حَتَّى إِذَا فُتِحَتْ يَأْجُوجُ وَمَأْجُوجُ وَهُمْ مِنْ كُلِّ حَدَبٍ يَنْسِلُونَ (٩٦) وَاقْتَرَبَ الْوَعْدُ الْحَقُّ فَإِذَا هِيَ شَاخِصَةٌ أَبْصَارُ الَّذِينَ كَفَرُوا يَا وَيْلَنَا قَدْ كُنَّا فِي غَفْلَةٍ مِنْ هَذَا بَلْ كُنَّا ظَالِمِينَ (٩٧) إِنَّكُمْ وَمَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ حَصَبُ جَهَنَّمَ أَنْتُمْ لَهَا وَارِدُونَ (٩٨) لَوْ كَانَ هَؤُلاءِ آلِهَةً مَا وَرَدُوهَا وَكُلٌّ فِيهَا خَالِدُونَ (٩٩) لَهُمْ فِيهَا زَفِيرٌ وَهُمْ فِيهَا لا يَسْمَعُونَ (١٠٠)
Terjemah Surat Al Anbiya Ayat 96-100
96. [1]Hingga apabila (tembok) Ya'juj dan Ma'juj dibukakan dan mereka turun dengan cepat dari seluruh tempat yang tinggi.
97. Dan (apabila) janji yang benar telah dekat[2], maka tiba-tiba mata orang-orang yang kafir terbelalak[3]. (Mereka berkata), "Alangkah celakanya kami! Kami benar-benar lengah tentang ini[4], bahkan kami benar-benar orang yang zalim[5].”
98. [6]Sungguh, kamu (orang kafir) dan apa yang kamu sembah selain Allah[7], adalah bahan bakar Jahannam. Kamu (pasti) masuk ke dalamnya.
99. Seandainya (berhala-berhala) itu tuhan[8], tentu mereka tidak akan memasukinya (neraka)[9]. Tetapi semuanya akan kekal di dalamnya.
100. Mereka merintih dan menjerit di dalamnya (neraka)[10] dan mereka di dalamnya tidak dapat mendengar[11].
Ayat 101-103: Selamatnya kaum mukmin dari neraka dan keamanan mereka pada hari yang sangat dahsyat, yaitu hari Kiamat.
إِنَّ الَّذِينَ سَبَقَتْ لَهُمْ مِنَّا الْحُسْنَى أُولَئِكَ عَنْهَا مُبْعَدُونَ (١٠١) لا يَسْمَعُونَ حَسِيسَهَا وَهُمْ فِي مَا اشْتَهَتْ أَنْفُسُهُمْ خَالِدُونَ (١٠٢) لا يَحْزُنُهُمُ الْفَزَعُ الأكْبَرُ وَتَتَلَقَّاهُمُ الْمَلائِكَةُ هَذَا يَوْمُكُمُ الَّذِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ (١٠٣
Terjemah Surat Al Anbiya Ayat 101-103
101. Sungguh, sejak dahulu bagi orang-orang yang telah ada (ketetapan) yang baik dari Kami[12], mereka itu akan dijauhkan (dari neraka).
102. Mereka tidak mendengar bunyi desis (api neraka)[13], dan mereka kekal dalam menikmati semua yang mereka inginkan[14].
103. Kejutan yang dahsyat tidak membuat mereka merasa sedih[15], dan para malaikat akan menyambut mereka[16] (dengan ucapan), "Inilah harimu yang telah dijanjikan kepadamu[17].”
Ayat 104-106: Di antara bukti kekuasaan Allah Subhaanahu wa Ta'aala dan karunia-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang saleh.
يَوْمَ نَطْوِي السَّمَاءَ كَطَيِّ السِّجِلِّ لِلْكُتُبِ كَمَا بَدَأْنَا أَوَّلَ خَلْقٍ نُعِيدُهُ وَعْدًا عَلَيْنَا إِنَّا كُنَّا فَاعِلِينَ (١٠٤) وَلَقَدْ كَتَبْنَا فِي الزَّبُورِ مِنْ بَعْدِ الذِّكْرِ أَنَّ الأرْضَ يَرِثُهَا عِبَادِيَ الصَّالِحُونَ (١٠٥) إِنَّ فِي هَذَا لَبَلاغًا لِقَوْمٍ عَابِدِينَ (١٠٦
104. [18](Ingatlah) pada hari langit Kami gulung seperti menggulung lembaran-lembaran kertas. Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama[19], begitulah Kami akan mengulanginya lagi[20]. Suatu janji yang pasti Kami tepati; Sungguh, kami akan melaksanakannya[21].
105. Dan sungguh, telah Kami tulis di dalam Zabur[22] setelah (tertulis) di dalam adz dzikr (Lauh Mahfuzh), bahwa bumi ini[23] akan diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang saleh[24].
106. Sungguh, (apa yang disebutkan) di dalam (Al Qur’an) ini, benar-benar menjadi petunjuk (yang lengkap) bagi orang-orang yang menyembah (Allah)[25].
Ayat 107-112: Risalah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan rahmat bagi alam semesta, di sana diserukan satu kesatuan yang menyingkirkan berbagai perbedaan, yaitu risalah tauhid.
