Ayat 13-15: Semua rasul mengajak untuk menyembah Allah yang Maha Esa, perintah untuk bersatu dan larangan berpecah belah dan pentingnya beristiqamah di atas agama.
شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ اللَّهُ يَجْتَبِي إِلَيْهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَنْ يُنِيبُ (١٣) وَمَا تَفَرَّقُوا إِلا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ وَلَوْلا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَبِّكَ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ وَإِنَّ الَّذِينَ أُورِثُوا الْكِتَابَ مِنْ بَعْدِهِمْ لَفِي شَكٍّ مِنْهُ مُرِيبٍ (١٤) فَلِذَلِكَ فَادْعُ وَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَقُلْ آمَنْتُ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنْ كِتَابٍ وَأُمِرْتُ لأعْدِلَ بَيْنَكُمُ اللَّهُ رَبُّنَا وَرَبُّكُمْ لَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ لا حُجَّةَ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ اللَّهُ يَجْمَعُ بَيْنَنَا وَإِلَيْهِ الْمَصِيرُ (١٥)
Terjemah Surat Asy Syuura Ayat 13-15
13. [1]Dia (Allah) telah mensyariatkan kepadamu agama yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu, tegakkanlah agama (keimanan dan ketakwaan)[2] dan janganlah kamu berpecah belah di dalamnya[3]. Sangat berat bagi orang-orang musyrik (untuk mengikuti) agama yang kamu serukan kepada mereka[4]. Allah memilih orang yang Dia kehendaki kepada agama tauhid[5] dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya bagi orang yang kembali (kepada-Nya)[6].
14. [7]Dan mereka tidak berpecah belah, kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan para nabi), karena kedengkian antara sesama mereka[8]. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan[9], pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan[10]. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad)[11], benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang kitab (Al Qur’an) itu[12].
15. Karena itu serulah (mereka beriman)[13] dan tetaplah (beriman dan berdakwah)[14] sebagaimana diperintahkan kepadamu (Muhammad) dan janganlah mengikuti keinginan mereka[15] dan katakanlah[16], "Aku beriman kepada kitab yang diturunkan Allah[17] dan aku diperintahkan agar berlaku adil di antara kamu[18]. Allah Tuhan kami dan Tuhan kamu[19]. Bagi kami perbuatan kami dan bagi kamu perbuatan kamu[20]. Tidak (perlu) ada pertengkaran antara kami dan kamu[21], Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nyalah (kita) kembali[22].”
Ayat 16-19: Al Qur’an adalah kebenaran, syariat Allah Subhaanahu wa Ta'aala adalah timbangan kebenaran terhadap amal, kelembutan Allah Subhaanahu wa Ta'aala kepada hamba-hamba-Nya dan bahwa di Tangan-Nya rezeki hamba-hamba-Nya.
وَالَّذِينَ يُحَاجُّونَ فِي اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مَا اسْتُجِيبَ لَهُ حُجَّتُهُمْ دَاحِضَةٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ وَلَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ (١٦) اللَّهُ الَّذِي أَنْزَلَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ وَالْمِيزَانَ وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّ السَّاعَةَ قَرِيبٌ (١٧)يَسْتَعْجِلُ بِهَا الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ بِهَا وَالَّذِينَ آمَنُوا مُشْفِقُونَ مِنْهَا وَيَعْلَمُونَ أَنَّهَا الْحَقُّ أَلا إِنَّ الَّذِينَ يُمَارُونَ فِي السَّاعَةِ لَفِي ضَلالٍ بَعِيدٍ (١٨) اللَّهُ لَطِيفٌ بِعِبَادِهِ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ الْقَوِيُّ الْعَزِيزُ (١٩)
Terjemah Surat Asy Syuura Ayat 16-19
16. Dan orang-orang yang berbantah-bantah[23] tentang (agama) Allah setelah (agama itu) diterima[24], perbantahan mereka itu sia-sia di sisi Tuhan mereka. Mereka mendapat kemurkaan (Allah)[25] dan mereka mendapat azab yang sangat keras[26].
17. [27]Allah yang menurunkan kitab (Al Qur’an) dengan (membawa) kebenaran dan neraca (keadilan)[28]. [29]Dan tahukah kamu, boleh jadi hari Kiamat itu sudah dekat?
