Ayat 213-227: Beberapa arahan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, perintah kepada Beliau untuk memberi peringatan kepada keluarga dan bersikap lemah lembut terhadap orang-orang mukmin, bantahan terhadap orang yang mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah penyair serta ancaman bagi orang yang zalim yang memusuhi dakwah Islam.
فَلا تَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ فَتَكُونَ مِنَ الْمُعَذَّبِينَ (٢١٣) وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الأقْرَبِينَ (٢١٤) وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ (٢١٥) فَإِنْ عَصَوْكَ فَقُلْ إِنِّي بَرِيءٌ مِمَّا تَعْمَلُونَ (٢١٦)وَتَوَكَّلْ عَلَى الْعَزِيزِ الرَّحِيمِ (٢١٧) الَّذِي يَرَاكَ حِينَ تَقُومُ (٢١٨)وَتَقَلُّبَكَ فِي السَّاجِدِينَ (٢١٩) إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ (٢٢٠) هَلْ أُنَبِّئُكُمْ عَلَى مَنْ تَنَزَّلُ الشَّيَاطِينُ (٢٢١) تَنَزَّلُ عَلَى كُلِّ أَفَّاكٍ أَثِيمٍ (٢٢٢) يُلْقُونَ السَّمْعَ وَأَكْثَرُهُمْ كَاذِبُونَ (٢٢٣)وَالشُّعَرَاءُ يَتَّبِعُهُمُ الْغَاوُونَ (٢٢٤) أَلَمْ تَرَ أَنَّهُمْ فِي كُلِّ وَادٍ يَهِيمُونَ (٢٢٥)وَأَنَّهُمْ يَقُولُونَ مَا لا يَفْعَلُونَ (٢٢٦) إِلا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَذَكَرُوا اللَّهَ كَثِيرًا وَانْتَصَرُوا مِنْ بَعْدِ مَا ظُلِمُوا وَسَيَعْلَمُ الَّذِينَ ظَلَمُوا أَيَّ مُنْقَلَبٍ يَنْقَلِبُونَ (٢٢٧
Terjemah Surat Asy Syu’araa Ayat 213-227
213. [1]Maka janganlah kamu menyeru (menyembah) tuhan selain Allah, nanti kamu termasuk orang-orang yang diazab.
214. [2]Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu (Muhammad) yang terdekat[3],
215. Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang beriman yang mengikutimu[4].
216. Kemudian jika mereka mendurhakaimu maka katakanlah (Muhammad), "Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu kerjakan[5]."
217. Dan bertawakkallah[6] kepada (Allah) Yang Mahaperkasa lagi Maha Penyayang,
218. [7]yang melihat engkau ketika engkau berdiri (untuk shalat),
219. dan (melihat) perubahan gerakan badanmu[8] di antara orang-orang yang sujud.
220. Sungguh, Dia Maha Mendengar[9] lagi Maha Mengetahui[10].
Setan turun kepada para pendusta dan peringatan kepada para penyair
221. [11]Maukah Aku beritakan kepadamu, kepada siapa setan-setan itu turun?
222. Mereka (setan) turun kepada setiap pendusta[12] yang banyak berdosa[13],
223. mereka menyampaikan hasil pendengaran[14], sedangkan kebanyakan mereka orang-orang pendusta[15].
224. [16]Dan penyair-penyair itu[17] diikuti oleh orang-orang yang sesat[18].
225. Tidakkah engkau melihat[19] bahwa mereka mengembara di setiap lembah[20],
226. Dan bahwa mereka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan(nya)?[21]
227. [22]Kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak mengingat Allah[23] dan mendapat kemenangan setelah terzalimi (karena menjawab puisi-puisi orang-orang kafir)[24]. Dan orang-orang yang zalim[25] kelak akan tahu ke tempat mana mereka akan kembali[26].
[1] Allah Subhaanahu wa Ta'aala melarang Rasul-Nya dan termasuk pula umatnya dari menyembah selain Allah, dan bahwa yang demikian dapat menyebabkan seseorang terkena azab yang kekal, karena hal itu adalah perbuatan syirk, di mana Allah mengharamkan pelakunya masuk surga dan akan menempatkannya di neraka. Larangan terhadap sesuatu berarti perintah terhadap kebalikannya, larangan terhadap syirk berarti perintah mentauhidkan-Nya.
