Surah ke-49. 18 ayat. Madaniyyah
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Ayat 1-5: Tatakrama terhadap Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (١) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لا تَشْعُرُونَ (٢) إِنَّ الَّذِينَ يَغُضُّونَ أَصْوَاتَهُمْ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ أُولَئِكَ الَّذِينَ امْتَحَنَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ لِلتَّقْوَى لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ عَظِيمٌ (٣) إِنَّ الَّذِينَ يُنَادُونَكَ مِنْ وَرَاءِ الْحُجُرَاتِ أَكْثَرُهُمْ لا يَعْقِلُونَ (٤) وَلَوْ أَنَّهُمْ صَبَرُوا حَتَّى تَخْرُجَ إِلَيْهِمْ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (٥)
Terjemah Surat Al Hujuraat Ayat 1-5
1. [1] [2]Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya[3], dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mendengar[4] lagi Maha Mengetahui[5].
2. [6] [7]Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu meninggikan suaramu[8] melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap yang lain, nanti (pahala) segala amalmu bisa terhapus[9] sedangkan kamu tidak menyadari.
3. [10]Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah, mereka itulah orang-orang yang telah diuji hatinya oleh Allah untuk bertakwa. Mereka akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar.
4. [11]Sesungguhnya orang-orang yang memanggil engkau (Muhamad) dari luar kamar(mu) kebanyakan mereka tidak mengerti.
5. Dan jika sekiranya mereka bersabar sampai kamu keluar menemui mereka. Sesungguhnya hal itu lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang[12].
Ayat 6-8: Bagaimana menghadapi berita yang dibawa orang fasik, pentingnya tatsabbut (meneliti) dalam menukil berita, berhati-hati terhadapnya karena berakibat memfitnahnya, selalu taat kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan penanaman rasa cinta kepada keimanan di hati kaum mukmin.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ (٦) وَاعْلَمُوا أَنَّ فِيكُمْ رَسُولَ اللَّهِ لَوْ يُطِيعُكُمْ فِي كَثِيرٍ مِنَ الأمْرِ لَعَنِتُّمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الإيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ أُولَئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ (٧) فَضْلا مِنَ اللَّهِ وَنِعْمَةً وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (٨)
Terjemah Surat Al Hujuraat Ayat 6-8
6. [13]Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan) yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.
7. [14]Dan ketahuilah olehmu bahwa di tengah-tengah kamu ada Rasulullah[15], kalau dia menuruti kemauan kamu dalam banyak hal[16], pasti kamu akan mendapat kesusahan[17]. Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan, dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu, serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka[18] itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus[19],
Ayat 9-11: Asas-asas untuk tegaknya masyarakat Islam, yaitu mendamaikan kedua golongan kaum muslimin yang bertenkar, saling cinta satu sama lain dan tidak saling menghina.
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الأخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (٩) إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ (١٠) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا يَسْخَرْ قَومٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلا تَنَابَزُوا بِالألْقَابِ بِئْسَ الاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الإيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (١١)
Terjemah Surat Al Hujuraat Ayat 9-11
9. [22] [23]Dan apabila ada dua golongan orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat zalim terhadap (golongan) yang lain, maka perangilah (golongan) yang berbuat zalim itu sehingga golongan itu, kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlakulah adil[24]. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil[25].
10. Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara[26], karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan [27]bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.
11. [28]Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok), dan jangan pula perempuan-perempuan mengolok-olokkan perempuan lain, (karena) boleh jadi yang diperolok-olokkan lebih baik (dari perempuan yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela dirimu[29] dan [30]janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk[31]. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman[32]. Dan barang siapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim[33].
KANDUNGAN AYAT
[1] Imam Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Ibnu Abi Mulaikah, bahwa Abdullah bin Az Zubair memberitahukan mereka, bahwa ada rombongan orang dari Bani Tamim datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu Abu Bakar berkata, “Angkatlah Qa’qa’ bin Ma’bad bin Zurarah.” Lalu Umar berkata, “Bahkan, angkatlah Aqra’ bin Habis.” Abu Bakar berkata, “Engkau tidak menginginkan selain menyelisihiku.” Umar menjawab, “Aku tidak bermaksud menyelisihimu.” Maka keduanya berbantah-bantahan sampai suaranya keras, kemudian turunlah tentang hal itu ayat, “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya…dst.”
[2] Syaikh As Sa’diy menerangkan, “Ayat ini mengandung adab terhadap Allah Ta’ala dan adab terhadap Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, membesarkan Beliau, menghormatinya dan memuliakannya. Maka Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya yang mukmin sesuatu yang menjadi konsekwensi beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, yaitu mengikuti perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, dan agar mereka berjalan di belakang perintah Allah sambil mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam semua urusan mereka. Demikian pula agar mereka tidak mendahului Allah dan Rasul-Nya, tidak berkata sampai Beliau berkata, dan tidak memerintahkan sampai Beliau memerintahkan. Inilah hakikat adab yang wajib terhadap Allah dan Rasul-Nya, dan ini merupakan tanda kebahagiaan seorang hamba dan keberuntungannya, dan jika hilang, maka hilanglah kebahagiaan yang abadi dan kenikmatan yang kekal. Dalam ayat ini terdapat larangan yang keras mendahulukan ucapan selain Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam di atas ucapan Beliau. Oleh karena itu, kapan saja jelas sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka wajib diikuti dan didahulukan di atas yang lainnya siapa pun dia. Selanjutnya Allah memerintahkan untuk bertakwa kepada-Nya secara umum, yaitu sebagaimana yang dikatakan Thalq bin Habib (tentang takwa), “Kamu mengerjakan ketaatan kepada Allah di atas cahaya dari Allah dan kamu mengharapkan pahala Allah. Demikian pula kamu menjauhi durhaka kepada Allah di atas cahaya dari Allah sambil takut kepada siksaan Allah.”
[3] Maksudnya orang-orang mukmin tidak boleh menetapkan sesuatu hukum, sebelum ada ketetapan dari Allah dan Rasul-Nya.