18. Orang-orang yang tidak beriman kepada hari Kiamat[30] meminta agar hari itu segera terjadi dan orang-orang yang beriman merasa takut kepadanya[31] dan mereka yakin bahwa Kiamat itu adalah benar (akan terjadi). Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang yang membantah tentang terjadinya Kiamat itu benar-benar telah tersesat jauh[32].
19. [33]Allah Mahalembut terhadap hamba-hamba-Nya; Dia memberi rezeki kepada yang Dia kehendaki, dan Dia Mahakuat lagi Mahaperkasa[34].
Ayat 20-22: Allah memberikan pembalasan kepada amal seseorang menurut niatnya, orang yang beramal untuk akhirat dan balasannya dan orang yang tertipu dengan dunia serta bagian yang diperolehnya dari dunia, penghinaan terhadap orang-orang kafir dengan azab yang akan mereka terima dan kabar gembira kepada orang-orang mukmin dengan surga.
مَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الآخِرَةِ نَزِدْ لَهُ فِي حَرْثِهِ وَمَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ نَصِيبٍ (٢٠) أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ وَلَوْلا كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ (٢١) تَرَى الظَّالِمِينَ مُشْفِقِينَ مِمَّا كَسَبُوا وَهُوَ وَاقِعٌ بِهِمْ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فِي رَوْضَاتِ الْجَنَّاتِ لَهُمْ مَا يَشَاءُونَ عِنْدَ رَبِّهِمْ ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ (٢٢)
Terjemah Surat Asy Syuura Ayat 20-22
20. Barang siapa yang menghendaki keuntungan (pahala) di akhirat[35] akan Kami tambahkan keuntungan itu baginya[36] dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia[37] Kami berikan kepadanya sebagian darinya (keuntungan dunia)[38] tetapi dia tidak akan mendapat bagian di akhirat[39].
21. [40]Apakah mereka mempunyai sembahan selain Allah yang menetapkan aturan agama bagi mereka yang tidak diizinkan (diridhai) Allah[41]? Sekiranya tidak ada ketetapan yang menunda (hukuman dari Allah) tentulah hukuman di antara mereka telah dilaksanakan[42]. Dan sungguh, orang-orang zalim itu[43] akan mendapat azab yang sangat pedih[44].
22. [45]Kamu akan melihat orang-orang zalim[46] itu sangat ketakutan karena (kejahatan-kejahatan) yang telah mereka lakukan, [47]dan (azab) menimpa mereka. Dan orang-orang yang beriman[48] dan mengerjakan kebajikan[49] (berada) di dalam taman-taman surga[50], mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki di sisi Tuhan[51]. Yang demikian itu adalah karunia yang besar[52].
[1] Ayat ini menerangkan nikmat yang paling besar yang Allah berikan kepada hamba-hamba-Nya, yaitu mensyariatkan untuk mereka agama terbaik dan paling utama, paling mulia dan paling suci, yaitu agama Islam, dimana Allah mensyariatkan agama itu kepada hamba-hamba pilihan-Nya bahkan makhluk terbaik dan paling tinggi derajatnya, yaitu para rasul ulul ‘azmi yang disebutkan dalam ayat ini. Kalau bukan karena agama Islam, maka tidak ada seorang pun di antara makhluk menjadi makhluk yang tinggi. Dengan demikian, agama Islam merupakan ruh kebahagiaan, poros kesempurnaan, dimana hal itu terkandung dalam kitab yang mulia ini; dimana yang diserukannya adalah tauhid, amal, akhlak dan adab.
Ayat ini menunjukkan bahwa agama para nabi adalah agama tauhid (Islam) meskipun syariatnya berbeda-beda sesuai dengan kondisi umat pada waktu itu.
[2] Yang dimaksud dengan menegakkan agama Islam di sini adalah mengesakan Allah Subhaanahu wa Ta'aala, beriman kepada-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhirat serta menaati segala perintah dan menjauhi larangan-Nya atau menegakkan semua syariat baik yang ushul (dasar) maupun yang furu’ (cabang), yaitu kamu menegakkannya oleh dirimu dan berusaha menegakkannya juga pada selain dirimu serta saling bantu-membantu di atas kebaikan dan takwa.
