“Laki-laki” Pada ayat ini disebut hanya laki-laki, karena merekalah yang memakmurkan masjid. Para wanita tidak diwajibkan untuk mengerjakan shalat Jumat dan shalat berjamaah di masjid.
“Yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allâh.”
Dalam ayat ini Allâh hanya menyebutkan perniagaan, karena perniagaanlah yang paling banyak melalaikan manusia dari mengerjakan shalat dan ketaatan, sehingga mereka tidak mendatangi masjid untuk mendirikan shalat.
“Dan (dari) mendirikan shalat,” maksudnya dia tidak terlalaikan dari mengerjakan shalat tepat pada waktunya secara berjamaah.
“Dan (dari) membayarkan zakat,” Apabila datang waktu membayar zakat, mereka membayarnya dan tidak menahannya.
“Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.” Peristiwa ini terjadi di hari kiamat. Hati dan penglihatan mereka menjadi goncang, karena hati mereka bergoncang-goncang antara ketakutan, pengharapan dan kecemasan akan kebinasaan diri mereka, dan karena pandangan-pandangan mereka menoleh ke kanan dan ke kiri, apakah akan dimasukkan ke golongan kanan ataukah golongan kiri, atau apakah mereka akan menerima catatan amalnya dengan tangan kanan ataukah dengan tangan kirinya.
“Supaya Allâh memberikan balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan,” berupa zikrullâh, mengerjakan shalat dan membayar zakat, dibalas sesuai dengan amal-amal shalih yang telah mereka kerjakan. Adapun keburukan-keburukan yang telah mereka lakukan tidak dibalas oleh Allâh Azza wa Jalla .
“Dan supaya Allâh menambah karunia-Nya kepada mereka,” berupa anugerah yang sebenarnya mereka tidak berhak mendapatkannya jika ditimbang dengan apa yang telah mereka lakukan.[1]
“Dan Allâh memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas,” Allâh Azza wa Jalla memberikannya balasan yang lebih tanpa perhitungan dan tanpa takaran. Ini adalah ungkapan yang menunjukkan bahwa balasan tersebut sangat banyak.[2]
PENJABARAN AYAT
Firman Allâh Azza wa Jalla :
رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ
Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allâh dan (dari) mendirikan shalat dan (dari) membayarkan zakat.
Setelah Allâh Azza wa Jalla menyebutkan pada ayat sebelumnya tentang rumah-rumah Allâh yang disyariatkan berzikir di dalamnya di waktu pagi dan petang, maka Allâh Azza wa Jalla menyebutkan sifat-sifat kaum lelaki dari kalangan Shahabat yang mereka tidak terlalaikan dari berzikir kepada Allâh Azza wa Jalla dan juga tidak terlalaikan dari menghadiri shalat lima waktu di masjid pada waktunya, meskipun mereka bekerja sebagai pedagang. Allâh Azza wa Jalla menyuruh orang-orang yang beriman agar tidak lalai dengan semua urusan dunia.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ ۚ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
Hai orang-orang beriman! Janganlah harta kalian dan anak-anak kalian melalaikan kalian dari mengingat Allâh! Barangsiapa berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi. [Al-Munâfiqûn/63: 9]
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allâh dan tinggalkanlah jual beli yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. [Al-Jumu’ah/62:9]
Imam Ibnu Katsîr rahimahullah menjelaskan tentang ayat kita bahas ini, “Allâh Azza wa Jalla mengabarkan bahwa orang-orang yang disebutkan pada ayat tersebut tidak disibukkan dengan dunia serta keindahan dan kelezatannya dari mengingat Allâh. Mereka tahu bahwa apa-apa yang berada di sisi Allâh jauh lebih baik untuk mereka dan lebih bermanfaat daripada apa yang mereka miliki. Mereka menyadari bahwa harta-harta yang ada pada mereka akan lenyap sedangkan apa-apa yang di sisi Allâh akan kekal. Oleh karena itu, mereka lebih mengedepankan ketaatan dan kecintaan kepada Allâh Azza wa Jalla daripada kecintaan terhadap diri-diri mereka sendiri.”[3]
Imam al-Bukhâri rahimahullah mengatakan, “Qatâdah berkata, ‘Dulu suatu kaum berjual beli dan berniaga, tetapi jika ada hak di antara hak-hak Allâh menghampiri mereka, maka perniagaan dan jual beli tidak melalaikan mereka untuk berzikir kepada Allâh, mereka memenuhi hak tersebut kepada Allâh.”[4]
