Ayat 12-13: Peringatan terhadap sikap tajassus (memata-matai), berkhianat dan membuka rahasia kaum muslimin, larangan ghibah, dan bahwa manusia yang paling mulia di hadapan Allah Subhaanahu wa Ta'aala adalah orang yang paling bertakwa.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلا تَجَسَّسُوا وَلا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ (١٢) يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (١٣)
Terjemah Surat Al Hujuraat Ayat 12-13
12. [1]Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka (kecurigaan), sesungguhnya sebagian dari prasangka itu dosa[2], dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain[3], dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain[4]. [5]Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik[6]. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang[7].
@ Maka setiap muslim dan muslimah hendaknya waspada terhadap gunjingan dan saling menasehati untuk meninggalkannya
13. [8]Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal[9]. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti[10].
Ayat 14-18: Ciri-ciri orang mukmin yang sebenarnya, bersyukur kepada Allah Subhaanahu wa Ta'aala atas nikmat iman dan hidayah, dan bahwa yang memberikan taufik kepadanya adalah Allah ‘Azza wa Jalla, dan bahwa Dia mengetahui yang tersembunyi.
قَالَتِ الأعْرَابُ آمَنَّا قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوا وَلَكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الإيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ وَإِنْ تُطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ لا يَلِتْكُمْ مِنْ أَعْمَالِكُمْ شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (١٤) إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ (١٥) قُلْ أَتُعَلِّمُونَ اللَّهَ بِدِينِكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيم (١٦) يَمُنُّونَ عَلَيْكَ أَنْ أَسْلَمُوا قُلْ لا تَمُنُّوا عَلَيَّ إِسْلامَكُمْ بَلِ اللَّهُ يَمُنُّ عَلَيْكُمْ أَنْ هَدَاكُمْ لِلإيمَانِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (١٧) إِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ غَيْبَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ (١٨)
Terjemah Surat Al Hujuraat Ayat 14-18
14. [11]Orang-orang Arab Badui itu berkata, "Kami telah beriman[12].” Katakanlah (kepada mereka), "Kamu belum beriman[13], tetapi katakanlah 'kami telah tunduk (Islam)[14],’ karena iman belum masuk ke dalam hatimu[15]. Dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya[16], Dia tidak akan mengurangi sedikit pun (pahala) amalmu. Sungguh, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang[17]."
15. Sesungguhnya orang-orang mukmin yang sebenarnya[18] adalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu, dan mereka berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah[19]. Mereka itulah orang-orang yang benar[20].
16. Katakanlah (kepada mereka), "Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah tentang agamamu (keyakinanmu), padahal Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu[21]."
17. Mereka merasa berjasa kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah, "Janganlah kamu merasa berjasa kepadaku dengan keislamanmu, sebenarnya Allah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjukkan kamu kepada keimanan, jika kamu orang yang benar."
18. Sungguh, Allah mengetahui apa yang gaib di langit dan di bumi[22]. Dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan[23].
KANDUNGAN AYAT
[1] Di ayat ini Allah Subhaanahu wa Ta'aala melarang banyak dari prasangka terhadap kaum mukmin, karena sebagian dari prasangka adalah dosa, seperti sangkaan yang kosong dari hakikat dan qarinah, bersangka buruk yang diiringi dengan ucapan dan perbuatan yang diharamkan, karena bersangka buruk di hati tidak sebatas sampai di situ, bahkan terus menjalar sehingga ia mengatakan kata-kata yang tidak patut dan melakukan perbuatan yang tidak layak dilakukan, disamping sebagai sikap su’uzzhan terhadap seorang muslim, membencinya dan memusuhinya, padahal yang diperintahkan adalah kebalikannya.
[2] Seperti suu’uzzhan (bersangka buruk) kepada orang-orang yang baik dari kalangan kaum mukmin, berbeda dengan orang fasik, maka tidak mengapa pada apa yang mereka tampakkan.
[3] Yakni biarkanlah kaum muslimin dengan keadaannya dan gunakanlah sikap merasa lengah terhadapnya, dimana jika dikaji malah tampak perkara yang tidak patut.
