebutkan pendapat lain, yaitu adzab karena kekufuran dan adzab karena penyesatan. Maksudnya adzablah mereka dengan dua kali azab yang Engkau pergunakan untuk mengadzab kami, karena sesungguhnya mereka telah sesat dan menyesatkan.”[7]
Pendapat Imam Qatadah rahimahullah di atas kurang tepat, karena mana mungkin orang-orang kafir di adzab di dunia setelah terjadi kiamat, sementara perkataan-perkataan ini diucapkan ketika orang-orang kafir sudah berada di dalam neraka.
Qira’at pada lafaz ayat “كَبِيْرًا(kabîran)” ada yang membacanya dengan “كَثِيْرًاkatsîran”
Jumhur Ulama Qira’at membaca lafaz “كَبِيْرًا(kabîran)” pada ayat ini dengan lafaz “كَثِيْرًاkatsîran”, sedangkan ‘Abdullah bin Mas’ud c dan para Sahabatnya, begitu pula Yahya, Tsabit dan ‘Ashim membacanya dengan lafaz “كَبِيْرًا(kabîran)”. Lafaz “كَبِيْرًا(kabîran)” inilah yang kita temukan pada mushaf yang banyak menyebar di dunia termasuk di Indonesia, karena mushaf tersebut dicetak dengan mengikuti riwayat Hafsh dari ‘Ashim, tetapi ini tidak berarti bahwa lafaz “كَثِيْرًاkatsîran” salah. Semuanya benar dan diwahyukan oleh Allâh Azza wa Jalla .
Tidak ada perbedaan yang jauh antara “كَبِيْرًا(kabîran)” dan “كَثِيْرًاkatsîran” pada ayat ini.
Imam asy-Syaukani t mengatakan, “Jumhur ulama membaca dengan “katsîran,“ yaitu dengan tiga titik, artinya adalah laknat yang banyak jumlahnya, besar kadarnya dan kuat dampaknya. Yang memilih Qira’at ini adalah Abu Hatim, Abu ‘Ubaid dan An-Nahhas. Sedangkan Ibnu Mas’ud dan para Sahabatnya, Yahya, Tsabit dan ‘Ashim membacanya dengan satu titik (kabîran), artinya besar laknatnya, kuat dirasakan oleh mereka dan berat dampaknya.”[8]
Kemiripan arti ‘katsîr (banyak)’ dan ‘kabîr (besar)’ terdapat juga dalam hadits
Di dalam sebuah hadits terdapat perbedaan lafaz dalam doa berikut:
Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr dari Abu Bakr Radhiyallahu anhuma, bahwasanya Abu Bakr berkata kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam , “Ajarkanlah kepadaku sebuah doa yang bisa saya ucapkan dalam shalatku.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam menjawab, “Katakanlah:
اللَّهُمَّ إِنِّى ظَلَمْتُ نَفْسِى ظُلْمًا كَبِيرًا – وَقَالَ قُتَيْبَةُ كَثِيرًا – وَلاَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ أَنْتَ فَاغْفِرْ لِى مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ وَارْحَمْنِى إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
Ya Allâh! Sesungguhnya saya telah menzhalimi diriku dengan kezhaliman yang besar –(Qutaibah berkata, ‘kezaliman yang banyak.’)– Dan tidak ada yang mengampuni dosa kecuali Engkau, maka ampunilah dengan pengampunan dari sisi-Mu. Dan rahmatilah aku! Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[9]
Pada hadits ini sebagian Ulama merajihkan lafaz katsîran, karena lafaz ini diriwayatkan melalui banyak jalur, sedangkan lafaz kabîran hanya diriwayatkan oleh Qutaibah bin Sa’id dari al-Laits dengan sanadnya. Akan tetapi, makna “katsiran” pada hadits ini tidak jauh berbeda dengan lafaz “kabîran”.
Oleh karena itu, Ibnu Katsir rahimahullah lebih condong kepada kebolehan membaca kedua lafaz tersebut, terkadang dibaca “kabîran” dan terkadang dibaca “katsîran”.
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Keduanya memiliki makna yang benar. Sebagian Ulama menyatakan bahwa disunnahkan bagi orang yang berdoa untuk menggabungkan dua lafaz tersebut di dalam doanya. Pada yang demikian perlu ditilik ulang. Bahkan yang lebih utama adalah terkadang membaca ini dan terkadang membaca itu, sebagaimana seorang yang membaca al-Qur’an boleh memilih untuk membaca kedua Qira’at. Yang manapun dia baca, maka itu baik, dan dia tidak boleh menggabungkan kedua lafaz tersebut. Allâh-lah yang Maha Mengetahui.[10]
Ini menunjukkan makna ‘banyak’ dan ‘besar’ memiliki makna yang berdekatan.
