وَلَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ (١٦) إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ (١٧) مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ (١٨) وَجَاءَتْ سَكْرَةُ الْمَوْتِ بِالْحَقِّ ذَلِكَ مَا كُنْتَ مِنْهُ تَحِيدُ (١٩)
Terjemah Surat Qaaf Ayat 16-19
16. [1]Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.
17. (Ingatlah) ketika dua malaikat mencatat (perbuatannya), yang satu duduk di sebelah kanan[2] dan yang lain di sebelah kiri[3].
18. Tidak ada suatu kata yang diucapkannya melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat)[4].
19. Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya[5]. Itulah yang dahulu hendak kamu hindari.
Ayat 20-35: Keadaan pada hari Kiamat, kebangkitan dan penghisaban serta membuka tutup yang menutupi mata manusia agar penglihatannya semakin tajam, hukuman bagi orang-orang kafir dan balasan bagi orang-orang yang bertakwa di akhirat.
Terjemah Surat Qaaf Ayat 20-35
20. Dan ditiuplah sangkakala. Itulah hari yang diancamkan[6].
21. Setiap orang akan datang bersama (malaikat) penggiring[7] dan saksi[8].
22. [9]Sungguh, kamu dahulu lalai tentang peristiwa ini[10], maka Kami singkapkan tutup (yang menutup) matamu, sehingga penglihatanmu pada hari ini sangat tajam[11].
23. Dan (malaikat) yang menyertai dia[12] berkata, "Inilah (catatan perbuatan) yang ada padaku[13].”
24. Allah berfirman, "Lemparkanlah olehmu ke dalam neraka Jahannam semua orang yang sangat ingkar dan keras kepala[14],
25. yang sangat enggan melakukan kebajikan[15], melampaui batas[16], dan bersikap ragu-ragu ragu-ragu[17],
26. yang mempersekutukan Allah dengan tuhan lain[18], maka lemparkanlah dia ke dalam azab yang keras.”
27. (Setan) yang menyertainya[19] berkata (pula), "Ya Tuhan kami, aku tidak menyesatkannya, tetapi dia sendiri yang berada dalam kesesatan yang jauh[20].”
28. Allah berfirman, "Janganlah kamu bertengkar di hadapan-Ku[21], padahal sungguh, dahulu Aku telah memberikan ancaman kepadamu[22].”
29. Keputusan-Ku tidak dapat diubah dan Aku tidak menzalimi hamba-hamba-Ku[23].
30. [24](Ingatlah) pada hari ketika Kami bertanya kepada Jahannam, "Apakah kamu sudah penuh[25]?" Ia menjawab, "Masih adakah tambahan?"[26]
31. Sedangkan surga didekatkan kepada orang-orang yang bertakwa[27] pada tempat yang tidak jauh (dari mereka)[28].
32. (Kepada mereka dikatakan), “Inilah nikmat yang dijanjikan kepadamu, (yaitu) kepada setiap hamba yang senantiasa bertobat (kepada Allah)[29] dan memelihara (semua peraturan-peraturan-Nya)[30].
33. (Yaitu) orang yang takut kepada Allah Yang Maha Pengasih[31], sekalipun tidak kelihatan (olehnya) dan dia datang dengan hati yang bertobat[32],
34. masukilah ke (dalam surga) dengan aman dan damai[33]. Itulah hari yang abadi[34].”
35. Mereka di dalamnya memperoleh apa yang mereka kehendaki, dan pada Kami ada tambahannya[35].
KANDUNGAN AYAT
[1] Allah Subhaanahu wa Ta'aala memberitahukan bahwa Dia sendiri yang menciptakan manusia, baik yang laki-laki maupun yang perempuan. Dia mengetahui keadaan mereka, apa yang mereka sembunyikan dan apa yang dibisikkan oleh hati mereka, dan Dia lebih dekat kepada manusia daripada urat lehernya dengan ketinggian Dzat-Nya. Hal ini menghendaki manusia untuk selalu merasakan pengawasan Allah yang mengetahui hati dan batin mereka, sehingga mereka merasa malu jika berbuat maksiat karena senantiasa dilihat-Nya. Demikian pula hendaknya mereka mengetahui bahwa para malaikat yang mencatat ada bersamanya di sebelah kanan dan sebelah kirinya, sehingga mereka menghormatinya dan berhati-hati agar tidak mengerjakan atau mengucapkan kata-kata yang tidak diridhai Allah Rabbul ‘aalamin yang kemudian akan dicatat.
Salah Paham dengan Ayat “Kami Lebih Dekat dari Urat Leher”http://bantah-syubhat.blogspot.com/2018/01/salah-paham-dengan-ayat-kami-lebih.html
[2] Yang mencatat amal baiknya.
[3] Yang mencatat amal buruknya.
[4] Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Padahal Sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu),--Yang mulia (di sisi Allah) dan mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu),--Mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Terj. Al Infithar: 10-12)
[5] Kepada orang yang lalai lagi mendustakan ayat-ayat Allah.
[6] Kepada orang-orang kafir dengan azab.
[7] Yang menggiringnya ke tempat pemberhentian di hari Kiamat, sehingga ia tidak dapat menolaknya atau mundur.
[8] Yang akan menjadi saksi terhadap amalnya; baik atau buruk, seperti tangan, kaki dan lainnya. Ini menunjukkan perhatian Allah kepada hamba dan dijaga-Nya amal mereka serta akan diberi-Nya balasan secara adil. Hal ini adalah sesuatu yang perlu diperhatikan sekali dan diingat oleh seorang hamba.
[9] Kemudian dikatakan kepada orang kafir atau orang yang berpaling lagi mendustakan pada hari Kiamat secara keras.
[10] Yakni meninggalkan beramal saleh untuknya.
[11] Yakni engkau melihat secara yakin apa yang telah engkau ingkari di dunia. Atau bisa saja ucapan ini dari Allah untuk seorang hamba, karena ketika di dunia ia berada dalam kelalaian terhadap tujuan ia diciptakan, dan pada hari Kiamat ia akan menyadarinya, akan tetapi saat itu bukan waktu untuk mengejar hal yang telah luput. Ini semua merupakan penakut-nakutan dari Allah kepada semua hamba dengan menerangkan apa yang akan diperoleh oleh orang yang mendustakan pada hari yang besar itu. Nas’alullahas salaamah wal ‘aafiyah.
[12] Yaitu malaikat yang Allah serahkan untuk menjaga hamba dan menjaga amalnya, lalu ia mendatangi hamba itu dan membawakan amalnya sambil berkata seperti yang disebutkan dalam ayat di atas.
[13] Yakni aku telah menyelesaikan tugasku, yaitu menjaganya dan menjaga amalnya,” sehingga ia akan diberi balasan sesuai amalnya.
[14] Yaitu mereka yang sangat kafir dan keras kepala kepada ayat-ayat Allah, yang banyak melakukan maksiat dan berani mengerjakan perbuatan dosa.
[15] Seperti zakat, atau ia menghalangi kebaikan untuk dirinya seperti beriman. Demikian pula ia menghalangi dirinya untuk memberikan manfaat kepada orang lain dengan hartanya dan badannya.
[16] Yakni zalim kepada hamba-hamba Allah dan melanggar batasan-batasan Allah.
[17] Dalam agamanya, atau ia ragu-ragu terhadap janji Allah dan ancaman-Nya, sehingga ia tidak beriman apalagi berbuat ihsan, bahkan yang ada adalah kekafiran, kezaliman, keraguan dan kebimbangan serta mengadakan tandingan bagi Allah Ar Rahman.
[18] Yang tidak berkuasa memberikan manfaat maupun madharrat, tidak berkuasa menghidupkan, mematikan maupun membangkitkan.
[19] Yang menyesatkannya di dunia berlepas diri darinya.
[20] Lalu aku mengajaknya, ternyata dia mau mengikutiku. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Dan berkatalah setan ketika perkara (hisab) telah diselesaikan, "Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepadamu janji yang benar, dan akupun telah menjanjikan kepadamu tetapi aku menyalahinya. sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan (sekedar) aku menyeru kamu lalu kamu mematuhi seruanku, oleh sebab itu janganlah kamu mencela aku akan tetapi celalah dirimu sendiri. aku sekali-kali tidak dapat menolongmu dan kamupun sekali-kali tidak dapat menolongku. Sesungguhnya aku tidak membenarkan perbuatanmu mempersekutukan aku (dengan Allah) sejak dahulu." (Terj. Ibrahim: 22)
[21] Maksudnya, tidak ada faedahnya kamu bertengkar di hadapan-Ku.
[22] Yaitu dengan azab di akhirat jika kamu tidak beriman. Para rasul telah datang kepadamu memberikan peringatan dengan membawa bukti yang nyata sehingga tegak kepadamu hujjah-Nya, namun kamu malah mengingkari dan menolaknya.
[23] Seperti mengazab mereka tanpa ada kesalahan yang mereka lakukan.
[24] Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman menakut-nakuti hamba-hamba-Nya.
[25] Hal ini karena banyak sekali orang yang dilemparkan ke dalamnya.
[26] Neraka Jahanam senantiasa meminta tambahan dari para pelaku dosa dan maksiat karena marah kepada orang-orang kafir, dimana marahnya dilakukan karena Allah Subhaanahu wa Ta'aala, sehingga Allah meletakkan kaki-Nya yang mulia ke neraka, maka neraka itu berhimpit sambil berkata, “Cukup-cukup,” yakni aku telah penuh.