[4] Yakni semua suara dengan berbagai bahasa.
[5] Baik yang tampak maupun yang tersembunyi, yang berlalu maupun yang baru, yang mesti, mustahil maupun yang mungkin. Disebutkan kedua nama ini “Samii’un ‘Aliim” setelah larangan mendahului Allah dan Rasul-Nya serta perintah bertakwa kepada-Nya adalah untuk mendorong mengerjakan perkara-perkara yang baik, adab yang indah serta menakut-nakuti agar tidak mendurhakai.
[6] Imam Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Ibnu Abi Mulaikah ia berkata, “Hampir saja dua orang yang dipilih membuat Abu Bakar dan Umar binasa radhiyallahu 'anhuma, keduanya mengeraskan suaranya di hadapan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ketika rombongan dari Bani Tamim datang kepada Beliau, lalu yang satu menunjuk Aqra’ bin Habis saudara Bani Mujaasyi’, sedangkan yang satu lagi menunjuk yang lain. Nafi’ (perawi hadits) berkata, “Saya tidak hapal namanya.” Lalu Abu Bakar berkata kepada Umar, “Engkau tidak bermaksud selain menyelisihiku.” Umar menjawab, “Aku tidak bermaksud menyelisihimu.” Suara keduanya pun semakin keras dalam hal itu, maka Allah Ta’ala menurunkan ayat, “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu meninggikan suaramu…dst.” Ibnuz Zubair berkata, “Maka Umar tidak lagi memperdengarkan (mengeraskan suaranya) kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam setelah ayat ini, sampai Beliau meminta kejelasan (kata-katanya).” Ia tidak menyebutkan hal itu dari bapaknya, yakni Abu Bakar (Abdullah bin Abi Mulaikah atau Abdullah bin Az Zubair, tidak menyebutkan dari bapaknya yang tergolong sahabat).” (Syaikh Muqbil menjelaskan, hadits ini diriwayatkan pula oleh Tirmidzi juz 4 hal. 185, dan di sana disebutkan secara tegas bahwa Abdullah bin Abi Mulaikah diceritakan oleh Abdullah bin Az Zubair, dan ia (Tirmidzi) menghasankannya. Demikian pula diriwayatkan oleh Ahmad juz 4 hal. 6, Thabrani juz 26 hal. 119, di sana disebutkan ucapan Nafi’, bahwa Ibnu Abi Mulaikan telah menceritakan kepadanya dari Ibnuz Zubair, sehingga diketahui bersambungnya hadits ini sebagaimana diisyaratkan oleh Al Haafizh dalam Al Fat-h juz 10 hal. 212).
[7] Ayat ini merupakan adab terhadap Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam berbicara dengan Beliau, yakni janganlah orang yang berbicara dengan Beliau meninggikan suaranya di atas suara Beliau, demikian pula jangan mengeraskan suara kepada Beliau, bahkan harus merendahkan suaranya, berbicara kepadanya dengan sopan dan lembut, dengan memuliakan dan menghormati serta mengagungkan, dan agar jangan menganggap Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam seperti kawan sesama mereka, bahkan mereka harus membedakan Beliau dalam berbicara sebagaimana Beliau harus dibedakan daripada yang lain tentang haknya yang wajib dilakukan oleh umat Beliau, dan wajibnya beriman kepada Beliau serta mencintai Beliau. Hal itu, karena jika tidak melakukan adab tersebut terdapat bahaya dan dikhawatirkan akan hapus amal seorang hamba tanpa disadarinya. Sebaliknya, beradab dengan Beliau termasuk sebab memperoleh pahala dan diterimanya amal.
[8] Ketika kamu berbicara.
[9] Meninggikan suara lebih dari suara Nabi atau berbicara keras terhadap Nabi adalah suatu perbuatan yang menyakiti Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Oleh karena itu, dilarang melakukannya dan dapat menyebabkan hapusnya amal perbuatan.
[10] Selanjutnya Allah Subhaanahu wa Ta'aala memuji orang yang merendahkan suaranya di hadapan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu bahwa Allah menguji hati mereka untuk bertakwa, sehingga jelaslah keadaannya, yaitu menjadi cocoknya hati mereka untuk bertakwa. Allah Subhaanahu wa Ta'aala juga menjanjikan untuk mereka itu ampunan yang di dalamnya mengandung penyingkiran terhadap keburukan dan hal yang tidak diinginkan, serta pahala yang besar yang tidak diketahui sifatnya kecuali oleh Allah Ta’ala, dan dalam pahala yang besar itu terdapat hal yang dicintai hamba. Dalam ayat ini terdapat dalil bahwa Allah Subhaanahu wa Ta'aala menguji hati manusia dengan perintah, larangan dan cobaan-cobaan, maka barang siapa yang tetap mengerjakan perintah Allah dan mengikuti keridhaan-Nya serta bersegera kepadanya dan mendahulukannya di atas keinginan hawa nafsunya, maka menjadi bersih dan sucilah hati tersebut sehingga bisa bertakwa. Jika tidak demikian, maka dapat diketahui, bahwa hatinya tidak cocok untuk bertakwa.
[11] Diterangkan dalam Tafsir Al Jalaalain, bahwa ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang yang datang di siang hari, sedangkan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di dalam rumahnya, lalu mereka memanggilnya. Syaikh As Sa’diy berkata, “Beberapa ayat yang mulia ini (ayat 4 dan 5) turun berkenaan dengan beberapa orang Arab badui yang Allah Ta’ala sifati mereka dengan sifat kasar, dan bahwa mereka pantas tidak mengetahui batasan-batasan yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya. Mereka datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai utusan, lalu mereka mendapati Beliau berada dalam rumahnya dan di kamar istrinya. Mereka pun tidak sabar sampai Beliau keluar dan tidak memiliki sopan santun, bahkan memanggil, “Wahai Muhammad, wahai Muhammad!” maksudnya, keluarlah menghadap kami. Maka Allah mencela mereka dengan tidak mengerti, dimana mereka tidak mengerti adab dari Allah terhadap Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam dan tentang menghormatinya, sebagaimana termasuk berakal dan menjadi tandanya adalah mempraktekkan sopan santun. Oleh karena itu, beradabnya seorang hamba merupakan tanda berakalnya dan bahwa Allah menginginkan kebaikan padanya. Maka dari itu, Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman, “Dan sekiranya mereka bersabar sampai engkau keluar menemui mereka, tentu akan lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
[12] Dia mengampuni dosa yang muncul dari hamba-Nya dan sikap kurang adabnya, serta Maha Penyayang kepada mereka, dimana Dia tidak segera menyiksa mereka karena dosa-dosa mereka.