[3] Agar agama dapat tegak secara sempurna. Termasuk di antara sarana berkumpul di atas agama dan tidak berpecah adalah apa yang diperintahkan syari’ (Allah dan Rasul-Nya) untuk berkumpul di waktu haji, pada hari raya, shalat Jum’at dan jamaah, berjihad dan ibadah-ibadah lainnya yang tidak mungkin sempurna kecuali dengan berkumpul bersama dan tidak berpecah belah.
[4] Jangankan mengikuti, disebut nama Allah saja mereka tidak suka.
[5] Allah memilih di antara makhluk-Nya orang yang Dia ketahui layak dipilih untuk menerima risalah atau kewalian-Nya. Termasuk pula Dia memilih umat ini dan melebihkannya di atas seluruh umat.
[6] Kembali kepada-Nya merupakan sebab dari seorang hamba yang dengannya ia memperoleh hidayah Allah Subhaanahu wa Ta'aala. Dengan demikian baiknya niat seorang hamba dan berusaha memperoleh hidayah termasuk sebab untuk dimudahkan kepada hidayah Allah, sebagaimana firman-Nya, “Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, …dst.” (Terj. Al Ma’idah: 16).
[7] Setelah Allah Subhaanahu wa Ta'aala memerintahkan agar kaum muslimin berkumpul di atas agama mereka serta melarang mereka berpecah belah, maka Dia memberitahukan kepada mereka agar jangan tertipu hanya karena Allah telah menurunkan kitab kepada mereka, karena Ahli Kitab sebelumnya tidaklah berpecah belah sampai Allah menurunkan juga kitab kepada mereka yang menghendaki mereka untuk bersatu, namun ternyata mereka mengerjakan kebalikan dari apa yang diperintahkan dalam kitab tersebut. Hal itu terjadi karena kedengkian di antara mereka; mereka saling benci membenci dan saling dengki-mendengki sehingga terjadilah perpecahan, oleh karena itu hendaknya kita berhati-hati agar tidak seperti mereka.
[8] Maksudnya, orang-orang yang beragama atau Ahli Kitab tidaklah berpecah belah dalam hal agama, kecuali setelah nyata kebenaran, namun mereka pun tetap berpecah belah.
[9] Yaitu hari Kiamat.
[10] Dengan mengazab mereka di dunia, akan tetapi kebijaksanaan dan santun-Nya menghendaki untuk menunda azab dari mereka.
[11] Yaitu orang-orang Yahudi dan Nasrani.
[12] Yakni benar-benar berada dalam kesamaran yang besar yang menjatuhkan ke dalam perselisihan, dimana pendahulu mereka berselisih baik karena dengki maupun karena sikap membangkang. Generasi setelah mereka juga berselisih karena ragu-ragu, dan semuanya sama-sama dalam perselisihan yang tercela.
[13] Yakni kepada agama yang lurus dan agama yang benar, dimana Al Qur’an Allah turunkan membawanya dan para rasul diutus Allah dengan membawanya. Oleh karena itu, serulah umatmu kepadanya dan dorong mereka kepadanya serta berjihadlah melawan orang-orang yang tidak menerimanya.
[14] Maksudnya, tetaplah dalam agama dan lanjutkanlah berdakwah. Atau tetaplah sesuai perintah Allah, tidak meremehkan dan tidak berlebihan, bahkan di atas perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya dengan konsisten di atasnya. Dalam ayat ini Allah memerintahkan Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menyempurnakan dirinya dengan tetap istiqamah dan menyempurnakan orang lain dengan berdakwah kepadanya. Sudah menjadi maklum perintah kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam menjadi perintah pula untuk umatnya jika tidak ada takhshis(pengkhusus)nya.
[15] Yakni hawa nafsu orang-orang yang menyimpang dari agama seperti orang-orang kafir dan munafik, bisa dengan mengikuti sebagian agama mereka, meninggalkan dakwah, dan tidak istiqamah. Karena sesungguhnya, jika engkau mengikuti hawa nafsu mereka setelah ilmu datang kepadamu, maka engkau akan menjadi orang-orang yang zalim. Dalam ayat ini Allah Subhaanahu wa Ta'aala tidak berfirman, “Dan janganlah kamu mengikuti agama mereka.” Karena hakikat agama mereka adalah apa yang Allah syariatkan untuk mereka, yaitu agama para rasul, akan tetapi mereka tidak mengikutinya, bahkan mereka mengikuti hawa nafsu mereka dan menjadikan agama mereka sebagai bahan permainan.