KEHARUSAN SHALAT BERJAMAAH DI MASJID BAGI LAKI-LAKI
Di antara hak-hak Allâh adalah memenuhi panggilan adzan yang dikumandangkan oleh muadzdzin. Kaum lelaki harus mengerjakan shalat wajib secara berjamaah di masjid. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِهِ ، فَلاَ صَلاَةَ لَهُ ، إِلاَّ مِنْ عُذْرٍ
Barangsiapa mendengar adzan kemudian dia tidak mendatanginya, maka tidak ada shalat baginya, kecuali jika ada uzur[5]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِالصَّلاَةِ فَتُقَامَ ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى مَنَازِلِ قَوْمٍ لاَ يَشْهَدُونَ الصَّلاَةَ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ
Saya telah benar-benar berniat menyuruh untuk dikerjakan shalat dan didirikan shalat tersebut, kemudian saya pergi ke rumah-rumah kaum yang tidak menghadiri shalat (berjamaah), kemudian saya bakar rumah-rumah mereka[6]
Imam at-Tirmidzi rahimahullah mengatakan, “Sebagian ahli ilmu mengatakan bahwa ini adalah bentuk ancaman berat dan keras, serta tidak ada keringanan bagi seorang pun untuk meninggalkan shalat berjamaah, kecuali dia memiliki uzur.”[7]
Dalil-dalil di atas menjelaskan bahwa shalat lima waktu harus dikerjakan oleh laki-laki di masjid, kecuali ada uzur. Dan uzur-uzur seseorang boleh meninggalkan shalat berjamaah tercantum di buku-buku fiqh.
Adapun para wanita, mereka mengerjakan shalat fardhu di rumah. Ini lebih afdhal bagi mereka. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
صَلاَةُ الْمَرْأَةِ فِى بَيْتِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلاَتِهَا فِى حُجْرَتِهَا وَصَلاَتُهَا فِى مَخْدَعِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلاَتِهَا فِى بَيْتِهَا
Shalat seorang wanita di dalam rumahnya lebih utama daripada shalat-nya di ruang tamunya. Shalat-nya di dalam ruang yang tertutup lebih baik daripada shalat-nya di dalam rumahnya.[8]
Meskipun demikian, wanita boleh shalat berjamaah di masjid jika tidak dikhawatirkan terjadi fitnah.
ANCAMAN UNTUK PARA PEDAGANG
Pedagang adalah pekerjaan yang sangat menyibukkan. Oleh karena itu, jika dia tidak mencari sebab-sebab yang dapat meningkatkan ketakwaannya, maka dia akan menjadi lalai dari berzikir kepada Allâh, dia akan terjatuh kepada hal-hal yang sia-sia dan dia akan terjerumus ke dalam perbuatan-perbuatan dosa, seperti: dusta, khianat, sumpah palsu, penipuan dan lain-lain.
Para pedagang akan mendapatkan banyak ujian ketika berdagang. Jika dia tidak memiliki benteng yang kuat, maka dia akan terjatuh kepada banyak perbuatan dosa. Oleh karena itu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyampaikan ancaman kepada mereka. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ التُّجَّارَ هُمُ الْفُجَّارُ قَالَ: قِيلَ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَوَلَيْسَ قَدْ أَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ؟ قَالَ: بَلَى، وَلَكِنَّهُمْ يُحَدِّثُونَ فَيَكْذِبُونَ ، وَيَحْلِفُونَ ، وَيَأْثَمُونَ
Sesungguhnya para pedagang adalah orang yang fajir (pelaku maksiat).” Beliau pun ditanya, “Bukankah Allâh telah menghalalkan jual beli?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Ya, tetapi mereka berbicara kemudian berdusta, dan mereka bersumpah dan berdosa.”[9]
Begitu pula sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِنَّ التُّجَّارَ يُحْشَرُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فُجَّارًا إِلا مَنِ اتَّقَى وَبَرَّ وَصَدَقَ
Sesungguhnya para pedagang akan dikumpulkan di hari kiamat sebagai orang yang fajir, kecuali orang yang bertakwa, berbuat kebajikan dan jujur[10]
CONTOH BENTUK KEATAATAN PARA SALAF KETIKA MEREKA BERDAGANG
Para Shahabat g adalah orang yang sangat bertakwa kepada Allâh Azza wa Jalla . Allâh Azza wa Jalla memilih mereka untuk menjadi para Shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dunia. Perdagangan tidak menyibukkan mereka dari berzikir kepada Allâh Azza wa Jalla dan dari mengerjakan shalat lima waktu di masjid.