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ (١٠٧) قُلْ إِنَّمَا يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَهَلْ أَنْتُمْ مُسْلِمُونَ (١٠٨) فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُلْ آذَنْتُكُمْ عَلَى سَوَاءٍ وَإِنْ أَدْرِي أَقَرِيبٌ أَمْ بَعِيدٌ مَا تُوعَدُونَ (١٠٩) إِنَّهُ يَعْلَمُ الْجَهْرَ مِنَ الْقَوْلِ وَيَعْلَمُ مَا تَكْتُمُونَ (١١٠) وَإِنْ أَدْرِي لَعَلَّهُ فِتْنَةٌ لَكُمْ وَمَتَاعٌ إِلَى حِينٍ (١١١) قَالَ رَبِّ احْكُمْ بِالْحَقِّ وَرَبُّنَا الرَّحْمَنُ الْمُسْتَعَانُ عَلَى مَا تَصِفُونَ (١١٢
Terjemah Surat Al Anbiya Ayat 107-112
107. [26]Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.
108. Katakanlah (Muhammad), "Sungguh, apa yang diwahyukan kepadaku ialah bahwa Tuhanmu adalah Tuhan Yang Esa, maka apakah kamu telah berserah diri (kepada-Nya) [27]?”
109. Jika mereka berpaling[28], maka katakanlah (Muhammad), "Aku telah menyampaikan kepadamu (azab) yang kita ketahui bersama[29], dan aku tidak tahu apakah yang diancamkan kepadamu[30] itu sudah dekat atau masih jauh[31]."
110. Sungguh, Dia (Allah) mengetahui perkataan (yang kamu ucapkan) dengan terang-terangan[32], dan mengetahui pula apa yang kamu rahasiakan.
111. Dan aku tidak tahu, boleh jadi hal itu[33] cobaan bagi kamu[34] dan kesenangan sampai waktu yang ditentukan.
112. Dia (Muhammad) berkata, "Ya Tuhanku, berilah keputusan dengan adil[35]. Dan Tuhan kami Maha Pengasih tempat memohon segala pertolongan[36] atas semua yang kamu katakan[37].”
PENJELASAN AYAT
[1] Ayat ini merupakan tahdzir (peringatan) dari Allah kepada manusia agar mereka berhenti dari kekafiran dan kemaksiatan, dan bahwa sesungguhnya telah dekat waktu keluarnya Ya’juj dan Ma’juj; kedua kabilah besar dari keturunan Adam yang telah dibuat dinding besar oleh Dzulqarnain ketika manusia pada waktu itu mengeluhkan kepadanya tentang pengrusakan mereka di muka bumi. Keluarnya Ya’juj dan Ma’juj merupakan tanda besar hari kiamat yang menunjukkan sudah sangat dekatnya hari kiamat. Mereka akan keluar dari tempat-tempat tinggi dengan bersegera dan mengadakan kerusakan di muka bumi, mengalahkan manusia dan tidak ada yang sanggup memerangi mereka. Oleh karena itulah Nabi Isa ‘alaihis salam beserta pengikutnya berlindung di balik gunung, hingga kemudian Beliau berdoa kepada Allah agar mereka dibinasakan.
[2] Yaitu hari kiamat.
[3] Karena dahsyatnya.
[4] Yakni tentang hari kiamat sehingga mereka tidak beramal saleh dan mengisi hidup mereka dengan bersenang-senang.
[5] Karena mendustakan para rasul. Ketika hari kiamat itulah, mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah dihadapkan ke neraka dan siap menjadi bahan bakarnya, nas’alullahas salaamah wal ‘aafiyah.
[6] Imam Thahawi meriwayatkan dalam Musykilul Atsar dengan sanadnya yang sampai kepada Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, ia berkata, “Ada ayat dalam kitabullah yang tidak ditanyakan kepadaku oleh orang-orang dan aku tidak mengetahui, apakah mereka sudah mengetahui maksudnya sehingga tidak bertanya.” Lalu dikatakan, “Ayat apa itu?” Ia menjawab, “Yaitu ketika turun ayat, “Sungguh, kamu (orang kafir) dan apa yang kamu sembah selain Allah, adalah bahan bakar Jahannam. Kamu (pasti) masuk ke dalamnya.” Ayat ini terasa berat bagi penduduk Mekah. Mereka berkata, “Muhammad telah mencaci-maki tuhan-tuhan kita.” Lalu Ibnuz Zab’ariy bangkit dan berkata, “Ada apa dengan kamu?” Mereka menjawab, “Muhammad telah mencaci-maki tuhan-tuhan kita.” Ibnuz Zab’ariy berkata, “Apa yang ia ucapkan.” Mereka menjawab, “Dia (Muhammad) berkata, ““Sungguh, kamu (orang kafir) dan apa yang kamu sembah selain Allah, adalah bahan bakar Jahannam. Kamu (pasti) masuk ke dalamnya.” Ia (Ibnuz Zab’ariy) berkata, “Panggillah dia kepadaku.” Maka dipanggilah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu Ibnuz Zab’ariy berkata, “Wahai Muhammad, apakah (ayat) ini ditujukan kepada tuhan-tuhan kami saja atau untuk semua yang disembah selain Allah?” Beliau menjawab, “Bahkan untuk semua yang disembah selain Allah ‘Azza wa Jalla.” Ibnuz Zab’ariy berkata, “Kami akan pertentangkan hal itu, demi Tuhan pemilik bangunan ini. Wahai Muhammad, bukankah engkau mengatakan bahwa Isa adalah hamba yang saleh dan ‘Uzair adalah hamba yang salih, demikian pula para malaikat adalah hamba yang saleh?”Beliau menjawab, “Ya.” Ibnuz Zab’ariy berkata, “(Bukankah) Orang-orang Nasrani menyembah Isa, orang-orang Yahudi menyembah ‘Uzair, dan Bani Mulaih ini menyembah malaikat?” Penduduk Mekah pun bersorak karenanya, maka turunlah ayat, “Sungguh, sejak dahulu bagi orang-orang yang telah ada (ketetapan) yang baik dari Kami, mereka itu akan dijauhkan (dari neraka.” (Terj. Al Anbiyaa’: 101) Demikian pula turun ayat, “Dan ketika putra Maryam (Isa) dijadikan perumpamaan tiba-tiba kaummu (Quraisy) bersorak karenanya.” (Terj. Az Zukhruf: 57). Hadits ini menurut Syaikh Muqbil adalah shahih lighairih.
