Ayat 25-26: Pembicaraan akhir tentang Bai’aturridhwan, kabar gembira terhadap akan terwujudnya mimpi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu akan memasuki Masjidilharam dengan aman.
هُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا وَصَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَالْهَدْيَ مَعْكُوفًا أَنْ يَبْلُغَ مَحِلَّهُ وَلَوْلا رِجَالٌ مُؤْمِنُونَ وَنِسَاءٌ مُؤْمِنَاتٌ لَمْ تَعْلَمُوهُمْ أَنْ تَطَئُوهُمْ فَتُصِيبَكُمْ مِنْهُمْ مَعَرَّةٌ بِغَيْرِ عِلْمٍ لِيُدْخِلَ اللَّهُ فِي رَحْمَتِهِ مَنْ يَشَاءُ لَوْ تَزَيَّلُوا لَعَذَّبْنَا الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا (٢٥) إِذْ جَعَلَ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي قُلُوبِهِمُ الْحَمِيَّةَ حَمِيَّةَ الْجَاهِلِيَّةِ فَأَنْزَلَ اللَّهُ سَكِينَتَهُ عَلَى رَسُولِهِ وَعَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَأَلْزَمَهُمْ كَلِمَةَ التَّقْوَى وَكَانُوا أَحَقَّ بِهَا وَأَهْلَهَا وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا (٢٦)
Terjemah Surat Al Fath Ayat 25-26
25. [1]Merekalah orang-orang kafir yang menghalang-halangi kamu (masuk) Masjidilharam dan menghambat hewan-hewan kurban sampai ke tempat (penyembelihan)nya. Dan kalau bukanlah karena ada beberapa orang beriman laki-laki dan perempuan yang tidak kamu ketahui[2], tentulah kamu akan membunuh mereka[3] yang menyebabkan kamu ditimpa kesulitan[4] tanpa kamu sadari; karena Allah hendak memasukkan siapa yang Dia kehendaki ke dalam rahmat-Nya. Sekiranya mereka terpisah[5], tentu Kami akan mengazab orang-orang yang kafir di antara mereka dengan azab yang pedih[6].
26. Ketika orang-orang yang kafir menanamkan kesombongan dalam hati mereka (yaitu) kesombongan jahiliyah[7], maka Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mukmin[8], dan (Allah) mewajibkan kepada mereka tetap taat menjalankan kalimat-takwa[9], dan mereka lebih berhak dengan itu dan patut memilikinya[10]. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Ayat 27-29: Janji Allah Subhaanahu wa Ta'aala untuk menampakkan agama-Nya, sifat-sifat Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya di dalam Taurat dan Injil, dan janji untuk mereka akan diampuni dan mendapatkan keridhaan-Nya.
لَقَدْ صَدَقَ اللَّهُ رَسُولَهُ الرُّؤْيَا بِالْحَقِّ لَتَدْخُلُنَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ آمِنِينَ مُحَلِّقِينَ رُءُوسَكُمْ وَمُقَصِّرِينَ لا تَخَافُونَ فَعَلِمَ مَا لَمْ تَعْلَمُوا فَجَعَلَ مِنْ دُونِ ذَلِكَ فَتْحًا قَرِيبًا (٢٧) هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَكَفَى بِاللَّهِ شَهِيدًا (٢٨) مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الإنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا (٢٩)
Terjemah Surat Al Fath Ayat 27-29
27. Sungguh, Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya tentang kebenaran mimpinya bahwa kamu pasti akan memasuki Masjidilharam, jika Allah menghendaki dalam keadaan aman, dengan menggundul rambut kepala dan memendekkannya, sedang kamu tidak merasa takut. Maka Allah mengetahui[11] apa yang tidak kamu ketahui, dan selain itu Dia telah memberikan kemenangan yang dekat[12].
28. [13]Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk[14] dan agama yang benar[15] agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama[16]. Dan cukuplah Allah sebagai saksi[17].
29. [18]Muhammad adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka[19]. Kamu meihat mereka ruku' dan sujud[20] mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya[21]. Pada wajah mereka tampak tanda-tanda bekas sujud[22]. Demikianlah sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Taurat, adapun sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Injil adalah seperti benih yang mengeluarkan tunasnya, kemudian tunas itu semakin kuat lalu menjadi besar dan tegak lurus di atas batangnya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya[23] karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar[24].