AYAT-AYAT YANG SEMISAL DENGAN AYAT INI
Berkaitan dengan ayat-ayat yang sedang kita bahas ini, ada juga ayat-ayat lain yang bunyinya semisal dengan ini, orang-orang yang lemah dan rendahan menyalahkan para pembesar mereka yang telah mengajak mereka ke dalam kesesatan.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
قَالَ ادْخُلُوا فِي أُمَمٍ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِكُمْ مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ فِي النَّارِ ۖ كُلَّمَا دَخَلَتْ أُمَّةٌ لَعَنَتْ أُخْتَهَا ۖ حَتَّىٰ إِذَا ادَّارَكُوا فِيهَا جَمِيعًا قَالَتْ أُخْرَاهُمْ لِأُولَاهُمْ رَبَّنَا هَٰؤُلَاءِ أَضَلُّونَا فَآتِهِمْ عَذَابًا ضِعْفًا مِنَ النَّارِ ۖ قَالَ لِكُلٍّ ضِعْفٌ وَلَٰكِنْ لَا تَعْلَمُونَ
Allâh berfirman, ‘Masuklah kalian ke dalam neraka bersama umat-umat jin dan manusia yang telah terdahulu sebelum kalian.’ Setiap suatu umat masuk (ke dalam neraka), maka dia melaknat kawannya (yang menyesatkannya). Hingga akhirnya apabila mereka sudah masuk semuanya, berkatalah orang-orang yang masuk belakangan di antara mereka kepada orang-orang yang masuk duluan, ‘Ya Rabb kami! Mereka telah menyesatkan kami, sebab itu datangkanlah kepada mereka siksaan yang berlipat ganda dari neraka.’ Allâh berfirman, ‘Masing-masing mendapat (siksaan) yang berlipat ganda, akan tetapi kalian tidak mengetahui.” [Al-A’raf/7:38]
Dalam ayat ini Allâh menyebutkan bahwa baik pembesar maupun rendahan tetap mendapat adzab dan siksaan yang berlipat ganda.
Di dalam ayat lain, Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:
وَإِذْ يَتَحَاجُّونَ فِي النَّارِ فَيَقُولُ الضُّعَفَاءُ لِلَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا إِنَّا كُنَّا لَكُمْ تَبَعًا فَهَلْ أَنْتُمْ مُغْنُونَ عَنَّا نَصِيبًا مِنَ النَّارِ ﴿٤٧﴾ قَالَ الَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا إِنَّا كُلٌّ فِيهَا إِنَّ اللَّهَ قَدْ حَكَمَ بَيْنَ الْعِبَادِ
Dan (ingatlah), ketika mereka berbantah-bantah dalam neraka, maka orang-orang yang lemah berkata kepada orang-orang yang menyombongkan diri, ‘Sesungguhnya kami adalah pengikut-pengikut kalian, maka dapatkah kalian menghindarkan kami dari sebagian adzab neraka?’
Orang-orang yang menyombongkan diri menjawab, ‘Sesungguhnya kita semua sama-sama dalam neraka, karena sesungguhnya Allâh telah menetapkan keputusan antara hamba-hamba-(Nya).” [Ghâfir/40:47-48]
AKIBAT MENGIKUTI PARA PEMIMPIN YANG MENYESATKAN
Di zaman sekarang ini kita harus khawatir jika kita terjerumus ke dalam kesesatan. Banyak orang-orang yang pandai berbicara, tetapi ternyata tidak berilmu, banyak juga orang yang sengaja ingin menyeret manusia ke dalam kesesatan atau ke dalam kubangan hawa nafsu, ada juga orang-orang munafik yang memiliki tujuan untuk merusak akidah kaum Muslimin. Orang-orang awam dan rendahan secara status sosial banyak tergantung kepada pemimpin dan pembesarnya. Apa yang pemimpin dan pembesarnya katakan, maka mereka akan mengikutinya; Apa yang pemimpin dan pembesarnya lakukan, maka mereka akan melakukannya juga. Padahal Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam sangat khawatir kepada umatnya jika nanti ada para pemimpin yang mengajak kepada kesesatan.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam sangat takut apabila ada di antara kaum Muslimin para pemimpin yang menyesatkan umatnya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
وَإِنَّ مِمَّا أَتَخَوَّفُ عَلَى أُمَّتِي أَئِمَّةً مُضِلِّينَ
Sesungguhnya di antara hal yang saya takutkan pada umatku adalah para pemimpin yang menyesatkan.[11]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam telah mengabarkan keadaan kaum Muslimin di akhir zaman bahwa mereka akan sangat jauh dengan ilmu agama, sehingga mengikuti fatwa-fatwa orang bodoh, kemudian menyesatkan mereka dari jalan yang benar. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا.
