Tafsir Al Isra Ayat 1-11


Rp 35.000/Bungkus Yuk Order => https://nasi-kebuli-instan.business.site/

Surah Al Israa’ (Memperjalankan Di Malam Hari)
Surah ke-17. 111 ayat. Makkiyyah

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

Ayat 1: Mukjizat Isra’ dan Mi’raj untuk menguatkan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam sekaligus sebagai penghormatan untuk Beliau, ia juga merupakan salah satu bukti kekuasaan Allah Subhaanahu wa Ta'aala, dan isyarat kepada umat Islam sebagai suatu umat yang akan menjadi besar.

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الأقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ (١)

1.Mahasuci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidilharam[1] ke Masjidil Aqsa[2] yang telah Kami berkahi sekelilingnya[3] agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kekuasaan) kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.

[1] Masjidilharam adalah masjid yang paling utama secara mutlak, sedangkan Masjidil Aqsa termasuk masjid yang utama, di mana ia merupakan tempat para nabi.

[2] Syaikh As Sa’diy berkata, “Beliau diperjalankan dalam satu malam ke tempat yang jauh sekali, dan kembali pada malam itu. Allah memperlihatkan kepada Beliau ayat-ayat-Nya yang dengannya bertambahlah hidayah, bashirah (pandangan yang dalam) dan furqan (pembeda). Hal ini merupakan perhatian Allah Ta’ala dan kelembutan-Nya terhadap Beliau, di mana Allah memudahkan Beliau menuju kepada kemudahan dalam semua urusannya. Allah juga memberikan kepadanya nikmat yang banyak yang mengalahkan orang-orang terdahulu dan orang-orang yang datang kemudian. Zhahir ayat menunjukkan bahwa israa’ terjadi pada awal malam, dan dimulai dari Masjidilharam itu. Akan tetapi, ada riwayat dalam hadits shahih, bahwa Beliau diperjalankan dari rumah Ummu Hani’. Dengan demikian, keutamaan pada Masjidilharam untuk semua tanah haram. Semua bagiannya dilipatgandakan (pahala) ibadahnya sebagaimana dilipatgandakannya ibadah ketika di masjid tersebut. Hal ini juga menunjukkan bahwa isra’ terjadi dengan ruh dan jasadnya secara bersamaan, karena jika tidak demikian, maka sama saja tidak ada tanda besar dan keutamaan yang agung. Banyak hadits-hadits yang sah dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tentang israa’, dan perincian tentang apa yang Beliau lihat, dan bahwa Beliau diperjalankan ke Baitulmaqdis, lalu dari sana dinaikkan ke langit-langit sampai tiba di bagian langit yang paling atas. Beliau juga melihat surga dan neraka, dan melihat para nabi dengan tingkatan yang berbeda-beda. Ketika itu, Allah mewajibkan kepada Beliau shalat lima puluh waktu, lalu Beliau kembali menghadap Allah dan terus kembali dengan isyarat Nabi Musa Al Kalim, sehingga jumlahnya menjadi lima waktu dikerjakan, namun pahala dan balasannya seperti melakukan shalat lima puluh waktu. Ketika itu, Beliau dan umatnya membawa banyak kebanggan, di mana tidak ada yang mengetahui jumlahnya selain Allah ‘Azza wa Jalla.

Faedah: Sebagian orang yang kurang akalnya mengatakan bahwa isra’ dan mi’raj bertentangan dengan akal sehat manusia. Kita menjawab, “Tidak, bahkan sama sekali tidak bertentangan dengan akal manusia, karena yang memperjalankan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa adalah Allah Subhaanahu wa Ta'aala sebagaimana dalam ayat di atas, bukan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri. Sedangkan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu dan semuanya mudah bagi-Nya. Untuk lebih jelasnya, kami akan membuatkan permisalan dengan pertanyaan berikut, “Mungkinkah seekor semut bisa tiba dari Jakarta ke Bogor dalam waktu tiga jam?” Jawab, “Mungkin, karena bisa saja semut tersebut berada dalam buah rambutan, lalu buah rambutan tersebut diangkut ke dalam sebuah mobil yang hendak berangkat dari Jakarta ke Bogor, ternyata sampai di Bogor hanya memakan waktu tiga jam, sehingga semut pun sampai di sana dalam waktu tiga jam.” Sampainya semut ke Bogor dalam waktu yang cukup singkat itu, karena yang memperjalankan adalah mobil yang memiliki kecepatan dan kekuatan, bukan semut itu sendiri. Perhatikanlah permisalan ini!

[3] Daerah-daerah sekitarnya mendapat berkah dari Allah dengan diutus-Nya nabi-nabi di negeri itu dan diberikan-Nya kesuburan tanah. Termasuk keberkahan Masjidil Aqsa adalah dilebihkan-Nya masjid itu di atas semua masjid selain Masjidilharam dan Masjid Nabawi, dan ia salah satu masjid yang dianjurkan mengadakan perjalanan untuk beribadah dan shalat di sana. Di samping itu, Allah Subhaanahu wa Ta'aala mengkhususkannya sebagai tempat para nabi dan makhluk pilihan-Nya.

Ayat 2-8: Penghormatan kepada Nabi Musa ‘alaihis salam dengan menurunkan Taurat kepadanya, membicarakan tentang Bani Israil, kerusakan yang mereka lakukan di bumi dan hukuman Allah kepada mereka karena meninggalkan Taurat.


وَآتَيْنَا مُوسَى الْكِتَابَ وَجَعَلْنَاهُ هُدًى لِبَنِي إِسْرَائِيلَ أَلا تَتَّخِذُوا مِنْ دُونِي وَكِيلا (٢) ذُرِّيَّةَ مَنْ حَمَلْنَا مَعَ نُوحٍ إِنَّهُ كَانَ عَبْدًا شَكُورًا (٣) وَقَضَيْنَا إِلَى بَنِي إسْرائِيلَ فِي الْكِتَابِ لَتُفْسِدُنَّ فِي الأرْضِ مَرَّتَيْنِ وَلَتَعْلُنَّ عُلُوًّا كَبِيرًا (٤) فَإِذَا جَاءَ وَعْدُ أُولاهُمَا بَعَثْنَا عَلَيْكُمْ عِبَادًا لَنَا أُولِي بَأْسٍ شَدِيدٍ فَجَاسُوا خِلالَ الدِّيَارِ وَكَانَ وَعْدًا مَفْعُولا (٥) ثُمَّ رَدَدْنَا لَكُمُ الْكَرَّةَ عَلَيْهِمْ وَأَمْدَدْنَاكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَجَعَلْنَاكُمْ أَكْثَرَ نَفِيرًا (٦) إِنْ أَحْسَنْتُمْ أَحْسَنْتُمْ لأنْفُسِكُمْ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا فَإِذَا جَاءَ وَعْدُ الآخِرَةِ لِيَسُوءُوا وُجُوهَكُمْ وَلِيَدْخُلُوا الْمَسْجِدَ كَمَا دَخَلُوهُ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَلِيُتَبِّرُوا مَا عَلَوْا تَتْبِيرًا (٧) عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يَرْحَمَكُمْ وَإِنْ عُدْتُمْ عُدْنَا وَجَعَلْنَا جَهَنَّمَ لِلْكَافِرِينَ حَصِيرًا (٨)

2. [4]Dan Kami berikan kepada Musa, kitab (Taurat) dan Kami jadikannya petunjuk[5] bagi Bani Israil (dengan firman), "Janganlah kamu mengambil pelindung selain Aku[6],

[4] Allah Subhaanahu wa Ta'aala sering menyertakan kenabian Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dengan kenabian Musa ‘alaihis salam, demikian pula antara kitab dan syari’at keduanya. Hal itu, karena kitab keduanya adalah kitab yang paling utama, sedangkan syari’atnya adalah syari’at yang paling sempurna, dan kenabian keduanya adalah kenabian yang paling tinggi, dan para pengikutnya adalah mayoritas kaum mukmin. Demikian menurut Syaikh As Sa’diy rahimahullah.

[5] Di tengah gelapnya kebodohan.

