Surah ke-65. 12 ayat. Madaniyyah
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Ayat 1-3: Beberapa ketentuan tentang talak dan ‘iddah.
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ لا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلا يَخْرُجْنَ إِلا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ لا تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَلِكَ أَمْرًا (١) فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ لِلَّهِ ذَلِكُمْ يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا (٢) وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا (٣)
1. Wahai Nabi![1] Apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka[2] hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)[3] dan hitunglah waktu iddah itu[4] serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu[5]. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumahnya[6] dan janganlah diizinkan keluar[7] kecuali jika mereka mengerjakan perbuatan keji yang jelas[8]. Itulah hukum-hukum Allah[9], dan barang siapa melanggar hukum-hukum Allah, maka sungguh dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri[10]. Kamu tidak mengetahui barangkali setelah itu Allah mengadakan suatu ketentuan yang baru[11].
[1] Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman kepada Nabi dan kaum mukmin.
[2] Janganlah segera mentalak ketika ada sebabnya tanpa memperhatikan perintah Allah sebagaimana diterangkan dalam lanjutan ayat ini.
[3] Maksudnya, istri-istri itu hendaklah ditalak diwaktu suci sebelum dicampuri. Jika ditalak dalam keadaan haidh, maka ia tidak menghitung dengan haidh yang dijatuhkan talak ketika itu dan masa ‘iddahnya semakin lama karenanya, demikian pula jika mentalaknya dalam keadaan suci yang telah dijima’i, maka tidak aman terhadap kehamilannya sehingga tidak jelas dengan iddah yang mana yang harus ia jalani.
[4] Yakni hitunglah dengan haidh jika wanita itu haidh atau dengan bulan jika ia tidak haidh dan tidak hamil, yang di antara manfaatnya adalah agar kamu dapat merujuknya sebelum habisnya. Menghitungnya terdapat pemenuhan terhadap hak Allah, hak suami yang menalak, hak orang yang akan menikahinya setelahnya dan hak wanita dalam hal nafkah dsb. Jika ‘iddahnya telah dihitung, maka keadaannya dapat diketahui, kewajiban yang wajib dipenuhinya serta haknya juga diketahui. Perintah menghitung masa ‘iddah ini tertuju kepada suami dan kepada istrinya jika istrinya mukallaf (sudah baligh dan berakal), jika belum maka tertuju kepada walinya.
[5] Yakni taatilah perintah-Nya dan jauhilah larangan-Nya dalam semua urusan serta takutlah kepada-Nya dalam hal hak istri yang ditalak.
[6] Selama masa ‘iddah, bahkan mereka (kaum wanita) harus tetap di rumah suaminya yang mentalaknya.
[7] Yakni mereka tidak boleh keluar dari rumah itu. Larangan mengeluarkannya adalah karena tempat tinggal wajib ditanggung suami untuk istrinya agar ia menyempurnakan ‘iddahnya di rumah itu yang menjadi salah satu haknya. Di samping itu, keluarnya istri dapat menyia-nyiakan hak suami dan tidak menjaganya. Larangan mengeluarkan istri dari rumah ini berlangsung terus sampai sempurna ‘iddahnya.
[8] Yang dimaksud dengan perbuatan keji di sini ialah mengerjakan perbuatan-perbuatan pidana seperti zina sehingga ia keluar untuk ditegakkan had terhadapnya, atau berkelakuan tidak sopan terhadap mertua, ipar, dan sebagainya yang layak untuk dikeluarkan seperti menyakiti dengan kata-kata dan perbuatan. Termasuk pula apabila seorang wanita bersikap nusyuz (durhaka) kepada suaminya. Dalam kondisi seperti ini, mereka boleh dikeluarkan karena ia yang menyebabkan dirinya berhak dikeluarkan. Memberikan tempat tinggal ini apabila talaknya talak raj’i (masih bisa rujuk), adapun dalam talak ba’in, maka istri tidak berhak mendapatkan tempat tinggal, karena tempat tinggal mengikuti nafkah, sedangkan nafkah wajib diberikan kepada wanita yang ditalak raj’i, bukan dilatak ba’in.