[1] Selanjutnya Allah Subhaanahu wa Ta'aala menyebutkan beberapa perkara yang mendorong untuk memerangi kaum musyrik, yaitu kafirnya mereka kepada Allah dan Rasul-Nya, penghalangan mereka terhadap Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan kaum mukmin untuk mendatangi Baitullah serta penghambatan hewan-hewan kurban untuk sampai ke tempat sembelihannya, yaitu Mekah. Mereka menghalanginya dengan zalim dan aniaya. Semua ini sebab yang mengharuskan memerangi mereka, namun di sana ada penghalang, yaitu keberadaan orang-orang yang beriman baik laki-laki maupun perempuan di tengah orang-orang musyrik.
[2] Yang berada di Mekah bersama orang-orang kafir.
[3] Bersama orang-orang kafir, tentu Dia mengizinkan kamu menaklukkan Mekah.
[4] Ada yang menafsirkan dengan “dosa.” Yakni agar mereka tidak mendapat dosa, dan agar Allah memasukkan ke dalam rahmat-Nya siapa yang Dia kehendaki, yaitu dengan melimpahkan nikmat iman kepada mereka setelah kekafiran, dan melimpahkan nikmat petunjuk setelah kesesatan. Oleh karena sebab inilah, Dia melarang kamu memerangi mereka.
[5] Dari orang-orang musyrik.
[6] Yaitu dengan mengizinkan kamu menaklukkan Mekah.
[7] Dengan menghalangi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat dari Masjidilharam pada tahun itu. Demikian pula mereka tolak tulisan “Bismillahirrahmaanirrahim” dan kata-kata “Rasulullah” dalam surat perjanjian itu.
[8] Mereka tidak marah dalam menghadapi sikap kaum musyrik, bahkan bersabar kepada ketetapan Allah dan melaksanakan syarat-syarat yang tertulis dalam perjanjian itu serta tidak peduli apa yang akan dikatakan oleh orang-orang.
[9] Kalimat takwa ialah kalimat tauhid dan memurnikan ketaatan kepada Allah.
[10] Karena Allah Subhaanahu wa Ta'aala mengetahui kebaikan yang ada dalam hati mereka. Oleh karena itulah, Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman, “Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
[11] Yaitu maslahat dan manfaat.
[12] Selang beberapa lama sebelum terjadi perdamaian Hudaibiyah, Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam bermimpi bahwa beliau bersama para sahabatnya memasuki kota Mekah dan Masjidil Haram dalam Keadaan sebagian mereka bercukur rambut dan sebagian lagi menggunting. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan bahwa mimpi beliau itu akan terjadi nanti. kemudian berita ini tersiar di kalangan kaum muslim, orang-orang munafik, orang-orang Yahudi dan Nasrani. Setelah terjadi perdamaian Hudaibiyah dan kaum muslimin waktu itu tidak sampai memasuki Mekah, maka orang-orang munafik mengolok-olokkan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan menyatakan bahwa mimpi Nabi yang dikatakan beliau pasti akan terjadi itu adalah bohong belaka. Maka turunlah ayat ini yang menyatakan bahwa mimpi Nabi itu pasti akan menjadi kenyataan di tahun yang akan datang. Dan sebelum itu dalam waktu yang dekat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam akan menaklukkan kota Khaibar. Seandainya pada tahun terjadinya perdamaian Hudaibiyah itu kaum Muslim memasuki kota Mekah, maka dikhawatirkan keselamatan orang-orang yang menyembunyikan imannya yang berada dalam kota Mekah waktu itu.
[13] Oleh karena peristiwa itu membuat hati kaum mukmin menjadi bingung dan mereka tidak mengetahui hikmahnya, maka Allah Subhaanahu wa Ta'aala menerangkan hikmahnya dan manfaatnya -demikian pula semua hukum-hukum syar’i isinya petunjuk dan rahmat- Maka Allah Subhaanahu wa Ta'aala memberitahukan dengan hukum yang umum, firman-Nya, “Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama.”
[14] Yaitu ilmu yang bermanfaat; yang menunjuki seseorang agar tidak tersesat dan menerangkan jalan yang baik dan jalan yang buruk.
[15] Yakni agama yang keadaannya hak (benar), penuh dengan keadilan, ihsan dan rahmat. Agama yang hak di sini maksudnya menurut mufassir adalah amal saleh yang menyucikan hati, membersihkan jiwa, memperbaiki akhlak dan meninggikan kedudukan.
[16] Dengan hujjah dan bukti serta dengan kekuatan.
[17] Bahwa engkau wahai Muhammad adalah Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam.
[18] Allah Subhaanahu wa Ta'aala memberitahukan tentang Rasul-Nya dan para sahabatnya dari kalangan Muhajirin dan Anshar, bahwa mereka dalam keadaan sifat yang paling sempurna dan keadaan yang paling baik, yaitu bahwa mereka bersikap keras terhadap orang-orang kafir , namun berkasih sayang di antara sesama mereka seperti satu bangunan, dimana masing-masingnya saling menguatkan dan masing-masingnya menginginkan kebaikan untuk saudaranya sebagaimana yang ia inginkan untuk dirinya.