[6] Yakni agar mereka hanya beribadah kepada Allah, kembali kepada-Nya, dan menjadikan-Nya sebagai al Wakil (Tuhan yang diserahi urusan) serta pengatur mereka baik dalam urusan agama maupun dunia, serta tidak bergantung kepada selain-Nya yang sesungguhnya tidak memiliki apa-apa dan tidak memberikan manfaat sedikit pun.

3. (Wahai) keturunan orang yang Kami bawa bersama Nuh[7]. Sesungguhnya dia (Nuh) adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur[8].”

[7] Dalam kapal.

[8] Lagi memuji-Nya dalam setiap keadaan. Di ayat ini, Allah Subhaanahu wa Ta'aala meninggikan namanya dan memujinya karena syukurnya kepada Allah Subhaanahu wa Ta'aala. Demikian pula mendorong keturunannya agar mengikutinya dengan bersyukur dan mengingat nikmat Allah, karena Dia telah menyelamatkan mereka, menjadikan mereka sebagai khalifah di bumi dan menenggelamkan yang lain.

4. [9]Dan Kami tetapkan terhadap Bani Israil dalam kitab itu, "Kamu pasti akan berbuat kerusakan di bumi[10] dua kali[11] dan pasti kamu akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar.”

[9] Ayat ini dan setelahnya merupakan peringatan dan ancaman agar mereka kembali kepada agama Allah.

[10] Yakni negeri Syam dengan melakukan berbagai kemaksiatan dan bersikap sombong.

[11] Yang pertama adalah membunuh Nabi Zakaria ‘alaihis salam, sedangkan yang kedua adalah membunuh Nabi Yahya ‘alaihis salam. Sebagai balasan terhadap kejahatan mereka membunuh nabi dan ulama, maka Allah mengirimkan Jalut dan tentara-tentaranya yang membunuh dan menawan Bani Israil serta merobohkan Baitulmaqdis. Sedangkan sebagai balasan terhadap kejahatan mereka; membunuh Nabi Yahya ‘alaihis salam adalah dengan Allah kirimkan kepada mereka raja Bukhtanashir, lalu ia membunuh ribuan orang Bani Israil dan menawan anak-anak mereka serta merobohkan Baitulmaqdis kembali. Hal ini menurut pendapat sebagian ulama.

5. Maka apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang pertama dari kedua (kejahatan) itu, Kami datangkan kepadamu hamba-hamba Kami yang perkasa[12], lalu mereka merajalela di kampung-kampung[13]. Dan itulah ketetapan yang pasti terlaksana.

[12] Yakni pemberani, berjumlah banyak, dan peralatannya lengkap.

[13] Mencari kamu untuk membunuh kamu dan menawan anak-anakmu serta merampas harta kekayaanmu. Para ulama berselisih tentang orang yang menguasai Bani Israil itu, hanyasaja mereka sepakat bahwa mereka yang mengiuasai itu adalah orang-orang kafir. Ada yang mengatakan, bahwa mereka itu adalah Jalut dan tentara-tentaranya, yang membunuh dan menawan Bani Israil serta merobohkan Baitulmaqdis. Allah Subhaanahu wa Ta'aala memberikan kekuasaan kepada musuh saat Bani Israil banyak yang melakukan maksiat, meninggalkan banyak syari’at yang dibebankan kepada mereka serta melampaui batas di muka bumi.

6. Kemudian Kami berikan kepadamu giliran untuk mengalahkan mereka[14], Kami membantumu dengan harta kekayaan dan anak-anak dan Kami jadikan kamu kelompok yang lebih besar[15].

[14] Yakni berhasil mengusir mereka dari tempat tinggalnya. Ada yang berpendapat, bahwa maksudnya adalah berhasil membunuh Jalut dan tentara-tentaranya setelah seratus tahun ditindas olehnya.

[15] Disebabkan perbuatan ihsanmu dan ketundukan serta kerendahan hatimu kepada Allah Subhaanahu wa Ta'aala.

7. Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri[16]. Dan jika kamu berbuat jahat, maka (kerugian kejahatan) itu untuk dirimu sendiri[17]. Apabila datang saat hukuman (kejahatan) yang kedua, (Kami bangkitkan musuhmu) untuk menyuramkan wajahmu[18] lalu mereka masuk ke dalam masjid (Masjidil Aqsa)[19], sebagaimana ketika mereka memasukinya pertama kali dan mereka membinasakan apa saja yang mereka kuasai[20].

[16] Karena manfaatnya kembali kepada kamu, bahkan ketika di dunia, saat kamu berbuat ihsan kamu dapat mengalahkan musuhmu.

[17] Sebagaimana Allah Subhaanahu wa Ta'aala telah memberikan kekuasaan kepada musuhmu terhadap kamu ketika kamu melakukan berbagai kemaksiatan.

[18] Yakni membuatmu sedih dengan kesedihan yang nampak di wajahmu karena adanya pembunuhan dan penawanan.

[19] Sebagaimana sebelumnya.

[20] Mereka membinasakan rumah-rumahmu, masjid-masjid, dan ladang tempat kamu bercocok tanam.

8. Mudah-mudahan Tuhan kamu melimpahkan rahmat kepada kamu[21]; tetapi jika kamu kembali (melakukan kejahatan), niscaya Kami kembali (mengazabmu)[22] dan Kami jadikan neraka Jahanam penjara bagi orang kafir[23].

[21] Setelah menimpakan hukuman yang kedua.

[22] Ternyata orang-orang Yahudi mengulangi lagi kejahatannya dengan mendustakan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dan mengkhianati perjanjian dengan Beliau, maka Allah berikan kepada Beliau kekuasaan terhadap mereka, sehingga kelompok dari mereka, yaitu Bani Quraizhah dibunuh, sekelompok lagi yaitu Bani Nadhir diusir sebagaimana kelompok sebelumnya, yaitu Bani Qainuqa’ juga diusir. Demikian juga Allah Subhaanahu wa Ta'aala mensyari’atkan kepada Beliau pemungutan pajak dari mereka jika mereka ingin aman di bawah perlindungan pemerintah Islam.

[23] Mereka dibakar di sana dan tidak dikeluarkan daripadanya. Syaikh As Sa’diy berkata, “Dalam beberapa ayat ini terdapat peringatan terhadap umat ini untuk tidak melakukan maksiat agar mereka tidak ditimpa musibah seperti yang menimpa Bani Israil. Hal itu, karena Sunnatullah itu satu, tidak berubah dan berganti. Orang yang menyaksikan kaum kafir dan zalim menguasai kaum muslimin akan mengetahui, bahwa hal itu disebabkan dosa-dosa mereka; sebagai hukuman bagi mereka, dan bahwa jika mereka menegakkan kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya, maka Allah akan menguatkan mereka di bumi dan menolong mereka terhadap musuh-musuh mereka.


Ayat 9-11: Keutamaan Al Qur’an, Al Qur’an petunjuk ke jalan yang benar, kabar gembira bagi yang mengikutinya dan ancaman bagi orang yang berpaling darinya dan menyelisihinya.

إِنَّ هذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا كَبِيرًا (٩) وَأَنَّ الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ بِالآخِرَةِ أَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا (١٠) وَيَدْعُ الإنْسَانُ بِالشَّرِّ دُعَاءَهُ بِالْخَيْرِ وَكَانَ الإنْسَانُ عَجُولا (١١

9. [24]Sungguh, Al Quran ini memberikan petunjuk ke (jalan) yang paling lurus[25] dan memberi kabar gembira kepada orang mukmin yang mengerjakan amal saleh[26] bahwa mereka akan mendapat pahala yang besar,

[24] Di ayat ini, Allah Subhaanahu wa Ta'aala menerangkan kemuliaan Al Qur’an dan keagungannya.

[25] Baik dalam ‘aqidah, amal maupun akhlak. Oleh karena itu, orang yang mengambil petunjuk darinya, maka ia akan menjadi orang yang sempurna, lurus dan mendapat petunjuk.

# Al-Qur’an merupakan petunjuk kepada jalan yang paling lurus

[26] Yaitu amalan yang wajib maupun yang sunat.