[9] Yang telah ditetapkan dan disyariatkan-Nya kepada hamba-hamba-Nya serta diperintahkan-Nya mereka untuk tetap memperhatikannya.
[10] Dengan menyia-nyiakannya keberuntungan yang diperolehnya jika mengikuti hukum-hukum Allah, yaitu kebaikan di dunia dan akhirat.
[11] Suatu hal yang baru maksudnya keinginan dari suami untuk rujuk kembali apabila talaknya baru dijatuhkan sekali atau dua kali. Ini adalah salah sau hikmah disyariatkannya ‘iddah. Hikmah lainnya adalah bahwa masa ‘iddah adalah masa menunggu untuk diketahui kosong rahimnya.
2. Maka apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya[12], maka rujuklah mereka dengan baik[13] atau lepaskanlah mereka dengan baik[14] dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil[15] di antara kamu[16] dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah[17]. Demikianlah pengajaran itu diberikan bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat[18]. [19]Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya[20].
[12] Hal itu, karena apabila mereka telah keluar dari masa ‘iddah, maka suami tidak ada kesempatan memilih untuk menahan (merujuk) atau menceraikan.
[13] Tidak bermaksud membahayakan istri, menimpakan keburukan dan mengekangnya.
[14] Yakni dengan tidak melakukan perbuatan yang dilarang, tidak mencaci-maki, bertengkar dan memaksa istri agar memberikan harta yang telah menjadi miliknya.
[15] Yang muslim dan adil, karena mengangkat saksi dapat menutup pintu pertengkaran dan menutup sikap menyembunyikan dari keduanya sesuatu yang mesti dijelaskan.
[16] Untuk rujuk atau talaknya.
[17] Yakni tegakkanlah persaksian itu sesuai keadaan yang sebenarnya tanpa kurang tanpa lebih, dan niatkanlah untuk mencari keridhaan Allah, serta tidak memperhatikan kerabat karena kedekatannya atau kawan karena disenanginya.
[18] Yang demikian karena orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir mengharuskannya segera sadar terhadap nasihat Allah, menyiapkan amal saleh yang bisa dilakukannya untuk akhirat, berbeda dengan orang yang iman telah berpindah dari hatinya, maka ia tidak peduli terhadap perbuatannya yang disiapkan untuk akhirat baik atau buruk, dia juga tidak memuliakan nasihat-nasihat Allah.
[19] Oleh karena talak terkadang membuat seseorang merasakan kesempitan, kesedihan dan penderitaan, maka Allah Subhaanahu wa Ta'aala memerintahkan untuk bertakwa kepada-Nya, dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah baik dalam masalah talak maupun lainnya, maka Allah Subhaanahu wa Ta'aala akan membukakan jalan keluar baginya. Oleh karena itu, apabila seseorang ingin mentalak, lalu ia menjatuhkannya sesuai syariat, yaitu menatuhkannya sekali tidak pada masa istri haidh atau masa suci yang telah dicampuri, maka urusannya tidak akan sempit, bahkan Allah Subhaanahu wa Ta'aala memberikan celah dan jalan keluar agar ia dapat merujuk istrinya jika ia menyesal melakukan talak.
[20] Karena Al ‘Ibrah bi ‘umuumil lafzh laa bikhushuusis sabab (Yang dijadikan patokan adalah umumnya lafaz; bukan khususnya sebab), maka orang yang bertakwa kepada Allah dan mengutamakan keridhaan Allah dalam semua keadaannya, Allah Subhaanahu wa Ta'aala akan membalasnya di dunia dan akhirat. Di antara sekian balasannya adalah Allah Subhaanahu wa Ta'aala berikan jalan keluar dari setiap kesulitan dan kesempitan. Sebagaimana orang yang bertakwa kepada Allah, akan dibukakan jalan keluar baginya, maka orang yang tidak bertakwa kepada Allah, akan terjatuh ke dalam kesempitan, beban dan belenggu yang sulit keluar dan lolos darinya. Digunakan talak sebagai contohnya, karena jika seorang tidak bertakwa kepada Allah dalam masalah talak, misalnya ia menjatuhkan talak dengan cara yang diharamkan seperti langsung tiga kali, maka ia tentu akan menyesal dengan penyesalan yang tidak mungkin dapat dikejar lagi.
3. Dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barang siapa bertawakkal kepada Allah[21], niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya[22]. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan-Nya. Sungguh, Allah telah mengadakan ketentuan bagi setiap sesuatu[23].
[21] Dalam urusan agama dan dunianya, yaitu dengan bersandar kepada Allah dalam mendatangkan manfaat dan menolak madharrat serta percaya kepada-Nya dalam mewujudkan semua itu.
[22] Jika urusannya dalam tanggungan Allah Subhaanahu wa Ta'aala Yang Mahakaya, Mahaperkasa lagi Maha Penyayang, maka keperluannya sangat mudah sekali terpenuhi, akan tetapi terkadang hikmah ilahi menghendaki perkara itu ditunda sampai waktu yang tepat. Oleh karena itu, Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman, “Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan-Nya.” Yakni qadha’ dan qadar-Nya pasti terlaksana.
وَاللائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللائِي لَمْ يَحِضْنَ وَأُولاتُ الأحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا (٤) ذَلِكَ أَمْرُ اللَّهِ أَنْزَلَهُ إِلَيْكُمْ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يُكَفِّرْ عَنْهُ سَيِّئَاتِهِ وَيُعْظِمْ لَهُ أَجْرًا (٥)أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِنْ كُنَّ أُولاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى (٦) لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا مَا آتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا (٧)
Terjemah Surat Ath Thalaq Ayat 4-7
4. Perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara istri-istrimu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka iddahnya adalah tiga bulan, dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid[24]. Sedangkan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu sampai mereka melahirkan kandungannya[25]. Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan kemudahan baginya dalam urusannya.
[24] Misalnya karena usianya yang masih kecil, maka ‘iddahnya selama tiga bulan. Adapun wanita-wanita yang haidh, maka ‘iddahnya sebanyak tiga kali quru’. Tentang masa iddah, lihat pula surah Al Baqarah ayat 228 dan 234.
[25] Baik karena ditalak maupun karena ditinggal wafat suaminya.
5. Itulah perintah Allah yang diturunkan-Nya kepadamu[26], barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya dan akan melipatgandakan pahala baginya.
6. [27]Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka[28]. Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka melahirkan kandungan[29], kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu maka berikanlah imbalannya kepada mereka[30]; dan musyawarahkanlah di antara kamu[31](segala sesuatu) dengan baik[32]; dan jika kamu menemui kesulitan[33], maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.
[27] Telah disebutkan sebelumnya, bahwa Allah Subhaanahu wa Ta'aala melarang mengeluarkan wanita-wanita yang ditalak dari rumah, dan di ayat ini Allah Subhaanahu wa Ta'aala memerintahkan untuk memberi mereka tempat tinggal. Ukuran tempat tinggal adalah secara ma’ruf (wajar) yaitu rumah yang biasa ditempati oleh orang yang semisal si laki-laki dan si wanita (standar) sesuai kemampuan suami.
[28] Yakni jangan menyusahkan mereka ketika mereka (istri-istri) menempati tempat tinggal itu baik dengan kata-kata maupun perbuatan dengan maksud agar mereka bosan sehingga mereka keluar dari rumah sebelum sempurna ‘iddahnya yang berarti kamu sama saja mengeluarkan mereka dari rumahmu. Kesimpulan ayat ini adalah larangan mengeluarkan mereka dari rumah, dan larangan bagi mereka (wanita yang ditalak) keluar dari rumah suami mereka serta perintah untuk memberi mereka tempat tinggal dengan cara yang tidak menimbulkan bahaya dan kesulitan, dan hal ini dikembalikan kepada ‘uruf (kebiasaan yang berlaku).