[16] Ketika berdebat dengan mereka.
[17] Yakni hendaknya perdebatan mereka didasari atas asas yang besar ini, dimana hal ini menunjukkan kemuliaan Islam, keagungannya, dan pengawasannya terhadap semua agama. Dalam ayat ini terdapat petunjuk bahwa Ahli Kitab jika mereka mengajak berdebat atas dasar beriman kepada sebagian kitab atau sebagian rasul, maka tidak diterima, karena kitab yang mereka serukan kepadanya dan rasul yang mereka menisbatkan diri kepadanya mensyaratkan harus membenarkan semua kitab dan semua rasul.
[18] Yakni dalam memberikan keputusan terhadap hal yang kamu perselisihkan. Oleh karena itu, wahai Ahli Kitab! Janganlah kebencian dan permusuhanmu menghalangimu untuk berbuat adil terhadap kami.
[19] Yakni Tuhan kita semuanya.
[20] Masing-masing dibalas sesuai amalnya.
[21] Maksudnya, setelah jelas hakikatnya, kebenaran daripada kebatilan juga menjadi jelas, petunjuk daripada kesesatan juga menjadi jelas, maka tidak ada lagi perdebatan, karena maksud dari perdebatan adalah adalah menerangkan yang hak dari yang batil agar orang yang cerdas mendapat petunjuk dan agar hujjah tegak kepada orang-orang yang sesat, namun hal ini bukanlah berarti bahwa Ahli Kitab tidak didebat, tetapi maksudnya seperti tadi.
[22] Yakni pada hari Kiamat, lalu Dia membalas masing-masing sesuai amalnya dan ketika itu jelaslah yang benar daripada yang dusta.
[23] Hal ini menguatkan firman-Nya di ayat sebelumnya, “Tidak (perlu) ada pertengkaran antara kami dan kamu.” Di ayat ini Allah memberitahukan bahwa orang-orang yang membantah agama Allah dengan hujjah-hujjah yang batil serta syubhat yang bertentangan.
[24] Oleh orang-orang yang berakal setelah Allah menerangkan kepada mereka ayat-ayat yang qath’i (pasti) dan hujjah yang jelas, maka mereka yang mendebat kebenaran setelah jelas seperti yang dilakukan orang-orang Yahudi, hujjahnya batal dan tertolak di sisi Tuhan mereka, karena mengandung penolakan terhadap yang hak, sedangkan segala sesuatu yang menyelisihi yang hak adalah batil.
[25] Karena kedurhakaan mereka dan berpalingnya mereka dari hujjah-hujjah Allah serta bukti-buktinya dan karena mereka mendustakannya.
[26] Itu merupakan atsar (bekas) dari kemurkaan Allah kepada mereka. Inilah hukuman bagi setiap orang yang mendebat yang hak dengan yang batil.
[27] Setelah Allah Subhaanahu wa Ta'aala menerangkan bahwa hujjah-hujah-Nya begitu jelas dan terang, dimana hujjah-Nya diterima oleh orang yang memiliki kebaikan, maka Allah menyebutkan dasar dan kaidahnya, bahkan merupakan semua hujjah yang Allah sampaikan kepada hamba.
[28] Kitab di sini adalah Al Qur’an. Ia turun dengan membawa kebenaran, mengandung kebenaran, kejujuran dan keyakinan. Semuanya adalah ayat-ayat yang jelas, dalil yang terang terhadap semua tuntutan ilahi dan keyakinan dalam beragama, maka Al Qur’an datang dengan membawa masalah yang paling baik dan dalil yang paling jelas. Adapun neraca, maka maksudnya keadilan dan memandang dengan qiyas yang shahih dan akal yang kuat. Termasuk ke dalam neraca yang Allah turunkan dan letakkan di antara hamba-hamba-Nya adalah semua dalil ‘aqli (akal), baik ayat-ayat yang ada di ufuk maupun yang ada pada diri manusia, memandang dari sisi syar’i, munasabah (kesesuaian), illat (alasan-alasan), hukum-hukum dan hikmah-hikmah. Allah letakkan di antara hamba-hamba-Nya agar mereka menimbang masalah-masalah yang masih samar, mengetahui benarnya apa yang Dia beritakan kepada mereka, dan apa yang diberitakan para rasul-Nya. Oleh karena itu, apa yang berada di luar perkara ini (kitab dan neraca) yang dianggap sebagai hujjah atau dalil maka ia adalah batil dan bertentangan, dimana asasnya rusak, bangunannya roboh demikian pula cabang-cabangnya. Hal itu diketahui oleh orang yang mengetahui masalah dan pengambilannya, mengetahui perbedaan antara dalil yang rajih dengan yang kurang rajih, serta dapat membedakan antara hujjah dan syubhat. Adapun orang yang tertipu dengan ungkapan yang terkesan indah, lafaz yang dihias, bashirah(mata hati)nya tidak sampai kepada makna yang dikehendaki, maka ia tidak termasuk ke dalam orang-orang tersebut.