10. Dan bahwa orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, Kami sediakan bagi mereka azab yang pedih[27].

[27] Ayat ini menunjukkan, bahwa Al Qur’an berisikan kabar gembira dan peringatan, menerangkan sebab-sebab untuk memperoleh kabar gembira, yaitu iman dan amal saleh dan sebab yang yang menjadikan seseorang mendapat ancaman, yaitu kebalikannya.

11. Dan manusia (seringkali) berdoa untuk kejahatan[28] sebagaimana (biasanya) dia berdoa untuk kebaikan. Dan memang manusia bersifat tergesa-gesa[29].

[28] Bagi diri, keluarga, dan hartanya ketika marah. Hal ini karena kebodohan dan sikap tergesa-gesanya. Akan tetapi, Allah Subhaanahu wa Ta'aala karena kelembutan-Nya mengabulkan yang baiknya, tidak yang buruk, karena sebagaimana firman-Nya, “Dan kalau sekiranya Allah menyegerakan kejahatan bagi manusia seperti permintaan mereka untuk menyegerakan kebaikan, pastilah diakhiri umur mereka…dst.” (Terj. Yunus: 11)

[29] Dengan berdoa untuk keburukan diri dan keluarganya tanpa melihat akibatnya.

======================================

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا ۚ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hambaNya pada suatu malam dari al Masjidil Haram ke al Masjidil Aqshaa`yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda kebesaran Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. “[al Israa`/17:1]

KEUTAMAAN SURAT AL ISRAA`

Surat yang mulia ini adalah makkiyah[1].
Al Imam al Qurthubi rahimahullah berkata,”Surat ini adalah makkiyah, kecuali tiga ayat…,” kemudian beliau menyebutkan ke tiga ayat tersebut, yaitu ayat 60, 76, dan 80. Lihat Tafsir al Qurthubi (10/180).

Adapun al Imam Ibnul Jauzi rahimahullah, beliau berkata,”Surat ini adalah makkiyah menurut pendapat sebagian besar ulama. Namun sebagian mereka ada yang berkata, di dalam surat ini terdapat ayat-ayat madaniyah. Telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, surat ini makkiyah kecuali delapan ayat…,” kemudian beliau menyebutkan beberapa ayat tersebut, di antaranya ayat 60, 73, 74, 75, 76, 80, dan 107. Lihat Zaadul Masir (5/3). Lihat pula al Isti’ab fi Bayanil Asbab (2/436).

Berkaitan dengan keutamaan surat ini, terdapat hadits shahih yang menerangkannya. Dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ لاَ يَنَامُ عَلَى فِرَاشِهِ حَتَّى يَقْرَأَ (بَنِي إِسْرَائِيْلَ) وَ الزُّمَر.

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak tidur di atas ranjangnya sampai beliau membaca surat Bani Israil dan az Zumar”[2]

‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu juga pernah berkata tentang keutamaan surat Bani Israil, al Kahfi, Maryam, Thaha, dan al Anbiyaa`:

إِنَّهُنَّ مِنَ العِتَاقِ الأُوَلِ، وَهُنَّ مِنْ تِلاَدِيْ

“Sesungguhnya surat-surat itu termasuk yang pertama kali diturunkan di Mekkah, dan surat-surat itu termasuk yang sudah lama dan yang pertama kali aku pelajari”.[3]

PENJELASAN AYAT

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ لَيْلًا

Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hambaNya pada suatu malam.

Kata Subhana, mengawali ayat pertama dari surat al Israa`, yang maknanya menurut ulama, tujuannya sebagai tanzih (pensucian Allah dari segala kekurangan).[4]

Ayat ini, seperti diungkapkan oleh Imam Ibnu Jarir ath Thabari berfungsi : “Sebagai tanzihan (pensucian) bagi Dzat yang memperjalankan hambaNya di malam hari, dan untuk membersihkan dari ucapan-ucapan kaum musyrikin, bahwa Allah mempunyai sekutu dalam hal penciptaan, memiliki isteri dan anak. Penyebutan ini (pensucian) sebagai bentuk peninggian Allah dan pengagungan bagiNya dari penyematan yang mereka lakukan bagi Allah, serta yang mereka nisbatkan kepadaNya, yang muncul dari kebodohan dan kekeliruan dari perkataan mereka”[5]

Sementara itu, Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan : “Allah sedang memuliakan dan mengagungkan diriNya sendiri, karena kekuasaanNya untuk berbuat hal-hal yang tidak mampu dikerjakan oleh siapapun selainNya. Tidak ada Ilah dan tiada Rabb selainNya”[6]

Syaikh ‘Abdur Rahman as Sa’di berkata,”Allah memuliakan dan mengagungkan DzatNya yang suci. Sebab, Allah mempunyai perbuatan-perbuatan yang agung dan karunia-karunia yang besar, di antaranya memperjalankan hambaNya dan RasulNya (Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) dari Masjidil Haram, yang merupakan masjid paling mulia secara mutlak, menuju Masjidil Aqsha, yang termasuk masjid-masjid yang utama, tempat para nabi”[7]

Sedangkan Ibnul Jauzi rahimahullah, memaknai arti kata tasbih (subhana) dalam ayat ini, mengandung dua makna.

Pertama : Bangsa Arab, jika berhadapan dengan perkara yang mencengangkan, mereka mengucapkan tasbih saat itu juga. Seolah-olah, (di sini) Allah ingin menjadikan para hamba mengagumi kenikmatan yang dicurahkan Allah kepada RasulNya (berupa Isra` Mi’raj).

Kedua : Bentuk ini dipakai untuk membantah mereka (kaum Arab). Sebab, ketika Nabi menceritakan kisah Israa`nya, mereka mendustakannya. Sehingga makna ayat ini menjadi Maha Suci Allah, yang tak mungkin mengangkat seorang rasul yang berdusta.

Berdasarkan zhahir ayat ini, perjalanan tersebut terjadi pada awal malam, dengan jasad dan ruh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam[8]

Imam ath Thabari mengatakan : “Tidaklah benar jika seseorang berpendapat beliau menempuh perjalanan Israa` dengan ruhnya saja, tanpa disertai jasad. Sebab, jika demikian (hanya dengan ruh saja), maka (peristiwa itu) tidak menjadi petunjuk tentang kenabian beliau, dan tidak ada hujjah bagi risalah beliau. Sesungguhnya Allah mengabarkan dalam kitabnya, bahwa Dia memperjalankan hambaNya pada malam hari, bukan memperjalankan ruh hambaNya. Tidak boleh (bagi kita) melampaui batas yang telah difirmankan Allah, (mengalihkannya) kepada keterangan lain…dst.”[9]

Ibnu Abil ‘Izzi mengatakan : “Di antara bukti penguat bahwa peristiwa Israa` (dan Mi’raj) dengan jasad Nabi Muhammad, bahwa kata al ‘abdu (pada ayat), merupakan rangkaian jasad dan ruh, sebagaimana kata al insan (manusia) terdiri dari jasad dan ruh. Ini yang dipahami secara mutlak, dan merupakan pendapat yang shahih. Jadi, peristiwa Israa` terjadi dengan jasad dan ruh. Dan secara logika, tidak mustahil. Jika boleh disebut mustahil naiknya seorang manusia ke atas langit, konsekwensinya, turunnya malaikat juga demikian, boleh dianggap mustahil. Akibatnya pemahaman seperti ini dapat menyeret kepada kekufuran kepada nabi, yang merupakan bentuk kekufuran”.[10]

مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ

(dari al Masjidil Haram).