[19] Inilah mu’amalah mereka dengan manusia. Adapun mu’amalah mereka dengan Tuhan mereka adalah sebagaimana yang diterangkan dalam lanjutan ayat di atas.
[20] Mereka disifati dengan banyak melakukan shalat, dimana rukunnya adalah ruku’ dan sujud.
[21] Inilah maksud mereka, yaitu mendapatkan keridhaan Allah dan memperoleh pahala-Nya.
[22] Maksudnya, pada air muka mereka kelihatan keimanan dan kesucian hati mereka. Ada pula yang mengatakan, bahwa di akhirat pada wajah mereka ada cahaya, sehingga dapat diketahui bahwa mereka orang-orang yang melakukan sujud ketika di dunia. Ada pula yang berpendapat, bahwa ibadah yang mereka lakukan karena banyak dan bagus membekas pada wajah mereka sehingga tampak wajah mereka bercahaya setelah batin mereka disinari dengan shalat.
[23] Karena sempurnanya, indah dan tegak-lurus tanaman itu. Demikianlah keadaan para sahabat, dimana keadaan mereka yang sebelumnya lemah dan sedikit kemudian bertambah menjadi banyak, kuat dan berkembang, dan bahwa mereka saling bantu-membantu dan menguatkan. Menurut Syaikh As Sa’diy, mereka seperti tanaman dalam memberikan manfaat kepada makhluk dan butuhnya manusia kepada mereka. Kuatnya iman dan amal mereka seperti kuatnya akar tanaman dan batangnya, sedangkan keadaan yang kecil dan terakhir masuk Islamnya telah ikut kepada yang besar yang telah mendahuluinya, membantunya dan menolongnya menegakkan agama Allah dan mengajak manusia kepadanya seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, lalu menguatkan tanaman itu dan menjadikannya besar. Oleh karena itu, Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman, “Karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir.”
[24] Para sahabat radhiyallahu 'anhum yang menggabung antara iman dan amal saleh, telah Allah gabungkan pula untuk mereka antara ampunan -dimana termasuk bagiannya adalah terpeliharanya mereka dari keburukan dunia dan akhirat- dan pahala yang besar di dunia dan akhirat.
Kisah Perjanjian Hudaibiyah
Untuk memahami surah Al Fat-h ini lebih dalam perlu kiranya disebutkan kisah perjanjian Hudaibiyah. Ibnul Qayyim dalam Al Hadyu berkata:
Naafi’ berkata, “(Peristiwa Hudaibiyah) terjadi pada tahun keenam bulan Dzulqa’dah,” dan inilah (pendapat) yang benar. Inilah pendapat Az Zuhriy, Qatadah, Musa bin ‘Uqbah, Muhammad bin Ishaq dan selain mereka.
Hisyam bin Urwah berkata dari bapaknya, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah keluar ke Hudaibiyah di bulan Ramadhan, dan terjadinya perjanjian itu adalah pada bulan Syawwal.” Tampaknya ini wahm (keliru), bahkan peristiwa Fat-h itulah yang terjadi di bulan Ramadhan. Abul Aswad berkata dari Urwah, “Yang benar ia terjadi pada bulan Dzulqa’dah.”
Disebutkan dalam hadits shahih Bukhari dan Muslim dari Anas, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan umrah empat kali, semuanya terjadi pada bulan Dzulqa’dah. Lalu Anas menyebutkan di antaranya, yaitu Umrah Hudaibiyah, dimana yang ikut Beliau berjumlah 1500 orang. Demikianlah yang disebutkan dalam Shahihain dari Jabir. Dari Jabir pula yang disebutkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim, bahwa mereka berjumlah 1400 orang, dan dalam Shahihain pula namun dari Abdullah bin Abi Aufa, ia berkata, “Kami berjumlah 1300 orang.” Qatadah berkata, “Aku berkata kepada Sa’id bin Musayyib, “Berapa orang yang ikut Bai’aturridhwan?” Ia menjawab, “Seribu lima ratus orang.” Qatadah berkata: “Aku berkata, “Sesungguhnya Jabir bin Abdillah mengatakan bahwa jumlah mereka 1400 orang.” Sa’id bin Musayyib berkata, “Semoga Allah merahmatinya, ia telah keliru. Dialah yang menceritakan kepadaku bahwa jumlah mereka 1500 orang.” Aku (Ibnul Qayyim) berkata, “Telah shahih dari Jabir dua pendapat,” Telah shahih darinya bahwa mereka menyembelih pada tahun Hudaibiyah 70 ekor unta, dimana satu ekor unta dari tujuh orang.” Lalu ia (Jabir) ditanya, “Berapa jumlah kamu?” Ia menjawab, “Seribu empat ratus orang; dengan yang berkuda dan pejalan kaki.” Hati (tampaknya) lebih cenderung kepadanya, dan inilah pendapat Al Barra’ bin ‘Aazib, Ma’qil bin Yasar dan Salamah bin Al Akwa’, dalam riwayat yang paling shahih dari dua riwayat. Demikian pula sebagai pendapat Musayyib bin Hazn. Syu’bah berkata dari Qatadah dari Sa’id bin Musayyib dari bapaknya, “Kami bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam di bawah pohon dengan jumlah 1400 orang,” dan keliru sekali orang yang mengatakan bahwa mereka berjumlah 700 orang, alasannya karena mereka menyembelih ketika itu 70 ekor unta, padahal unta telah dianggap sah dari tujuh orang atau sepuluh orang. Hal ini tidaklah menguatkan kata-katanya, karena di sana ditegaskan bahwa seekor unta pada peristiwa itu dari tujuh orang, jika 70 dari semuanya tentu mereka berjumlah 490 orang, padahal telah disebutkan jumlahnya berdasarkan hadits secara lengkap bahwa mereka 1400 orang.