[27] Yaitu mereka yang melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
[28] Lalu mereka melihatnya dan menyaksikan apa yang ada di dalamnya berupa kenikmatan dan kesenangan, sehingga membuat mereka rindu memasukinya. Allahumma innaa nas’alukal jannah wa na’uudzu bika minan naar (Ya Allah, sesungguhnya kami meminta surga kepada-Mu dan berlindung kepada-Mu dari neraka). Allahumma innaa nas’alukal jannah wa na’uudzu bika minan naar. Allahumma innaa nas’alukal jannah wa na’uudzu bika minan naar.
[29] Yakni surga dan apa yang dijanjikan di dalamnya berupa hal yang disenangi jiwa dan sejuk dipandang mata, Allah janjikan untuk setiap hamba yang banyak kembali kepada Allah di setiap waktu dengan beribadah, baik dengan menyebut nama-Nya, mencintai-Nya, meminta pertolongan kepada-Nya, berdoa, takut dan berharap kepada-Nya.
[30] Yakni menjaga perintah Allah dengan melaksanakannya secara ikhlas dan sempurna serta menjaga batasan-batasan (larangan-larangan)-Nya dengan menjauhinya.
[31] Yakni takut kepada-Nya dengan mengenal Tuhannya, berharap kepada rahmat-Nya dan senantiasa takut kepada Allah dalam keadaan gaibnya, yakni dalam keadaan tidak diketahui manusia. Inilah takut yang hakiki, adapun takut ketika di hadapan manusia, maka bisa saja riya’ dan sum’ah sehingga tidak menunjukkan takut. Bahkan takut yang bermanfaat adalah takut baik pada saat terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Bisa juga maksud “bilghaib” dalam ayat di atas adalah sekalipun tidak kelihatan olehnya.
[32] Yakni sifatnya kembali kepada Allah dan terdorong dirinya untuk mengerjakan hal-hal yang diridhai-Nya.
[33] Dari segala kekhawatiran dan keburukan.
[34] Yang tidak ada lagi kematian dan kefanaan.
[35] Dari apa yang mereka kerjakan dan yang mereka minta, dimana tambahan itu tambahan yang belum pernah mereka lihat, belum pernah mereka dengar dan belum pernah terlintas di hati mereka. Dan tambahan yang paling besar dan paling agungnya adalah melihat wajah Allah Yang Mulia, mendengarkan firman-Nya dan bersenang-senang di dekat-Nya. Kita meminta kepada Allah, agar Dia menjadikan kita termasuk mereka, aamiin ya Mujiibas saa’iliin.
=================
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ ۖ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ ﴿١٦﴾ إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ ﴿١٧﴾ مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang telah dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya.Yaitu ketika kedua malaikat mencatat amal perbuatannya, satu duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri.Tiada satu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir. [Qâf/50:16-18]
ARTI KATA (MAKNA MUFRADAT) DALAM AYAT
تُوَسْوِسُ : (hatinya) membisikkan.
حَبْلِ الْوَرِيدِ : urat leher.
يَتَلَقَّى : mencatat (amal perbuatannya).
الْمُتَلَقِّيَانِ : kedua (malaikat) yang mencatat.
قَعِيدٌ : duduk
يَلْفِظُ : mengucapkan
رَقِيبٌ : (malaikat) pengawas.
عَتِيد : yang selalu hadir/ bersama.
MAKNA AYAT SECARA UMUM
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah mengatakan, "Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan bahwa Dialah yang menciptakan manusia, baik laki maupun perempuan, Dia Mengetahui keadaan mereka, mengetahui apa yang membuat hati mereka senang dan apa yang dibisikkan oleh hati mereka. Kedekatan-Nya dengan manusia lebih dekat daripada urat lehernya, padahal urat leher ini termasuk anggota tubuh yang paling dekat dari manusia. Yaitu urat yang berada di sekitar lubang tenggorokan. Pemberitahuan Allâh Subhanahu wa Ta’ala ini dapat memotivasi seseorang untuk murâqabah (merasa diawasi) oleh Sang Pencipta, yaitu Dzat yang mengawasi batinnya, yang dekat darinya dalam segala situasi dan kondisi. Hendaklah seseorang malu dilihat oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala jika ia mau melakukan apa yang dilarang dan meninggalkan apa yang diperintahkan. Dan sebelum seseorang mengucapkan atau melakukan kemungkaran atau meninggalkan kewajibannya, hendaklah merasa diawasi oleh malaikat yang berada di sebelah kanan dan kirinya yang siap melaksanakan tugasnya. Di sebelah kanannya adalah malaikat pencatat perkataan dan perbuatan baik, sedangkan di sebelah kirinya adalah malaikat pencatat perkataan dan perbuatan buruk. Tidak ada satu pun perkataan yang terucap, baik perkataan itu baik atau buruk melainkan ada malaikat yang senantiasa mengawasi dan hadir bersamanya untuk mencatat ucapannya tersebut.[1]
ILMU DAN PENGETAHUAN ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA TERHADAP SEGALA SESUATU
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ
Dan sungguh kami telah menciptakan manusia dan kami mengetahui apa yang dibisikkan hatinya,…[Qâf/50:16].
Syaikh asy-Syinqithi rahimahullah berkata, “Dalam ayat ini, Allâh Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa tidak ada yang tersembunyi bagi Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Yang tersembunyi pun sama seperti yang nampak di sisi-Nya, dan Dia Maha Mengetahui gerak-gerik hati dan apa yang nampak."[2]
Jadi Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengetahui dan menyaksikan apa-apa yang tersembunyi dalam hati manusia, dan mengetahui apa yang diperbuat oleh manusia di manapun ia berada, di darat, di udara maupun di laut, pada waktu malam atau pun siang, di dalam rumah atau pun di luar rumah; Semuanya sama dalam pengawasan Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Dia melihat di manapun manusia berada serta mengetahui apa-apa yang mereka sembunyikan.[3]
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam ayat lain :
وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ
Dan ketahuilah sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada dalam hati kalian, maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah sesungguhnya Allâh Maha pengampun lagi Maha penyantun. [al-Baqarah/2:235].
Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman pada ayat lain :
إِنَّ اللَّهَ لَا يَخْفَىٰ عَلَيْهِ شَيْءٌ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي السَّمَاءِ
Sesungguhnya bagi Allâh tidak ada suatupun yang tersembunyi di bumi dan tidak pula di langit. [Ali 'Imrân/3:5]
Ayat di atas dan yang semisalnya menunjukkan bahwa Allâh Subhanahu wa Ta’ala itu maha tahu terhadap segala sesuatu. Ini memberikan pelajaran agar kita senantiasa merasa diawasi oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala dalam setiap ucapan dan tingkah-laku, karena kita tidaklah terlepas dari pengawasan-Nya.
Salah seorang dari Ulama salaf berkata, "Jika kalian melakukan suatu perbuatan, maka ingatlah bahwa Allâh Subhanahu wa Ta’ala memandang perbuatanmu; dan jika engkau berbicara, maka ingatlah pendengaran Allâh Subhanahu wa Ta’ala atas pembicaraanmu; dan ketika engkau diam, maka ingatlah pengetahuan Allâh Subhanahu wa Ta’ala atas apa yang ada di dalam hatimu).[4]
Murâqabatullah (rasa diawasi dan dilihat Allâh Subhanahu wa Ta’ala ) ini apabila menancap kuat dalm hati seorang hamba dalam setiap gerak-geriknya, maka ini akan membentengi dia dari perbuatan maksiat, sebagaimana telah dilakukan oleh Nabi Allâh yakni Yûsuf Alaihissallam menghindar dari godaan Zulaikhah, isteri seorang raja yang cantik jelita. Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengisahkan dalam firman-Nya :
وَرَاوَدَتْهُ الَّتِي هُوَ فِي بَيْتِهَا عَنْ نَفْسِهِ وَغَلَّقَتِ الْأَبْوَابَ وَقَالَتْ هَيْتَ لَكَ ۚ قَالَ مَعَاذَ اللَّهِ
Dan wanita (Zulaikha) yang Yûsuf tinggal di rumahnya yang menggoda Yûsuf untuk menundukkan dirinya dan dia menutup pintu-pintu, seraya berkata:”Marilah kesini”, Yûsuf berkata: "Aku berlindung kepada Allâh”. [Yûsuf/12:23].
Demikian pula diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi rahimahullah, bahwasannya ada seorang al-A’rabi (orang gurun/baduwi), ketika ia keluar dari rumahnya saat malam hari yang gelap gulita ia bertemu dengan budak perempuan, kemudian ia ingin berbuat zina dengan budak tersebut, lalu si budak perempuan pun berkata, “Celaka kamu, apa kamu tidak malu melakukan ini ? Apa kamu tidak memiliki agama yang melarangmu dari perbuatan mesum ini?" Si Baduwi pun menjawab, “Sungguh, tidak ada yang melihat kita kecuali bintang-bintang di langit saja". Si budak perempuan menjawab, “Bukankah Sang Pencipta bintang melihat kita ?"[5]
Murâqabah inilah yang menyebabkan seseorang berbuat jujur dalam tutur kata dan perilakunya. Murâqabah juga menjadikan seseorang melaksanakan amanat dan tidak berkhianat, berbuat adil dan tidak menzhalimi orang lain, tidak mengambil harta yang bukan haknya, baik secara sembunyi-sembunyi (korupsi) maupun terang-terangan (merampok). Jika murâqabah tersebut ada di hati setiap Muslim, niscaya dunia Islam akan menemui kejayaan, para pejabat tidak korupsi, bahkan menyisihkan harta mereka untuk fakir miskin serta menegakkan keadilan. Dengan murâqabah ini, para pedagang pun tidak mengurangi timbangan, tempat-tempat kemaksiatan pun akan gulung tikar dengan sendirinya, pencuri, perampok, PSK, pengedar dan konsumen narkoba akan meninggalkan profesi mereka, dengan tanpa adanya pemaksaan atas diri mereka.