Masjidil Haram[11], yang terletak di Mekkah. Sebuah masjid yang sudah dikenal oleh orang-orang bila mereka mendengarnya, dan merupakan masjid paling utama, berdasarkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu , Nabi bersabda:

صَلَاةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ صَلَاةٍ أَوْ كَأَلْفِ صَلَاةٍ فِيمَا سِوَاهُ إِلَّا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ

“Shalat di masjidku ini seribu kali lebih utama dari shalat di tempat lainnya, kecuali Masjidil Haram”. [HR al Bukhari, 1/398 no. 1133; Muslim, 2/1012 no. 1394; dan lain-lain]

إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى

(ke al Masjidil Aqshaa`), yaitu Baitul Maqdis.[12]

Disebut sebagai al Aqshaa` (yang paling jauh), lantaran jauhnya jarak dengan Masjidil Haram. Merupakan masjid terjauh di bumi ini bagi penduduk Mekkah, yang diagungkan dengan mengunjunginya.[13]

Kalau ada yang melontarkan pertanyaan, apakah hikmah perjalanan malam (Israa`) ke Baitul Maqdis terlebih dahulu?[14]

Maka jawabannya, -wallahu a’lam– ini sebagai bukti untuk membenarkan pengakuan Nabi tentang mi’raj. Yakni ketika kaum Quraisy menanyakan ciri-ciri Baitul Maqdis kepada beliau. Ditambah lagi, untuk memberitahukan kepada mereka tentang orang-orang yang beliau lewati dalam perjalanan. Apabila keberangkatan mi’raj beliau (langsung) dari Mekkah, maka penjelasan itu tidak bisa beliau lakukan. Sebab, mereka tidak mungkin mengetahui hal-hal yang ada di langit, kalau beliau memberitahukannya kepada mereka. Sementara mereka pernah menyaksikan Baitul Maqdis, sehingga beliau pun mampu memberitahukan bentuknya.

الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ

(yang telah Kami berkahi sekelilingnya), artinya, yang telah Kami tetapkan berkah di sekelilingnya bagi penduduknya, dalam hal mata pencahariannya, makanan pokoknya, hasil pertanian dan tanaman-tanamannya[15]. Juga dengan banyaknya tanaman, sungai dan kesuburan yang tiada putus.[16]

لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا

(agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda kebesaran Kami).

Imam al Qurthubi memberikan penjelasan, bahwa ini merupakan tanda-tanda (kekuasaan) yang Allah perlihatkan, berupa kejadian-kejadian menakjubkan, yang Rasulullah beritakan kepada orang-orang, mengenai perjalanan Isra`nya dari Mekah menuju Masjidil Aqshaa` dalam satu malam. Yang semestinya biasa ditempuh dalam satu bulan perjalanan. Termasuk juga proses Mi’raj yang beliau alami disertai kemampuan menjelaskan keadaan para nabi satu-persatu, seperti terdapat dalam riwayat Shahih Muslim dan kitab lainnya”.[17]

Adapun menurut penjelasan Imam ath Thabari: “(Kejadian-kejadian ini merupakan) pelajaran, dalil dan hujjah-hujjah Kami. Yaitu seperti tercantum dalam riwayat-riwayat yang beliau saksikan di tengah perjalanan menuju Baitul Maqdis, dan (juga) setelah pulang dari sana”.[18]

إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

(Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat).

Penutup pada ayat ini, menetapkan dua nama Allah, yang berkorelasi dengan fakta-fakta di tengah masyarakat Quraisy dalam menyikapi kisah Israa’ dan Mi’raj, yang terbelah menjadi dua, yaitu yang membenarkan, dan yang mendustakan.

Imam ath Thabari berkata,”Sesungguhnya Dzat yang memperjalankan hambaNya pada malam hari, Dia Maha Mendengar ucapan kaum musyrikin. (Dia) Maha Mengetahui segala tindak-tanduk yang mereka kerjakan. Tidak ada sedikit pun yang tersembunyi. Juga tidak ada sesuatu pun yang luput dariNya. Allah meliputi segalanya dengan ilmuNya”[19]. Ibnu Katsir menambahkan, makna untuk penggalan terakhir ayat ini dengan : “Sehingga nantinya, akan mendapatkan balasan sesuai dengan amalannya di dunia dan akhirat”.[20]

KEBERKAHAN-KEBERKAHAN SYAM, PALESTINA DAN SEKITARNYA[21]
Al barakah, berarti utuhnya kebaikan dalam sesuatu obyek, disertai mengalami pertambahan. Keberkahan, hanya diketahui muncul dari Dzat yang memiliki dan mampu menampakkannya. Dia-lah Allah, Dzat yang menurunkan barakah dan menetapkannya.[22]

Allah telah menetapkan keberkahan bagi wilayah Syam. Dalil tentang penyebutan wilayah Syam sebagai bumi yang berkah banyak disebutkan dalam al Qur`an maupun as Sunnah. Wilayah ini, sebagaimana pemetaan pada masa lampau, meliputi Libanon, Syiria, Yordania dan Palestina.

Dahulu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjadikan keberkahan Syam yang disebutkan oleh dalil-dalil, sebagai sarana untuk mendorong kaum Muslimin agar tetap menghuni Damaskus, tidak lari ke Mesir. Yaitu dengan melawan bangsa Tatar yang berusaha masuk untuk menaklukan Damaskus.

KEBERKAHAN SYAM DALAM AL QUR`AN
Selain ayat pertama surat al Israa` di atas, tidak kurang lima ayat yang menetapkan keberkahan bagi Syam. Di antaranya:

وَنَجَّيْنَاهُ وَلُوطًا إِلَى الْأَرْضِ الَّتِي بَارَكْنَا فِيهَا لِلْعَالَمِينَ

“Dan Kami selamatkan Ibrahim dan Luth ke sebuah negeri yang Kami telah memberkahinya untuk sekalian manusia”. [al Anbiyaa`/21:71]

Ibnu Katsir berkata,”Allah memberitahukan tentang Ibrahim yang diselamatkan dari api buatan kaumnya, dan membebaskannya dari mereka dengan berhijrah ke Negeri Syam – tanah suci”.

Allah Azza wa Jalla berfirman :

وَلِسُلَيْمَانَ الرِّيحَ عَاصِفَةً تَجْرِي بِأَمْرِهِ إِلَى الْأَرْضِ الَّتِي بَارَكْنَا فِيهَا ۚ وَكُنَّا بِكُلِّ شَيْءٍ عَالِمِينَ

“Dan (telah Kami tundukkan) untuk Sulaiman angin yang sangat kencang tiupannya yang berhembus dengan perintahnya ke negeri yang Kami telah memberkatinya. Dan adalah Kami Maha Mengetahui segala sesuatu”. [al Anbiyaa`/21:81].

وَجَعَلْنَا بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ الْقُرَى الَّتِي بَارَكْنَا فِيهَا قُرًى ظَاهِرَةً وَقَدَّرْنَا فِيهَا السَّيْرَ ۖ سِيرُوا فِيهَا لَيَالِيَ وَأَيَّامًا آمِنِينَ

“Dan kami jadikan antara mereka dan antara negeri-negeri yang Kami limpahkan berkat kepadanya, beberapa negeri yang berdekatan dan Kami tetapkan antara negeri-negeri itu (jarak-jarak) perjalanan. Berjalanlah kamu di kota-kota itu pada malam dan siang hari dengan aman”. [Sabaa`/34:18].

Pada penjelasan ayat telah disinggung secara sepintas tentang keberkahan tersebut. Dan lebih lanjut, di antara keberkahan Syam juga disebutkan dalam as Sunnah.

1. Syam Merupakan Tempat Para Nabi.
Syam menjadi tempat tinggal banyak nabi. Dari Nabi Ibrahim, yang hijrah ke Syam, Nabi Luth, Nabi Ya’qub, Nabi Musa, Nabi Isa, dan lainnya. Dan akhirnya, Allah menjadikannya sebagai milik umat Muhammad setelah bangsa Yahudi menempuh jalan kesesatan.

2. Perintah Nabi Untuk Bermukim Di Syam.
Imam al Mundziri di dalam at Targhib wat Tarhib menuliskan, bab anjuran untuk bermukim di Syam, dan tentang keutamaan Syam.[23]

Dari Watsilah bin al Asqaa`, berkata: Aku mendengar Rasulullah berkata kepada Hudzaifah bin al Yaman dan Mu’adz bin Jabal yang sedang meminta pendapat beliau tentang tempat tinggal. Maka, beliau mengisyaratkan ke arah Syam. Mereka berdua kembali bertanya kepada beliau. (Dan) beliau mengisyaratkan ke arah Syam. Beliau bersabda:

عَلَيْكُمْ بِالشَّامِ فَإنَّهَا صَفْوَةُ بِلَادِ اللهِ يَسْكُنُهَا خِيرَتُهُ مِنْ خَلْقِهِ..