Kisahnya
Ketika mereka telah berada di Dzulhulaifah, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengalungkan hewan hadyu dan memberinya tanda serta berihram untuk umrah dan mengirimkan seorang mata-mata dari Khuza’ah untuk memberi informasi tentang kaum Quraisy, sehingga ketika mereka telah dekat dengan ‘Usfan, maka mata-mata Beliau datang dan berkata, “Sesungguhnya aku telah meninggalkan Ka’ab bin Lu’ay, sedangkan dia telah mengumpulkan orang-orang Habasy (Mereka adalah orang-orang yang bersekutu dengan kaum Quraisy di bawah bukit) serta mengumpulkan pasukan yang banyak. Mereka hendak memerangimu dan menghalangimu dari Baitullah.” Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bermusyawarah dengan para sahabat (seraya berkata), “Menurut kamu, perlukah kita mengurusi keturunan mereka ini yang membantu mereka (musuh) sehingga kita memerangi mereka. Jika mereka duduk, tentu mereka duduk dalam keadaan teraniaya dan sedih, namun jika mereka selamat, maka mereka menjadi leher yang siap dipotong Allah ataukah menurut kamu kita tetap menuju Baitullah? Sehingga jika ada yang menghalangi kita, maka kita akan memerangi dia.” Abu Bakar berkata, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui. Sesungguhnya kita datang untuk berumrah dan tidak datang untuk memerangi seorang pun. Akan tetapi, barang siapa yang menghalangi kita dari Baitullah, maka kita akan memeranginya.” Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, “Kalau begitu, berangkatlah.” Mereka pun berangkat, sehingga ketika mereka sampai di sebagian jalan, maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Khalid bin Walid berada di ghamim (nama lembah di depan ‘Usfan) dengan pasukan berkuda milik kaum Quraisy, maka ambillah (jalan) sebelah kanan.” Maka demi Allah, Khalid tidak menyadari keberadaan mereka, sehingga ketika ia berada di debu-debu pasukan, maka ia berangkat dengan memacu kudanya untuk memperingatkan orang-orang Quraisy. Sedangkan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berangkat, sehingga ketika Beliau telah berada di jalan perbukitan yang turun atas mereka, maka unta Beliau berlutut, lalu orang-orang berkata (kepada unta Beliau), “Hil-hil (bangun-bangun).” Namun unta itu malah tidak mau bangun. Lalu mereka berkata, “Unta Qaswa (nama unta Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam) tidak mau bangun.” Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Unta Qaswa’ bukan tidak mau jalan, dan itu tidak biasanya. Akan tetapi yang menahannya adalah Tuhan yang menahan gajah (tentara bergajah).” Kemudian Beliau bersabda, “Demi Allah yang jiwaku berada di Tangan-Nya. Mereka tidaklah meminta suatu perkara yang di sana hal-hal yang dimuliakan Allah dihormati kecuali aku akan memberikannya.” Selanjutnya Beliau menyuruhnya bangun, lalu unta itu bangun dan beralih menuju daerah Hudaibiyah yang paling jauh yang di sana terdapat galian yang airnya sedikit, dimana orang-orang dapat mengambilnya secara sedikit. Tidak lama kemudian, orang-orang menjauhinya (tempat itu), lalu mereka mengeluhkan rasa haus kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Selanjutnya Beliau mengambil sebuah panah dari tabung(tempat)nya, lalu memerintahkan mereka menaruh panah itu di dalamnya. Demi Allah, air it terus memancar sampai mereka kembali dalam keadaan telah hilang rasa hausnya, sedangkan orang-orang Quraisy merasa kaget karena singgahnya Beliau kepada mereka, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkeinginan mengutus seseorang dari sahabatnya. Beliau memanggil Umar bin Khaththab untuk menemui mereka (kaum Quraisy), maka Umar berkata, “Wahai Rasulullah, tidak ada seorang pun yang berada di Mekah dari Bani Ka’ab yang akan marah kepadaku jika aku disakiti, maka kirimlah Utsman bin ‘Affan karena keluarganya di sana, dan dia akan menyampaikan apa yang engkau inginkan.” Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memanggil Utsman bin ‘Affan, lalu mengutusnya menemui orang-orang Quraisy dan berkata, “Beritahukanlah mereka, bahwa kami tidaklah datang untuk berperang. Kami datang hanyalah untuk berumrah dan ajaklah mereka kepada Islam.” Beliau juga memerintahkan Utsman agar mendatangi laki-laki dan perempuan yang mukmin yang tinggal di Mekah agar memberikan kabar gembira kepada mereka dengan kemenangan, dan memberitahukan, bahwa Allah ‘Azza wa Jalla akan memenangkan agama-Nya di Mekah, sehingga tidak ada yang menyembunyikan keimanan di sana. Utsman pun berangkat dan melewati orang-orang Quraisy di Baldah, lalu mereka berkata, “Ke mana kamu ingin (pergi)?” Ia menjawab, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengutusku untuk mengajak kamu kepada Allah dan kepada Islam serta memberitahukan kamu bahwa kami datang bukan untuk berperang, tetapi hanya untuk berumrah.” Mereka berkata, “Kami telah mendengar kata-katamu, maka lanjutkanlah keperluanmu.”
Lalu Aban bin Sa’id bin ‘Aash berdiri mendatanginya dan mengucapkan selamat kepadanya, kemudian memasangkan pelana ke kudanya, dan membawa Utsman di atas kuda, dia melindunginya dan memboncengnya di belakang sampai ia tiba di Mekah.
Lalu Kaum muslimin (para sahabat) berkata sebelum Utsman kembali, “Utsman telah sampai sebelum kita ke Baitullah dan berthawaf di sana.” Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Saya tidak mengira ia bisa thawaf di Baitullah sedangkan kita dihalangi.” Para sahabat berkata, “Apa yang menghalanginya (untuk berthawaf) wahai Rasulullah, sedangkan dia telah sampai?” Beliau bersabda, “Itu adalah perkiraanku terhadapnya, yaitu ia tidaklah thawaf di Ka’bah sampai kita thawaf bersamanya.” Ketika itu kaum muslimin bercampur dengan kaum musyrikin tentang masalah shulh (perjanjian damai), lalu salah seorang di antara dua golongan itu ada yang melepas panah ke yang lain sehingga terjadilah peperangan, dan mereka saling lempar-melempar panah dan batu, lalu kedua golongan itu berteriak dan masing-masing golongan menjamin orang yang bersama mereka, dan sampailah berita kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa Utsman telah terbunuh. Maka Beliau segera mengajak melakukan bai’at. Maka kaum muslimin segera mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam di bawah pohon, mereka membai’at Beliau untuk tidak melarikan diri, lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memegang dengan tangannya sendiri dan bersabda, “Ini adalah bai’at untuk membela Utsman.” Setelah bai’at selesai, maka Utsman kembali lalu kaum muslimin berkata kepadanya, “Engkau telah puas wahai Abu Abdillah karena thawaf di Baitullah.” Maka Utsman berkata, “Buruk sekali sangkaanmu kepadaku. Demi Allah yang jiwaku di Tangan-Nya, kalau pun aku tinggal di sana selama setahun, sedangkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berada di Hudaibiyah, maka aku tidak akan thawaf sampai Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam thawaf. Sesungguhnya orang-orang Quraisy telah mengajakku untuk thawaf di Baitullah tetapi aku menolak.” Lalu kaum muslimin berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang yang paling tahu tentang Allah dan paling baik perkiraannya di antara kami.” Umar ketika itu memegang tangan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam untuk dibai’atnya di bawah pohon, lalu kaum muslimin semuanya ikut membai’at selain Jadd bin Qais. Ketika itu Ma’qil bin Yasar mengambil ranting pohon dan mengangkatnya dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan orang yang pertama membai’at Beliau adalah Abu Sinan Al Asadiy, sedangkan Salamah bin Al Akwa’ membai’at Beliau tiga kali di bagian pertama, pertengahan dan terakhir dari orang-orang.