[13] Ayat ini juga sama menerangkan adab yang harus diperhatikan oleh orang-orang yang berakal, yaitu apabila ada orang fasik yang memberitahukan kepada mereka suatu berita, maka hendaknya mereka menelitinya dan tidak langsung menerima beritanya, karena jika demikian terdapat bahaya yang besar dan terjatuh ke dalam dosa. Hal itu karena jika berita orang fasik menempati posisi berita orang yang yang benar lagi adil sehingga dibenarkan dan dilanjutkan konsekwensinya tentu akan menimbulkan bahaya, seperti binasanya jiwa dan harta tanpa alasan yang benar sehingga membuat seseorang menyesal. Oleh karena itu, yang wajib dalam menerima berita orang fasik adalah tatsabbut (meneliti), jika ada dalil dan qarinah (tanda) yang menunjukkan kebenarannya, maka diberlakukan dan dibenarkan. Tetapi jika dalil dan qarinah menunjukkan kedustaannya, maka didustakan dan tidak diberlakukan. Dalam ayat ini terdapat dalil bahwa berita orang yang jujur adalah diterima dan bahwa berita orang yang berdusta adalah ditolak, sedangkan berita orang fasik, maka tergantung dalil dan qarinah. Oleh karena itulah, kaum salaf sampai menerima banyak riwayat dari orang-orang Khawarij yang terkenal kejujurannya meskipun fasik, demikianlah yang diterangkan oleh Syaikh As Sa’diy.
[14] Yakni hendaknya kamu tetap mengetahui, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam masih berada di tengah-tengah kamu; dimana Beliau adalah orang yang baik, mulia, cerdas dan menginginkan kebaikan bagi kamu, sedangkan kamu menginginkan yang buruk bagimu yang Beliau tidak setuju dengannya. Kalau sekiranya, Beliau menaati kamu dalam banyak hal, tentu yang demikian akan memberatkan kamu dan menyusahkan kamu, akan tetapi Beliau membimbing dan memilihkanyang terbaik bagimu. Dan Allah Ta’ala yang menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menghiasinya di hati kamu. Dia telah menanamkan ke dalam hatimu rasa cinta kepada kebenaran dan mengutamakannya, disamping Dia telah menegakkan syahid (penguat) dan bukti yang menunjukkan kebenarannya, dan siapnya hati serta fitrah untuk menerimanya. Demikian juga karena Dia telah memberikan taufik kepada kamu untuk kembali kepada-Nya, dan karena Dia telah membuat kamu benci kepada kekafiran dan kefasikan (dosa-dosa besar) serta kemaksiatan (dosa-dosa kecil), Dia telah menanamkan rasa benci terhadapnya ke dalam hatimu, tidak ada keinginan untuk melakukannya dan karena Dia telah menegakkan dalil dan syahid yang menunjukkan kebatilannya, disamping itu, fitrah juga tidak mau menerimanya.
[15] Oleh karena itu, janganlah berkata yang batil, karena Allah akan memberitahukannya segera.
[16] Seperti mengikuti berita yang kamu sampaikan yang tidak sesuai dengan kenyataan.
[17] Bisa juga diartikan, tentu kamu berdosa, bukan Beliau.
[18] Yaitu orang-orang yang telah dihiasi (dijadikan indah) oleh Allah keimanan dalam hatinya, dibuat cinta kepadanya, serta dibuat benci kepada kekafiran, kefasikan dan kemaksiatan.
[19] Yaitu mereka yang baik ilmu dan amalnya, tetap lurus di atas agama dan jalan yang lurus. Kebalikan dari mereka adalah orang-orang yang sesat, dimana Dia telah menjadikan mereka cinta kepada kekafiran, kefasikan dan kemaksiatan serta menjadikan mereka benci kepada keimanan. Dosanya adalah dosa mereka, karena ketika mereka berbuat fasik, maka Allah Subhaanahu wa Ta'aala mengunci hati mereka sebagaimana firman-Nya, ”Wa lammaa zaaghu azaaghallahu quluubahum” (ketika mereka menyimpang, maka Allah menyimpangkan hati mereka), dan karena mereka tidak beriman kepada kebenaran saat ia datang pada pertama kali, maka Allah balikkan hati mereka.
[20] Maksudnya, kebaikan yang diperoleh mereka adalah karena karunia Allah dan ihsan-Nya kepada mereka, bukan karena usaha dan kekuatan mereka.
[21] Dia mengetetahui siapa yang mensyukuri nikmat sehingga Dia memberinya taufik dengan orang yang tidak mensyukurinya, sehingga Dia meletakkan karunia-Nya sesuai kebijaksanaan-Nya.