“Beradalah kalian di Syam. Sesungguhnya ia merupakan negeri pilihan Allah, dihuni oleh makhluk pilihanNya”[24]

Para ulama juga telah terbiasa merekomendasi untuk bermukim di Syam, sesuai petunjuk Rasulullah. Ketika ‘Atha al Khurasani berniat pindah tempat tinggal, ia meminta pendapat para ulama yang ada di Mekkah, Madinah, Kufah dan Bashrah serta Khurasan.

‘Atha al Khurasani berkata kepada para ulama tersebut : “Menurut pendapatmu, kemana saya mesti pindah dengan keluarga?”

Masing-masing menjawab: “Berangkatlah ke Syam”.

3. Malaikat Membentangkan Sayap Bagi Penduduk Syam.
Dari Zaid bin Tsabit, ia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

طُوبَى لِلشَّامِ فَقُلْنَا لِأَيٍّ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لِأَنَّ مَلَائِكَةَ الرَّحْمَنِ بَاسِطَةٌ أَجْنِحَتَهَا عَلَيْهَا

“Keberuntungan bagi penduduk Syam,” maka kami bertanya : “Karena apa, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab,”Karena para malaikat membentangkan sayap-sayapnya kepada mereka (penduduk Syam)”.[25]

4. Tempat Keberadaan Thaifah Manshurah.

لَا يَزَالُ أَهْلُ الْغَرْبِ ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ

“Penduduk Gharb (yang berada di arah Barat) akan senantiasa menegakkan kebenaran sampai Kiamat datang”. [HR Muslim 13/68, Nawawi].

Imam Ahmad berkata,”Ahli Gharb adalah penduduk Syam.” Dan jawaban ini disepakati oleh Ibnu Taimiyah dalam Manaqibisy-Syam wa Ahlihi, halaman 76-77.

5. ‘Asqalan, Merupakan Tempat Penjagaan Penting.
Ath Thabrani meriwayatkan dalam al Mu’jamul Kabir, dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

أَوَّلُ هَذَا الْاَمْرِ نُبُوَّةٌ وَ رَحْمَةٌ ثُمَّ يَكُوْنُ خِلَافَةٌ ثُمَّ يَكُوْنُ مُلْكاً وَرَحْمَةٌ ثُمَّ يَتَكَادَمُونَ عَلَيْهِ َتكَادُمُ الْحُمُرِ. فَعَلَيْكُمْ بِالْجِهَادِ, وَإِنَّ أَفْضَلَ جِهَادِكُمْ الرِّبَاطُ, وَإِنَّ أَفْضَلَ رِِبَاطكُمْ عَسْقَلَانُ

“Permulaan dari perkara ini (Islam) adalah kenabian dan rahmat. Berikutnya tegaknya khilafah dan rahmat. Selanjutnya muncul kerajaan dan rahmat. Kemudian, orang-orang memperebutkannya, seperti kuda-kuda yang berebut. Maka, kewajiban kalian untuk berjihad. Sesungguhnya sebaik-baik jihad adalah ribath. Sebaik-baik tempat ribath adalah Asqalan”. [Ash Shahihah, 3270].

‘Asqalan telah dikenal sejak dahulu. Menempati tempat strategis di bibir pantai, ramai dengan perdagangan. Palestina tidak pernah ditaklukkan, kecuali diawali dengan penaklukkan ‘Asqalan.

6. Cahaya Iman Memancar Dari Syam Saat Fitnah Berkecamuk.
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, ia berkata : Rasulullah bersabda :

إِنِّيْ رَأَيْتُ كَأَنَّ عَمُوْدَ الْكِتَابِ انْتُزِعَ مِنْ تَحْتِ وِسَادَتِيْ, فَأَتْبَعْتُهُ بَصَرِيْ. فَإِذَاهُوَ نُورٌ سَاطِعٌ عُمِدَ إلَى الشَّامِ ألَا وَإنَّ الْإيْمَانَ إذَا وَقَعَتْ الْفِتَنُ بِالشَّامِ

“Sesungguhnya saya melihat seakan-akan tonggak al Kitab telah tercabut dari bawah bantalku. Maka, aku mengikutinya dengan pandanganku. Tiba-tiba terdapat cahaya terang-benderang yang mengarah menuju Syam. Ketahuilah, sesungguhnya iman, apabila telah terjadi beragam fitnah, berada di Syam”. [Shahihut-Targhib wat-Tarhib, no. 3092].

Al ‘Izz bin Abdis Salam rahimahullah berkata,”Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan, bahwa tiang Islam, yaitu iman, pada saat terjadinya fitnah-fitnah, berada di Syam. Artinya, apabila fitnah-fitnah yang muncul telah mengancam agama Islam, maka penduduk Syam berlepas diri darinya. Mereka tetap istiqamah di atas iman. Jika muncul (fitnah yang) tidak mengancam agama, maka penduduk Syam mengamalkan konsekwensi iman. Apakah ada sanjungan yang lebih sempurna dari itu?”

Demikianlah, keberkahan tanah Palestina dan sekitarnya. Oleh karena itu Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali menjelaskan, bahwa kewajiban (kepada penduduk) Syam yang telah Allah berikan karunia dengan keutamaan-keutamaan ini, untuk melenyapkan noda-noda, kotoran-kotoran dan kekeruhannya. Sebagai upaya persiapan menyambut cahaya Islam (yang termuat dalam hadits-hadits) yang akan menguasai tanahnya. Meskipun orang-orang jahat membencinya.[26]

Salman al Farisi Radhiyallahu ‘anhu berkata :

إِنَّ الْأَرْضَ لَا تُقَدِّسُ أَحَدًا وَإِنَّمَا يُقَدِّسُ الْإِنْسَانَ عَمَلُهُ

“Sesungguhnya tanah suci tidak mensucikan siapapun. Yang mensucikan manusia adalah amalannya”. [Riwayat Imam Malik, 2/796].

Washalallahu ‘ala nabiyina Muhammad wa ‘ala alihi wa ash-habihi ajma’in.

Maraji :
1. Zadul Masir fi ‘Ilmit-Tafsir, Ibnul Jauzi, Maktabatul Islami, Cetakan III, Th. 1404H-1984M.
2. Al Jami’ li Ahkamil Qur`an, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al Qurthubi. Tahqiq Abdur Razzaq al Mahdi, Maktabah Rusyd, Cet. II, Th. 1420H-1999M.
3. Majalah Manarusy-Syam, Edisi 1, Jumadal Ula 1425H dan Terbitan Markaz al Imam al Albani Lid-Dirasatil Manhajiyyah wal Abhats al ‘Ilmiyyah.
4. Majalah al Ashalah, Edisi 30 Th. V, 15 Syawal 1421H, Markaz al Imam al Albani Lid Dirasatil Manhajiyyah wal Abhats al ‘Ilmiyyah.
5. Silsilatul Ahaditsish-Shahihah, Muhammad Nashiruddin al Albani Maktabah Ma’arif, Cet. Th. 1415H-1995M.
6. Jami’ul Bayan ‘an Ta`wil Ayil-Qur`an, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath Thabari, Darul Ihyaut Turatsil ‘Arabi. Cet. I, Th. 1421H-2001M.
7. Shahihut-Targhib wat-Tarhib, Muhammad Nashiruddin al Albani Maktabah Ma’arif Cet. I Th. 1421H-2000M
8. Taisirul Karimir Rahman Fi Tafsiri Kalamil Mannan Abdur Rahman bin Nashir as Sa’id. Tahqiq Abdur Rahman bin Mu’alla al Luwaihiq Muassasah Risalah Cet. I, Th. 1423H-2202M
9. Al Irsyad ila Tash-hihil I’tiqad, Dr. Shalih bin Fauzan al Fauzan Maktabah al Ilm Jedah. Cet. I, Th. 1414H.
10. Tafsirul Qur`anil ‘Azhim, Abul Fida Ibnu Katsir ad Dimasyqi, Darul Kutubil ‘Ilmiyah Cet. II, Th. 1422H-2001M.
11. Syarhul ‘Aiqdatith-Thahawiyah, Ibnu Abil ‘Izzi, takhrij Muhammad Nashiruddin al Albani, Maktabul Islami, Cet. VIII, Th. 1404H-1984M.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07-08/Tahun X/1427H/2006M.]
______
Footnote

[1] Lihat Tafsir ath Thabari (15/5), Tafsir al Qurthubi (10/180), Zaadul Masir (5/3), Tafsir al Qur’anul ‘Azhim (5/5), ad Durr al Mantsur (5/181), dan Taisir al Karimir Rahman (1/1153).