Ketika mereka dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba Budail bin Warqa’ Al Khuzaa’iy datang dalam rombongan dari Khuza’ah sedangkan mereka adalah orang-orang terpercaya Beliau dari penduduk Tihamah, ia berkata, “Sesungguhnya aku meninggalkan Ka’ab bin Lu’ay dan ‘Amir bin Lu’ay yang menempati beberapa tempat air di Hudaibiyah dengan membawa unta yang banyak susunya. Mereka orang-orang yang siap memerangimu dan menghalangimu dari Baitullah.” Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya kita datang tidak untuk memerangi seorang pun, akan tetapi kita datang untuk berumrah, dan sesungguhnya orang-orang Quraisy telah dibuat lemah dan rugi oleh peperangan. Jika mereka mau aku adakan genjatan senjata dalam waktu tertentu dan membiarkan aku dengan orang lain, dan jika mereka mau masuk ke tempat orang-orang masuk, maka mereka bisa melakukannya. Jika tidak, maka sesungguhnya mereka telah kuat, dan jika mereka tidak menghendaki selain berperang, maka demi Allah yang jiwaku di Tangan-Nya, aku akan memerangi mereka di atas urusanku ini sampai aku hanya sendiri atau Allah memberlakukan urusan-Nya.” Budail berkata, “Aku akan sampaikan apa yang engkau katakan.” Maka Budail berangkat sampai tiba di tengah orang-orang Quraisy dan berkata, “Sesungguhnya aku telah datang kepada kamu dari orang itu dan aku mendengar ia berkata sesuatu. Jika kamu kamu, maka aku akan beritahukan kepada kamu.” Maka orang yang bodoh di antara mereka berkata, “Kami tidak butuh sedikit pun penyampaianmu tentangnya.” Lalu orang yang berpandangan tajam berkata, “Kemari, apa yang engkau dengar darinya.” Budail berkata, “Aku mendengar ia berkata begini dan begitu.” Lalu Urwah bin Mas’ud Ats Tsaqafiy berkata, “Sesungguhnya orang ini telah menawarkan perkara bagus, maka terimalah dan biarkan aku mendatanginya.” Mereka berkata, “Datangilah dia.” Maka Urwah mendatanginya dan berbicara dengan Beliau, lalu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepadanya seperti yang diungkapkan Budail. Ketika itulah Urwah berkata kepada Beliau, “Wahai Muhammad, bagaimana menurutmu jika engkau menghabisi kaummu, apakah engkau pernah mendengar ada seseorang dari bangsa Arab yang menghabisi keluarganya sebelummu?” Jika ada yang lain, maka demi Allah, sesungguhnya aku melihat wajah-wajah dan melihat rakyat jelata layak untuk lari dan meninggalkan kamu.” Lalu Abu Bakar berkata kepadanya, “Hisaplah olehmu aurat patung Lata, apakah kami akan lari darinya dan membiarkannya? Ia menjawab, “Siapa ini?” Ia menjawab, “Abu Bakar.” Ia berkata, “Demi Allah yang jiwaku berada di Tangan-Nya, kalau bukan karena kamu pernah memberiku nikmat yang aku belum balas, tentu aku akan jawab.” Maka Urwah berbicara dengan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan setiap kali dia berbicara dengan Beliau, dia pegang janggut Beliau, sedangkan Mughirah bin Syu’bah berada melebihi kepala Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dengan membawa pedang serta memakai topi besi. Setiap kali Urwah hendak memegang janggut Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, maka dipukul tangannya dengan alas pedangnya dan berkata, “Singkirkanlah tanganmu dari janggut Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.” Maka Urwah mengangkat kepalanya dan berkata, “Siapa orang ini?” Ia menjawab, “Mughirah bin Syu’bah.” Urwah berkata, “Wahai pengkhianat, bukankah engkau orang yang paling berusaha untuk menolak keburukan pengkhianatanmu?” Mughirah adalah seorang yang pernah menemani sekelompok orang di zaman jahiliyyah, lalu ia membunuh mereka dan mengambil harta mereka, lalu ia datang dan masuk Islam.” Lalu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Adapun Islam, maka aku terima, sedangkan harta maka aku tidak memerlukannya.” Lalu Urwah memandang para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, demi Allah tidaklah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berdahak, kecuali dahak itu jatuh di telapak salah seorang di antara mereka, lalu ia gosok ke kulit dan mukanya.” Ketika Beliau memerintahkan mereka (para sahabat), maka para sahabat bersegera kepadanya, dan apabila Beliau berwudhu’, maka mereka saling berebutan terhadap air wudhu’nya, dan apabila Beliau berbicara, maka mereka merendahkan suara di dekatnya dan mereka tidak memandang tajam kepadanya karena memuliakan Beliau.