Ada satu pertanyaan, jika Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengetahui apa yang tersembunyi dalam hati seorang hamba, apakah setiap suara hati yang mengajak kepada kemungkaran akan dicatat sebagai kemaksiatan dan dosa ?
jawaban dari pertanyaan ini adalah sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ لِأُمَّتِي مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا، مَا لَمْ يَتَكَلَّمُوا، أَوْ يَعْمَلُوا بِهِ
Sesungguhnya Allâh Subhanahu wa Ta’ala memaafkan umatku dari bisikan jelek jiwanya selagi ia tidak mengatakannya atau melakukannya. (HR Bukhâri dan Muslim).[6]
Jadi, bisikan hati atau suara hati yang mungkar atau mengajak kepada kemungkaran tidak dicatat sebagai dosa, selagi hal itu tidak diungkapkan dengan ucapan atau diwujudkan dalam perbuatan.
PENAFSIRAN KEDEKATAN ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA
Selanjutnya Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ
Dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya. [Qâf/50:16].
Penggalan ayat di atas, jika dipahami secara zhahir lafadznya (tekstual) memberikan pemahaman bahwa Dzat Allâh Subhanahu wa Ta’ala itu lebih dekat kepada manusia dari urat lehernya. Pemahaman seperti ini menyebabkan sebagian orang beranggapan bahwa Dzat Allâh Subhanahu wa Ta’ala ada dalam diri manusia, sehingga ia tidak dapat membedakan antara si makhluk dengan sang Khaliq, sampai-sampai ada yang mengucapkan kalimat tahlîl dengan mengatakan "lâ ilâha illâ ana” (tidak ada tuhan kecuali aku), dengan beranggapan bahwa Sang Khaliq ada dalam dirinya. Pemahaman seperti ini tidak benar, dan Maha Suci Allâh Subhanahu wa Ta’ala dari pemahaman seperti ini; Karena di samping menyelisihi pemahaman para Ulama, pemahaman ini juga memberi makna bahwa Allâh Subhanahu wa Ta’ala menyatu dengan semua orang, baik yang shalih, kafir maupun fasiq, Maha Tinggi Allâh Subhanahu wa Ta’ala dari yang demikian itu...! Pemahaman ini juga menyelisihi ayat-ayat Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang menjelaskan bahwa Dzat Allâh Subhanahu wa Ta’ala ada di atas ‘Arsy-Nya, seperti disebutkan dalam firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
الرَّحْمَٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ
Yang Maha Pengasih bersemayam di atas Arsy-Nya. [Thahâ/20:5].
Pada ayat yang lain Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَىٰ عَلَى الْعَرْشِ
Sesungguhnya Rabbmu adalah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam hari kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy-Nya, … [al-A’râf/7:54].
Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman :
إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَىٰ عَلَى الْعَرْشِ ۖ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ
Sesungguhnya Rabbmu adalah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy-Nya untuk mengatur segala urusan… [Yûnus/10:3].
Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman.
اللَّهُ الَّذِي رَفَعَ السَّمَاوَاتِ بِغَيْرِ عَمَدٍ تَرَوْنَهَا ۖ ثُمَّ اسْتَوَىٰ عَلَى الْعَرْشِ ۖ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ ۖ كُلٌّ يَجْرِي لِأَجَلٍ مُسَمًّى
"Allâh-lah yang meninggikan langit tanpa tiang sebagaimana yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy-Nya, dan menundukkan matahari dan bulan, masing-masing beredar sampai batas waktu yang ditentukan…[ar-Ra’d/13:2].
Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman.
الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَىٰ عَلَى الْعَرْشِ
"Yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam hari, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy-Nya…[al-Furqân/25:59].
Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang menjelaskan bahwa Dzat Allâh Subhanahu wa Ta’ala ada di atas ‘Arsy-Nya, tidak menyatu dalam diri manusia.
Syaikhul-Islam mengatakan, "Adapun orang yang beranggapan bahwa kedekatan Allâh Subhanahu wa Ta’ala dalam ayat di atas adalah kedekatan Dzat Allâh Subhanahu wa Ta’ala , maka pemahaman yang seperti ini adalah sangat lemah, karena menurut mereka Dzat Allâh Subhanahu wa Ta’ala ada di mana mana. Kalaulah Dzat Allâh Subhanahu wa Ta’ala itu ada di mana-mana, maka Ia dekat dengan segala sesuatu. Ia juga dekat dari seluruh anggota tubuh manusia; jika demikian, maka pengkhususan pada ayat di atas bahwa Dzat Allâh Subhanahu wa Ta’ala itu lebih dekat kepada manusia dari pada urat lehernya menjadi tidak ada artinya."[7]
LANTAS, BAGAIMANAKAH PENAFSIRAN PARA ULAMA TERHADAP AYAT DI ATAS?
Para Ulama, dalam menafsirkan ayat di atas, mereka berbeda pendapat. Pendapat pertama mengatakan bahwa kedekatan tersebut adalah kedekatan maqdarah (kemampuan dan kekuasaan) Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan kedekatan ilmu[8] (pengetahuan) Allâh Subhanahu wa Ta’ala terhadap manusia.[9] Pendapat kedua mengatakan bahwa kedekatan tersebut adalah kedekatan Malaikat Allâh Subhanahu wa Ta’ala terhadap manusia.[10]
Pendapat kedua inilah yang râjih (kuat) karena memiliki argumentasi yang kuat pula, diantaranya:
1. Pertama. Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengikat potongan ayat di atas dengan Zharaf zaman (keterangan waktu) yang terletak pada ayat berikutnya, yakni :
إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ
Yaitu ketika kedua malaikat mencatat amal perbuatannya, satu duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. [Qâf/50:17].
Hal itu memberikan makna, yang dimaksud dengan kedekatan Kami pada ayat di atas adalah kedekatan malaikat-malaikat-Nya, dan tidak cocok kalau diartikan dengan kedekatan ilmu Allâh Azza wa Jalla atau kedekatan kekuasaan-Nya, karena kedekatan ilmu Allâh Azza wa Jalla dan kekuasaan-Nya terhadap makhluk-Nya itu setiap saat dan tidak terikat dengan waktu tertentu. Dan andaikata diartikan dengan kedekatan ilmu atau kekuasaan, maka tidak ada artinya ikatan dzaraf zaman tersebut.[11]
2. Kedua. Allâh Azza wa Jalla menyebutkan dengan kata jamak نحن (Kami). Hal ini, jika disebutkan di dalam ayat-ayat al-Qur’ân, maka maknanya adalah Allâh Azza wa Jalla melakukannya dengan cara memerintahkan para malaikat-Nya untuk melaksanakannya, seperti terdapat pada banyak ayat diantaranya :
نَتْلُو عَلَيْكَ مِنْ نَبَإِ مُوسَىٰ وَفِرْعَوْنَ بِالْحَقِّ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
Kami membacakan kepadamu sebagian dari kisah Musa dan Fir’aun dengan benar untuk orang-orang yang beriman. [al-Qashash/28:3].
نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ أَحْسَنَ الْقَصَصِ بِمَا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ هَٰذَا الْقُرْآنَ وَإِنْ كُنْتَ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الْغَافِلِينَ
Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan al-Qur’an ini kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum kami mewahyukannya adalah termasuk orang-orang yang belum mengetahui. [Yûsuf/12:3]
إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ ﴿١٧﴾ فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ
Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami selesai membacanya, maka ikutilah bacaannya. [al-Qiyâmah/75:17-18].
Dan masih banyak lagi ayat-ayat lainnya yang kesemuanya itu menunjukkan bahwa yang melakukan perbuatan tersebut adalah malaikat-malaikat Allâh Subhanahu wa Ta’ala atas perintah-Nya.[12]
Ketiga. Penggunaan uslûb (gaya bahasa) semacam ini sudah tidak asing lagi dalam Bahasa Arab. Demikian ini sering digunakan oleh para pemimpin dan pembesar Arab, yakni menyandarkan perbuatan para prajurit kepada mereka, para pemimpin; yang perbuatan itu dilakukan atas dasar perintah dari pemimpin mereka. Oleh karena itu sebagian pemimpin mengatakan “kami telah menghabisi dan mengalahkan musuh”. Demikian pula para ahli sejarah mengatakan “Raja Fulan telah menaklukkan negara ini dan itu”, padahal yang melakukan adalah pasukan dan bala tentaranya atas perintahnya. Dan termasuk gaya bahasa yang seperti ini pula pada ayat-ayat yang telah disebutkan di atas, yakni dengan memakai kata jamak yang menunjukkan bahwa yang melakukan hal itu adalah malaikat Allâh Subhanahu wa Ta’ala atas dasar perintah-Nya.[13]
Dan masih banyak lagi argumentasi dari pendapat kedua tersebut. Jadi, maksud kedekatan pada ayat di atas adalah kedekatan malaikat Allâh Subhanahu wa Ta’ala .