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma bahwasanya beliau Radhiyallahu anhu menafsirkan ayat yang artinya “Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allâh” (beliau Radhiyallahu anhuma tafsirkan-red) dengan “tidak terlalaikan dari mengerjakan shalat yang diwajibkan.”[11]
Mereka mengerjakan shalat lima waktu di masjid, kecuali mereka memiliki uzur.
Banyak sekali nukilan-nukilan atau atsar-atsar di kitab-kitab tafsir menyebutkan hal tersebut.[12] Di antaranya adalah apa yang dikatakan oleh Imam Mathar bin Thahmaan al-Warrâq rahimahullah (wafat 125 H), beliau mengatakan, “Adapun mereka (para sahabat), dulu mereka membeli dan berjualan, akan tetapi, jika seorang di antara mereka mendengar adzan sedangkan timbangannya berada di tangannya, maka dia turunkan timbangan tersebut dan memenuhi panggilan shalat.”[13]
SAHABAT YANG SENGAJA BERDAGANG
Pujian Allâh Azza wa Jalla pada ayat ini sangatlah besar kepada para lelaki yang tidak terlalaikan oleh urusan dunia. Oleh karena itu, di antara Shahabat ada yang sengaja bekerja sebagai pedagang agar mendapatkan keutamaan yang disebutkan pada ayat ini. Di antaranya adalah Shahabat yang bernama Abu Dardâ’ Radhiyallahu anhu. Beliau Radhiyallahu anhu mengatakan:
إِنِّيْ قُمْتُ عَلَى هَذَا الدَّرَجِ أُبَايِعُ عَلَيْه، أَرْبَحُ كُلَّ يَوْمٍ ثَلَاثَمِائَةَ دِيْنَارٍ، أَشْهَدُ الصَّلَاةَ فِيْ كُلِّ يَوْمٍ فِيْ الْمَسْجِدِ، أَمَا إِنِّي لَا أَقُوْلُ: “إِنَّ ذَلِكَ لَيْسَ بِحَلَالٍ” وَلَكِنِّي أُحِبُّ أَنْ أَكُوْنَ مِنَ الَّذِيْنَ قَالَ اللهُ: { رِجَالٌ لا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ }.
Sesungguhnya saya berdiri di jalan ini untuk berjualan. Saya mendapatkan keuntungan tiga ratus dinar sehari. Saya shalat setiap hari di masjid. Saya tidak mengatakan bahwa harta tersebut tidak halal, tetapi saya ingin menjadi orang yang termasuk dalam firman Allâh (yang artinya), ‘Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allâh.[14]
CARA MENGHILANGKAN HAL-HAL YANG SIA-SIA KETIKA BERJUAL BELI
Jual beli itu penuh dengan banyak ujian, dosa dan perbuatan sia-sia. Oleh karena itu, seorang Mukmin harus memikirkan bagaimana cara menghapuskan dosa-dosa dalam perdagangannya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah memberikan arahan dalam hal ini. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh para pedagang untuk banyak bersedekah.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَا مَعْشَرَ التُّجَّارِ إِنَّ الْبَيْعَ يَحْضُرُهُ اللَّغْوُ وَالْحَلِفُ فَشُوبُوهُ بِالصَّدَقَةِ
Wahai para pedagang! Sesungguhnya hal-hal yang sia-sia dan sumpah menghadiri jual beli. Oleh karena itu, bersihkanlah hal tersebut dengan bersedekah.[15]
Firman Allâh Azza wa Jalla :
يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ
Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.[An-Nur/24 : 37]
Mengapa mereka takut dengan hal tersebut? Karena hari kiamat adalah hari yang penuh dengan hal-hal yang menakutkan dan sangat menegangkan. Mereka memikirkan keselamatan diri-diri mereka dari pembalasan Allâh Azza wa Jalla . Apakah Allâh Azza wa Jalla akan membalas seluruh amal keburukan dan dosa yang pernah mereka lakukan ataukah Allâh akan mengampuninya?