[29] Hal itu karena kandungan yang ada di perutnya jika wanita itu ditalak ba’in, namun jika ditalak raj’i, maka infak itu karena wanita itu dan kandungannya, dan nafkah berakhir sampai wanita itu melahirkan kandungannya. Jika mereka telah melahirkan kandungannya, maka mereka bisa menyusukan anak mereka atau tidak. Jika mereka menyusukan (anak-anak)mu, maka berikanlah imbalannya kepada mereka.
[30] Yang sudah ditentukan untuk mereka, jika belum ditentukan maka dengan upah mitsil (standar).
[31] Yakni hendaknya masing-masing dari suami dan istri serta selain dari keduanya bermusyawarah dengan baik.
[32] Untuk membuat kesepakatan terhadap upah yang diberikan, atau bermusyawarah untuk hal yang bermanfaat dan bermaslahat di dunia dan akhirat bagi keduanya dan bagi anak mereka, karena melalaikannya dapat menimbulkan keburukan dan bahaya yang banyak yang tidak diketahui kecuali oleh Allah Subhaanahu wa Ta'aala. Di samping itu, dalam bermusyawarah terdapat tolong-menolong terhadap kebaikan dan takwa. Termasuk yang perlu diterangkan pula di sini adalah bahwa suami dan istri ketika berpisah di masa ‘iddah, khususnya apabila lahir anak dari keduanya, biasanya terjadi pertengkaran dalam hal menafkahi si wanita dan si anak, yakni ketika sudah berpisah yang biasanya terjadi karena kebencian, dimana dari kebencian timbul banyak masalah. Oleh karena itulah, mereka diperintahkan bermusyawarah, berbuat baik, bermu’amalah secara baik, tidak bermusuhan dsb.
[33] Misalnya tidak terjadi kesepakatan agar si ibu menyusukan anaknya, maka bisa dicarikan wanita lain untuk menyusukan anaknya sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.” (Terj. Al Baqarah: 233). Hal ini apabila si anak menerima tetek selain ibunya, namun jika tidak menerima selain tetek ibunya, maka ibunya ditetapkan untuk menyusukannya dan diwajibkan kepadanya. Jika si ibu menolak, maka dipaksa, dan ia akan memperoleh imbalan standar jika tidak terjadi kesepakatan terhadap jumlah imbalannya. Hal ini diambil dari kandungan ayat tersebut dari sisi makna yang tersirat di dalamnya. Hal itu, karena anak berada di perut ibunya selama masa kehamilan, dimana ia (si anak) tidak dapat keluar darinya, maka Allah Subhaanahu wa Ta'aala menetapkan agar walinya menafkahi. Ketika sudah lahir, dan berkemungkinan si anak mendapatkan makanan dari ibunya atau dari selainnya, maka Allah Subhaanahu wa Ta'aala membolehkan hal tersebut (menyusukan dari ibunya atau dari wanita lain). Tetapi, jika si anak tidak dapat memperoleh makanan kecuali dari ibunya, maka ia seperti kandungan yang di perut ibunya dan ibunya ditetapkan untuk menyusukannya sebagai jalan untuk memberinya makan.
7. [34]Hendaklah orang yang mempunyai keluasan memberi nafkah menurut kemampuannya[35], dan orang yang terbatas rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak membebani seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang diberikan Allah kepadanya[36]. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan[37].
[34] Selanjutnya Allah Subhaanahu wa Ta'aala menentukan nafkah sesuai keadaan suami.
[35] Oleh karena itu, jangan sampai ia memberikan nafkah seperti nafkah yang dikeluarkan oleh orang-orang yang fakir jika ia sebagai orang yang kaya.
[36] Hal ini sesuai sekali dengan hikmah dan rahmat Allah, dimana Dia menetapkan masing-masingnya sesuai dengan keadaannya, Dia meringankan orang yang kesulitan dan tidak membebani kecuali sesuai dengan kemampuannya baik dalam hal nafkah maupun lainnya.