[29] Selanjutnya Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman menakut-nakuti orang-orang yang meminta disegerakan Kiamat lagi mengingkarinya.
[30] Dengan sikap membangkang, mendustakan, dan melemahkan Tuhannya.
[31] Yakni takut karena keimanan mereka kepadanya, mereka tahu sesuatu yang akan terjadi pada hari itu yaitu pembalasan terhadap amal, mereka takut karena mereka kenal Tuhan mereka; mereka takut jika amal mereka tidak membahagiakan mereka dan tidak menyelamatkan.
[32] Yakni setelah mereka membantahnya; membantah rasul dan para pengikutnya yang menetapkan adanya Kiamat, maka sesungguhnya mereka berada dalam pertengkaran dan permusuhan yang jauh dari kebenaran, bahkan jauh sekali. Padahal sesuatu apa yang lebih jauh dari kebenaran daripada orang-orang yang mendustakan negeri yang sebenarnya; negeri yang diciptakan untuk tetap dan kekal; negeri tempat pembalasan yang di sana Allah menampakkan keadilan dan karunia-Nya, sedangkan negeri ini (dunia) jika dibandingkan dengannya seperti orang yang mengendarai kendaraan yang beristirahat di bawah naungan pohon lalu ia pergi meninggalkannya. Negeri tersebut adalah negeri tempat berlalu dan bukan tempat menetap. Tetapi mereka malah membenarkan negeri yang akan sirna dan fana karena mereka menyaksikannya dan mendustakan negeri akhirat yang telah mutawatir diberitakan oleh kitab-kitab samawi dan para rasul yang mulia serta para pengikutnya yang merupakan makhluk paling sempurna akalnya, paling banyak ilmunya, dan paling dalam kecerdasan dan kepintarannya.
[33] Allah Subhaanahu wa Ta'aala memberitahukan kelembutan-Nya kepada hamba-hamba-Nya agar mereka mengenal dan mencintai-Nya dan mencari kelembutan dan kemurahan-Nya. Kelembutan adalah salah satu sifat Allah Ta’ala, maknanya bahwa Dia mengetahui yang tersembunyi maupun yang rahasia, dimana Dia menyampaikan kepada hamba-hamba-Nya –khususnya kaum mukmin- kepada sesuatu yang di sana terdapat kebaikan bagi mereka dari arah yang tidak mereka ketahui dan tidak mereka sangka. Ya Allah, berikanlah kembutan-Mu kepadaku. Ya Allah, berikanlah kelembutan-Mu kepadaku. Ya Allah, berikanlah kelembutan-Mu kepadaku.
Di antara kelembutan-Nya kepada hamba-Nya yang mukmin adalah Dia menunjukinya kepada kebaikan dengan petunjuk yang tidak terlintas dalam hatinya karena Dia memudahkan sebab-sebab kepadanya, seperti fitrahnya untuk mencintai yang hak, tunduk kepadanya, ilham Allah Subhaanahu wa Ta'aala kepada para malaikat yang mulia agar mereka mengokohkan hamba-hamba-Nya yang mukmin.dan mendorong mereka kepada kebaikan serta menaruh ke dalam hati mereka indahnya kebenaran yang mendorong mereka untuk mengikutinya.
Termasuk kelembutan-Nya adalah Dia memberintahkan kaum mukmin ibadah yang dilakukan secara jama’i (berjamaah), dimana dengannya niat mereka kuat dan cita-cita mereka bangkit dan terjadilah perlombaan kepada kebaikan serta mencintainya, demikian pula mengikutinya sebagian mereka kepada sebagian yang lain.