PERKATAAN DAN PERBUATAN MANUSIA DICATAT OLEH MALAIKAT
Selanjutnya Allâh Azza wa Jalla berfirman :
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
Tiada satu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir. [Qâf/50:18].
Pada ayat ini Allâh Azza wa Jalla menyebutkan bahwa ucapan manusia itu tidak luput dari catatan dua malaikat-Nya yang ditugaskan sebagai pencatat amal. Yang satu mencatat amalan baik, dan yang lainnya mencatat amalan buruk. Hal ini dapat menjadi motivasi bagi setiap hamba yang beriman untuk senantiasa merasa diawasi oleh malaikat pencatat amalan dalam setiap perkataaan dan tingkah lakunya.
Lalu apakah semua ucapan manusia itu dicatat oleh malaikat sampai yang mubah pula, misal seperti “Saya sudah makan, minum , pergi , datang”, dan lain-lain, atau hanya yang baik dan buruk saja?
Dalam hal ini, para Ulama berselisih pendapat terbagi dalam dua pendapat.
1. Pendapat pertama mengatakan bahwa yang dicatat itu adalah semua perkataan, baik perkataan yang mubah, haram maupun yang baik.
2. Pendapat kedua mengatakan tidak semua perkataan itu dicatat, akan tetapi perkataan yang baik dan buruk saja. Dan yang râjih dari dua pendapat ini adalah pendapat pertama, karena keumuman ayat di atas menunjukkan bahwa semua perkataan itu dicatat oleh malaikat.[14]
Untuk apa semua amalan manusia itu dicatat ? Bukankah Allâh Azza wa Jalla mengetahui semuanya ?
Jawabannya, betul, Allâh Azza wa Jalla tidak membutuhkan hal itu, karena Dia mengetahui segalanya, tidak ada yang tersembunyi sesuatupun dari-Nya. Adapun Dia memerintahkan malaikat-Nya untuk mencatat amalan manusia adalah karena ada hikmah lain di balik itu; misalnya untuk menegakkan hujjah atau sebagai bukti atas manusia kelak pada hari kiamat bahwa ia pernah berkata dan berbuat demikian dan demikian, sehingga manusia tidak dapat mengingkarinya karena ada bukti catatan amalnya, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :
وَنُخْرِجُ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كِتَابًا يَلْقَاهُ مَنْشُورًا ﴿١٣﴾ اقْرَأْ كِتَابَكَ كَفَىٰ بِنَفْسِكَ الْيَوْمَ عَلَيْكَ حَسِيبًا
Dan Kami keluarkan baginya pada hari kiamat sebuah kitab (catatan amal) yang dijumpainya terbuka. “Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini menghitung amalanmu sendiri". [al-Isrâ/17:13-14].[15]
PELAJARAN YANG DAPAT DIPETIK DARI AYAT
1. Allâh Subhanahu wa Ta’ala Maha Mengetahui segala sesuatu sampai apa saja yang ada dalam hati manusia, maka hendaklah dijadikan sebagai motivasi setiap muslim untuk senantiasa merasa diawasi oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala pada setiap perkataan maupun perbuatan.
2. Bisikan hati atau suara hati yang mungkar atau mengajak kepada kemungkaran tidak dicatat sebagai dosa selagi tidak diungkapkan dalam ucapan atau diwujudkan dengan perbuatan.
3. Perbuatan dan perkataan manusia tidak luput dari catatan dua malaikat Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang selalu mengawasi dan hadir bersama manusia, maka hendaklah dijadikan sebagai motivasi oleh setiap muslim untuk menjaga perkataan dan perbuatannya dari hal-hal yang tidak diradhai Allâh Subhanahu wa Ta’ala .
4. Kedekatan pada ayat di atas adalah kedekatan malaikat Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang lebih dekat kepada manusia dari urat lehernya.
5. Dua malaikat pencatat amal manusia itu berada di sebelah kanan dan kirinya. Di sebelah kanan pencatat amalan baik, dan di sebelah kiri pencatat amalan buruk, bukan berarti di sebelah kanan dan kiri itu di sebelah pundak kanan dan kiri manusia, sehingga terkesan kontradiksi dengan kedekatan kepada manusia melebihi dekatnya urat leher, akan tetapi kedekatan malaikat tersebut tetap lebih dekat kepada manusia dari urat lehernya meski posisi mereka berada di sebelah kanan dan kiri. Adapun keberadaan mereka terletak di mana ? Maka Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang lebih mengetahui perihal ini.
6. Diantara hikmah dari pencatatan perkataan dan perbuatan manusia, ialah untuk menegakkan hujjah atas mereka kelak pada hari kiamat, atau sebagai bukti bahwa ia dahulu, ketika di dunia telah berkata atau berbuat demikian dan demikian, sehingga ia tidak dapat menolak dan mengingkari hal itu karena ada bukti nyata. Wallâhu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XVI/1434H/2013. ]
_______
Footnote
[1]. Tafsîr as-Sa’di, hlm. 805, Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, Muassasah ar-Risâlah – Beirut, cet. Pertama th. 1420 H/ 2000 M.
[2]. Adhwâ’ul Bayân fi Îdhâhil-Qur’ân bil-Qur’ân, 2/170. Muhammad al-Amin bin Muhammad al-Mukhtar al-Syinqithi, Dar al-Fikr, Lebanon, tanpa nomor cetakan, Th. 1415 H/ 1995 M.
[3]. Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, 8/9, Ismail bin Umar Ibn Katsir, Dar Thaibah, Arab Saudi, Cet. Kedua, Th. 1420 H/ 1999 M.
[4]. Siyar A’lâmun-Nubalâ’, 11/485. Muhammad bin Ahmad adz-Dzahabi, Muassasah ar-Risalah-Beirut, Cet. Ketiga, Th. 1405 H/1985 M.
[5]. Syu’abul Îmân, 2/265, Ahmad bin Husain al-Baihaqi, Maktabah ar-Rusyd, Riyadh, Cet. Pertama, Th. 1423 H/ 2003M.
[6]. Sahîh Bukhâri, 8/135, Muhammad bin Ismail al-Bukhâri, Daar Thauqun-Najah, Cet. Ketiga, Th. 1422 H. Hadits no. 6664. Sahîh Muslim, 1/166. Muslim bin al-Hajjaj al-Naisaburi, Daar Ihya’ Turats, Beirut, tanpa tahun. Hadits no. 201.
[7]. Syarah Hadîts al-Nuzûl, hlm. 133-134. Ahmad bin Abdul-Halim Ibn Taimiyyah, al-Maktab al-Islami, Beirut, Cet. Kelima, Th. 1397 H/ 1977 M. Bit-tasharruf.
[8]. Mafâtihul Ghaib, Juz 28, hlm. 134. Muhammad bin Umar ar-Razi, Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, Beirut, Cet. Kedua, Th. 1420 H. Lihat Tafsir Ibn ‘Asyur (al-Tahrîr wa al-Tanwîr), 26/301. Muhammad al-Thahir bin Muhammad Ibn ‘Asyur, al-Dar al-Tunusiyah li al-Nasyr, Tunisia, tanpa cet. Th. 1964 M. Lihat al-Kasysyaf ‘an Haqâiq Ghawamidh al-Tanzîl, 4/383. Mahmud bin ‘Amr al-Zamakhsyari, Dar al-Kitab al-‘Arabi, Beirut, Cet. Ketiga, Th. 1407 H. Lihat Anwâr al-Tanzîl wa Asrar al-Ta’wil, 5/141. ‘Abdullah bin Umar al-Baidhawi, Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, Beirut, Cet. Pertama, Th. 1418 H.
[9]. Jâmi’ul Bayân fi Ta’wîl Ayil-Qur’ân, 22/342. Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Muassasah ar-Risalah, Cet. Pertama, Th. 1420 H/ 2000 M. Lihat al-Jâmi’ li Ahkâmil-Qur’ân, 17/9. Dar al-Kutub al-Mishriyah, Kairo, Cet. Kedua, Th. 1384H/1964 M.
[10]. Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, 7/398, Ibn Katsir.
[11]. Mukhtashar al- Shawîiq al-Mursalah, hlm. 480, Muhammad bin Muhammad al-Mushili, Dar al-Hadis, Kairo, Cet. Pertama, Th. 1422H/2001M.
[12]. Majmû’ al-Fatâwâ, 5/507, Ahmad bin ‘Abdul-Halim Ibn Taimiyah, Mujamma’ al-Malik Fahd li Thiba’at al-Mushhaf al-Syarif, Madinah Munawwarah. Cet. Th. 1416 H/ 1995 M.
[13]. Mukhtashar al-Shawâ-iq al-Mursalah, hlm. 494.
[14]. Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, 7/398.
[15]. Adhwâul Bayân fi Îdhâhil Qur’ân bil-Qur’ân, 7/426. Muhammad al-Amin bin Muhammad al-Mukhtar al-Syinqithi, Dar al-Fikr, Libanon, tanpa nomor cetakan, Th. 1415 H/ 1995 M.
=================
Salah Paham dengan Ayat “Kami Lebih Dekat dari Urat Leher”
وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ
“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya” (QS. Qoof: 16). Kata mereka, dari sini kita harus katakan bahwa Allah itu dekat, bukan jauh di langit sana. Itulah argumen mereka.