[4] Yaitu dengan menyebutkan hal yang tidak disukainya meskipun ada padanya.
[5] Selanjutnya Allah Subhaanahu wa Ta'aala menyebutkan perumpamaan untuk menjauhkan sesorang dari ghibah.
[6] Yakni sebagaimana kamu tidak suka dan merasa jijik memakan bangkai saudaramu yang sudah mati, maka seperti itulah seharusnya sikap kamu terhadap ghibah (menggunjing saudaramu). Ayat ini menunjukkan ancaman yang keras terhadap ghibah, dan bahwa ghibah termasuk dosa yang besar karena Allah mengumpamakannya seperti memakan daging saudaranya yang telah mati.
[7] Allah adalah At Tawwab, yakni Dia yang mengizinkan tobat hamba-Nya, lalu Dia memberinya taufiq kepadanya, kemudian menerima tobatnya. Dia Maha Penyayang kepada hamba-hamba-Nya, dimana Dia mengajak mereka kepada sesuatu yang bermanfaat bagi mereka dan menerima tobat mereka.
[8] Allah Subhaanahu wa Ta'aala memberitahukan, bahwa Dia yang menciptakan Bani Adam dari asal yang satu dan jenis yang satu. Mereka semua dari laki-laki dan perempuan dan jika ditelusuri, maka ujungnya kembali kepada Adam dan Hawa’. Allah Subhaanahu wa Ta'aala menyebarkan dari keduanya laki-laki dan perempuan yang banyak dan memisahkan mereka serta menjadikan mereka berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar mereka saling kenal-mengenal sehingga mereka bisa saling tolong-menolong, bantu-membantu dan saling mewarisi serta memenuhi hak kerabat. Meskipun demikian, orang yang paling mulia di antara mereka adalah orang yang paling takwa, yakni mereka yang paling banyak ketaatannya kepada Allah dan meninggalkan maksiat, bukan yang paling banyak kerabat dan kaumnya dan bukan yang paling mulia nasabnya.
Dalam ayat ini terdapat dalil bahwa mengetahui nasab adalah disyariatkan, karena Allah Subhaanahu wa Ta'aala menjadikan mereka berbangsa-bangsa dan bersuku-suku adalah untuk itu.
[9] Oleh karena itu, janganlah saling berbangga karena tingginya nasab, bahkan yang dapat dibanggakan adalah ketakwaan.
[10] Dia mengetahui siapa di antara mereka yang melaksanakan ketakwaan kepada Allah baik zahir maupun batin dengan orang yang hanya di zahir (luar) saja bertakwa kepada Allah, sehingga Dia membalas masing-masingnya dengan balasan yang pantas.
[11] Allah Subhaanahu wa Ta'aala memberitahukan perkataan orang-orang Arab badui yang masuk ke dalam Islam di zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dimana masuknya mereka tidak di atas kesadaran dan pengetahuan akan kebenaran Islam.
[12] Yakni ‘kami telah membenarkan dengan hati kami.’ Atau ‘kami telah beriman secara sempurna yang mencakup semua perkara keimanan,’ maka Allah Subhaanahu wa Ta'aala memerintahkan Rasul-Nya menjawab, bahwa mereka belum beriman.
[13] Yakni janganlah kamu mendakwakan diri beriman secara zhahir maupun batin dan beriman secara sempurna.
[14] Yakni kami telah tunduk zhahir(lahiriah)nya. Atau ‘kami telah masuk ke dalam agama Islam.’
[15] Yakni karena kamu beriman hanyalah karena takut atau berharap sesuatu.
Hal ini ketika di awal mereka masuk Islam, namun setelahnya banyak di antara mereka yang menjadi mukmin hakiki dan berjihad di jalan Allah.
[16] Dengan mengerjakan perbuatan baik dan meninggalkan keburukan.
[17] Dia Maha Pengampun bagi orang yang bertobat dan kembali kepada-Nya, dan Dia Maha Penyayang, dimana Dia menerima tobatnya.