[7] Sesembahan orang musyrik yang masuk ke dalam neraka adalah patung, berhala dan orang yang disembah sedang dirinya ridha. Adapun Nabi Isa ‘alaihis salam yang disembah orang-orang Nasrani, ‘Uzair yang disembah orang-orang Yahudi dan para malaikat yang disembah oleh sebagian musyrikin, maka mereka tidak masuk neraka, karena mereka tidak ridha disembah dan mereka tergolong ke dalam ayat 101 di surah ini.
[8] Sebagaimana yang kamu sangka.
[9] Inilah hikmah mengapa sesembahan mereka dimasukkan pula ke dalam neraka, agar jelas bagi mereka bahwa semua itu tidak pantas disembah.
[10] Karena dahsyatnya azab. Ibnu Abi Hatim menyebutkan, bahwa Ibnu Mas’ud berkata, “Apabila sudah tinggal orang-orang yang kekal di neraka, maka mereka ditaruh ke dalam peti-peti dari api, di dalamnya ada paku-paku dari api, sehingga salah seorang di antara mereka tidak melihat ada orang selainnya yang diazab di neraka,” kemudian Ibnu Mas’ud membacakan ayat, “Mereka merintih dan menjerit di dalamnya (neraka) dan mereka di dalamnya tidak dapat mendengar.”
[11] Mereka tuli, bisu dan buta atau maksudnya mereka tidak mendengar selain suara neraka karena besarnya suara gejolaknya, rintihannya dan marahnya.
[12] Yakni orang-orang yang telah dicatat tergolong orang-orang bahagia dalam ilmu Allah, dalam Al Lauhul Mahfuzh, sehingga dimudahkan-Nya mereka di dunia mengerjakan amal saleh.
[13] Karena jauhnya mereka dari neraka.
[14] Berupa makanan, minuman, perkawinan dan pemandangan, di mana mereka mendapatkan kenikmatan yang belum pernah mereka lihat, belum pernah mereka dengar dan belum pernah terlintas di hati mereka.
[15] Maksudnya, kejutan pada hari kiamat tidaklah membuat mereka sedih dan gelisah. Yang demikian adalah ketika neraka didekatkan kepada manusia, maka ia menampakkan kemarahannya kepada orang-orang kafir dan pelaku maksiat. Ketika itu, manusia terkejut, sedangkan orang-orang mukmin tidak sedih dan gelisah karena mereka mengetahui apa yang akan mereka hadapi dan bahwa Allah akan mengamankan mereka dari kekhawatiran.
[16] Ketika mereka bangkit dari kubur.
[17] Oleh karena itu, bergembiralah dengan karamah (kemuliaan) yang akan diberikan kepadamu dan bersenanglah karena Allah mengamankan kamu dari hal yang dikhawatirkan dan hal yang tidak diinginkan.
[18] Allah Subhaanahu wa Ta'aala memberitahukan, bahwa pada hari kiamat Dia melipat langit yang luas dan besar ini seperti melipat atau menggulung lembaran kertas, lalu bintang-bintangnya berserakan, matahari dan bulan dilipat dan menyingkir dari tempatnya.
[19] Dari yang sebelumnya tidak ada.
[20] Yakni mengulangi kembali penciptaan seperti mengawali penciptaan.
[21] Maksudnya, akan melaksanakan janji tersebut karena sempurnanya kekuasaan-Nya.
[22] Yang dimaksud dengan Zabur di sini adalah seluruh kitab yang diturunkan Allah kepada nabi-nabi-Nya. Sebagian ahli tafsir mengartikan dengan kitab yang diturunkan kepada Nabi Daud ‘alaihis salam, sedangkan Adz Dzikr adalah kitab Taurat. Ada pula yang menafsirkan adz dzikr dengan Lauh Mahfuzh.
[23] Ada yang menafsirkan dengan surga, dan ada pula yang menafsirkan dengan bumi yang kita tempati ini, yakni bahwa orang-orang saleh akan Allah berikan kekuasaan di muka bumi sebagaimana yang disebutkan dalam surah An Nuur: 55.
[24] Yaitu mereka yang mengerjakan perintah dan menjauhi larangan.