[2] Setelah Allah Subhaanahu wa Ta'aala memerintahkan Nabi-Nya mengerjakan sesuatu yang dapat menyempurnakan dirinya, maka Dia memerintahkan untuk menyempurnakan orang lain.
[3] Yaitu Bani Hasyim dan Bani Muththalib, di mana mereka adalah orang-orang yang paling dekat dengan Beliau dan paling berhak mendapatkan ihsan baik dari sisi agama maupun dunia. Hal ini tidaklah menafikan untuk memberikan peringatan kepada semua manusia, seperti halnya ketika seseorang diperintahkan untuk berbuat ihsan kepada semua manusia, lalu diperintahkan pula kepadanya untuk berbuat ihsan kepada kerabatnya, maka yang ini adalah lebih khusus yang menunjukkan penekanan dan memiliki hak lebih. Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melaksanakan perintah itu, Beliau berdakwah baik kepada masyarakat umum maupun kepada kerabat-kerabat-kerabat Beliau, mengingatkan dan menasehati mereka tanpa kenal lelah, dan bahwa tidak ada seorang pun di antara mereka yang dapat selamat dari azab Allah kecuali dengan beriman kepada-Nya. Allah Subhaanahu wa Ta'aala juga memerintahkan agar Beliau berendah diri kepada hamba-hamba Allah yang beriman, dan barang siapa yang mendurhakai Beliau siapa pun orangnya, maka hendaklah Beliau berlepas diri dari perbuatannya, dan dengan tetap menasehati mereka serta berusaha mengajak mereka kembali dan bertobat. Sikap berlepas diri dari perbuatannya adalah untuk menolak anggapan bahwa perintah merendahkan diri kepada orang-orang mukmin, menghendaki seseorang untuk bersikap ridha terhadap segala yang muncul dari mereka selama mereka mukmin, bahkan tidak demikian. Hal itu, karena dalam masalah wala’ (setia) dan bara’ (berlepas diri) ada tiga golongan:
1. Orang-orang yang diberikan wala’ murni tanpa dimusuhi sama sekali.
Mereka adalah kaum mukmin yang bersih dari kalangan para nabi, para shiddiqin, para syuhada dan orang-orang shalih. Terdepannya adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian istri-istrinya ummahaatul mukminin, ahli baitnya yang baik dan para sahabatnya yang mulia. Kemudian dari kalangan para tabi’in dan orang-orang yang hidup pada abad-abad yang utama, generasi pertama ummat ini dan para imamnya seperti imam yang empat (Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi'i dan Imam Ahmad).
2. Orang-orang yang diberi baraa’ murni tanpa ada rasa cinta.
Mereka adalah kaum kafir baik dari kalangan, orang-orang musyrik, orang-orang munafik, orang-orang murtad dan orang-orang atheis dan lainnya dengan berbagai macamnya.
3. Orang-orang yang diberi wala' dari satu sisi dan diberi bara' dari sisi lain
Yakni wala’ dan bara’ berkumpul padanya, mereka adalah kaum mukminin yang berbuat maksiat. Mencintai mereka, karena mereka masih memiliki iman, dan membenci mereka karena maksiatnya yang tingkatannya di bawah kufur dan syirk.
Membenci mukmin yang berbuat maksiat tidaklah sama dengan membenci orang kafir dan memusuhinya, dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Umar bin Al Khaththab:
أَنَّ رَجُلًا عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ كَانَ اسْمُهُ عَبْدَاللَّهِ وَكَانَ يُلَقَّبُ حِمَارًا وَكَانَ يُضْحِكُ رَسُولَ اللَّهِ وَكَانَ النَّبِيُّ قَدْ جَلَدَهُ فِي الشَّرَابِ فَأُتِيَ بِهِ يَوْمًا فَأَمَرَ بِهِ فَجُلِدَ فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ اللَّهُمَّ الْعَنْهُ مَا أَكْثَرَ مَا يُؤْتَى بِهِ فَقَالَ النَّبِيُّ : لَا تَلْعَنُوهُ فَوَاللَّهِ مَا عَلِمْتُ إِنَّهُ يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
“Ada seseorang di zaman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang bernama Abdullah, ia digelari “keledai”, ia sering membuat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tertawa. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menderanya karena ia meminum khamr, suatu ketika ia dihadapkan lagi (karena meminum khamr), lalu Beliau memerintahkan mendera lagi, lalu didera lagi. Kemudian salah seorang yang hadir ada yang mengatakan, “Ya Allah, laknatlah dia, banyak sekali ia melakukannya.”Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah melaknatnya, demi Allah, apa kamu tidak tahu bahwa ia cinta kepada Allah dan Rasul-Nya”
Rasa cinta kepada mereka mengharuskan kita menasehati mereka dan mengingkari mereka. Oleh karena itu, tidak boleh diam terhadap maksiat mereka, bahkan tetap diingkari, dinasehati dan diaak bertobat, disuruhnya mengerjakan yang ma’ruf dan dicegahnya dari yang mungkar, ditegakkan hukuman sampai mereka mau berhenti dan bertobat dari maksiatnya. Akan tetapi, (kita) tidak membenci mereka dengan kebencian murni seperti halnya orang-orang khawaarij.