Semoga tulisan berikut bisa menjawab kerancuan di atas. Hanya Allah yang memberi taufik dan kemudahan.
Apa yang Dimaksud Kedekatan Dalam Ayat Ini?
Para ulama ahli tafsir berselisih pendapat mengenai makna kedekatan dalam ayat di atas, apakah yang dimaksud adalah kedekatan Allah atau kedekatan malaikat.
Abul Faroj menyebutkan bahwa ada dua pendapat ketika mengartikan kedekatan dalam ayat di atas.
Pertama adalah kedekatan para malaikat.
Kedua adalah kedekatan Allah dengan ilmu-Nya, sebagaimana yang disebutkan dari Abu Sholih, dari Ibnu ‘Abbas.
Namun ingat, mereka sama sekali tidak memaksudkan kedekatan di situ adalah kedekatan Dzat Allah ‘azza wa jalla, yaitu Dzat Allah dekat dengan urat leher dari seorang hamba. Jadi, jika ulama tersebut menafsirkan kedekatan di situ bukan kedekatan para malaikat, maka mereka mereka akan menafsirkan bahwa kedekatan tersebut adalah kedekatan dengan ilmu dan qudroh (kekuasaan) Allah. –Demikian penuturan dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah-[1]
Jadi, perlu diperhatikan bahwa tidak ada satu pun ulama Ahlus Sunnah yang mengartikan kedekatan Allah dengan kedekatan Dzat-Nya, sehingga jika kedekatan-Nya dimaknakan Allah berada di mana-mana, ini adalah makna yang jelas-jelas keliru.
Tafsiran yang Lebih Tepat
Dari dua tafsiran ulama mengenai “kedekatan” dalam surat Qaaf ayat 16, kedekatan yang lebih tepat adalahkedekatan para malaikat bukan kedekatan ilmu Allah. Alasannya adalah:
Pertama: Melihat kelanjutan surat Qaaf ayat 16 yang membicarakan tentang malaikat.[2]
Selengkapnya Allah Ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ, إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya, (yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaaf: 16-18). Konteks ayat ini membicarakan tentang malaikat.
Kedua: Yang dimaksudkan “al insan (manusia)” dalam surat Qaaf ayat 16 adalah umum, baik mukmin ataupun kafir. Jika kita menyatakan yang dimaksudkan dalam ayat itu adalah kedekatan Allah, maka ini sangat bertentangan. Kedekatan Allah tidak mungkin pada orang kafir. Kedekatan Allah hanya pada orang beriman saja. Sehingga yang lebih tepat kita katakan, maksud ayat ini adalah kedekatan para malaikat.[3]
Mungkin ada yang mengatakan bahwa dalam surat Qaaf ayat 16 digunakan kata ‘Kami (nahnu)’, “Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya”, namun kenapa yang dimaksudkan adalah malaikat dan adakah contoh yang semisal?
Jawabannya, ada contoh ayat yang semisal. Sama-sama menggunakan kata ‘Kami (nahnu)’, namun yang dimaksudkan adalah kedekatan malaikat. Contohnya firman Allah Ta’ala,
لا تُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِ , إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ
“Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Qur’an karena hendak cepat-cepat (menguasai) nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.” (QS. Al Qiyamah: 16-17). Yang dimaksud dengan “Kami” di sini adalah Malaikat Jibril. Allah menyandarkan perbuatan Jibril pada diri-Nya karena Jibril adalah utusan-Nya. Sebagaimana dalam surat Qaaf ayat 16 Allah menyandarkan kedekatan malaikat pada diri-Nya karena malaikat adalah utusan-Nya. Hal itu dibuktikan dalam ayat,
أَمْ يَحْسَبُونَ أَنَّا لا نَسْمَعُ سِرَّهُمْ وَنَجْوَاهُمْ بَلَى وَرُسُلُنَا لَدَيْهِمْ يَكْتُبُونَ
“Apakah mereka mengira, bahwa Kami tidak mendengar rahasia dan bisikan-bisikan mereka? Sebenarnya (Kami mendengar), dan utusan-utusan (malaikat-malaikat) Kami selalu mencatat di sisi mereka.” (QS. Az Zukhruf: 80)[4]. Sehingga pendapat yang lebih tepat, yang dimaksud kedekatan dalam ayat tersebut adalah kedekatan malaikat sebagaimana pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Begitu pula jika kita temukan dalam ayat lainnya yang menyebutkan kedekatan secara umum (mencakup mukmin dan kafir), maka yang dimaksudkan adalah kedekatan para Malaikat.[5]
Kedekatan Allah dengan Orang Beriman
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa makna kedekatan bisa dua kemungkinan yaitu kedekatan Allah atau kedekatan malaikat-Nya, dan bukan berarti mengkonsekuensikan Allah ada di mana-mana. Begitu pula perlu dipahami bahwa kedekatan Allah di sini adalah hanya khusus untuk orang beriman dan bukan dengan orang kafir. Namun apakah kedekatan Allah dengan orang beriman dalam segala keadaan?
Jawabannya, kedekatan Allah di sini hanya dalam beberapa keadaan. Contoh kedekatan Allah adalah:
Pertama: Ketika berdo’a
Sebagaimana hal ini terdapat dalam ayat berikut.
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), “Aku itu dekat”. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al Baqarah: 186)
Begitu juga terdapat dalil dalam Shohih Muslim pada Bab ‘Dianjurkannya merendahkan suara ketika berdzikir’, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَالَّذِى تَدْعُونَهُ أَقْرَبُ إِلَى أَحَدِكُمْ مِنْ عُنُقِ رَاحِلَةِ أَحَدِكُمْ
“Yang kalian seru adalah Rabb yang lebih dekat pada salah seorang di antara kalian daripada urat leher unta tunggangan kalian.”[6]
Kedua: Ketika sujud
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ
“Tempat yang paling dekat antara seorang hamba dengan Rabbnya adalah ketika ia sujud, maka perbanyaklah do’a ketika itu.”[7]
Jadi kedekatan Allah adalah ketika seorang mukmin beribadah dan ketika seorang mukmin berdo’a. Adapun kedekatan secara umum adalah kedekatan para malaikat, sebagaimana pendapat yang lebih kuat.[8]
Akibat Salah Paham
Di antara akibat salah memahami kedekatan surat Qaaf ayat 16 tersebut adalah berkeyakinan Allah menyatu dengan makhluk atau Allah berada dalam makhluk.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Hal ini berbeda dengan pemahaman orang yang menyimpang. Mereka menyangka bahwa Tuhan mereka bercampur dengan darah dan daging manusia. Akibatnya mereka pun menyatakan bahwa manusia tidaklah semata-mata disebut makhluk. Mereka mengatakan bahwa Pencipta dan makhluk itu satu. Menurut sangkaan keliru mereka, Allah sebagai sesembahan berada di dalam dan luar urat leher manusia. Jadi menurut mereka, Allah itu bercampur dengan makhluk. [9] Maha Suci Allah dari sangkaan buruk mereka.
Allah Tetap Berada Di Atas Langit
Walaupun dalam pembahasan kali ini kami membahas kedekatan Allah, namun sekali lagi jangan dipahami bahwa maksud kedekatan di sini melazimkan Allah ada di mana-mana sebagaimana anggapan sebagian orang yang salah kaprah. Tidak ada satu pun ulama Ahlus Sunnah yang berjalan di atas kebenaran yang menyatakan seperti itu. Allah tetap berada di atas langit sesuai dengan sifat yang layak bagi-Nya. Allahsubhanahu wa ta’ala berada di atas ‘Arsy, terpisah dengan makhluk-Nya. Keyakinan inilah yang menjadi konsensus (ijma’) para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah.[10]
Dalil-dalil yang mendukung keberadaan Allah di atas seluruh makhluk-Nya amatlah banyak, sampai-sampai ulama besar Syafi’iyah mengatakan bahwa ada 1000 dalil yang mendukung hal ini. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Sebagian ulama besar Syafi’iyah mengatakan bahwa dalam Al Qur’an ada 1000 dalil atau lebih yang menunjukkan Allah itu berada di ketinggian di atas makhluk-makhluk-Nya. Sebagian mereka mengatakan ada 300 dalil yang menunjukkan hal ini.”[11]
Di antara dalil yang menunjukkan bahwa Allah berada di atas langit, di atas seluruh makhluk-Nya adalah:
Pertama: Ayat tegas yang menyatakan Allah beristiwa’ (bersemayam) di atas ‘Arsy. ‘Arsy adalah makhluk Allah yang paling tinggi dan paling besar.