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:
وَأَنْذِرْهُمْ يَوْمَ الْآزِفَةِ إِذِ الْقُلُوبُ لَدَى الْحَنَاجِرِ كَاظِمِينَ
Berilah mereka peringatan dengan hari yang dekat (hari kiamat yaitu) ketika hati (menyesak) sampai di kerongkongan dengan menahan kesedihan. [Ghâfir/40:18]
Begitu pula firman Allâh Azza wa Jalla :
وَلَا تَحْسَبَنَّ اللَّهَ غَافِلًا عَمَّا يَعْمَلُ الظَّالِمُونَ ۚ إِنَّمَا يُؤَخِّرُهُمْ لِيَوْمٍ تَشْخَصُ فِيهِ الْأَبْصَارُ
Dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira, bahwa Allâh lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim. Sesungguhnya Allâh memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak [Ibrâhîm/14:42]
Begitu pula firman Allâh Azza wa Jalla , yang artinya:
Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridaan Allâh, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. Sesungguhnya kami takut akan (azab) Rabb kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan. Lalu Allâh memelihara mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan kepada mereka kejernihan (wajah) dan kegembiraan hati. Dan Dia memberi balasan kepada mereka karena kesabaran mereka, (dengan) surga dan (pakaian) sutera. [Al-Insân/76:8-12]
Firman Allâh Azza wa Jalla :
لِيَجْزِيَهُمُ اللَّهُ أَحْسَنَ مَا عَمِلُوا
(Mereka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allâh memberikan balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan,
Allâh Azza wa Jalla berjanji akan menerima amalan-amalan shalih mereka dan membalasnya dengan balasan yang baik, serta Allâh Azza wa Jalla mengampuni dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan mereka di dunia.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ ۖ وَإِنْ تَكُ حَسَنَةً يُضَاعِفْهَا وَيُؤْتِ مِنْ لَدُنْهُ أَجْرًا عَظِيمًا
Sesungguhnya Allâh tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar dzarrah, dan jika ada kebajikan sebesar dzarrah, niscaya Allâh akan melipatgandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar. [An-Nisâ’/4:40]
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:
مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا ۖ وَمَنْ جَاءَ بِالسَّيِّئَةِ فَلَا يُجْزَىٰ إِلَّا مِثْلَهَا وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ
Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya. Dan barangsiapa yang membawa perbuatan jahat, maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikit pun tidak dianiaya (dirugikan). [Al-An’âm/6:160]
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً
Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allâh, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allâh), maka Allâh akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. [Al-Baqarah/2:245]
Firman Allâh Azza wa Jalla :
وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ ۗ وَاللَّهُ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ
Dan supaya Allâh menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allâh memberi rezki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas.
Ketika menyebutkan ayat:
لِيُوَفِّيَهُمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ
Agar Allâh menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. [Fathir/35:30]
‘Abdullaah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu menafsirkan “pahala mereka” dengan “memasukkannya ke dalam surga”, dan “dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya” ditafsirkan dengan “memberikannya (hak untuk memberikan) syafaat kepada orang-orang yang berhak mendapatkan syafaat untuk orang-orang yang pernah berbuat kebaikan kepada mereka di dunia.”[16]
KESIMPULAN
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
Meskipun berdagang adalah pekerjaan yang sangat menyibukkan, sudah sepantasnya seorang Mukmin tidak terlalaikan dengannya. Dia harus ingat kepada Allâh dan tidak lupa untuk memenuhi hak-hak Allâh Azza wa Jalla .
Para Shahabat adalah panutan yang baik. Perdagangan tidak menyibukkan mereka dari berzikir kepada Allâh dan menghadiri shalat berjamaah pada waktunya.
Para pedagang harus memiliki benteng ketakwaan dan keimanan yang kuat, jika tidak, maka dia akan terjatuh kepada banyak perbuatan dosa dan dibangkitkan di hari kiamat sebagai orang yang fajir (pelaku maksiat).
Hari kiamat adalah hari yang penuh dengan hal-hal yang menakutkan dan sangat menegangkan.