[22] Imam Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya dari Anas radhiyallahu 'anhu ia berkata, “Dikatakan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, “Sekiranya engkau mendatangi Abdullah bin Ubay.” Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pergi mendatanginya dan menaiki keledai, dan kaum muslimin ikut pergi berjalan bersama Beliau. Ketika itu, tanah yang dilewati adalah tanah yang tidak menumbuhkan tanaman. Saat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mendatanginya, maka Abdullah bin Ubay berkata, “Menjauhlah dariku. Demi Allah, bau keledaimu telah menggangguku.” Lalu salah seorang Anshar di antara mereka berkata, “Demi Allah, keledai Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam lebih wangi baunya daripada kamu.” Maka salah seorang dari kaum Abdullah (bin Ubay) ada yang marah untuknya dan memakinya, sehingga masing-masing kawannya saling marah. Ketika itu, antara keduanya saling pukul-memukul dengan pelepah kurma, sandal, dan tangan. Lalu disampaikan kepada kami, bahwa telah turun ayat, “Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya!” (Terj. Al Hujurat: 9)
[23] Ayat ini mengandung larangan berbuat zalim antara sesama kaum mukmin dan larangan bagi mereka untuk saling berperang, dan bahwa jika di antara dua golongan mukmin saling berperang, maka kaum mukmin yang lain harus memadamkan keburukan besar ini dengan mendamaikan mereka dan bersikap tengah-tengah secara sempurna sehingga terwujud perdamaian, dan hendaknya mereka menempuh jalan yang mengarah kepadanya. Jika kedua golongan itu berdamai, maka sangat baik sekali, tetapi jika salah satu dari keduanya berbuat zalim terhadap (golongan) yang lain, maka perangilah (golongan) yang berbuat zalim itu sehingga golongan itu, kembali kepada perintah Allah, yaitu kembali kepada ketetapan Allah dan Rasul-Nya berupa mengerjakan kebaikan dan meninggalkan keburukan yang di antaranya adalah berperang.
[24] Ayat ini terdapat perintah untuk berdamai dan perintah berlaku adil dalam shulh (perdamaian), karena terkadang shulh ada namun tidak adil, bahkan dengan berlaku zalim atau memihak kepada salah satu di antara kedua golongan. Jika demikian, maka bukanlah shulh yang diperintahkan, ia wajib tidak memihak hanya karena hubungan kekerabatan, sesuku atau karena maksud dan tujuan tertentu yang membuatnya menyimpang dari keadilan.
[25] Yaitu mereka yang adil dalam memberikan keputusan di antara manusia dan dalam memimpin, bahkan termasuk pula adilnya seorang suami kepada istri dan anaknya dalam memenuhi hak mereka. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الْمُقْسِطِينَ عِنْدَ اللَّهِ عَلَى مَنَابِرَ مِنْ نُورٍ عَنْ يَمِينِ الرَّحْمَنِ عَزَّ وَجَلَّ وَكِلْتَا يَدَيْهِ يَمِينٌ الَّذِينَ يَعْدِلُونَ فِى حُكْمِهِمْ وَأَهْلِيهِمْ وَمَا وَلُوا
“Sesungguhnya orang-orang yang adil di sisi Alah berada di atas mimbar-mimbar dari cahaya di sebelah kanan Ar Rahman ‘Azza wa Jalla, dan kedua Tangan-Nya adalah kanan. Mereka itu adalah orang-orang yang adil dalam memberikan keputusan, dalam bersikap kepada keluarga mereka dan dalam hal yang mereka pimpin.” (HR. Muslim)
[26] Ini merupakan ikatan yang Allah ikat antara kaum mukmin, yaitu apabila ada seseorang baik berada di timur maupun di barat bumi jika dia beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya dan hari Akhir serta beriman kepada qadar yang baik dan yang buruk, maka dia adalah saudaranya, dimana hal ini menghendaki untuk diberikan sesuatu yang disukainya sebagaimana ia suka mendapatkan hal itu serta tidak menyukai hal buruk menimpanya sebagaimana dirinya tidak suka mendapatkannya. Oleh karena itu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan melaksanakan hak keimanan, Beliau bersabda:
لَا تَحَاسَدُوا وَلَا تَنَاجَشُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَلَا تَدَابَرُوا وَلَا يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ وَلَا يَحْقِرُهُ التَّقْوَى هَاهُنَا وَيُشِيرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ
“Jangan kamu saling hasad, saling najsy (menipu agar barang dagangan laku), saling marah, saling membelakangi dan jangan kamu menjual barang yang sudah dijual oleh orang lain. Jadilah kamu hamba-hamba Allah yang bersaudara. Orang muslim yang satu dengan lainnya adalah bersaudara, tidak boleh dizalimi, ditelantarkan dan dihinakan. Takwa itu di sini, -Beliau berisyarat ke dadanya- 3X, “Cukuplah seseorang telah melakukan kejahatan kalau menghina saudaranya yang muslim. Setiap muslim adalah terpelihara darahnya, hartanya dan kehormatannya.” (HR. Muslim)
Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:
الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا
“Seorang mukmin terhadap mukmin lainnya seperti bangunan, dimana yang satu dengan yang lain saling menguatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Allah Subhaanahu wa Ta'aala memerintahkan Rasul-Nya untuk menegakkan hak-hak kaum mukmin yang satu dengan yang lain dan memerintahkan sesuatu yang dengannya dapat terwujud rasa cinta dan persatuan, di antaranya adalah apabila terjadi peperangan di antara mereka yang dapat menimbulkan perpecahan dan kebencian, maka hendaknya kaum mukmin mendamaikannya dan berusaha melakukan sesuatu yang dapat menghilangkan kebencian di antara mereka.
[27] Selanjutnya Allah Subhaanahu wa Ta'aala memerintahkan untuk bertakwa secara umum serta menerangkan hasil dari memenuhi hak kaum mukmin dan bertakwa kepada Allah, yaitu mendapatkan rahmat sebagaimana firman-Nya di akhir ayat. Apabila telah tercapai rahmat, maka akan tercapai kebaikan dunia dan akhirat. Ayat ini juga menunjukkan, bahwa tidak memenuhi hak kaum mukmin merupakan penghalang besar mendapatkan rahmat.
Kedua ayat di atas (ayat 9 dan 10) terdapat beberapa faedah selain yang telah disebutkan di atas, yaitu:
- Berperang antara kaum mukmin bertentangan dengan ukhuwwah (persaudaraan) seiman. Oleh karena itu, hal tersebut termasuk dosa yang besar.
- Iman dan persaudaraan seiman tidaklah hilang meskipun terjadi peperangan sebagaimana jika terjadi dosa-dosa besar yang lain di bawah syirk.
- Wajibnya mendamaikan kaum mukmin yang bertengkar dengan adil.