[2] HR at Tirmidzi (5/181 no. 2920), Ibnu Khuzaimah di dalam shahihnya (2/191 no. 1163), dan lain-lain. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al Albani t di Shahih at Tirmidzi dan Shahihul Jami’ (4874).

[3] HR al Bukhari (4/1741, 1765, dan 1910, no. 4431, 4462, dan 4708) dan lain-lain. Lihat pula keterangan makna lafazh (العِتَاقِ الأُوَلِ) dan (تِلاَدِيْ) dalam an Nihayah Fi Gharib al Hadits wa al Atsar (1/193) dan (2/158).

[4] Jami’ul Bayan, 15/5; al Jami’ li Ahkamil Qur`an, 10/180.

[5] Jami’ul Bayan , 15/5.

[6] Tafsirul Qaur`anil ‘Azhim, 3/1

[7]Taisirul Karimir Rahman, halaman 453.

[8] Taisirul Karimir Rahman, halaman 453

[9] Jami’ul Bayan , 15/21

[10] Syarhul ‘Aqidatith-Thahawiyah, halaman 226

[11] Terdapat perselisihan di kalangan ulama. Sebagian ulama memandang yang dimaksud adalah Masjidil Haram itu sendiri. Pendapat kedua, pendapat sebagian besar ulama tafsir, beliau berangkat dari rumah Ummu Hani`Isra. Atas dasar pendapat ini, yang dimaksud dengan al Masjidil Haram adalah kota al Haram (kota suci Mekah). Zadul Masir (9 : 4-5). Silahkah lihat keterangan Syaikh as Sa’di dalam tafsirnya hlm. 453.

[12] Silahkan lihat Jami’ul Bayan, 15/9; Zadul Masir, 5/5; Tafsirul Qur`anil ‘Azhim, 3/3.

[13] Jami’ul Bayan, 15/9; al Jami’ li Ahkamil Qur`an, 9/187.

[14] Syarhul ‘Aqidatith-Thahawiyah, halaman 226

[15] Jami’ul Bayan, 15/22.

[16] Silahkan lihat Taisirul Karimir Rahman, 453.

[17] Al Jami’u li Ahkamil Qur`an, 10/188

[18] Jami’ul Bayan, 15/22. Imam Ibnu Katsir secara panjang lebar membawakan riwayat-riwayat tersebut dalam kitab tafsirnya. Pembahasan tentang Isra` Mi’raj pernah kami kupas pada Majalah as Sunnah, Edisi 06/Th VI/1423H- 2002M

[19] Jami’ul Bayan, 15/22

[20] Tafsirul Qur`anil ‘Azhim, 3/3.

[21] Diadaptasi dari Majalah Manarusy-Syam, Edisi 1, Jumadal Ula 1425H dan al Ashalah, Edisi 30 Th. V, 15 Syawal 1421 H

[22] Al Irsyad ila Tash-hihil I’tiqad, halaman 256

[23] Shahihut-Targhib wat-Tarhib, karya al Albani, halaman 3/192 –196.

[24] Hadits shahih li ghairihi. Lihat Shahihut-Targhib wat-Tarhib, no. 3089.

[25] HR at Tirmidzi. Lihat Shahihut-Targhib wat-Tarhib, no 3095; ash-Shahihah, no. 503.

[26] Ath-Thaifah al Manshurah wal Biladil Muqaddasah, Majalah al Ashalah, Edisi 30, Th. V, halaman 21

====================================================

اِنَّ هٰذَا الْقُرْاٰنَ يَهْدِيْ لِلَّتِيْ هِيَ اَقْوَمُ

Sesungguhnya Al-Qur`ân ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus ….[al-Isrâ`/17:9].

Dalam ayat mulia ini, Allah Jalla wa ‘Ala menyampaikan pujian terhadap kitab yang diturunkan kepada Rasul-Nya, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yaitu Al-Qur`ân, sebagai kitab samawi paling agung dan paling luas cakupannya menyangkut semua jenis ilmu, kitab paling terakhir, bersumber dari Rabbul-‘Alamîn. Dengan dalil-dalil, hujjah-hujjah, aturan-aturan, dan nasihat-nasihat yang dikandungannya, Al-Qur`ân ini menjadi faktor banyaknya manusia yang memperoleh hidayah, dan ia mengantarkan kepada jalan yang lebih lurus dan lebih terang. Maksudnya, petunjuk Al-Qur`ân lebih lurus, adil, dan paling benar dalam persoalan aqidah (keyakinan), amalan-amalan dan akhlak.[1]

Ayat di atas merupakan salah satu dari ayat-ayat yang menyanjung keutamaan Al-Qur`ân, ketinggian derajatnya dan kemuliaannya di atas kitab-kitab sebelumnya. Di antara ayat-ayat pujian itu ialah sebagai berikut.

وَلَقَدْ جِئْنٰهُمْ بِكِتٰبٍ فَصَّلْنٰهُ عَلٰى عِلْمٍ هُدًى وَّرَحْمَةً لِّقَوْمٍ يُّؤْمِنُوْنَ 

Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan sebuah Kitab (Al-Qur`ân) kepada mereka yang Kami telah menjelaskannya atas dasar pengetahuan Kami; menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. [al-A’râf/7:52].

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتٰبَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَيْءٍ وَّهُدًى وَّرَحْمَةً وَّبُشْرٰى لِلْمُسْلِمِيْنَ 

Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (Al-Qur`ân) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang berserah diri. [an-Nahl/16:89].

Dalam dua ayat di atas, secara global Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan kandungan Al-Qur`ân, sebagai hidayah menuju jalan terbaik, yang paling adil dan benar. Seandainya kita berkeinginan menggali perincian hidayahnya secara sempurna, niscaya kita akan mengarungi seluruh kandungan Al-Qur`ân.[2] Seseorang yang memperoleh hidayah Al-Qur`ân, niscaya ia menjadi insan yang sempurna, paling lurus dan paling dipenuhi dengan petunjuk.[3]

Pemaparan berikut merupakan bukti kongkret mengenai petunjuk Al-Qur`ân yang mengalahkan seluruh hasil cipta dan pemikiran manusia dan peraturan perundang-undangan lainnya. Juga ketetapan-ketetapan Al-Qur`ân yang diingkari oleh kaum Mulhidûn, terutama yang mengundang timbulnya “reaksi negatif”, baik dari kalangan kaum muslimin sendiri yang lemah imannya, dan terlebih lagi kaum kuffar. Dengan itu, kaum kuffâr berupaya mencoreng citra Islam, baik secara langsung maupun menggunakan tangan-tangan kaum muslimin yang lemah iman. Pencitraan buruk tentang Islam ini, tidak lain karena kedangkalan pandangan mereka terhadap syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang sarat dengan hikmah.

Berikut ini beberapa contoh petunjuk Al-Qur`ân yang lebih baik daripada lainnya.[4]

1. Hukum Rajam 
Penetapan Hukum Rajam bagi pezina yang telah menikah, baik laki-aki maupun wanita dan penjatuhan hukum dera (cambuk) bagi yang masih lajang disertai dengan pengucilan selama satu tahun.

Orang-orang mulhid menilai hukum rajam sadis dan ganas, tidak mengandung hikmah dan tidak menghormati nilai-nilai kemanusiaan. Karenanya, tidak perlu diaplikasikan dalam peraturan yang mengikat manusia. Pandangan seperti ini, tidak lain muncul karena dangkalnya pengetahuan mereka untuk mengambil hikmah yang terkandung dalam hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala .

Sebagai sanggahan, bahwasanya ketetapan tersebut berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala Yang Maha Mengetahui kemaslahatan makhluk-Nya.[5] Dan sebetulnya, hikmah dari hukum rajam ini sangat mudah untuk dipahami. Yakni, ketika seseorang itu berzina, berarti ia melakukan pengkhianatan yang sangat nyata. Dengan perzinaan ini, ia telah melakukan perbuatan paling buruk yang dikenal oleh umat manusia. Secara fitrah, keburukan dalam perbuatan zina itu telah diakui oleh semua manusia yang masih lurus. Karena perzinaan itu telah menciderai kehormatan, mengotori kesucian keluarga dan merusak garis keturunan di masyarakat.