[4] Yakni dengan tidak sombong kepada mereka, bersikap lembut kepada mereka, bertutur kata yang halus kepada mereka, mencintai mereka, berakhlak mulia dan berbuat ihsan kepada mereka. Inilah akhlak Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam; akhlak yang paling mulia yang dengannya tercapai berbagai maslahat. Oleh karena itu, pantaskah bagi seorang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mengaku mengikuti Beliau dan meneladaninya tetapi malah menjadi beban kaum muslimin, berakhlak buruk, keras wataknya, hatinya keras dan mulutnya kasar, saat melihat mereka berbuat salah atau kurang adab langsung dijauhi, dibenci dan dimusuhi, tanpa dinasehati dengan cara yang baik dan diajak kembali. Padahal bersikap seperti itu menimbulkan berbagai macam bahaya dan menghilang beberapa maslahat.
[5] Yaitu kemaksiatan yang kamu lakukan.
[6] Yakni serahkanlah semua urusanmu kepada Allah. Penolong terbesar bagi seorang hamba untuk melaksanakan perintah Allah adalah bertawakkal dan bersandar kepada Tuhannya, meminta pertolongan-Nya agar diberi taufiq untuk menjalankan perintah-Nya. Tawakkal artinya bersandarnya hati kepada Allah untuk memperoleh manfaat dan menyingkirkan bahaya sambil memiliki rasa percaya kepada-Nya serta bersangka baik bahwa permintaan dapat dipenuhi, karena Dia Mahaperkasa lagi Maha Penyayang. Dengan keperkasaan-Nya, Dia sanggup memberikan kebaikan kepada hamba-hamba-Nya dan menolak keburukan dari mereka, dan dengan rahmat-Nya Dia melakukan hal itu.
[7] Selanjutnya Allah mengingatkan Beliau agar meminta bantuan dengan merasakan kedekatan Allah dan memiliki sikap ihsan (beribadah seakan-akan melihat-Nya atau paling tidak merasa diawasi-Nya).
[8] Yakni, Dia melihatmu dalam mengerjakan ibadah yang agung ini, waktu kamu berdiri, merubah gerakan badan, baik dengan ruku’, sujud maupun duduk. Kata sujud disebutkan secara khusus karena keutamaannya, dan karena barang siapa yang berusaha merasakan kedekatan Tuhannya di waktu sujud, maka badannya akan khusyu’, tunduk dan melaksanakannya dengan baik, sedangkan shalat itu sendiri jika disempurnakan maka amal yang lain akan ikut sempurna dan dapat digunakan untuk membantu menghadapi segala urusan.
[9] Semua suara.
[10] Ilmu-Nya meliputi yang zahir (luar) maupun yang batin (dalam), yang gaib maupun yang tampak. Oleh karena itu, jika seorang hamba merasakan pengawasaan Allah dalam setiap keadaannya, merasakan pendengaran-Nya terhadap apa yang diucapkannya serta merasakan pengetahuan-Nya terhadapa apa yang disembunyikan dalam dada berupa rasa sedih, azam (kemauan keras) dan niat, maka akan membantunya mencapai derajat ihsan.
[11] Ayat ini merupakan jawaban terhadap orang-orang yang mendustakan rasul; yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam didatangi oleh setan atau mengatakan bahwa Beliau adalah penyair.
[12] Yaitu orang-orang yang suka berdusta, seperti halnya Musailamah Al Kadzdzab dan kepada para dukun.