- Wajibnya memerangi pemberontak agar mereka kembali kepada perintah Allah.
- Harta mereka adalah ma’shum (terpelihara), karena Allah hanyalah membolehkan darah mereka ketika berlangsungnya sikap zalim mereka saja, dan tidak harta mereka.
[28] Ayat ini juga menerangkan hak-hak kaum mukmin satu sama lain, yaitu hendaknya sebagian mereka tidak mengolok-olok, baik dengan ucapan maupun perbuatan yang menunjukkan penghinaan terhadap seorang muslim, karena yang demikian haram, dan menunjukkan bahwa orang yang mengolok-olok merasa ujub (bangga diri) dengan dirinya, padahal bisa saja yang diolok-olok itu lebih baik daripada yang mengolok-olok sebagaimana seperti itu pada umumnya dan kenyataannya. Hal itu, karena mengolok-olok tidaklah terjadi kecuali dari hati yang penuh dengan akhlak yang buruk dan tercela. Oleh karena itulah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Cukuplah seseorang telah melakukan kejahatan kalau menghina saudaranya yang muslim.”
[29] Jangan mencela dirimu sendiri maksudnya ialah mencela antara sesama mukmin karana orang-orang mukmin seperti satu tubuh. Mencela itu bisa dengan ucapan dan bisa dengan perbuatan. Kedua-duanya adalah haram dan diancam dengan neraka sebagaimana firman Allah, “Wailul likulli humazatil lumazah.”
[30] Tirmidzi meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Abu Jabirah bin Adh Dhahhak ia berkata, “Ada salah seorang di antara kami yang memiliki dua nama atau tiga, lalu dipanggil dengan sebagiannya maka sepertinya ia tidak suka, sehingga turunlah ayat ini, “Dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk.” Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan shahih.”
[31] Yakni janganlah salah seorang di antara kamu mencela saudaranya dan menggelarinya dengan gelar yang buruk, dimana orang yang digelari itu tidak suka jika disebut dengannya. Adapun gelar yang tidak tercela, maka tidak termasuk dalam ayat ini.
[32] Panggilan yang buruk ialah gelar yang tidak disukai oleh orang yang digelari, seperti panggilan kepada orang yang sudah beriman, dengan panggilan, “Hai fasik, hai kafir” dan sebagainya.
[33] Inilah yang wajib dilakukan seorang hamba, yaitu bertobat kepada Allah Ta’ala dan keluar dari hak saudaranya, yaitu dengan meminta dihalalkan atau meminta dimaafkan, memujinya setelah mencelanya. Ayat ini menerangkan bahwa manusia ada dua golongan; yaitu orang yang berbuat zalim kepada dirinya dan orang yang bertobat, dan tidak ada yang ketiganya.
=================
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا ۖ فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَىٰ فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّىٰ تَفِيءَ إِلَىٰ أَمْرِ اللَّهِ ۚ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا ۖ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
Dan kalau ada dua kelompok dari orang-orang yang beriman berperang, maka damaikan oleh kalian antara keduanya! Akan tetapi, kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, maka perangilah oleh kalian (kelompok) yang melanggar perjanjian itu sampai mereka kembali kepada perintah Allâh. Kalau mereka telah kembali, maka damaikanlah antara keduanya dengan adil. Dan hendaklah kalian berlaku adil. Sesungguhnya Allâh mencintai orang-orang yang berlaku adil [al-Hujurat/49:9]
(Dan kalau ada dua kelompok dari orang-orang yang beriman) baik jumlahnya sedikit ataupun banyak, (berperang), baik yang sedang berperang atau akan berperang, (maka damaikan oleh kalian antara keduanya!) dengan membuat perjanjian kesepakatan. (Akan tetapi, kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain), dengan menolak perjanjian tersebut atau tidak ridha dengan hukum Allâh, (maka perangilah oleh kalian (kelompok) yang melanggar perjanjian itu sampai mereka kembali kepada perintah Allâh,) yaitu sampai mereka kembali kepada kebenaran.
(Kalau mereka telah kembali, maka damaikanlah antara keduanya dengan adil. Dan hendaklah kalian berlaku adil. Sesungguhnya Allâh mencintai orang-orang yang berlaku adil.)[1]
Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Peperangan merusak hubungan persaudaraan seiman. Oleh karena itu, dia termasuk dosa besar yang paling besar. Sesungguhnya iman dan persaudaraan seiman tidak lenyap dengan adanya peperangan (antara sesama orang yang beriman), sebagaimana dosa-dosa besar lain yang berada di bawah syirik (tidak melenyapkan iman). Dan inilah madzhab Ahlus Sunnah wal-Jamaa’ah, begitu pula dalam permasalahan: wajibnya mengadakan perdamaian di antara orang-orang yang beriman dengan adil, wajibnya memerangi orang-orang melanggar perjanjian atau pemberontak sampai mereka kembali kepada perintah Allâh... Dan (setelah memerangi mereka), harta mereka dilindungi (atau tidak menjadi ghanîmah), yang dibolehkan hanyalah membunuh mereka ketika mereka terus melakukannya, tetapi tidak dibolehkan mengambil harta-harta mereka.”[2]
PENJABARAN AYAT
Sebab Turunnya Ayat
Para Ulama berbeda pendapat tentang sebab turun ayat ini. Sebab turun yang shahîh tercantum dalam hadits berikut:
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قِيلَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَوْ أَتَيْتَ عَبْدَ اللهِ بْنَ أُبَيٍّ. فَانْطَلَقَ إِلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَكِبَ حِمَارًا فَانْطَلَقَ الْمُسْلِمُونَ يَمْشُونَ مَعَهُ وَهْيَ أَرْضٌ سَبِخَةٌ فَلَمَّا أَتَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: إِلَيْكَ عَنِّي! وَاللَّهِ لَقَدْ آذَانِي نَتْنُ حِمَارِكَ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ مِنْهُمْ: وَاللَّهِ لَحِمَارُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَطْيَبُ رِيحًا مِنْكَ. فَغَضِبَ لِعَبْدِ اللهِ رَجُلٌ مِنْ قَوْمِهِ فَشَتَمَا فَغَضِبَ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا أَصْحَابُهُ فَكَانَ بَيْنَهُمَا ضَرْبٌ بِالْجَرِيدِ وَالأَيْدِي وَالنِّعَالِ فَبَلَغَنَا أَنَّهَا أُنْزِلَتْ: وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا
Diriwayatkan dari Anas Radhiyallahu anhu bahwasanya dia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam disarankan, ‘Sebaiknya engkau menemui ‘Abdullah bin Ubay.’ Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun pergi dan diikuti oleh kaum Muslimin menuju tanah yang tandus. Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menemuinya, berkatalah ‘Abdullah bin Ubay, ‘Menjauhlah dariku! Demi Allâh! Bau keledaimu telah menggangguku.’ Maka berkatalah seorang laki-laki dari Anshâr, ‘Demi Allâh! Keledai Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih harum daripada dirimu.’ Kemudian marahlah seorang laki-laki dari kaumnya karena ‘Abdullah diejek. Mereka berdua pun saling mengejek, kemudian teman-teman kedua laki-laki tersebut saling marah dengan yang lain. Dan terjadilah pemukulan dengan pelepah kurma, tangan dan sandal-sandal. Dan kami diberitahukan bahwa karena hal itulah diturunkan ayat, yang artinya, "Dan kalau ada dua kelompok dari orang-orang yang beriman berperang, maka damaikan oleh kalian antara keduanya!”[3]
Firman Allâh Azza wa Jalla :
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا
Dan kalau ada dua kelompok dari orang-orang yang beriman berperang, maka damaikan oleh kalian antara keduanya!