[25] Dengan petunjuk Al Qur’an mereka bisa sampai kepada Allah dan sampai ke surga-Nya.
[26] Selanjutnya, Allah memuji Rasul-Nya yang datang membawa Al Qur’an. Diutus-Nya Beliau adalah rahmat bagi alam semesta. Orang-orang mukmin menerima rahmat itu dan mensyukurinya, oleh karenanya mereka membenarkan Beliau, sedangkan selain mereka kufur terhadap nikmat itu dan menggantinya dengan kekafiran serta menolak rahmat tersebut.
ثم أثنى على رسوله، الذي جاء بالقرآن فقال: { وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ } فهو رحمته المهداة لعباده، فالمؤمنون به، قبلوا هذه الرحمة، وشكروها، وقاموا بها، وغيرهم كفرها، وبدلوا نعمة الله كفرا، وأبوا رحمة الله ونعمته.
“Kemudian Allah memuji Rasul-Nya yang membawa Wahyu Al-Qur`an, dengan berfirman وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ , maka beliau adalah bentuk kasih sayang-Nya yang dihadiahkan kepada hamba-hamba-Nya” (Tafsir As-Sa’di, hal. 618).
Al-Baghawi rahimahullah mengatakan,
[وقال ابن عباس : هو عام في حق من آمن ومن لم يؤمن فمن آمن فهو رحمة له ] في الدنيا والآخرة ومن لم يؤمن فهو رحمة له في الدنيا بتأخير العذاب عنهم
“Ibnu Abbas menjelaskan, ‘Hal ini (tentang keberadaan beliau sebagai rahmat) sifatnya umum, baik rahmat untuk orang yang beriman, maupun untuk orang yang tidak beriman. Barangsiapa yang beriman maka beliau menjadi rahmat baginya] di dunia dan akhirat. Adapun orang yang tidak beriman, maka beliau rahmat baginya di Dunia (saja) dalam bentuk diakhirkan adzab dari orang tersebut’”. (Tafsir Al-Baghawi :196).
Dengan diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita, berarti Allah menyayangi kita, dengan menurunkan wahyu yang dibawa oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berisikan petunjuk kepada setiap kebaikan dan menjauhkan manusia dari setiap keburukan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyayangi kita, dengan menjelaskan wahyu tersebut dengan sebaik-baik penjelasan dan menberi contoh bagaimana mengamalkannya. Beliau sangat sayang kepada umatnya, sehingga tidak ada satupun kebaikan kecuali beliau tunjukkan dan tidak ada satupun keburukan kecuali beliau peringatkan umat darinya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah rahmatan lil’alamin.
[27] Yakni dengan tunduk kepada apa yang diwahyukan kepadaku itu. Jika mereka melakukannya, maka pujilah Tuhan mereka yang telah mengaruniakan nikmat yang besar itu.
[28] Maksudnya, tidak mau beribadah kepada Allah Ta’ala saja.
[29] Maksudnya: Oleh karena itu, janganlah kamu katakan ketika azab datang menimpamu, “Tidak datang kepada kami seorang pemberi kabar gembira dan peringatan.” Karena sekarang kita telah sama-sama mengetahui tentang tempat kembali bagi orang-orang kafir.
[30] Yakni azab atau hari kiamat.
[31] Karena yang mengetahuinya adalah Allah Subhaanahu wa Ta'aala.
[32] Demikian pula perbuatan kamu dan ucapan serta perbuatan selain kamu.
[33] Maksudnya, melambatkan datangnya azab kepada kamu.
[34] Untuk menambah keburukanmu.
[35] Yaitu antara kami dengan mereka yang mendustakanku dengan diturunkan azab atau diberikan kemenangan terhadap mereka, dan Allah mengabulkannya, di mana mereka diazab pada perang Badar, dan peperangan yang lain sebelum tiba azab akhirat.
[36] Dalam hal ini kami tidak merasa ujub dengan diri kami dan bersandar kepada kemampuan kami, bahkan kami meminta pertolongan kepada Tuhan kami Ar Rahman terhadap apa yang kamu katakan.
[37] Seperti ucapan kamu bahwa Tuhan mempunyai anak, aku penyihir dan bahwa Al Qur’an adalah sya’ir.
================
================
firman Allâh Azza wa Jalla yaitu :
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Tidaklah Kami mengutusmu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam [Al-Anbiyâ’/21:107].
Ayat rahmat yang sangat agung dan bersifat umum ini telah menjelaskan kepada manusia beberapa hal :
Pertama: Bahwa Allâh Jalla Dzikruhu telah mengutus hamba-Nya dan Rasul-Nya yang mulia Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam yang terdiri dari kelompok-kelompok mahluk seperti alam manusia, alam Malaikat, alam Jin, alam hewan. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus sebagai rahmat bagi mereka semua.
Kedua: Bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah diciptakan dan disifatkan serta dihiasi pada diri beliau dengan rahmat.
Ketiga: Bahwa Agama yang beliau bawa –Islam- semua ajarannya adalah rahmat bagi jin dan manusia yang terkena taklif (beban) dari Rabbul ‘alamin.
Keempat: Bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam di utus dan datang kepada manusia dan jin dengan segala kebaikan dunia dan akherat.
Kelima: Bahwa al-Qur’ân yang diturunkan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi rahmat terbesar bagi mereka.