[13] Yakni banyak berbuat maksiat. Orang yang seperti ini keadaannya pantas jika didatangi oleh setan. Adapun Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, maka keadaannya berbeda jauh dengan orang yang berdusta lagi banyak berdosa, Beliau adalah orang yang jujur lagi amanah, berbuat baik lagi memperoleh petunjuk, Beliau menggabung antara jujur hatinya, lisannya dan bersih perbuatannya. Sedangkan wahyu yang diturunkan kepada Beliau berasal dari sisi Allah, turun dari-Nya dalam keadaan terjaga dan dibawa oleh malaikat yang terpercaya.
[14] Yang mereka curi berita itu dari para malaikat, lalu menyampaikannya kepada para dukun.
[15] Mereka campurkan berita benar dengan seratus kedustaan, mencampurkan yang hak dan yang batil, dan kebenaran pun lenyap karena sedikit jumlahnya.
[16] Setelah Allah Subhaanahu wa Ta'aala membersihkan Beliau dari tuduhan didatangi oleh setan, maka Dia membersihkan pula Beliau dari tuduhan penyair.
[17] Yakni, maukah Aku beritahukan keadaan para penyair dan sifat yang melekat dalam diri mereka?
[18] Diri mereka (para penyair) sesat dan pengikutnya pun orang-orang yang sesat.
[19] Yakni kesesatan mereka.
[20] Yang dimaksud dengan ayat ini adalah bahwa sebagian penyair-penyair itu suka mempermainkan kata-kata dan tidak mempunyai tujuan yang baik serta tidak punya pendirian. Oleh karena itu, mereka sering melampaui batas baik dalam memuji maupun mencela karena sebuah kepentingan, terkadang benar dan terkadang dusta, terkadang merayu dan terkadang menghina, dst. Mereka tidak memiliki pendirian dan seperti buih yang terombang ambing di tengah lautan.
[21] Inilah sifat mereka, ucapannya berbeda dengan perbuatannya. Oleh karena itu, ketika penyair merayu, maka terkesan sebagai orang yang sangat cinta padahal hatinya kosong dari itu. Ketika ia memuji atau mencela, maka seakan-akan benar padahal dusta, bahkan terkadang memuji perbuatan yang tidak mereka lakukan. Perumpamaannya adalah jika seorang pemberani telah berada di atas kudanya, namun kita mendapati mereka sebagai manusia yang paling pengecut, tetapi pura-pura berani dan seperti inilah sifat mereka. Kemudian perhatikanlah keadaan mereka dengan keadaan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam seorang yang mendapat petunjuk lagi baik, dan pengikutnya juga orang-orang yang mendapat petunjuk lagi baik, istiqamah di atasnya dan menjauhi jalan kebinasaan. Perbuatan Beliau dengan ucapannya tidak bertentangan, Beliau tidak menyuruh selain kebaikan dan tidak melarang selain keburukan, tidak memberitakan kecuali yang benar dan tidak memerintahkan sesuatu kecuali Beliau adalah orang pertama yang melakukannya, dan tidaklah melarang sesuatu kecuali Beliau adalah orang pertama yang meninggalkannya. Kemudian apakah sama keadaan Beliau dengan para penyair atau bahkan menyelisihinya dari semua sisi? Maka semoga shalawat dan salam dilimpahkan Allah kepada Rasul yang mulia ini, orang yang melakukan apa yang dikatakannya, yang bukan seorang penyair, bukan penyihir dan bukan orang yang gila dan tidak cocok bagi Beliau kecuali sifat sempurna.
[22] Setelah Allah Subhaanahu wa Ta'aala menyebutkan sifat para penyair, maka Allah mengecualikan dari yang disebutkan, yaitu orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan beramal saleh, banyak mengingat Allah, dan mendapat kemenangan terhadap orang-orang musyrik dan orang-orang kafir, yang membela agama Allah, yang menerangkan ilmu-ilmu yang bermanfaat serta mendorong berakhlak mulia.
[23] Sya’ir mereka tidak membuat mereka lalai dari mengingat Allah.
[24] Yakni maka mereka tidak tercela. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman, “Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terang-terangan kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Terj. An Nisaa’: 148)
[25] Baik dari kalangan penyair maupun selainnya.
[26] Setelah mati mereka akan mendatangi mauqif (padang mahsyar) dan siap menghadapi hisab yang kemudian akan menerima pembalasan.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 Response to "Tafsir Asy Syu’araa Ayat 213-227"
Post a Comment