Adapun wanita yang senang melakukan zina dengan lelaki manapun, maka ia sama saja. Orang-orang seperti ini begitu kotor dan tidak pantas memperoleh hak hidup lagi. Keberadaannya menjadi duri bagi masyarakat. Oleh karenanya, al-Khâliq, Allah Subhanahu wa Ta’ala menghukumnya dengan hukum bunuh, supaya perbuatan buruk para pezina ini dapat dimatikan, dan menutup keinginan manusia agar tidak melakukan perbuatan yang sama.

Hikmah lainnya dari hukum rajam ini, ialah bermanfaat bagi para pelaku zina untuk membersihkannya dari perbuatan kotor yang pernah ia tempuh. Hukum bunuh dengan rajam atasnya sangat mengerikan, karena kejahatan yang dilakukan juga merupakan kejahatan yang tak terperikan, sehingga hukuman yang diterimanya pun harus setimpat. Sebagaimana hukuman zina bagi orang yang sudah pernah menikah, hukumannya sangat keras; karena untuk memenuhi kebutuhan “biologisnya”, sebenarnya ia bisa menikmatinya dengan istrinya. Akan tetapi justru sebaliknya, ia menyalurkannya di jalan yang salah dan berbahaya.

Ketetapan hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa bersendikan pada prinsip menyingkirkan bahaya dan mendatangkan kemaslahatan bagi umat mausia, serta menjunjung tinggi nilai-nilai luhur. Oleh karena itu, tidak diragukan lagi, tindak pengkhianatan yang sangat berat pantas dibalas dengan hukuman yang berat pula.

2. Hukum Qishah
Ketetapan hukum ini sangat bermanfaat untuk menjaga ketentraman masyarakat dari perbuatan saling bunuh. Seseorang yang sedang dilanda emosi atau dendam, dan muncul keingina dalam hatinya untuk membunuh orang lain, misalnya, maka ia akan teringat dengan hukum qishash. Sejurus kemudian ia akan berpikir panjang jika ingin melakukan pembunuhan. Dia akan mengurungkan niatnya, sehingga ia juga selamat dari hukum bunuh, setelah orang yang ia incar juga selamat dari tangannya.

Dengan hukum qishash ini, tingkat kejahatan pembunuhan juga dapat dihambat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَكُمْ فِى الْقِصَاصِ حَيٰوةٌ يّٰٓاُولِى الْاَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ 

Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai ulil albâb (orang-orang yang berakal), supaya kamu bertakwa. [al-Baqarah/2 :179].

Tidak perlu diragukan lagi, inilah aturan terbaik dan paling adil. Fakta membuktikan kecilnya angka pembunuhan di negeri-negeri yang menjalankan hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala . Karena hukum qishash menjadi kendali kuat bagi masyarakat yang ingin berbuat kriminal dan pembunuhan.

Berbeda dengan pandangan musuh-musuh Islam, mereka mengopinikan bahwasanya qishash berlawanan dengan semangat hikmah. Karena begitu mudah mengurangi jumlah anggota masyarakat dengan vonis mati bagi pelaku pembunuhan setelah kematian korban. Atau dengan dalih orang tersebut harus dihormati hak hidupnya. Karena itu sangat asasi. Sehingga pantasnya, para pelaku pembunuhan itu dihukum penjara saja.

Pendapat musuh-musuh Islam ini tentu tidak bernilai sama sekali, dan jauh dari hikmah. Karena hukuman penjara tidak mampu mencegah praktek pembunuhan. Jika hukuman tidak benar-benar membuat jera, maka akan meningkatkan keinginan melakukan pembunuhan berikutnya dari orang-orang yang tidak takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala .

Orang-orang yang melontarkan komentar di atas, pada hakikatnya merasa “mengetahui” kemaslahatan manusia dan mencoba melakukan penentangan terhadap hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala . Mereka hanya memandang hak hidup bagi si pembunuh, tetapi tidak peduli dengan nyawa korban yang melayang sia-sia, tanpa alasan yang sah. Pendapat itu, hakikatnya juga tidak menunjukkan sikap simpati kepada keluarga korban. Bahkan tidak memikirkan kemaslahatan umat manusia secara umum yang nyawanya terancam setiap saat, karena merasa tidak aman. Orang-orang yang berpaling dari hukum Allah ini dan merujuk kepada hukum produk manusia ini, tidak menyadari dampak buruk dari ketetapan tersebut. Karena memang mereka bukan “ulil albaab” yang mampu berpikir jernih dan melakukan pengamatan yang matang.[6]

3. Hukum Potong Tangan Bagi Pencuri
Termasuk petunjuk Al-Qur`ân yang lurus, yaitu hukum potong tangan bagi pencuri barang yang mencapai batas tertentu. Hal ini dinyatakan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوْٓا اَيْدِيَهُمَا جَزَاۤءًۢ بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ 

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan dari apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. [al-Mâidah/5:38].

Begitu pula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan untuk keluarganya: “Kalau Fathimah mencuri, niscaya akan aku potong tangannya”.

Jumhur ulama menyatakan, hukum potong tangan itu dilakukan dari persendian telapak tangan kanan, bukan sampai persendian siku. Jika melakukan pencurian untuk kedua kali, maka bagian kaki kiri yang dilenyapkan. Bila kembali mengulangi perbuatannya, tangan kirilah yang dipotong. Seandainya masih tetap melakukan pencurian lagi, maka kaki kirinya juga harus hilang.

Tangan pencuri pantas untuk dihilangkan, karena tangan tersebut keji dan telah berbuat khianat. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakannya supaya digunakan dalam hal-hal yang diperbolehkan dan diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala , melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya, dan mengambil peran dalam membangun masyarakatnya. Namun ia menggunakan tangannya untuk khianat dengan mengambil harta orang lain tanpa alasan yang dibenarkan. Kekuatan tangan dipergunakan untuk berbuat khianat. Mengambil harta milik orang dengan cara seperti ini merupakan perbuatan yang sangat buruk. Tangan yang kotor, berupaya menggoncangkan ketentraman masyarakat. Sebab, harta memiliki peran penting terjaganya stabilitas sosial. Maka al-Khaliq, yang menciptakan tangan tersebut, menghukumnya dengan memotong dan melenyapkannya. Layaknya, anggota tubuh yang telah rusak lagi membusuk yang akan menularkan penyakit pada sekujur tubuh bila tidak diamputasi, sehingga tangan itu harus dilenyapkan untuk mempertahankan tubuh itu dan membebaskannya dari ancaman penyakit.

Hukum potong tangan juga berguna untuk membersihkan pelaku pencurian dari dosa pencurian yang ia lakukan, sekaligus berfungsi sebagai pengendali yang tegas di tengah masyarakat.

4. Islam dan Kemajuan Teknologi
Bagi yang mencermati kandungan syariah Islam, ia akan mengetahui secara pasti bahwa kemajuan tidak bertentangan dengan komitmen (istiqomah) menetapi nilai-nilai agama. Sebaliknya, musuh-musuh Islam menghembuskan opini pada hati kaum muslimin yang lemah iman dan lemah akal, bahwa kemajuan negara (Islam) tidak mungkin diraih kecuali dengan melepaskan diri dari ikatan agama. Pernyataan demikian ini batil, sama sekali sangat tidak beralasan, karena justru Al-Qur`aan menyeru kemajuan pada seluruh aspek kehidupan, yang mempunyai nilai penting bagi dunia dan agama. Akan tetapi, modernisasi yang diserukan harus tetap berada dalam bingkai agama, ditempuh dengan etika-etika luhur dan petunjuk Ilahi. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَاَعِدُّوْا لَهُمْ مَّا اسْتَطَعْتُمْ مِّنْ قُوَّةٍ

Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi …. [al-Anfâl/8:60].