Keenam: Bahwa ayat yang mulia ini menjadi bukti terbesar kenabian dan kerasulan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Dan seterusnya…
Maka saya tulis risalah ini untuk menjelaskan sebagian dari apa yang saya sebutkan tadi, dan untuk meluruskan kesalahpahaman terhadap Islam dan terhadap Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Nabiyyur rahmah.
Selamat membaca dan menikmati rahmat yang sangat agung ini…!
NABI MUHAMMAD SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM DI UTUS UNTUK MENJADI RAHMAT BAGI SELURUH ALAM
Firman Allâh Azza wa Jalla :
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Tidaklah Kami mengutusmu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam [Al-Anbiyâ’/21:107]
Ayat yang mulia ini merupakan ayat terbesar yang menjelaskan kepada manusia, bahwa Allâh telah mengutus Nabi-Nya dan Rasul-Nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Rahmat secara umum dan merata kepada semuanya. Karena lafazh al’alamîn menunjukkan makna mutlak dan umum, maksudnya rahmat untuk mereka semuanya.
Rahmat untuk alam manusia –yang Mukmin dan yang kafir-; Untuk alam Malaikat; rahmat untuk alam jin – yang Mukmin dan yang kafir – dan rahmat untuk alam hewan.
Adapun rahmat untuk yang beriman, maka Allâh l telah memberikan hidayah kepada mereka, dan memasukkan keimanan ke dalam hati mereka. Kemudian juga memasukkan mereka ke dalam surga dengan sebab amalan mereka yang telah mempraktekkan ajaran yang di bawa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari sisi Allâh Azza wa Jalla .
Sedangkan rahmat untuk orang-orang kafir, yaitu Allâh Azza wa Jalla tidak langsung mengadzab mereka di dunia ini seperti Allâh Azza wa Jalla telah mengadzab dan membinasakan orang-orang kafir sebelum mereka yang telah mendustakan para Nabi dan Rasul.[1]
Ketika menafsirkan ayat yang mulia ini, al-Hâfizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Allâh Azza wa Jalla telah memberitahukan bahwa sesungguhnya Allâh telah menjadikan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rahmat untuk seluruh alam. Yakni Allâh telah mengutusnya untuk menjadi rahmat bagi mereka semuanya. Maka barangsiapa menerima rahmat ini dan mensyukuri nikmat ini, pasti dia akan berbahagia di dunia dan di akherat. Tetapi barangsiapa menolak rahmat ini dan menentangnya, pasti dia akan merugi di dunia dan di akherat.
al-Hâfizh Ibnu Katsir rahimahullah juga mengatakan, “Jika ada yang bertanya, ‘Rahmat apakah yang diraih oleh orang-orang yang kafir ? Maka jawabannya apa yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarîr…” (kemudian beliau rahimahullah membawakan sebagian dari apa yang ditafsirkan oleh al-Imam Ibnu Jarir yang telah saya kutip sebagiannya).
Atau yang dimaksud dengan rahmat bagi yang kafir, baik manusia maupun jin ialah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah datang kepada mereka dengan membawa segala kebaikan dunia dan akherat untuk kebahagian dunia dan akherat mereka. Itulah rahmat dan kebaikan yang sangat besar untuk mereka. Tetapi mereka telah menyia-nyiakannya. Akibatnya, pasti akan menimpa mereka kerugian yang sangat besar yang harus mereka tanggung bagi dunia dan akherat mereka.
Al-Imam asy-Syanqithiy rahimahullah di tafsirnya Adhwâul Bayân (4/250-251) mengatakan ketika menafsirkan ayat yang mulia ini, “Allâh Azza wa Jalla telah menerangkan dalam ayat yang mulia ini, sesungguhnya Dia tidaklah mengutus Nabi yang mulia ini Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seluruh mahluk-Nya, melainkan sebagai rahmat bagi mereka. Karena beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang dengan membawa apa yang dapat membahagiakan mereka, dan apa yang bisa mereka pergunakan untuk meraih segala kebaikan dunia dan akherat, jika mereka mengikutinya. Tetapi orang yang menyalahi dan tidak mengikuti, berarti dia telah menyia-nyiakan rahmat yang menjadi bagiannya.
Sebagian ahli ilmu telah membuat permisalan, seraya berkata, “Kalau Allâh Azza wa Jalla memancarkan mata air yang banyak untuk makhluk dan mudah di ambil, lalu (sebagian) manusia menyirami tanaman-tanaman mereka dan memberi minum kepada ternak-ternak mereka dari air itu. Dengan sebab itu, niscaya mereka akan mendapatkan nikmat yang berkesinambungan. Tetapi sebagian manusia yang lainnya, yang lalai dan malas dalam beramal, maka mereka telah menyia-nyiakan bagian mereka dari mata air tersebut. Mata air yang terpancar itu pada hakikatnya adalah bagian dari rahmat Allâh, dan merupakan nikmat untuk kedua golongan manusia tadi. Akan tetapi bagi orang yang malas, maka hal itu merupakan ujian pada dirinya, karena dia telah mengharamkan nikmat yang bermanfa’at itu untuk dirinya”.