[18] Yani mukmin hakiki.
[19] Hal itu karena jihad membuktikan benar dan kuatnya iman mereka. Sebalikanya, orang yang tidak kuat berjihad, maka yang demikian menunjukkan imannya lemah. Dalam ayat tersebut Allah Subhaanahu wa Ta'aala mensyaratkan iman mereka dengan tidak ragu-ragu, karena iman yang bermanfaat adalah keyakinan yang pasti kepada apa saja yang diperintahkan Allah untuk diimani, dimana hal itu tidak dicampuri oleh keraguan sedikit pun.
[20] Yang membenarkan iman mereka dengan amal mereka yang baik. Kejujuran adalah dakwaan yang besar dalam segala sesuatu, dimana pelakunya butuh kepada hujjah dan bukti, dan yang paling besar dalam hal ini adalah dakwaan beriman yang merupakan pusat kebahagiaan dan keberuntungan. Oleh karena itu, barang siapa yang mengaku beriman, mengerjakan kewajiban dan lawazim (yang menjadi bagiannya), maka dialah yang benar imannya atau mukmin hakiki. Jika tidak demikian, maka dapat diketahui, bahwa dia tidak benar dalam dakwaannya dan tidak ada faedah pada dakwaannya, karena iman dalam hati tidak ada yang mengetahuinya selain Allah Ta’ala. Dengan demikian, menetapkan dan menafikannya termasuk memberitahukan kepada Allah apa yang ada dalam hati, dan ini merupakan adab dan sangkaan yang buruk kepada Allah Subhaanahu wa Ta'aala. Oleh karena itulah pada ayat selanjutnya Dia berfirman, “Katakanlah (kepada mereka), "Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah tentang agamamu (keyakinanmu), padahal Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu."
[21] Termasuk di dalamnya apa yang ada dalam hati manusia berupa keimanan dan kekafiran, kebaikan dan keburukan, maka Allah Subhaanahu wa Ta'aala mengetahui semua itu dan akan membalasnya. Jika baik, maka Dia balas dengan kebaikan dan jika buruk, maka Dia balas dengan keburukan.
Inilah salah satu keadaan di antara keadaan orang yang mengaku mukmin padahal tidak demikian, dimana hal ini berkemungkinan, dia memberitahukan Allah, padahal Allah Subhaanahu wa Ta'aala mengetahui segala sesuatu, dan bisa juga maksud ucapan mereka itu adalah menunjukkan jasanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, yakni mereka telah mengorbankan sesuatu untuk Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam padahal yang demikian untuk keberuntungan dirinya sendiri. Ini merupakan berhias dengan sesuatu yang tidak menghiasinya dan berbangga dengan sesuatu yang tidak pantas dibanggakan kepada Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam, karena sesungguhnya yang demikian itu adalah nikmat dari Allah atas mereka, yakni sebagaimana Dia telah memberi nikmat kepada mereka dengan menciptakan dan memberi mereka rezeki serta nikmat-nikmat yang tampak maupun tersembunyi, Dia juga memberi nikmat kepada mereka dengan menunjukkan mereka kepada Islam dan iman, dimana nikmat ini merupakan nikmat paling besar. Oleh karena itu, Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman di ayat selanjutnya, “Mereka merasa berjasa kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah, "Janganlah kamu merasa berjasa kepadaku dengan keislamanmu, sebenarnya Allah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjukkan kamu kepada keimanan, jika kamu orang yang benar."
[22] Yakni semua perkara yang samar pada keduanya yang tersembunyi bagi makhluk, seperti yang berada di dalam lautan, di padang pasir yang sunyi, di kegelapan malam, di penjuru bumi, di dalam dada dan yang tersembunyi lainnya, Allah mengetahuinya. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman, “Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tidak ada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)" (Terj. Al An’aam: 59)
[23] Dia akan menjumlahkan amalmu dan akan memberinya balasan sesuai rahmat-Nya yang luas dan hikmah-Nya yang dalam.
0 Response to "Tafsir Al Hujuraat Ayat 12-18"
Post a Comment