Dalam ayat ini Allâh Azza wa Jalla masih menamai kedua kelompok tersebut sebagai kaum yang beriman, meskipun sekelompok orang Mukmin yang satu memerangi dan membunuh sekelompok orang Mukmin lainnya. Allâh Azza wa Jalla juga tidak mengatakan bahwa orang atau kelompok yang membunuh sebagai orang kafir.
Imam al-Bukhâri mengatakan, “Allâh Azza wa Jalla menamai mereka sebagai orang-orang yang beriman.”[4] Ini menunjukkan bahwa Imam al-Bukhâri memahami bahwa hal tersebut tidak menyebabkan salah satu dari dua kelompok tersebut keluar dari agama Islam.
Begitu pula jika kita perhatikan ayat yang berbicara tentang qishâsh. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى ۖ الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْأُنْثَىٰ بِالْأُنْثَىٰ ۚ فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian qishâsh berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, maka hendaklah (yang dimaafkan) mengikuti dengan cara yang baik. [Al-Baqarah/2:178]
Pada ayat ini Allâh Azza wa Jalla menyebut orang yang membunuh sebagai seorang yang beriman dan tidak menghilangkan keimanan dan persaudaraan seiman pada dirinya dengan firman-Nya, yang artinya “maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya.” Dalam ayat ini, Allâh Azza wa Jalla masih menyebut orang yang membunuh sebagai saudara yang lain.
Begitu pula sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
لَا تَرْجِعُوا بَعْدِي كُفَّارًا يَضْرِبُ بَعْضُكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ
Janganlah kalian setelahku menjadi orang-orang kafir, sebagian kalian memenggal leher sebagian yang lain.[5]
Pada hadits ini, meskipun Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut mereka sebagai orang yang kafir, tetapi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganggap sebagian mereka sebagai bagian yang lain. Ini menunjukkan bahwa kekafiran yang dimaksud bukanlah kekafiran yang menyebabkan mereka keluar dari agama Islam.
Begitu pula dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Beliau menyebutkan tentang pemberontakan yang akan terjadi di antara para Shahabat:
وَتَمْرُقُ مَارِقَةٌ عِنْدَ فِرْقَةٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ يَقْتُلُهَا أَوْلَى الطَّائِفَتَيْنِ بِالْحَقِّ
Dan akan ada kelompok yang keluar ketika terjadi perpecahan di antara kaum Muslimin. Kemudian kelompok yang lebih utama memerangi mereka dengan haq (kebenaran).[6]
Dan kita ketahui dalam sejarah Islam, bahwa setelah ‘Utsmân bin ‘Affân Radhiyallahu anhu wafat, maka terjadilah perselisihan antara pendukung pemerintahan ‘Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu dengan pendukung Mu’âwiyah bin Abi Sufyân Radhiyallahu anhu , sehingga terjadi peperangan antara dua kelompok besar kaum Muslimin.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan hal ini sebelumnya, yaitu tentang cucu Beliau yang bernama al-Hasan bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhuma :
إِنَّ ابْنِي هَذَا سَيِّدٌ وَلَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ عَظِيمَتَيْنِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Sesungguhnya anakku ini (yaitu cucu Beliau) adalah sayyid (pemimpin). Mudah-mudahan Allâh akan mendamaikan dua kelompok besar dari kaum Muslimin dengan sebabnya[7]
Dengan demikian, kita mengetahui bahwa peperangan dan bunuh-bunuhan yang terjadi antara kedua kelompok besar tersebut tidak menyebabkan salah satu kelompok menjadi orang kafir, keluar dari agama Islam.
Kekafiran Ada Dua Jenis
Sangat perlu ditekankan pada tulisan ini, bahwa tidak semua lafaz: kefasikan, kekafiran, kemunafikan dan kezhaliman, di dalam ayat-ayat Al-Qur’ân dan juga hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti hal tersebut menyebabkan pelakunya keluar dari agama Islam.
Kefasikan (al-fisq), kekafiran (al-kufr), kemunafikan (an-nifâq) dan kezhaliman (adzh-dzhulm) terbagi menjadi dua, yaitu: akbar dan ashghar.
Al-Kufr al-Akbar menyebabkan pelakunya dari Islam, sedangkan al-kufr al-ashghar tidak menyebabkan pelakunya dari Islam.