Yang demikian telah dijelaskan oleh Allâh Azza wa Jalla dalam firman-Nya :
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ بَدَّلُوا نِعْمَتَ اللَّهِ كُفْرًا وَأَحَلُّوا قَوْمَهُمْ دَارَ الْبَوَارِ
Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allâh dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan. [ Ibrâhîm/14: 28]
Apa yang Allâh Azza wa Jalla sebutkan dalam ayat yang mulia ini[2] , yaitu Allâh tidaklah mengutus beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melainkan untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam, menunjukkan bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang membawa rahmat bagi mahluk. Rahmat itu meliputi al-Qur’ânul ‘adzhîm ini. Hal ini telah dijelaskan di beberapa tempat dalam Al Qur’an, seperti firman Allâh Azza wa Jalla, (yang artinya), “Dan apakah tidak cukup bagi mereka sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu (Muhammad) al-Kitab (al-Qur’an) sedang dia (al-Qur’an) dibacakan kepada mereka ? Sesungguhnya di dalam al-Qur’an itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman”. [ al ‘Ankabût/29:51].
Juga firman Allâh Azza wa Jalla :
وَمَا كُنْتَ تَرْجُو أَنْ يُلْقَىٰ إِلَيْكَ الْكِتَابُ إِلَّا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ ۖ فَلَا تَكُونَنَّ ظَهِيرًا لِلْكَافِرِينَ
Dan kamu (Muhammad) tidak pernah mengharap agar Al Qur’an diturunkan kepadamu, tetapi Al Qur’an diturunkan karena suatu rahmat yang besar dari Rabbmu, sebab itu janganlah sekali-kali kamu menjadi penolong bagi orang-orang kafir”. [al Qashash/28:86]
Sekian perkataan al-Imam asy-Syanqithiy rahimahullah dengan ringkas.
Yang menunjukkan keumuman rahmat dalam ayat yang sedang bicarakan ini ialah hadits shahih di bawah ini:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ: قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللَّهِ ادْعُ عَلَى الْمُشْرِكِيْنَ. قَالَ: إِنِّيْ لَمْ أُبْعَثْ لَعَّانًا وَإِنَّمَا بُعِثْتُ رَحْمَةً. (رواه مسلم)
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata, “(Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) pernah diminta, “Wahai Rasûlullâh, do’akanlah kecelakaan/kebinasaan untuk kaum musyrikin !”Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Sesungguhnya aku tidaklah di utus sebagai pelaknat, sesungguhnya aku di utus hanya sebagai rahmat.” [HR. Muslim, no. 2599]
Oleh karena itu, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi rahmat bagi manusia dan jin yang Mu’min, karena mereka telah mengambil dan memanfa’atkan rahmat dan nikmat yang sangat besar ini. Tetapi manusia dan jin yang kafir, mereka telah menolak dan menentang rahmat dan nikmat yang sangat besar ini…
Sedangkan rahmat untuk Malaikat, karena Allâh dalam al-Qur’ân juga Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Sunnahnya telah memuji, memuliakan serta menjelaskan tentang Malaikat secara detail; tentang keutamaan, kemuliaan, keta’atan, sifat-sifat, penciptaan, tugas-tugas para malaikat. Juga keimanan kepada para Malaikat merupakan salah satu rukun iman. Maka kafirlah orang yang mengingkari keimanan kepada para Malaikat walaupun hanya satu Malaikat.
Itulah rahmat yang besar bagi Malaikat!
Adapun rahmat bagi jin –Mu’minnya dan kafirnya- adalah sama seperti manusia sebagaimana telah diterangkan sebelum ini.
Adapun rahmat bagi hewan, maka al-Qur’ân dan Sunnah atau hadits telah menjelaskannya secara terperinci:
– Bahwa hewan adalah umat seperti manusia…
– Kemanfa’atan hewan bagi umat manusia…
– Hewan yang halal dan yang haram dimakan dagingnya…
– Hewan yang haram dan halal di bunuh…
– Hak-hak hewan…
– Haramnya menyiksa hewan…
– Berbuat kebaikan dan berkasih-sayang kepada hewan dan seterusnya.
Itulah rahmat bagi mahluk yang bernama hewan…!
Karena itu tidaklah aneh, ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberitahukan kepada kita, bahwa para Malaikat dan penduduk langit dan bumi sampai-sampai semut-semut yang berada di lobang-lobangnya dan ikan-ikan di air, memohonkan ampun kepada Rabbul ‘alamin untuk para Ulama yang mengajarkan kebaikan kepada manusia.[3]
Kenapa demikian…? Di antara jawabannya :
Pertama, karena para Ulama telah mengajarkan ilmu kepada manusia akan hak-hak hewan. Sehingga dengan sebab itu manusia kenal dan tahu hak-hak hewan secara terperinci sebagaimana tadi telah saya isyaratkan.
Kedua, para Ulama sebagai penyambung lisan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , di mana beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah di utus untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam dan salah-satunya adalah alam hewan. Jadi, para Ulama telah menyampaikan dan menyebarkan rahmat untuk hewan ini kepada manusia. Sehingga manusia tidak menzhalimi hak-hak hewan, dan mereka menempatkannya pada tempatnya masing-masing. Semua berjalan di atas landasan ilmu dan keadilan, bukan di atas kejahilan dan kezhaliman. Sehingga hak-hak hewan berjalan dengan penuh keadilan dan jauh dari kezhaliman.