 وَلَقَدْ اٰتَيْنَا دَاوٗدَ مِنَّا فَضْلًاۗ يٰجِبَالُ اَوِّبِيْ مَعَهٗ وَالطَّيْرَ ۚوَاَلَنَّا لَهُ الْحَدِيْدَۙ – اَنِ اعْمَلْ سٰبِغٰتٍ وَّقَدِّرْ فِى السَّرْدِ وَاعْمَلُوْا صَالِحًاۗ اِنِّيْ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ 

Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Dawud kurnia dari Kami. (Kami berfirman): “Hai gunung-gunung dan burung-burung, bertasbihlah berulang-ulang bersama Dawud,” dan Kami telah melunakkan besi untuknya, (yaitu) buatlah baju besi yang besar-besar dan ukurlah anyamannya; dan kerjakanlah amalan yang shalih. Sesungguhnya Aku melihat apa yang kamu kerjakan. [Saba`/34:10-11].

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : {(yaitu) buatlah baju besi yang besar-besar dan ukurlah anyamannya}, menunjukkan persiapan dalam menghadapi musuh. Sedangkan firman-Nya: {dan kerjakanlah amalan yang shalih}, berisi petunjuk bahwa persiapan untuk menghadapi musuh dikerjakan dalam bingkai agama yang haniif. Dan Nabi Dawud q termasuk nabi yang termaktub dalam surat al-An’aam:

وَمِنْ ذُرِّيَّتِهٖ دَاوٗدَ وَسُلَيْمٰنَ وَاَيُّوْبَ وَيُوْسُفَ وَمُوْسٰى وَهٰرُوْنَ ۗوَكَذٰلِكَ نَجْزِى الْمُحْسِنِيْنَۙ 

… dan kepada sebagian dari keturunannya (Nuh) yaitu Dawud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa, dan Harun. Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. [al-An’âm/6:84].

Usai menyebut beberapa nabi (termasuk Nabi Dawud), Allah Subhanahu wa Ta’ala mengarahkan pembicaraan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ هَدَى اللّٰهُ فَبِهُدٰىهُمُ اقْتَدِهْۗ

Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka …. [al-An’âm/6:90].

Ini menjadi petunjuk, bahwa kita juga menjadi bagian dari perintah yang ditujukan kepada Nabi Dawud Alaihissallam tersebut. Dalam melawan musuh, kita wajib menyusun persiapan disertai dengan komitmen tetap berpegang teguh dengan ajaran agama. Perhatikan firman Allah dalam surat al-Anfâl/8 ayat 60, ini merupakan perintah yang pasti untuk mempersiapkan segala kemampuan, andai pun kekuatan telah mengalami kemajuan pesat. Ini merupakan perintah yang tegas untuk mengondisikan diri dengan kemajuan dalam perkara-perkara duniawi, tidak jumud, dan selalu melakukan inovasi. Akan tetapi, meskipun demikian pemanfaatan hasil kemajuan itu harus diiringi dengan komitmen tetap berpegang teguh dengan nilai-nilai agama Islam.

Orang-orang kafir meniupkan syubhat, antara kemajuan dengan komitmen beragama, budi luhur dan akhlak mulia sangat jauh berseberangan. Kata mereka, perbedaan ini ibarat dua obyek yang saling berlawanan. Seperti perbedaan antara ada dan tiada, antara putih dan hitam, antara gerakan dan diam. Jadi, antara kemajuan negara dan komitmen beragama tidak bisa berjalan bersama dan mustahil.

Yang benar, kemajuan merupakan konsekuensi logis dari sikap komitmen yang shahîh kepada agama. Maka hendaklah diwaspadai, lontaran kaum kuffâr yang keliru tersebut memiliki tujuan terselubung, yaitu supaya mudah memperdaya kaum muslimin yang lemah iman. Pada gilirannya nanti untuk memudahkan jalan mereka menguasai kaum muslimin.

Seandainya seluruh kaum muslimin mengenal dan mengikuti ajaran agama dengan baik, niscaya akan bersikap tegas kepada kaum kuffaar sebagaimana generasi Salaf bersikap pada nenek moyang kaum kuffaar. Sebab, ajaran agama tidak berubah. Akan tetapi, orang-orang yang telah terpedaya oleh propaganda Barat, merasa aneh dengan ajaran Islam. Dan ini membuat pandangan mereka kepada Islam buruk. Maka, Allah menjadikan mereka sebagai budak orang-orang kafir yang jahat. Seandainya mereka mau kembali memegangi agama Islam, niscaya kemuliaan, hegemoni, dan kekuasaan akan kembali berada di genggaman kaum muslimin. Sehingga kaum muslimin pun akan berperan sebagai pemimpin dunia. Allah berfirman :

ذٰلِكَ ۛ وَلَوْ يَشَاۤءُ اللّٰهُ لَانْتَصَرَ مِنْهُمْ وَلٰكِنْ لِّيَبْلُوَا۟ بَعْضَكُمْ بِبَعْضٍۗ

Demikianlah, apabila Allah menghendaki niscaya Allah akan membinasakan mereka tetapi Allah hendak menguji sebagian kamu dengan sebagian yang lain. [Muhammad/47:4].

Ya Allah, sesungguhnya Kami memohon kepada-Mu iman yang tidak lepa, nikmat yang tidak habis, dan menyertai Muhammad di surga yang paling tinggi selama-lamanya.[7]

Pelajaran Dari Ayat

  1. Keutamaan Al- Qur`ân ul-Karim.
  2. Petunjuk Al- Qur`ân paling benar, adil dan lurus.
  3. Petunjuk Al- Qur`ân ul-Karim membentuk insan yang sempurna.
  4. Kerugian bagi manusia yang berpaling dari petunjuk Al- Qur`ân. Wallahu a’lam.

Marâji:

  1. Al-Qur`ân dan Terjemahannya, Cetakan Mujamma’ Malik Fahd Madinah.
  2. Adhwâ`ul-Bayân fi Îdhâhil-Qur`ân bil-Qur`ân, Muhammad al-Amîn asy-Syinqîthi, Maktabah Ibnu Taimiyyah, Mesir, 1415 H – 1995 M.
  3. Aisarut-Tafâsîr fi Kalâmil-‘Aliyyil-Kabîr, Abu Bakr Jâbir al-Jazâiri, Maktabah ‘Ulum wal- Hikam, Cet. VI, Th. 1423 H – 2003 M.
  4. Al-Jâmi li Ahkâmil-Qur`ân (Tafsir al-Qurthubi), Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshâri al-Qurthubi, Tahqiq: ‘Abdur-Razzâq al-Mahdi, Dârul-Kitâbil-‘Arabi, Cet. IV, Th. 1422 H – 2001M.
  5. Jâmi’ul-Bayân ‘an Ta`wil Ay Al-Qur`ân, Abu Ja’far Muhammad bin Jarîr ath-Thabari, Dar Ibnu Hazm, Cet. I, Th. 1423 H – 2002 M.
  6. Taisîrul-‘Allâm Syarhu ‘Umdatil-Ahkâ‘Abdullah bin ‘Abdir Rahmaan Alu Bassaam Maktabah Dârul Faihâ`, Damaskus, Cet. I, Th. 1414 H – 1994 M.
  7. Taisîrul-Karîmir-Rahmân fi Tafsîri Kalâmin Mannân, ‘Abdur-Rahmân bin Nashir as-Sa’di, Tahqîq: ‘Abdur-Rahmân al-Luwaihiq, Muassasah Risalah.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XI/1429H/2008M. Oleh Ustadz Abu Minhâl]

_______
Footnote
[1] Silahkan lihat Jâmi’ul-Bayân, 15/55. Al-Jâmi’u li Ahkamil-Qur`ân, 10/197. Tafsîrul-Qur`ânil- ‘Azhîm, 5/49. Adhwâ`u al-Bayân, 3/372. At-Taisîr, 483. Al-Aisar, 1/671.
[2] Adhwâ`u al-Bayân, 3/372.
[3] At-Taisîr, 483.
[4] Dikutip dari Adhwâ`u al-Bayân.
[5] Kaidah ini berlaku pada seluruh hukum dan ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala .
[6] Taisîrul ‘Allâm, 2/398.
[7] Shahîh Mawâridu azh-Zham`ân, no. 2065.

Related Posts:

0 Response to "Tafsir Al Isra Ayat 1-11"

Post a Comment