Contoh al-kufr al-akbar (kekafiran yang besar) tercantum pada ayat berikut:
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ أَبَىٰ وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ
Dan (Ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat, ‘Sujudlah kalian kepada Adam,’ maka sujudlah mereka kecuali Iblis, dia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir. [Al-Baqarah/2:34]
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا وَصَدُّوا عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ قَدْ ضَلُّوا ضَلَالًا بَعِيدًا
Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan melakukan kezaliman, Allâh sekali-kali tidak akan mengampuni (dosa) mereka dan tidak (pula) akan menunjukkan jalan kepada mereka [An-Nisâ’/4:167]
Kekafiran yang dimaksudkan pada kedua ayat tersebut adalah kekafiran yang menyebabkan pelakunya keluar dari agama Islam.
Contoh al-kufr al-ashghar tercantum pada hadits berikut:
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
Mencela seorang Muslim adalah perbuatan fasiq (dosa) dan membunuhnya adalah perbuatan kafir
Kekafiran pada hadits ini tidak menunjukkan bahwa pembunuhan merupakan perbuatan yang dapat menyebabkan pelakunya keluar dari agama Islam.
Inilah aqidah Ahlussunnah wal-Jamâ’ah. Mereka tidak mengkafirkan orang-orang yang melakukan dosa besar, seperti: membunuh, berzina, minum-minuman keras dan lain-lain. Ini sangat berbeda dengan apa yang dipahami oleh orang-orang sesat dari kaum khawarij. Mereka mengkafirkan orang-orang yang melakukan dosa-dosa besar tersebut. [8]
Firman Allâh Azza wa Jalla :
فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَىٰ فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّىٰ تَفِيءَ إِلَىٰ أَمْرِ اللَّهِ
Akan tetapi, kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, maka perangilah oleh kalian (kelompok) yang melanggar perjanjian itu sampai mereka kembali kepada perintah Allâh
Para pemberontak yang keluar dari ketaatan kepada pemimpin yang adil boleh diperangi dan dibunuh. Dalilnya adalah ayat yang sedang kita bahas ini. Apabila ada suatu kelompok yang memiliki:
1. Kekuatan untuk memberontak, tidak mau menaati imam yang adil,
2. Memiliki syubhat/kesalahan dalam memahami dalil dan
3. Mereka mengangkat seorang imam, maka imam tersebut wajib mengutus perwakilan kepada mereka dan mengajak mereka untuk taat kepadanya.
Apabila mereka menyatakan bahwa telah terjadi kezhaliman kepada mereka, maka sang Imam harus menyelesaikannya. Apabila ternyata tidak ada kezhaliman yang dilakukan imam kepada mereka, tetapi mereka tetap memberontak, maka sang Imam berhak memerangi mereka sampai mereka kembali menaati sang Imam.
Tetapi perlu diingatkan pada tulisan ini, memerangi mereka bukan berarti dihalalkan mengambil harta mereka, memperbudak mereka dan juga memperbudak anak-istri mereka setelah terjadi peperangan, sebagaimana dihalalkan mengambilnya dari orang-orang kafir. Mereka adalah orang-orang Islam, apabila ketika mereka diperangi dan melarikan diri, maka mereka tidak boleh dikejar, apabila mereka ditawan, maka mereka tidak boleh dibunuh, apabila mereka terluka, maka harus diberikan pengobatan.
Jika terpenuhi ketiga syarat tersebut, barulah sang Imam boleh memerangi mereka.
Namun, jika belum terpenuhi syarat-syarat tersebut, misalkan kelompok pemberontak tersebut:
1. Jumlahnya sedikit dan tidak memiliki kekuatan,
2. Mereka tidak memiliki syubhat atau salah dalam memahami dalil atau
3. Mereka tidak mengangkat seorang imam dan tidak mengumumkan peperangan kepada kaum Muslimin, maka tidak boleh memerangi mereka. Kecuali mereka sangat mengancam bagi kaum Muslimin, maka diperbolehkan untuk memerangi mereka.[9]
Ayat ini menunjukkan wajibnya memerangi kelompok pemberontak yang benar-benar memberontak kepada Imam, pemerintah atau membunuh orang-orang Islam. Ini tidak bertentangan dengan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
Membunuhnya adalah perbuatan kafir.
Kita ketahui bahwa Allâh Azza wa Jalla tidak mungkin memerintahkan para hamba-Nya untuk melakukan perbuatan kafir. Oleh karena itu, perintah dalam ayat tersebut di atas adalah salah satu bentuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allâh Azza wa Jalla .
Kita juga mengetahui bahwa Abu Bakr ash-Shiddîq Radhiyallahu anhu memerangi orang Islam yang tidak mau bayar zakat.[10]
TIDAK BERMUDAH-MUDAH DALAM MASALAH MEMEMBUNUH PARA PEMBERONTAK
Meskipun Allâh Azza wa Jalla mengizinkan untuk memerangi para pemberontak dan orang yang membuat kerusakan di muka bumi. Akan tetapi, sudah sepantasnya para pemegang kekuasaan tidak menganggap sepele masalah pembunuhan terhadap para pemberontak. Pertimbangan untuk membunuh mereka haruslah benar-benar matang. Pemegang kekuasaan harus menimbang kemaslahatan (kebaikan) dan kemudaratan (keburukan) yang akan terjadi jika para pemberontak tersebut diperangi.
Diriwayatkan dari Nâfi’ rahimahullah , bahwa ada seseorang mendatangi Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma dan berkata, “Ya Abu ‘Abdirrahman[11] ! Apakah engkau tidak mendengar ayat yang Allâh sebutkan dalam kitab-Nya:
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا
Dan kalau ada dua kelompok dari orang-orang yang beriman berperang, maka damaikan oleh kalian antara keduanya! [Al-Hujurat/49:9]
Apa yang menghalangimu untuk tidak memerangi (orang-orang) sebagaimana yang Allâh Azza wa Jalla sebutkan dalam kitab-Nya?