Itulah rahmat yang sangat besar untuk hewan…!
Saya takjub ketika mendapati al-Imam al-Bukhâri –sebagai salah seorang amîrul mu’minin fil hadits- telah memberikan judul bab dalam kitab shahihnya di bagian Kitâbul Adab dengan judul bab : Baabu Rahmatin Nas wal Baha’im (Bab: Mengasihi/menyayangi manusia dan hewan)
Kemudian al-Imam Bukhâri telah mentakhrij dan meriwayatkan dalam bab ini sebanyak enam hadits -dua di antaranya akan saya bawakan sekarang, sedangkan sisanya akan saya bawakan pada bab yang kedua dari risalah ini, insyââ Allâhu Ta’ala-:
Hadits pertama (no: 6009):
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِيْ بِطَرِيْقٍ اشْتَدَّ عَلَيْهِ الْعَطَشُ فَوَجَدَ بِئْرًا فَنَزَلَ فِيْهَا فَشَرِبَ ثُمَّ خَرَجَ فَإِذَا كَلْبٌ يَلْهَثُ يَأْكُلُ الثَّرَى مِنَ الْعَطَشِ فَقَالَ الرَّجُلُ: لَقَدْ بَلَغَ هَذَا الْكَلْبَ مِنَ الْعَطَشِ مِثْلُ الَّذِيْ كَانَ بَلَغَ بِيْ. فَنَزَلَ الْبِئْرَ فَمَلَأَ خُفَّهُ ثُمَّ أَمْسَكَهُ بِفِيْهِ فَسَقَى الْكَلْبَ فَشَكَرَ اللَّهُ لَهُ فَغَفَرَ لَهُ. قَالُوْا: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَإِنَّ لَنَا فِي الْبَهَائِمِ أَجْرًا ؟ فَقَالَ: نَعَمْ، فِيْ كُلِّ ذَاتِ كَبِدٍ رَطْبَةٍ أَجْرٌ
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu (dia berkata): Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Ketika seorang laki-laki sedang berjalan di suatu jalan, dia sangat kehausan sekali, lalu dia mendapati sebuah sumur, segera dia turun ke sumur itu dan meminum (airnya). Kemudian ketika dia keluar dari sumur, tiba-tiba ada seekor anjing yang sedang menjulurkan lidahnya sembil menjilati tanah karena kehausan.
Laki-laki itu berkata, “Sesungguhnya anjing ini telah menderita kehausan seperti yang pernah aku rasakan tadi”. Lalu laki-laki itu turun kembali ke sumur, kemudian dia penuhi sepatu botnya dengan air, (setelah itu dia keluar dari sumur) sambil menggigit sepatu botnya dengan mulutnya. Kemudian dia minumkan ke anjing itu, maka Allâh bersyukur kepadanya dan mengampuni (dosa-dosa)nya”.
Para Shahabat bertanya: “Wahai Rasûlullâh, sungguhkah (apakah) kita akan mendapat pahala apabila kita berbuat kebaikan kepada binatang?”
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Pada setiap mahluk yang hidup apabila kamu berbuat kebaikan kepadanya, maka kamu akan mendapat pahala”[4].
Saya tertegun ta’jub ketika mendapati al-Imam al-Bukhâri membawakan hadits ini –selain di kitab shahihnya- di kitabnya Adabul Mufrad (378) dengan judul bab: Bâbu Rahmatil Bahâ’im (Bab: Mengasihi/menyayangi hewan)
Hadits kedua (no: 6012):
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَا مِنْ مُسْلِمٍ غَرَسَ غَرْسًا فَأَكَلَ مِنْهُ إِنْسَانٌ أَوْ دَابَّةٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ
Dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda, “Tidak seorang Muslim pun yang menanam sebuah tanaman, kemudian tanamannya itu dimakan oleh manusia atau binatang, melainkan dia mendapatkan (pahala) shadaqah dengannya”.[5]
Itulah dua buah hadits yang dibawakan oleh Imam al-Bukhari rahimahullah yang menunjukkan akan adanya rahmatul bahâim atau kasih-sayang dan berbuat kebaikan kepada hewan.
Bahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia ini yang menjadi rahmatan lil’alamin ketika ditanya oleh para Shahabat Radhiyallahu anhum :
“Wahai Rasûlullâh, sungguhkah kita akan mendapat pahala apabila kita berbuat kebaikan kepada binatang ?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Pada setiap mahluk yang hidup apabila kamu berbuat kebaikan kepadanya, maka kamu akan mendapat pahala.”
Di antara mahluk hidup adalah hewan…! Dari sini kita mengetahui dengan ilmu yakin, bahwa Islam-lah yang pertama kali meletakkan dasar-dasar kasih-sayang dan berbuat kebaikan kepada binatang atau hewan. Islam telah menetapkan hal itu jauh sebelum orang-orang kafir berbicara dengan lisan dan tulisan mereka.
Tetapi yang sangat kita sayangkan, sebagian dari mereka yang menyandarkan diri kepada Islâm, mereka yang telah terbenam dalam taqlid buta kepada orang-orang kafir –karena ketidaktahuan mereka terhadap Islâm dan apa yang mereka saksikan dari perbuatan sebagian kaum muslimin yang tidak islami dalam bab ini- mengatakan, bahwa orang-orang kafirlah yang pertama kali meletakkan dasar-dasar kasih-sayang kepada hewan!? Subhaanallah…! Begitu asingkah Islam pada ahlinya…?!