Selanjutnya Urwah kembali kepada kawan-kawannya dan berkata, “Wahai kaumku! Demi Allah, aku telah menjadi utusan terhadap para raja, terhadap Kisra, Kaisar dan Najasyi. Namun demi Allah, aku tidak melihat raja yang dimuliakan sahabat-sahabatnya seperti para sahabat Muhammad memuliakan Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Demi Allah, jika ia berdahak, maka dahaknya jatuh ke telapak tangan salah seorang di antara mereka lalu ia gosok ke muka dan kulitnya. Apabila Beliau menyuruh mereka, maka mereka bersegera melakukannya dan apabila Beliau berwudhu’, maka mereka berebut air wudhu’nya, dan apbila Beliau berbicara, maka mereka merendahkan suaranya di dekat Beliau dan mereka tidak memandang tajam kepada Beliau karena memuliakannya. Sesungguhnya Dia telah menawarkan kepadamu perkara yang bagus, maka terimalah.” Lalu ada seorang dari Bani Kinanah berkata, “Biarkanlah aku mendatanginya.” Mereka menjawab, “Datangilah.” Saat orang tersebut melihat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Ini adalah si fulan, ia termasuk orang yang memuliakan unta, maka kirimlah unta kepadanya.” Lalu mereka mengirimkannya, kemudian orang-orang mendatanginya sambil menyambut, dan ketika dia melihat hal itu, dia berkata, “Subhaanallah, tidak pantas bagi mereka ini menghalangi (orang lain) dari Baitullah.” Lalu ia pulang kepada kawan-kawannya dan berkata, “Aku melihat unta-unta telah diberi kalung dan tanda, menurutku tidak perlu mereka dihalangi dari Baitullah, lalu Mikraz bin Hafsh bangun dan berkata, “Biarkanlah aku mendatanginya.” Lalu mereka berkata, “Datangilah.” Saat ia melihat mereka, maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Ini adalah Mikraz bin Hafsh, dia adalah laki-laki jahat.” Lalu ia berbicara dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Ketika ia sedang berbicara dengan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, maka Suhail bin ‘Amr datang, maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Urusanmu telah dimudahkan.” Suhail berkata, “Bawalah kemari! Buatlah catatan (perjanjian) antara kami dan kamu.” Maka Beliau memanggil juru tulis dan bersabda, “Tulislah Bismillahirrahmaanirrahim.” Suhail berkata, “Adapun Ar Rahman, maka kami tidak mengetahui apa itu?” Akan tetapi, tulislah, “Bismikallahumma.” (Dengan nama-Mu ya Allah) sebagaimana yang engkau tulis.” Maka kaum muslimin berkata, “Demi Allah, kami tidak akan menulisnya kecuali Bismillahirrahmaanirrahim.” Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Tulislah Bismikallahumma.” Lalu Beliau bersabda, Tulislah, “Ini adalah yang diputuskan oleh Muhammad Rasulullah.” Lalu Suhail berkata, “Demi Allah, kalau kami mengetahui engkau adalah Rasulullah, maka kami tidak akan menghalangimu dari Baitullah dan tidak akan memerangimu. Akan tetapi, tulislah, “Muhammad bin Abdullah.” Lalu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya aku Rasulullah meskipun kamu mendustakanku. Tulislah Muhammad bin Abdullah.” Lalu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Yaitu agar kamu membiarkan kami ke Baitullah untuk berthawaf.” Maka Suhail berkata, “Demi Allah, orang-orang Arab jangan sampai mengatakan bahwa kami ditekan, akan tetapi kamu boleh pada tahun depan.” Maka ditulislah. Suhail berkata, “Yaitu jika datang seorang laki-laki dari kami kepadamu meskipun mengikuti agamamu, maka engkau mengembalikan dia kepada kami.” Lalu kaum muslimin berkata, “Subhaanallah, bagaimana mungkin dikembalikan kepada kaum musyrik padahal ia telah datang dalam keadaan muslim?” Maka ketika mereka dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba Abu Jandal bin Suhail berjalan dengan kaki terikat dalam belenggu, dimana ia telah keluar dari bawah Mekah, lalu ia merebahkan dirinya ke tengah-tengah kaum muslimin. Suhail berkata, “Inilah wahai Muhammad, yang pertama engkau tetapkan, yaitu kamu harus mengembalikan.” Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya kami belum sempat menyelesaikannya.” Suhail berkata, ”Demi Allah, jika demikian, maka aku tidak akan mengadakan perjanjian damai denganmu selamanya terhadap sesuatu.” Lalu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Biarkanlah dia untukku.” Suhail berkata, “Aku tidak akan membiarkannya.” Beliau bersabda, “Bahkan lakukanlah.” Ia berkata, “Aku tidak akan melakukannya.” Mikraz berkata, “Kami membolehkannya.” Lalu Abu Jandal berkata, “Wahai kaum muslimin, apakah aku akan dikembalikan kepada kaum musyrik padahal aku datang dalam keadaan muslim? Tidakkah kamu melihat apa yang terjadi padaku?” Ketika itu ia disiksa di jalan Allah dengan siksaan yang berat.” Umar bin Khaththab berkata, “Demi Allah, aku tidak ragu sejak masuk Islam kecuali pada hari itu. Lalu aku mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, bukankah engkau Nabi Allah?” Beliau menjawab, “Ya.” Aku (Umar) berkata, “Bukankah kita di atas yang hak sedangkan musuh kita di atas yang batil?” Beliau menjawab, “Ya.” Aku berkata, “Atas dasar apa kita berikan kerendahan kepada agama kita, lalu kita pulang sedangkan Allah belum memberikan keputusan antara kita dengan musuh-musuh kita?” Beliau bersabda, “Sesungguhnya aku adalah utusan Allah, Dia Penolongku dan aku tidak mendurhakai-Nya.” Aku berkata lagi, “Bukankah engkau telah menceritakan kepada kami, bahwa kita akan mendatangi Baitullah dan mengelilinginya?” Beliau bersabda, “Ya. (namun) apakah aku memberitahukan kepadamu bahwa kamu akan mendatanginya tahun ini?” Aku menjawab, “Tidak.” Beliau bersabda lagi, “Sesungguhnya engkau akan mendatanginya dan melakukan thawaf di sana.” Umar berkata, “Lalu aku mendatangi Abu Bakar dan berkata kepadanya seperti yang aku katakan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, namun Abu Bakar menjawab seperti jawaban Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dan menambahkan, “Lalu ia berpegang dengan batang kayu yang dia tancapkan, sampai engkau mati (tetap taat). Demi Allah, sesungguhnya Beliau berada di atas yang hak.” Umar berkata, “Maka aku melakukan beberapa amal karenanya.”
Ketika selesai penulisan perjanjian. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Bangkitlah dan sembelihlah kemudian cukurlah.” Demi Allah, ketika itu tidak ada seorang pun yang berdiri di antara mereka sampai Beliau mengucapkannya tiga kali. Ketika tidak ada salah seorang pun di antara mereka yang berdiri, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bangkit dan masuk menemui Ummu Salamah, lalu Beliau menyebutkan kepadanya apa yang Beliau dapatkan dari para sahabatnya.” Ummu Salamah berkata, “Wahai Rasulullah, apakah engkau suka itu (mereka melakukannya)?” Keluarlah dan jangan bicara dengan seorang pun sampai engkau menyembelih untamu dan engkau panggil tukang cukurmu untuk mencukur rambutmu.” Maka Beliau bangkit dan keluar serta tidak berbicara dengan seorang pun sampai Beliau melakukan hal itu; Beliau sembelih untanya, memanggil tukang cukurnya lalu mencukurnya. Ketika orang-orang melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan hal itu, maka mereka bangkit dan menyembelih, dan satu sama lain saling cukur mencukur sampai seakan-akan sebagian mereka seperti membunuh yang lain karena sedih. Kemudian datang wanita-wanita mukminah, lalu Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan ayat, “Apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, …sampai ayat yang artinya: “Berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir;” (Terj. Al Mumtahanah: 10) Maka ketika itu Umar menceraikan dua istrinya yang pernah bersamanya di masa syirk, lalu yang satunya dinikahi oleh Mu’awiyah, sedangkan yang satu lagi dinikahi oleh Shafwan bin Umayyah.
Kemudian Beliau pulang ke Madinah, dan saat pulangnya, Allah menurunkan ayat, “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata,” (Terj. Al Fat-h: 1) sampai akhirnya. Lalu Umar berkata, “Apakah itu kemenangan wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Ya.” Maka para sahabat berkata, “Sungguh bahagia engkau wahai Rasulullah, lalu apa yang akan kami peroleh?” Maka Allah Subhaanahu wa Ta'aala menurunkan ayat, “Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin…dst.” (Terj. Al Fat-h: 4) selesai .
Ya Allah, Engkau telah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Mu dan kaum mukmin saat mereka mendapatkan cobaan, maka berikanlah pula ketenangan kepadaku (Marwan bin Musa) saat menghadapi cobaan yang aku hadapi ini wahai Tuhanku.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 Response to "Tafsir Al Fath Ayat 25-29"
Post a Comment