Termasuk kelembutan-Nya adalah Dia menetapkan kepada hamba-Nya semua sebab yang menghalanginya berbuat maksiat, sehingga Allah Subhaanahu wa Ta'aala karena Dia mengetahui bahwa dunia, harta dan kepemimpinan dan yang semisalnya -yang biasa dikejar oleh orang-orang yang cinta dunia-, dimana hal itu dapat memutuskan hamba-Nya dari ketaatan kepada-Nya atau membuatnya lalai dari-Nya atau membuatnya jatuh ke dalam maksiat, maka Dia palingkan hamba-Nya dan membatasi rezekinya. Oleh karena itulah Dia berfirman, “Dia memberi rezeki kepada yang Dia kehendaki,” sesuai hikmah (kebijaksanaan) dan kelembutan-Nya.
[34] Dia memiliki kekuatan semuanya, tidak ada daya dan upaya bagi makhluk kecuali dengan pertolongan-Nya, dimana segala sesuatu tunduk kepada-Nya.
[35] Yakni pahala dan balasan-Nya, dia mengimaninya dan membenarkannya serta berusaha kepadanya.
[36] Yakni satu kebaikan dilipatgandakan menjadi sepuluh kebaikan atau lebih, ia juga memperoleh bagian dari dunia ini. Oleh karena itu, orang yang mencari akhirat seperti orang yang menanam padi, dimana akan tumbuh pula rumput. Sedangkan orang yang mencari dunia seperti orang yang menanam rumput, tidak akan tumbuh padi.
[37] Maksudnya dunia yang menjadi tujuannya dan akhir cita-citanya, tidak mau mengejar akhiratnya, tidak mengharap pahalanya dan tidak takut siksa pada hari itu.
[38] Yakni Kami berikan kepadanya bagian yang telah ditetapkan untuknya.
[39] Ia tidak masuk surga dan tidak memperoleh kenikmatannya, bahkan berhak masuk neraka dan memperoleh kesengsaraannya. Ayat ini sama seperti firman-Nya di ayat lain, “Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan.-- Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (Terj. Huud: 15-16).
[40] Allah Subhaanahu wa Ta'aala memberitahukan bahwa kaum musyrik mengambil para sekutu, dimana mereka berwala’ (menaruh sikap setia) kepadanya, dan mereka bersama-sama dengan para sekutu itu dalam kekafiran dan amalan kufur, dari kalangan setan manusia para penyeru kekafiran.
Ada pula yang menafsirkan, apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan yang menetapkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?
[41] Seperti syirk, mengingkari kebangkitan, bid’ah, mengharamkan apa yang Allah halalkan dan menghalalkan apa yang Allah haramkan dan sebagainya sesuai hawa nafsu mereka. Padahal aturan dalam agama itu tidak boleh kecuali apa yang disyariatkan Allah Ta’ala. Dengan demikian, hukum asal dalam ibadah itu haram sampai ada dalil yang memerintahkannya dari Allah dan Rasul-Nya.
* Allah menyebut tindakan berkreasi dalam melakukan ibadah (yang diistilahkan dengan bid’ah) sebagai tindakan menyekutukan Allah dalam masalah penetapan syariat (aturan beribadah). dia menandingi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah penetapan aturan ibadah.
* Garis bawahi kalimat, ‘mensyariatkan untuk mereka agama’ artinya aturan itu diyakini sebagai aturan agama, padahal Allah tidak pernah mengizinkannya. Tidak Allah izinkan berarti kosong dari dalil. Dan itulah bid’ah.
[42] Pada saat itu juga karena yang menghendaki untuk dibinasakan sudah ada, akan tetapi Dia menundanya karena santun-Nya dan karena kebijaksanaan-Nya.
[43] Yakni orang-orang kafir.
[44] Di akhirat.
[45] Pada hari itu.
[46] Kepada diri mereka dengan kekafiran dan kemaksiatan.
[47] Oleh karena orang yang takut terhadap sesuatu yang ditakuti terkadang mendapatkan sesuatu yang ditakuti itu dan terkadang tidak, maka Allah memberitahukan, bahwa sesuatu yang ditakuti itu (azab) akan menimpa mereka. Hal itu, karena mereka telah mengerjakan sebab yang sempurna yang menghendaki mereka disiksa tanpa ada penghalang, seperti tobat atau lainnya dan telah mencapai tempat yang tidak berlaku lagi penangguhan dan penundaan.
[48] Dengan hati mereka kepada Allah, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya dan apa yang mereka bawa.