Para pembaca yang budiman, saya akan mengajak para pembaca untuk melanjutkan penelitian terhadap hadits-hadits yang lain dalam bab ini yang jumlahnya tidak sedikit, agar kita bisa berbicara dan berbuat berdasarkan bashîrah (ilmu). Di antara hadits-hadits tersebut yang saya tahu dan telah saya teliti sah atau tidaknya ialah :
Hadits ketiga:
عَنْ سَهْلِ ابْنِ الْحَنْظَلِيَّةِ قَالَ: مَرَّ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِبَعِيْرٍ قَدْ لَحِقَ ظَهْرُهُ بِبَطْنِهِ فَقَالَ: اتَّقُوا اللَّهَ فِيْ هَذِهِ الْبَهَائِمِ الْمُعْجَمَةِ فَارْكَبُوْهَا صَالِحَةً وَكِلُوْهَا صَالِحَةً. (رواه أبوداود)
Dari Sahl bin Handzaliyyah, dia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati seekor onta yang punggungnya telah merapat ke perutnya, maka beliau bersabda, “Takutlah kamu kepada Allâh terhadap binatang-binatang ini yang tidak dapat berbicara kepada kamu, naikilah dia dengan baik dan (kalau tidak dikendarai) maka biarkanlah (istirahatkanlah) dia dengan baik.” [Hadits shahih riwayat Abu Dawud, no: 2548]
Dalam riwayat lain yang telah dikeluarkan oleh Imam Ahmad dimusnadnya (4/180-181):
…وَخَرَجَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ حَاجَةٍ فَمَرَّ بِبَعِيْرٍ مُنَاخٍ عَلَى بَابِ الْمَسْجِدِ مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ ثُمَّ مَرَّ بِهِ آخِرَ النَّهَارِ وَهُوَ عَلَى حَالِهِ فَقَالَ: أَيْنَ صَاحِبُ هَذَا الْبَعِيْرِ؟ فَابْتُغِيَ فَلَمْ يُوجَدْ فَقَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اتَّقُوا اللَّهَ فِيْ هَذِهِ الْبَهَائِمِ ثُمَّ ارْكَبُوهَا صِحَاحًا وَارْكَبُوهَا سِمَانًا – كَالْمُتَسَخِّطِ آنِفًا -…
“ Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar untuk suatu keperluan, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati seekor onta yang ditambatkan di depan pintu masjid dari awal siang. Kemudian beliau melewatinya lagi pada akhir siang dan keadaan onta itu masih sama seperti tadi, maka beliau bersabda, “Di mana pemilik onta ini?”. Maka dicarilah pemiliknya tetapi tidak didapatkan, maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Takutlah kamu kepada Allâh terhadap binatang-binatang ini yang tidak dapat berbicara kepada kamu, naikilah dia dengan baik dan kenyang –beliau sepertinya tidak menyukai dan tidak meridhai perbuatan itu-…”.
Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “takutlah kamu kepada Allâh terhadap binatang-binatang ini…” yakni akan dosa dan murka Allâh kepada kamu karena kamu telah menganiaya binatang-binatang ini.
Sabda beliau, “…yang tidak dapat berbicara kepada kamu…” yakni hewan-hewan itu tidak dapat berbicara kepada kamu dengan bahasa kamu, bahwa dia lapar, haus, lelah dan sakit. Penderitaan dan kesusahan yang menimpanya disebabkan kamu telah menzhaliminya, seperti kamu telah menyiksanya atau melelahkannya atau melaparkannya dan seterusnya yang masuk ke dalam bab kezhaliman.
Sabda beliau, “…naikilah dia dengan baik…” yakni naikilah dan kendarailah hewan ini dengan cara yang baik, janganlah dia dibebani lebih dari kemampuannya.
Sabda beliau, “…dan (kalau tidak dikendarai) maka biarkanlah (istirahatkanlah) dia dengan baik” yakni kalau kamu tidak sedang menaikinya atau mengendarainya, maka biarkanlah dia istirahat dengan cara yang baik dan berikanlah kepadanya istirahat dan makanan yang cukup.
Oleh Al-Ustadz Abu Unaisah Abdul Hakim bin Amir Abdat حَفِظَهُ الله تَعَالَى
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XV/1433H/2012M.]
_______
Footnote
[1]. Diintisarikan dari tafsir Ibnu Jarir dalam menafsirkan ayat yang mulia ini.
[2]. Yakni ayat yang sedang kita bahas ini tentang diutusnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rahmat bagi sekalian alam.
[3]. Makna dari hadits Abu Umamah Radhiyallahu anhu yang dikeluarkan oleh Tirmidzi (2685) dan hadits Abu Darda’ Radhiyallahu anhu yang dikeluarkan oleh Abu Dâwud (3641), Tirmidzi (2682), Ibnu Mâjah (223) dan Ahmad (5/196).
[4]. Hadits ini juga telah dikeluarkan oleh Muslim (2244).
[5]. Hadits ini telah dikeluarkan juga oleh Muslim (1553).
0 Response to "Tafsir Al Anbiya Ayat 96-112"
Post a Comment