Contoh ayat tersebut adalah,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“(Yaitu) Rabb Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ‘Arsy .” (QS. Thaha: 5)
Kedua: Dalil yang menanyakan di manakah Allah. Seperti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya pada seorang budak, “Di mana Allah?” Budak itu menjawab, “Di atas langit.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Siapa saya?” Budak tersebut menjawab, “Engkau adalah Rasulullah.” Lantas Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Merdekakanlah dia karena dia adalah seorang mukmin.” (HR. Muslim)
Adz Dzahabi mengatakan, “Inilah pendapat kami bahwa siapa saja yang ditanyakan di mana Allah, maka akan dibayangkan dengan fitrohnya bahwa Allah di atas langit. Jadi dalam riwayat ini ada dua permasalahan: [1] Diperbolehkannya seseorang menanyakan, “Di manakah Allah?” dan [2] Orang yang ditanya harus menjawab, “Di atas langit”.” Lantas Adz Dzahabi mengatakan, “Barangsiapa mengingkari dua permasalah ini berarti dia telah menyalahkan Musthofa (Nabi Muhammad) shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [12]
Ketiga: Dalil yang menyatakan bahwa Allah menceritakan mengenai Fir’aun yang ingin menggunakan tangga ke arah langit agar dapat melihat Tuhannya Musa. Lalu Fir’aun mengingkari keyakinan Musa mengenai keberadaan Allah di atas langit. Allah Ta’ala berfirman,
وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَا هَامَانُ ابْنِ لِي صَرْحًا لَعَلِّي أَبْلُغُ الْأَسْبَابَ (36) أَسْبَابَ السَّمَاوَاتِ فَأَطَّلِعَ إِلَى إِلَهِ مُوسَى وَإِنِّي لَأَظُنُّهُ كَاذِبًا
“Dan berkatalah Fir’aun: “Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Musa dan sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta”.” (QS. Al Mu’min: 36-37)
Ibnu Abil ‘Izz mengatakan, “Mereka jahmiyah yang mendustakan ketinggian Dzat Allah di atas langit, mereka itu termasuk pengikut Fir’aun. Sedangkan yang menetapkan ketinggian Dzat Allah di atas langit, merekalah pengikut Musa dan pengikut Muhammad.” [13]
Begitu pula empat imam madzhab bersepakat mengenai hal ini. Bahkan keyakinan ini adalah keyakinan semua nabi. Syaikh Abdul Qodir Al Jailani mengatakan, “Keyakinan bahwa Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy-Nya telah disebutkan dalam setiap kitab suci yang Allah turunkan pada para nabi.”[14]
Memang Betul Ilmu Allah Di Mana-Mana, Namun Bukan Dzat Allah
Jika dikatakan ilmu Allah di mana-mana, itu memang benar. Namun jika dikatakan bahwa Dzat Allah ada di mana-mana, maka perkataan seperti ini berarti telah mendustakan 1000 dalil dalam Al Qur’an. Lihatlah perkataan imam madzhab dan para ulama.
Abdullah bin Nafi’ berkata bahwa Malik bin Anas mengatakan, “Allah berada di atas langit. Sedangkan ilmu-Nya berada di mana-mana, segala sesuatu tidaklah lepas dari ilmu-Nya.”[15]
Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanyakan, “Apakah Allah ‘azza wa jalla berada di atas langit ketujuh, di atas ‘Arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya, sedangkan kemampuan dan ilmu-Nya di setiap tempat (di mana-mana)?” Imam Ahmad pun menjawab, “Betul sekali. Allah berada di atas ‘Arsy-Nya, namun setiap tempat tidaklah lepas dari ilmu-Nya.”[16]
Dari ‘Ali bin Al Hasan bin Syaqiq, dia berkata, “Aku berkata kepada Abdullah bin Al Mubarok, bagaimana kita mengenal Rabb kita ‘azza wa jalla. Ibnul Mubarok menjawab, “Rabb kita berada di atas langit ketujuh dan di atasnya adalah ‘Arsy. Tidak boleh kita mengatakan sebagaimana yang diyakini oleh orang-orang Jahmiyah yang mengatakan bahwa Allah berada di sini yaitu di muka bumi.” Kemudian ada yang menanyakan tentang pendapat Imam Ahmad bin Hambal mengenai hal ini. Ibnul Mubarok menjawab, “Begitulah Imam Ahmad sependapat dengan kami.”[17]
Penutup
Dengan demikian seharusnya kita dapat mengkompromi antara dalil yang menyatakan Allah berada di atas langit dan dalil kedekatan atau kebersamaan Allah karena tidak mungkin ayat Al Qur’an satu dan lainnya saling bertentangan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al Aqidah Al Wasithiyah mengatakan, “Kedekatan dan kebersamaan Allah yang disebutkan dalam Al Kitab dan As Sunnah tidaklah bertentangan denga ketinggian Allah Ta’ala. Tidak ada sesuatu pun yang semisal dengan-Nya dalam setiap sifat-sifat-Nya. Allah Maha Tinggi, namun dekat. Dia Maha Dekat, namun tetap berada di ketinggian.”
Kesimpulan:
- Allah berada di atas ‘Arsy sesuai dengan sifat yang layak bagi-Nya.
- Allah juga selalu dekat dengan hamba-Nya yang beriman, namun bukan berarti Dzat Allah di mana-mana.
- Ilmu Allah di mana-mana, namun Dzat Allah tetap di atas ‘Arsy-Nya.
- Tidak ada satu pun ulama Ahlus Sunnah yang mengatakan kedekatan Allah dengan kedekatan Dzat-Nya sehingga berarti Allah ada di mana-mana.
- Allah Maha Tinggi, namun dekat. Dia Maha Dekat, namun tetap berada di ketinggian.
- Sesuatu yang mustahil bagi makhluk, tidak mustahil bagi Allah. Makhluk tidak mungkin dikatakan berada di tempat yang tinggi tetapi dekat, namun hal itu mungkin saja bagi Allah. Karena Allah Maha Besar, segala sesuatu sangat mungkin bagi Allah.
- Menurut pendapat yang lebih tepat, pada surat Qaaf ayat 16 (Kami lebih dekat dari urat leher), yang dimaksud adalah kedekatan malaikat. Jika ingin dimaknakan kedekatan Allah, maka yang dimaksudkan adalah kedekatan Allah dengan ilmu-Nya dan bukan berarti Dzat Allah di mana-mana.
==========
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ ۖ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ ﴿١٦﴾ إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ ﴿١٧﴾ مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang telah dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya.Yaitu ketika kedua malaikat mencatat amal perbuatannya, satu duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri.Tiada satu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir. [Qâf/50:16-18]
ARTI KATA (MAKNA MUFRADAT) DALAM AYAT
تُوَسْوِسُ : (hatinya) membisikkan.
حَبْلِ الْوَرِيدِ : urat leher.
يَتَلَقَّى : mencatat (amal perbuatannya).
الْمُتَلَقِّيَانِ : kedua (malaikat) yang mencatat.
قَعِيدٌ : duduk
يَلْفِظُ : mengucapkan
رَقِيبٌ : (malaikat) pengawas.
عَتِيد : yang selalu hadir/ bersama.
MAKNA AYAT SECARA UMUM
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah mengatakan, "Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan bahwa Dialah yang menciptakan manusia, baik laki maupun perempuan, Dia Mengetahui keadaan mereka, mengetahui apa yang membuat hati mereka senang dan apa yang dibisikkan oleh hati mereka. Kedekatan-Nya dengan manusia lebih dekat daripada urat lehernya, padahal urat leher ini termasuk anggota tubuh yang paling dekat dari manusia. Yaitu urat yang berada di sekitar lubang tenggorokan. Pemberitahuan Allâh Subhanahu wa Ta’ala ini dapat memotivasi seseorang untuk murâqabah (merasa diawasi) oleh Sang Pencipta, yaitu Dzat yang mengawasi batinnya, yang dekat darinya dalam segala situasi dan kondisi. Hendaklah seseorang malu dilihat oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala jika ia mau melakukan apa yang dilarang dan meninggalkan apa yang diperintahkan. Dan sebelum seseorang mengucapkan atau melakukan kemungkaran atau meninggalkan kewajibannya, hendaklah merasa diawasi oleh malaikat yang berada di sebelah kanan dan kirinya yang siap melaksanakan tugasnya. Di sebelah kanannya adalah malaikat pencatat perkataan dan perbuatan baik, sedangkan di sebelah kirinya adalah malaikat pencatat perkataan dan perbuatan buruk. Tidak ada satu pun perkataan yang terucap, baik perkataan itu baik atau buruk melainkan ada malaikat yang senantiasa mengawasi dan hadir bersamanya untuk mencatat ucapannya tersebut.[1]
ILMU DAN PENGETAHUAN ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA TERHADAP SEGALA SESUATU
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ
Dan sungguh kami telah menciptakan manusia dan kami mengetahui apa yang dibisikkan hatinya,…[Qâf/50:16].
Syaikh asy-Syinqithi rahimahullah berkata, “Dalam ayat ini, Allâh Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa tidak ada yang tersembunyi bagi Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Yang tersembunyi pun sama seperti yang nampak di sisi-Nya, dan Dia Maha Mengetahui gerak-gerik hati dan apa yang nampak."[2]
Jadi Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengetahui dan menyaksikan apa-apa yang tersembunyi dalam hati manusia, dan mengetahui apa yang diperbuat oleh manusia di manapun ia berada, di darat, di udara maupun di laut, pada waktu malam atau pun siang, di dalam rumah atau pun di luar rumah; Semuanya sama dalam pengawasan Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Dia melihat di manapun manusia berada serta mengetahui apa-apa yang mereka sembunyikan.[3]
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam ayat lain :
وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ
Dan ketahuilah sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada dalam hati kalian, maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah sesungguhnya Allâh Maha pengampun lagi Maha penyantun. [al-Baqarah/2:235].
Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman pada ayat lain :
إِنَّ اللَّهَ لَا يَخْفَىٰ عَلَيْهِ شَيْءٌ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي السَّمَاءِ
Sesungguhnya bagi Allâh tidak ada suatupun yang tersembunyi di bumi dan tidak pula di langit. [Ali 'Imrân/3:5]
Ayat di atas dan yang semisalnya menunjukkan bahwa Allâh Subhanahu wa Ta’ala itu maha tahu terhadap segala sesuatu. Ini memberikan pelajaran agar kita senantiasa merasa diawasi oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala dalam setiap ucapan dan tingkah-laku, karena kita tidaklah terlepas dari pengawasan-Nya.
Salah seorang dari Ulama salaf berkata, "Jika kalian melakukan suatu perbuatan, maka ingatlah bahwa Allâh Subhanahu wa Ta’ala memandang perbuatanmu; dan jika engkau berbicara, maka ingatlah pendengaran Allâh Subhanahu wa Ta’ala atas pembicaraanmu; dan ketika engkau diam, maka ingatlah pengetahuan Allâh Subhanahu wa Ta’ala atas apa yang ada di dalam hatimu).[4]
Murâqabatullah (rasa diawasi dan dilihat Allâh Subhanahu wa Ta’ala ) ini apabila menancap kuat dalm hati seorang hamba dalam setiap gerak-geriknya, maka ini akan membentengi dia dari perbuatan maksiat, sebagaimana telah dilakukan oleh Nabi Allâh yakni Yûsuf Alaihissallam menghindar dari godaan Zulaikhah, isteri seorang raja yang cantik jelita. Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengisahkan dalam firman-Nya :
وَرَاوَدَتْهُ الَّتِي هُوَ فِي بَيْتِهَا عَنْ نَفْسِهِ وَغَلَّقَتِ الْأَبْوَابَ وَقَالَتْ هَيْتَ لَكَ ۚ قَالَ مَعَاذَ اللَّهِ
Dan wanita (Zulaikha) yang Yûsuf tinggal di rumahnya yang menggoda Yûsuf untuk menundukkan dirinya dan dia menutup pintu-pintu, seraya berkata:”Marilah kesini”, Yûsuf berkata: "Aku berlindung kepada Allâh”. [Yûsuf/12:23].
Demikian pula diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi rahimahullah, bahwasannya ada seorang al-A’rabi (orang gurun/baduwi), ketika ia keluar dari rumahnya saat malam hari yang gelap gulita ia bertemu dengan budak perempuan, kemudian ia ingin berbuat zina dengan budak tersebut, lalu si budak perempuan pun berkata, “Celaka kamu, apa kamu tidak malu melakukan ini ? Apa kamu tidak memiliki agama yang melarangmu dari perbuatan mesum ini?" Si Baduwi pun menjawab, “Sungguh, tidak ada yang melihat kita kecuali bintang-bintang di langit saja". Si budak perempuan menjawab, “Bukankah Sang Pencipta bintang melihat kita ?"[5]
Murâqabah inilah yang menyebabkan seseorang berbuat jujur dalam tutur kata dan perilakunya. Murâqabah juga menjadikan seseorang melaksanakan amanat dan tidak berkhianat, berbuat adil dan tidak menzhalimi orang lain, tidak mengambil harta yang bukan haknya, baik secara sembunyi-sembunyi (korupsi) maupun terang-terangan (merampok). Jika murâqabah tersebut ada di hati setiap Muslim, niscaya dunia Islam akan menemui kejayaan, para pejabat tidak korupsi, bahkan menyisihkan harta mereka untuk fakir miskin serta menegakkan keadilan. Dengan murâqabah ini, para pedagang pun tidak mengurangi timbangan, tempat-tempat kemaksiatan pun akan gulung tikar dengan sendirinya, pencuri, perampok, PSK, pengedar dan konsumen narkoba akan meninggalkan profesi mereka, dengan tanpa adanya pemaksaan atas diri mereka.
Ada satu pertanyaan, jika Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengetahui apa yang tersembunyi dalam hati seorang hamba, apakah setiap suara hati yang mengajak kepada kemungkaran akan dicatat sebagai kemaksiatan dan dosa ?
jawaban dari pertanyaan ini adalah sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ لِأُمَّتِي مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا، مَا لَمْ يَتَكَلَّمُوا، أَوْ يَعْمَلُوا بِهِ
Sesungguhnya Allâh Subhanahu wa Ta’ala memaafkan umatku dari bisikan jelek jiwanya selagi ia tidak mengatakannya atau melakukannya. (HR Bukhâri dan Muslim).[6]
Jadi, bisikan hati atau suara hati yang mungkar atau mengajak kepada kemungkaran tidak dicatat sebagai dosa, selagi hal itu tidak diungkapkan dengan ucapan atau diwujudkan dalam perbuatan.
PENAFSIRAN KEDEKATAN ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA
Selanjutnya Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ
Dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya. [Qâf/50:16].
Penggalan ayat di atas, jika dipahami secara zhahir lafadznya (tekstual) memberikan pemahaman bahwa Dzat Allâh Subhanahu wa Ta’ala itu lebih dekat kepada manusia dari urat lehernya. Pemahaman seperti ini menyebabkan sebagian orang beranggapan bahwa Dzat Allâh Subhanahu wa Ta’ala ada dalam diri manusia, sehingga ia tidak dapat membedakan antara si makhluk dengan sang Khaliq, sampai-sampai ada yang mengucapkan kalimat tahlîl dengan mengatakan "lâ ilâha illâ ana” (tidak ada tuhan kecuali aku), dengan beranggapan bahwa Sang Khaliq ada dalam dirinya. Pemahaman seperti ini tidak benar, dan Maha Suci Allâh Subhanahu wa Ta’ala dari pemahaman seperti ini; Karena di samping menyelisihi pemahaman para Ulama, pemahaman ini juga memberi makna bahwa Allâh Subhanahu wa Ta’ala menyatu dengan semua orang, baik yang shalih, kafir maupun fasiq, Maha Tinggi Allâh Subhanahu wa Ta’ala dari yang demikian itu...! Pemahaman ini juga menyelisihi ayat-ayat Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang menjelaskan bahwa Dzat Allâh Subhanahu wa Ta’ala ada di atas ‘Arsy-Nya, seperti disebutkan dalam firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
الرَّحْمَٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ
Yang Maha Pengasih bersemayam di atas Arsy-Nya. [Thahâ/20:5].
Pada ayat yang lain Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَىٰ عَلَى الْعَرْشِ
Sesungguhnya Rabbmu adalah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam hari kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy-Nya, … [al-A’râf/7:54].
Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman :
إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَىٰ عَلَى الْعَرْشِ ۖ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ
Sesungguhnya Rabbmu adalah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy-Nya untuk mengatur segala urusan… [Yûnus/10:3].
Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman.
اللَّهُ الَّذِي رَفَعَ السَّمَاوَاتِ بِغَيْرِ عَمَدٍ تَرَوْنَهَا ۖ ثُمَّ اسْتَوَىٰ عَلَى الْعَرْشِ ۖ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ ۖ كُلٌّ يَجْرِي لِأَجَلٍ مُسَمًّى
"Allâh-lah yang meninggikan langit tanpa tiang sebagaimana yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy-Nya, dan menundukkan matahari dan bulan, masing-masing beredar sampai batas waktu yang ditentukan…[ar-Ra’d/13:2].
Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman.
الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَىٰ عَلَى الْعَرْشِ
"Yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam hari, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy-Nya…[al-Furqân/25:59].
Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang menjelaskan bahwa Dzat Allâh Subhanahu wa Ta’ala ada di atas ‘Arsy-Nya, tidak menyatu dalam diri manusia.
Syaikhul-Islam mengatakan, "Adapun orang yang beranggapan bahwa kedekatan Allâh Subhanahu wa Ta’ala dalam ayat di atas adalah kedekatan Dzat Allâh Subhanahu wa Ta’ala , maka pemahaman yang seperti ini adalah sangat lemah, karena menurut mereka Dzat Allâh Subhanahu wa Ta’ala ada di mana mana. Kalaulah Dzat Allâh Subhanahu wa Ta’ala itu ada di mana-mana, maka Ia dekat dengan segala sesuatu. Ia juga dekat dari seluruh anggota tubuh manusia; jika demikian, maka pengkhususan pada ayat di atas bahwa Dzat Allâh Subhanahu wa Ta’ala itu lebih dekat kepada manusia dari pada urat lehernya menjadi tidak ada artinya."[7]
LANTAS, BAGAIMANAKAH PENAFSIRAN PARA ULAMA TERHADAP AYAT DI ATAS?
Para Ulama, dalam menafsirkan ayat di atas, mereka berbeda pendapat. Pendapat pertama mengatakan bahwa kedekatan tersebut adalah kedekatan maqdarah (kemampuan dan kekuasaan) Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan kedekatan ilmu[8] (pengetahuan) Allâh Subhanahu wa Ta’ala terhadap manusia.[9] Pendapat kedua mengatakan bahwa kedekatan tersebut adalah kedekatan Malaikat Allâh Subhanahu wa Ta’ala terhadap manusia.[10]
Pendapat kedua inilah yang râjih (kuat) karena memiliki argumentasi yang kuat pula, diantaranya:
1. Pertama. Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengikat potongan ayat di atas dengan Zharaf zaman (keterangan waktu) yang terletak pada ayat berikutnya, yakni :
إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ
Yaitu ketika kedua malaikat mencatat amal perbuatannya, satu duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. [Qâf/50:17].