Sesungguhnya Allâh tidak mencabut ilmu sekali cabut dari para hamba-Nya, melainkan Allâh Subhanahu wa Ta’ala mencabut ilmu dengan mewafatkan para Ulama, hingga akhirnya Dia tidak menyisakan seorang Ulama pun. Kemudian mereka menjadikan orang-orang bodoh sebagai pemimpin. Kemudian orang-orang bodoh itu ditanya dan berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka sesat dan menyesatkan.”
Jika mereka dipimpin oleh orang-orang bodoh, maka mereka akan terus diseret ke dalam kesesatan dan penyimpangan.
Mengenai para pemimpin yang mengajak kepada kesesatan, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam mensifati mereka sebagai syaitan- syaitan yang berwujud manusia. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Hudzaifah bin al-Yaman Radhiyallahu annhu dalam sebuah hadits. Beliau Radhiyallahu anhu berkata:
قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا كُنَّا بِشَرٍّ فَجَاءَ اللَّهُ بِخَيْرٍ فَنَحْنُ فِيهِ فَهَلْ مِنْ وَرَاءِ هَذَا الْخَيْرِ شَرٌّ؟ قَالَ: (( نَعَمْ.)) قُلْتُ: هَلْ وَرَاءَ ذَلِكَ الشَّرِّ خَيْرٌ؟ قَالَ: (( نَعَمْ )). قُلْتُ: فَهَلْ وَرَاءَ ذَلِكَ الْخَيْرِ شَرٌّ؟ قَالَ:(( نَعَمْ )). قُلْتُ كَيْفَ قَالَ: (( يَكُونُ بَعْدِى أَئِمَّةٌ لاَ يَهْتَدُونَ بِهُدَاىَ وَلاَ يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِى وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِى جُثْمَانِ إِنْسٍ)). قَالَ: قُلْتُ:كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ؟. قَالَ: (( تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ )).
Saya berkata, ‘Waha Rasûlullâh! Sesungguhnya kami dulu dalam keburukan, kemudian Allâh datang dengan membawa kebaikan dan kita sedang berada di dalamnya. Apakah setelah kebaikan ini ada keburukan?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam berkata, ‘Ya.’ Apakah setelah keburukan itu ada kebaikan?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam berkata, ‘Ya.’ Saya berkata, ‘Apakah setelah kebaikan itu ada keburukan?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam menjawab, ‘Ya.’ Saya bertanya, ‘Bagaimana itu?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam menjawab, ‘Akan ada sepeninggalku para pemimpin yang mengambil petunjuk tidak dari petunjukku dan beramal tidak dengan sunnahku. Akan ada di antara mereka para lelaki yang hati-hati mereka seperti hati-hati setan dalam wujud manusia.’ Saya bertanya, ‘Apa yang saya lakukan ya Rasûlullâh jika saya mendapatkannya?’
Beliau berkata, ‘Engkau dengar dan taat kepada pemimpin. Jika punggungmu dipukul dan hartamu diambil, maka dengar dan taatlah.’.”[12]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam juga mewanti-wanti kita agar berhati-hati kepada orang-orang munafik yaitu orang-orang yang pura-pura beragama Islam, kemudian mereka ingin menghancurkan Islam dari dalam, terutama orang-orang munafik yang pandai berbicara di depan umum dan bisa mengajak manusia kepada kekufuran. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي كُلُّ مُنَافِقٍ عَلِيمِ اللِّسَانِ
Sesungguhnya yang paling saya takutkan pada umatku adalah setiap orang munafiq yang pandai lisannya. [13]
Demikianlah kita harus berhati-hati dalam mengambil ilmu dan selalu berhati-hati dalam memilih guru dan memilih bahan bacaan, karena di zaman sekarang ini, jika orang tidak terpengaruh dengan perkataan seseorang, maka dia terpengaruh dengan tulisan orang lain.
KESIMPULAN
- Orang-orang kafir di neraka akan dibolak-balikkan wajahnya.
- Mereka masuk ke dalam neraka karena tidak mengikuti perintah Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya dan mengikuti perintah para pemimpin dan pembesar yang sesat.
- Uzur (alas an) yang mereka sampaikan tidak bermanfaat sedikit pun di hadapan Allâh Azza wa Jalla .
- Orang-orang rendahan yang masuk neraka akan meminta kepada Allâh Azza wa Jalla agar adzab untuk para pembesar mereka dilipat-gandakan oleh Allâh Azza wa Jalla , tetapi ternyata semuanya akan mendapat adzab yang berlipat dari Allâh Azza wa Jalla
- Kita harus berhati-hati terhadap para pemimpin dan pembesar kita dan tidak fanatik kepada mereka, tetapi kita harus mengikuti al-Qur’an dan as-Sunnah. Jika mereka benar maka kita ikuti, jika mereka salah maka kita tinggalkan kesalahan mereka.
- Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam sangat mengkhawatirkan orang-orang bodoh yang berfatwa tanpa ilmu, orang munafik yang pandai bicara dan para pemimpin yang mengajak kepada kesesatan.
- Kita harus berhati-hati dalam mengambil ilmu dan selalu berhati-hati dalam memilih guru dan memilih bahan bacaan.
Demikian, mudah-mudahan Allâh Azza wa Jalla menunjuki kita jalan yang lurus, menjauhkan kita dari penyesatan orang-orang yang berpengaruh di masyarakat dan menjadikan kita beristiqamah di dalam kebenaran sampai akhir hayat kita. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
- Aisarut-Tafâsîr li kalâm ‘Aliyil-Kabîr wa bihâmisyihi Nahril-Khair ‘Ala Aisarit-Tafâsî Jaabir bin Musa Al-Jazaairi. 1423 H/2002. Al-Madinah: Maktabah Al-‘Ulûm Wal-Hikam.
- Al-Jâmi’ Li Ahkâmil-Qur’ân. Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi. Kairo: Daar Al-Kutub Al-Mishriyah.
- Fathul-Qadîr. Muhammad bin ‘Ali Asy-Syaukani. 1426 H/2005. Al-Manshurah: Daarul-Wafaa’.
- Jâmi’ul-bayân fî Ta’wîlil-Qur’ân. Muhammad bin Jariir Ath-Thabari. 1420 H/2000 M. Beirut: Muassasah Ar-Risaalah.
- Ma’âlimut-tanzîl. Abu Muhammad Al-Husain bin Mas’uud Al-Baghawi. 1417 H/1997 M. Riyaadh: Daar Ath-Thaibah.
- Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhî Isma’iil bin ‘Umar bin Katsîr. 1420 H/1999 M. Riyaadh: Daar Ath-Thaibah.
- Tafsîr Ibni Abi Hâ Abu Muhammad ‘Abdurrahman bin Abi Hatim Ar-Razi. Shida: Al-Maktabah Al-‘Ashriyah.
- Dan lain-lain. Sebagian besar telah tercantum di footnotes.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XXI/1438H/2017M. ]
_______
Footnote
* Staf Pengajar di Ponpes Darul-Qur’an Wal-Hadits OKU Timur, Sumsel (kuncikebaikan.com).
[1] Aisar At-Tafâsîr, hlm. 1226-1227.
[2] Fathul-Qadîr IV/404.
[3] Tafsîr Ibni Katsîr VI/483-484.
[4] Lihat Tafsîr Ibni Abi Hâtim X/3157, Tafsîr ath-Thabari XX/331 dan Tafsîr Ibni Katsîr VI/484.
[5] Tafsîr al-Qurthubi VI/483.
[6] Tafsîr ath-Thabari, XX/331
[7] Lihat Tafsîr al-Qurthubi XIV/250.
[8] Fathul-Qadîr IV/405.
[9] HR. Al-Bukhâri, no. 834 dan Muslim, no. 2705/6869. Lafaz ini adalah lafaz Muslim. Lafaz ini menggabungkan antara lafaz Qutaibah bin Sa’id dari al-Laits yang berbunyi ‘Katsîran’ yang berarti ‘banyak’ dengan lafaz Muhammad bin Rumh dari al-Laits ‘Kabîran’ yang berarti ‘besar’. Adapun Imam Al-Bukhâri hanya meriwayatkan dengan lafaz ‘Katsîran.’
[10] Tafsiir Ibni Katsiir VI/484.
[11] HR Ibnu Mâjah, no. 3952 dan ath-Thabrani dalam al-Ausath, no. 8397 dari Tsauban Radhiyallahu anhu . Hadits ini memiliki Syawahid dari ‘Umar bin al-Khaththab, Abud-Darda’, Abu Dzar Al-Ghiffari, Syaddad bin Aus dan ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhum. Syaikh al-Albani menyatakan bahwa hadits ini shahih dalam ash-Shahîhah, no. 1582
[12] HR. Muslim no. 1847/3785.
[13] HR. Ahmad no. 143 dan al-Bazzar dalam al-Musnad no. 305 dari ‘Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu . Hadits ini juga memiliki syahid dari ‘Imran bin Hushain. Syaikh al-Albani t menyatakan, “Isnadnya shahih.” dalam ash-Shahîhah, no. 1013.
0 Response to "Tafsir Al Ahzab Ayat 63-73"
Post a Comment