Beliau pun berkata, “Wahai anak saudaraku! Saya tidak ingin salah dalam memahami ayat ini. Tidak memerangi (mereka) lebih saya sukai daripada salah dalam memahami ayat yang Allâh Azza wa Jalla firmankan:
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا
Barang siapa yang membunuh seorang Mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah Jahannam, dia kekal di dalamnya. [An-Nisâ/4:93]
Beliau berkata, sesungguhnya Allâh berkata:
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ
Dan perangilah mereka sampai tidak terjadi fitnah [Al-Baqarah/2:193]”[12]
Dari atsar di atas kita dapat memahami bahwa Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma sangat berhati-hati dalam menghukumi suatu permasalahan, karena permasalahan tersebut sangat besar dan beliau takut terjatuh pada kesalahan sehingga seorang Mukmin membunuh saudaranya bukan dengan alasan yang benar, sehingga dia terjatuh pada ayat:
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا
Barang siapa yang membunuh seorang Mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah Jahannam, dia kekal di dalamnya. Dan Allâh murka kepadanya dan mengutuknya serta menyediakan untuknya azab yang besar [An-Nisâ’/4:93]
Begitu pula, beliau c memahami bahwa halalnya memerangi orang yang memberontak adalah karena pertimbangan maslahat yang besar atau menghindarkan mudarat (bahaya). Akan tetapi, jika dengan memerangi mereka bukan karena Allâh Azza wa Jalla dan akan terjadi fitnah yang sangat besar di antara kaum Muslimin, maka hal tersebut tidak disyariatkan. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ ۖ فَإِنِ انْتَهَوْا فَلَا عُدْوَانَ إِلَّا عَلَى الظَّالِمِينَ
Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allâh. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kalian), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim. [Al-Baqarah/2:193]
Firman Allâh Ta’ala:
فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا ۖ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
Dan hendaklah kalian berlaku adil. Sesungguhnya Allâh mencintai orang-orang yang berlaku adil.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan keutamaan orang yang berbuat adil, beliau berkata:
إِنَّ الْمُقْسِطِينَ عِنْدَ اللَّهِ عَلَى مَنَابِرَ مِنْ نُورٍ عَنْ يَمِينِ الرَّحْمَنِ عَزَّ وَجَلَّ وَكِلْتَا يَدَيْهِ يَمِينٌ الَّذِينَ يَعْدِلُونَ فِى حُكْمِهِمْ وَأَهْلِيهِمْ وَمَا وَلُوا
Sesungguhnya orang-orang yang muqsith (adil) nanti akan berada di sisi Allâh di atas mimbar-mimbar dari cahaya di sebelah tangan kanan Ar-Rahmaan, dan kedua tangan Allâh adalah kanan. Mereka adalah orang-orang yang berbuat adil ketika berhukum, berbuat adil terhadap keluarganya dan orang-orang yang menjadi tanggungannya.[13]
KESIMPULAN
Dengan membaca paparan di atas kita bisa menyimpulkan bahwa:
1. membunuh seorang Muslim tidak mengeluarkan seseorang dari agama Islam, tetapi orang yang melakukannya telah melakukan dosa yang sangat besar dan diancam untuk masuk ke dalam neraka.
2. Pemegang kekuasaan berhak untuk memerangi para pemberontak yang sangat mengancam negeri kekuasaannya dan dihalalkan untuk membunuh mereka jika tidak menimbulkan fitnah yang lebih besar.
Demikian tulisan ini. Mudahan bermanfaat.
Daftar Pustaka
1. Aisarut-Tafâsîr li kalâm ‘Aliyil-Kabîr. Jâbir bin Musa Al-Jazâiri. Al-Madinah: Maktabah Al-‘Ulûm wal-hikam
2. Al-Jâmi’ Li Ahkâmil Qur’ân. Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi. Kairo: Daar Al-Kutub Al-Mishriyah.
3. Ma’ârijul Qabûl Bisyarhi Sullamil Wushûl ilâ ‘Ilmil-Ushûl. Hafidzh bin Ahmad bin Al-Hakami. Dammaam: Daar Ibnil-Qayyim.
4. Ma'âlimut-tanzîl. Abu Muhammad Al-Husain bin Mas'ûd Al-Baghawi. 1417 H/1997 M. Riyâdh:Dâr Ath-Thaibah.
5. Syarh I’tiqâd Ahlis-Sunnah wal-Jamâ’ah minal-Kitab was-Sunnah wa Ijmâ’ish-shahâbah. Ar-Riyadh: Dar Ath-Thaibah.
6. Tafsîr Al-Qur'ân al-'Adzhîm. Ismâ'îl bin 'Umar bin Katsir. 1420 H/1999 M. Riyâdh: Dâr Ath-Thaibah.
7. Taisîr al-Karîm ar-Rahmân. Abdurrahmân bin Nâshir As-Sa'di. Beirut: Muassasah Ar-Risâlah.
8. Dan sumber-sumber lain yang sebagian besar sudah tercantum di footnotes.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XVIII/1436H/2014M.]
_______
Footnote
[1]. Lihat Aisarut-Tafâsîr IV/122 dan Tafsîr as-Sa’di hlm. 800
[2]. Tafsîr as-Sa’di, hlm. 800
[3]. HR. Al-Bukhâri, no. 2691
[4]. Catatan beliau di Bab 23 dalam Shahîh Al-Bukhâri, sebelum hadits ke-31
[5]. HR. Al-Bukhâri no. 121 dan Muslim no. 65/223
[6]. HR. Muslim no. 1065/2458
[7]. HR. Al-Bukhâri no. 2704
[8]. Lihat Syarh Ushûl I’tiqâd Ahlissunnah wal-Jamâ’ah I/163-164 dan Ma’ârijul Qabûl III/1018-1019
[9]. Ma’âlimut Tanzîl VII/341
[10]. Lihat Ma’âlimut Tanzîl VII/341-342
[11]. Kunyah atau panggilan untuk ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma
[12]. HR. Al-Bukhâri no. 4650
[13]. HR Muslim, no. 1827/4721
=========
USTADZ QOMAR SUAIDI
0 Response to "Tafsir Al Hujuraat Ayat 1-11"
Post a Comment