[49] Baik yang terkait dengan hati, lisan maupun anggota badan, yang wajib maupun yang sunat.
[50] Taman tersebut disandarkan ke surga, maka berarti indahnya tidak dapat terbayangkan, baik sungainya, pohon-pohonnya, burung-burungnya, suara yang terdengar di sana dan berkumpul dengan kekasih. Taman-taman tersebut semakin hari semakin bertambah indah dan eloknya, dan tidak menambah kepada penduduknya selain kerinduan kepada kenikmatannya.
[51] Apa yang mereka inginkan selalu ada dan apa yang mereka minta selalu hadir di hadapan, dimana kenikmatannya sampai tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga dan tidak pernah terlintas di hati manusia.
[52] Karunia apa yang lebih besar daripada mendapatkan keridhaan Allah, mendapatkan kenikmatan di dekat-Nya di tempat istimewa-Nya (surga).
======================================================================
Beberapa Pelajaran [Asy-Syuro: 21]
1) Mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah artinya berbuat bid’ah dalam agama. Al-Imam Al-Mufassir Ibnu Jarir Ath-Thobari rahimahullah (w. 310 H) berkata,
يقول تعالى ذكره: أم لهؤلاء المشركين بالله شركاء في شركهم وضلالتهم (شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ) يقول: ابتدعوا لهم من الدين ما لم يبح الله لهم ابتداعه
“Firman Allah ta’ala dzikruhu tersebut maknanya: Apakah orang-orang yang menyekutukan Allah dengan sesembahan-sesembahan yang lain dalam kesyirikan dan kesesatan mereka itu “yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah!?” Artinya: Mengada-ada (berbuat bid’ah) untuk mereka agama yang Allah tidak izinkan untuk mereka mengada-adakannya!?” [Tafsir Ath-Thobari, 21/522, Muassasah Ar-Risalah Beirut, Cet. 1, 1420 H, Tahqiq: Ahmad Muhammad Syakir]
Al-Imam Ibnul Jauzi rahimahullah (w. 597 H) berkata,
والمعنى: ألَهُمْ آلهةٌ شَرَعُوا أي ابتدعوا لَهُمْ دِيناً لم يأذن به الله؟!
“Maknanya: Apakah mereka memiliki sesembahan-sesembahan yang mensyari’atkan, artinya yang berbuat bid’ah untuk mereka agama yang Allah tidak izinkan?!” [Zaadul Masir fi ‘Ilmit Tafsir, 4/63, Daarul Kutub Al-‘Arabi Beirut, Cet. 1, 1422 H, Tahqiq: Abdur Rozzaq Mahdi]
2) Hanya Allah ta’ala yang berhak menetapkan aturan-aturan dan cara-cara beribadah dalam agama, yang Dia turunkan dalam kitab-Nya Al-Qur’an yang mulia atau melalui lisan Rasul-Nya shallallahu’alaihi wa sallam dalam As-Sunnah.
3) Allah subhanahu wa ta’ala menyamakan para pembuat syari’at dan cara-cara ibadah kaum musyrikin dengan sesembahan-sesembahan selain Allah ta’ala, maka ayat yang mulia ini mengandung celaan yang keras terhadap orang-orang yang menetapkan hukum yang bertentangan dengan syari’at atau berbuat bid’ah dalam agama, pada hakikatnya mereka telah menyamakan diri mereka dengan Allah ta’ala, dan para pengikut mereka telah meyamakan mereka dengan Allah ta’ala, sadar atau tidak.
4) Pentingnya menuntut ilmu agama berdasarkan dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah yang sesuai Pemahaman Salaf, karena seseorang tidak mungkin dapat beribadah kepada Allah ta’ala sesuai dengan syari’at-Nya tanpa memiliki ilmunya.
5) Bahaya taklid buta; ikut-ikutan terhadap tokoh-tokoh, tradisi nenek moyong dan kebiasaan masyarakat tanpa mencocokkannya terlebih dahulu dengan dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah yang sesuai Pemahaman Salaf, karena akan menjerumuskan ke dalam syirik dan bid’ah sebagaimana yang terjadi pada kaum muysrikin dahulu dan telah terjadi pada sebagian kaum muslimin, waspadalah…!
0 Response to "Tafsir Asy Syuura Ayat 13-22"
Post a Comment