[37] Ayat ini merupakan berita gembira terhadap orang-orang yang kesulitan, bahwa Allah Subhaanahu wa Ta'aala akan menghilangkan kesulitan mereka dan mengangkat penderitaan mereka, karena sesungguhnya setelah kesulitan ada kemudahan.
Ayat 8-12: Peringatan agar tidak melanggar batasan Allah ‘Azza wa Jalla, perintah untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya, balasan bagi orang-orang yang taat, hukum-hukum yang dibawa oleh Rasul-Nya Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam membawa kebahagiaan bagi manusia, dan mengingatkan tentang kekuasaan Allah dan keesaan-Nya.
وَكَأَيِّنْ مِنْ قَرْيَةٍ عَتَتْ عَنْ أَمْرِ رَبِّهَا وَرُسُلِهِ فَحَاسَبْنَاهَا حِسَابًا شَدِيدًا وَعَذَّبْنَاهَا عَذَابًا نُكْرًا (٨) فَذَاقَتْ وَبَالَ أَمْرِهَا وَكَانَ عَاقِبَةُ أَمْرِهَا خُسْرًا (٩) أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ عَذَابًا شَدِيدًا فَاتَّقُوا اللَّهَ يَا أُولِي الألْبَابِ الَّذِينَ آمَنُوا قَدْ أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكُمْ ذِكْرًا (١٠) رَسُولا يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِ اللَّهِ مُبَيِّنَاتٍ لِيُخْرِجَ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ وَيَعْمَلْ صَالِحًا يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا قَدْ أَحْسَنَ اللَّهُ لَهُ رِزْقًا (١١) اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَمِنَ الأرْضِ مِثْلَهُنَّ يَتَنَزَّلُ الأمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا (١٢)
8. [38]Dan betapa banyak (penduduk) negeri yang mendurhakai perintah Tuhan mereka dan rasul-rasul-Nya, maka Kami hisab penduduk negeri itu dengan hisab yang ketat, dan Kami azab mereka dengan azab yang mengerikan (di akhirat)[39].
[38] Allah Subhaanahu wa Ta'aala memberitahukan tentang pembinasaan-Nya terhadap umat-umat yang melampaui batas dan mendustakan para rasul, bahwa jumlah mereka yang banyak dan kekuatan mereka itu tidak bermanfaat sedikit pun bagi mereka ketika mereka dihisab dengan hisab yang ketat dan ketika mereka mendapat siksa yang pedih.
[39] Yang dimaksud dengan hisab dan azab di sini adalah hisab dan azab di akhirat.
9. Sehingga mereka merasakan akibat yang buruk dari perbuatannya, dan akibat perbuatan mereka itu adalah kerugian yang besar.
10. Allah menyediakan azab yang keras bagi mereka[40], maka bertakwalah kepada Allah wahai orang-orang yang mempunyai akal[41]! (Yaitu) orang-orang yang beriman. Sungguh, Allah telah menurunkan peringatan[42] kepadamu,
[40] Diulangi lagi ancaman azab kepada mereka sebagai taukid (penguatan), atau Allah Subhaanahu wa Ta'aala menghukum mereka di dunia dan di akhirat; di dunia sebagaimana yang disebutkan dalam ayat 8 sebelumnya, dan azab di akhirat sebagaimana yang disebutkan dalam ayat 10 di atas.
[41] Yaitu mereka yang memahami ayat-ayat Allah dan pelajaran yang disampaikan-Nya, dan bahwa pembinasaan terhadap orang-orang yang mendustakan tidak hanya berlaku terhadap orang-orang sebelum mereka, bahkan berlaku pula terhadap orang-orang yang setelah mereka.
[42] Yaitu Al Qur’an.