Allâh Azza wa Jalla menjanjikan untuk menerima amalan-amalan shalih dari orang-orang yang tidak lalai mengingat-Nya dan membalasnya dengan balasan yang baik dan berlipat ganda, serta Allâh akan mengampuni dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan mereka di dunia.
Demikian tulisan ini. Mudahan bermanfaat. Mudah-mudahan Allâh l menerima dan melipatgandakan amalan-amalan shalih yang kita lakukan serta menghapuskan seluruh dosa-dosa kita dan tidak mencatat kita sebagai orang yang lalai. Aamiin.
DAFTAR PUSTAKA
Aisarut-Tafâsîr li kalâm ‘Aliyil-Kabîr. Jâbir bin Musa Al-Jazâiri. Al-Madinah: Maktabah Al-‘Ulûm wal-hikam
Al-Jâmi’ Li Ahkâmil-Qur’ân. Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi. Kairo: Dâr Al-Kutub Al-Mishriyah.
Jâmi’ul-bayân fî ta’wîlil-Qur’ân. Muhammad bin Jarîr Ath-Thabari. 1420 H/2000 M. Beirut: Muassasah Ar-Risâlah.
Ma’âlimut-tanzîl. Abu Muhammad Al-Husain bin Mas’ûd Al-Baghawi. 1417 H/1997 M. Riyâdh:Dâr Ath-Thaibah.
Tafsîr Al-Qur’ân Al-‘Adzhîm. Ismâ’îl bin ‘Umar bin Katsîr. 1420 H/1999 M. Riyâdh: Dâr Ath-Thaibah.
Taisîr Al-Karîm Ar-Rahmân. Abdurrahmân bin Nâshir As-Sa’di. Beirut: Muassasah Ar-Risâlah.
Tafsiir Ibni Abii Haatim. Abu Muhammad ‘Abdurrahman bin Abi Haatim Ar-Raazi. Shiidaa: Al-Maktabah Al-‘Ashriyah.
Dan lain-lain. Sebagian besar telah tercantum di footnotes.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XVIII/1436H/2015M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079 ]
_______
Footnote
[1] Lihat Tafsîr al-Baghawi VI/51.
[2] Lihat Tafsîr as-Sa’di, hlm. 569.
[3] Lihat Tafsîr Ibni Katsîr VI/68.
[4] Dicantumkan Imam al-Bukhâri dalam Shahîh-nya sebelum hadits no. 2060.
[5] HR. Ibnu Mâjah no. 793. Syaikh al-Albani menyatakan shahîh dalam al-Irwâ’ (II/337).
[6] HR. Al-Bukhâri, no. 2420
[7] Catatan beliau terhadap hadits no. 217 dalam Sunan at-Tirmidzi
[8] HR Abu Dawud no. 570. Syaikh al-Albani menyatakan shahih dalam Shahîh Sunan Abi Dawud.
[9] HR Ahmad no. 15530. Syaikh Syu’aib al-Arnauth dkk menyatakan, “Hadits ini shahih, sanadnya kuat.”
[10] HR. Ath-Thahâwi dalam Syarh Musykil al-Âtsâr X/331 no. 2083 dan at-Thabrâni dalam al-Mu’jam al-Kabîr no. 4411 dari Rifâ’ah dan al-Baihaqi dalam asy-Syu’ab VI/484 no. 4507 dari al-Barâ’ bin ‘Âzib. Syaikh al-Albani menyatakan shahiih dalam ash-Shahîhah no. 994 dan 1458.
[11] Tafsîr ath-Thabari IXX/193, no. 26358.
[12] Sengaja penulis hanya menukil satu perkataan saja, karena atsar-atsar yang terdapat di buku-buku tafsir tersebut yang berbicara tentang ayat, setelah penulis teliti, ternyata hampir seluruhnya lemah.
[13] Tafsîr Ibnu Abi Hâtim VIII/2608, no. 14653.
[14] Tafsîr Ibnu Abi Hâtim VIII/2607, no. 14648.
[15] HR Abu Dawud no. 3328, An-Nasai no. 4463 dan Ibnu Mâjah no. 2145. Syaikh al-Albani menyatakan shahih dalam Shahîh Sunan Ibni Mâjah.
[16] HR. At-Thabraani dalam al-Mu’jam al-Kabîr, no. 10310
0 Response to "Tafsir An Nur Ayat 32-40"
Post a Comment