11. (dengan mengutus) seorang Rasul yang membacakan ayat-ayat Allah kepadamu yang menerangkan (bermacam-macam hukum), agar Dia mengeluarkan orang-orang yang beriman dan beramal saleh dari kegelapan kepada cahaya[43]. Dan barang siapa beriman kepada Allah dan mengerjakan amal yang saleh[44], niscaya Dia akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Sungguh, Allah memberikan rezeki yang baik kepadanya.
[40] Diulangi lagi ancaman azab kepada mereka sebagai taukid (penguatan), atau Allah Subhaanahu wa Ta'aala menghukum mereka di dunia dan di akhirat; di dunia sebagaimana yang disebutkan dalam ayat 8 sebelumnya, dan azab di akhirat sebagaimana yang disebutkan dalam ayat 10 di atas.
[41] Yaitu mereka yang memahami ayat-ayat Allah dan pelajaran yang disampaikan-Nya, dan bahwa pembinasaan terhadap orang-orang yang mendustakan tidak hanya berlaku terhadap orang-orang sebelum mereka, bahkan berlaku pula terhadap orang-orang yang setelah mereka.
[42] Yaitu Al Qur’an.
12. [45]Allah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya[46], agar kamu mengetahui bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, dan ilmu Allah benar-benar meliputi segala sesuatu.
[45] Selanjutnya Allah Subhaanahu wa Ta'aala memberitahukan, bahwa Dia yang menciptakan tujuh langit dan semua yang ada di dalamnya serta tujuh bumi dan apa yang ada di dalamnya serta apa yang ada di antara langit dan bumi.
[46] Ada yang menafsirkan, bahwa maksudnya wahyu turun di antara keduanya (langit dan bumi), dibawa oleh malaikat Jibril dari langit ketujuh sampai ke bumi, atau maksudnya berlaku syariat dan hukum-hukum agama yang Allah wahyukan kepada para rasul-Nya untuk mengingatkan mereka dan menasihati mereka, demikian pula berlaku perintah-perintah yang kauni qadari (takdir-Nya terhadap alam semesta) yang dengannya Allah mengatur hamba-hamba-Nya. Semua itu dimaksudkan agar para hamba mengenal-Nya dan mengetahui meliputnya kekuasaan Allah dan pengetahuan-Nya terhadap segala sesuatu, dimana apabila mereka telah mengenali-Nya dengan sifat-sifat-Nya yang suci dan nama-nama-Nya yang indah, beribadah kepada-Nya, mencintai-Nya dan memenuhi hak-Nya, maka berarti ia telah melaksanakan maksud yang diinginkan dari adanya penciptaan dan perintah, yaitu mengenal Allah dan beribadah kepada-Nya. Orang-orang yang mendapatkan taufiq dari kalangan hamba-hamba Allah yang saleh dapat menjalankannya, sedangkan orang-orang yang zalim berpaling darinya.
@ Allah menceritakan bahwa penciptaan langit dan bumi, agar manusia mengetahui tentang ke Maha Kuasaan Allah Ta’ala, bahwa Allah lah pemilik jagad raya ini dengan ilmu Allah yang sempurna. Tidak ada satu pun yang terluput dari ilmu dan pengawasan Allah, karena ilmu Allah meliputi segala sesuatu
Orang yang bertakwa juga akan diselamatkan oleh Allah dari berbagai bahaya dan akan diberi jalan keluar dari setiap kesempitan yang menimpanya. Disamping itu juga akan dimudahkan berbagai urusannya serta diberi rezeki di luar dugaannya dari arah yang dia tidak sangka-sangka.
إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئًا لِلَّهِ إِلَّا بَدَّلَكَ اللهُ بِهِ مَا هُوَ خَيْرٌ لَكَ مِنْهُ
Sungguh engkau tidak akan meninggalkan sesuatu karena Allâh,
kecuali Allâh akan gantikan dengan yang lebih baik untukmu.”
[HR. Ahmad no. 23.074, dihukumi shahih oleh al-Albani dan al-Arna`uth]
0 Response to "Tafsir At Thalaq Ayat 1-12"
Post a Comment