Hal itu memberikan makna, yang dimaksud dengan kedekatan Kami pada ayat di atas adalah kedekatan malaikat-malaikat-Nya, dan tidak cocok kalau diartikan dengan kedekatan ilmu Allâh Azza wa Jalla atau kedekatan kekuasaan-Nya, karena kedekatan ilmu Allâh Azza wa Jalla dan kekuasaan-Nya terhadap makhluk-Nya itu setiap saat dan tidak terikat dengan waktu tertentu. Dan andaikata diartikan dengan kedekatan ilmu atau kekuasaan, maka tidak ada artinya ikatan dzaraf zaman tersebut.[11]
2. Kedua. Allâh Azza wa Jalla menyebutkan dengan kata jamak نحن (Kami). Hal ini, jika disebutkan di dalam ayat-ayat al-Qur’ân, maka maknanya adalah Allâh Azza wa Jalla melakukannya dengan cara memerintahkan para malaikat-Nya untuk melaksanakannya, seperti terdapat pada banyak ayat diantaranya :
نَتْلُو عَلَيْكَ مِنْ نَبَإِ مُوسَىٰ وَفِرْعَوْنَ بِالْحَقِّ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
Kami membacakan kepadamu sebagian dari kisah Musa dan Fir’aun dengan benar untuk orang-orang yang beriman. [al-Qashash/28:3].
نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ أَحْسَنَ الْقَصَصِ بِمَا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ هَٰذَا الْقُرْآنَ وَإِنْ كُنْتَ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الْغَافِلِينَ
Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan al-Qur’an ini kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum kami mewahyukannya adalah termasuk orang-orang yang belum mengetahui. [Yûsuf/12:3]
إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ ﴿١٧﴾ فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ
Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami selesai membacanya, maka ikutilah bacaannya. [al-Qiyâmah/75:17-18].
Dan masih banyak lagi ayat-ayat lainnya yang kesemuanya itu menunjukkan bahwa yang melakukan perbuatan tersebut adalah malaikat-malaikat Allâh Subhanahu wa Ta’ala atas perintah-Nya.[12]
Ketiga. Penggunaan uslûb (gaya bahasa) semacam ini sudah tidak asing lagi dalam Bahasa Arab. Demikian ini sering digunakan oleh para pemimpin dan pembesar Arab, yakni menyandarkan perbuatan para prajurit kepada mereka, para pemimpin; yang perbuatan itu dilakukan atas dasar perintah dari pemimpin mereka. Oleh karena itu sebagian pemimpin mengatakan “kami telah menghabisi dan mengalahkan musuh”. Demikian pula para ahli sejarah mengatakan “Raja Fulan telah menaklukkan negara ini dan itu”, padahal yang melakukan adalah pasukan dan bala tentaranya atas perintahnya. Dan termasuk gaya bahasa yang seperti ini pula pada ayat-ayat yang telah disebutkan di atas, yakni dengan memakai kata jamak yang menunjukkan bahwa yang melakukan hal itu adalah malaikat Allâh Subhanahu wa Ta’ala atas dasar perintah-Nya.[13]
Dan masih banyak lagi argumentasi dari pendapat kedua tersebut. Jadi, maksud kedekatan pada ayat di atas adalah kedekatan malaikat Allâh Subhanahu wa Ta’ala .
PERKATAAN DAN PERBUATAN MANUSIA DICATAT OLEH MALAIKAT
Selanjutnya Allâh Azza wa Jalla berfirman :
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
Tiada satu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir. [Qâf/50:18].
Pada ayat ini Allâh Azza wa Jalla menyebutkan bahwa ucapan manusia itu tidak luput dari catatan dua malaikat-Nya yang ditugaskan sebagai pencatat amal. Yang satu mencatat amalan baik, dan yang lainnya mencatat amalan buruk. Hal ini dapat menjadi motivasi bagi setiap hamba yang beriman untuk senantiasa merasa diawasi oleh malaikat pencatat amalan dalam setiap perkataaan dan tingkah lakunya.
Lalu apakah semua ucapan manusia itu dicatat oleh malaikat sampai yang mubah pula, misal seperti “Saya sudah makan, minum , pergi , datang”, dan lain-lain, atau hanya yang baik dan buruk saja?
Dalam hal ini, para Ulama berselisih pendapat terbagi dalam dua pendapat.
1. Pendapat pertama mengatakan bahwa yang dicatat itu adalah semua perkataan, baik perkataan yang mubah, haram maupun yang baik.
2. Pendapat kedua mengatakan tidak semua perkataan itu dicatat, akan tetapi perkataan yang baik dan buruk saja. Dan yang râjih dari dua pendapat ini adalah pendapat pertama, karena keumuman ayat di atas menunjukkan bahwa semua perkataan itu dicatat oleh malaikat.[14]
Untuk apa semua amalan manusia itu dicatat ? Bukankah Allâh Azza wa Jalla mengetahui semuanya ?
Jawabannya, betul, Allâh Azza wa Jalla tidak membutuhkan hal itu, karena Dia mengetahui segalanya, tidak ada yang tersembunyi sesuatupun dari-Nya. Adapun Dia memerintahkan malaikat-Nya untuk mencatat amalan manusia adalah karena ada hikmah lain di balik itu; misalnya untuk menegakkan hujjah atau sebagai bukti atas manusia kelak pada hari kiamat bahwa ia pernah berkata dan berbuat demikian dan demikian, sehingga manusia tidak dapat mengingkarinya karena ada bukti catatan amalnya, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :
وَنُخْرِجُ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كِتَابًا يَلْقَاهُ مَنْشُورًا ﴿١٣﴾ اقْرَأْ كِتَابَكَ كَفَىٰ بِنَفْسِكَ الْيَوْمَ عَلَيْكَ حَسِيبًا
Dan Kami keluarkan baginya pada hari kiamat sebuah kitab (catatan amal) yang dijumpainya terbuka. “Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini menghitung amalanmu sendiri". [al-Isrâ/17:13-14].[15]
PELAJARAN YANG DAPAT DIPETIK DARI AYAT
1. Allâh Subhanahu wa Ta’ala Maha Mengetahui segala sesuatu sampai apa saja yang ada dalam hati manusia, maka hendaklah dijadikan sebagai motivasi setiap muslim untuk senantiasa merasa diawasi oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala pada setiap perkataan maupun perbuatan.
2. Bisikan hati atau suara hati yang mungkar atau mengajak kepada kemungkaran tidak dicatat sebagai dosa selagi tidak diungkapkan dalam ucapan atau diwujudkan dengan perbuatan.
3. Perbuatan dan perkataan manusia tidak luput dari catatan dua malaikat Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang selalu mengawasi dan hadir bersama manusia, maka hendaklah dijadikan sebagai motivasi oleh setiap muslim untuk menjaga perkataan dan perbuatannya dari hal-hal yang tidak diradhai Allâh Subhanahu wa Ta’ala .
4. Kedekatan pada ayat di atas adalah kedekatan malaikat Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang lebih dekat kepada manusia dari urat lehernya.
5. Dua malaikat pencatat amal manusia itu berada di sebelah kanan dan kirinya. Di sebelah kanan pencatat amalan baik, dan di sebelah kiri pencatat amalan buruk, bukan berarti di sebelah kanan dan kiri itu di sebelah pundak kanan dan kiri manusia, sehingga terkesan kontradiksi dengan kedekatan kepada manusia melebihi dekatnya urat leher, akan tetapi kedekatan malaikat tersebut tetap lebih dekat kepada manusia dari urat lehernya meski posisi mereka berada di sebelah kanan dan kiri. Adapun keberadaan mereka terletak di mana ? Maka Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang lebih mengetahui perihal ini.
6. Diantara hikmah dari pencatatan perkataan dan perbuatan manusia, ialah untuk menegakkan hujjah atas mereka kelak pada hari kiamat, atau sebagai bukti bahwa ia dahulu, ketika di dunia telah berkata atau berbuat demikian dan demikian, sehingga ia tidak dapat menolak dan mengingkari hal itu karena ada bukti nyata. Wallâhu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XVI/1434H/2013. ]
_______
Footnote
[1]. Tafsîr as-Sa’di, hlm. 805, Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, Muassasah ar-Risâlah – Beirut, cet. Pertama th. 1420 H/ 2000 M.
[2]. Adhwâ’ul Bayân fi Îdhâhil-Qur’ân bil-Qur’ân, 2/170. Muhammad al-Amin bin Muhammad al-Mukhtar al-Syinqithi, Dar al-Fikr, Lebanon, tanpa nomor cetakan, Th. 1415 H/ 1995 M.
[3]. Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, 8/9, Ismail bin Umar Ibn Katsir, Dar Thaibah, Arab Saudi, Cet. Kedua, Th. 1420 H/ 1999 M.
[4]. Siyar A’lâmun-Nubalâ’, 11/485. Muhammad bin Ahmad adz-Dzahabi, Muassasah ar-Risalah-Beirut, Cet. Ketiga, Th. 1405 H/1985 M.
[5]. Syu’abul Îmân, 2/265, Ahmad bin Husain al-Baihaqi, Maktabah ar-Rusyd, Riyadh, Cet. Pertama, Th. 1423 H/ 2003M.
[6]. Sahîh Bukhâri, 8/135, Muhammad bin Ismail al-Bukhâri, Daar Thauqun-Najah, Cet. Ketiga, Th. 1422 H. Hadits no. 6664. Sahîh Muslim, 1/166. Muslim bin al-Hajjaj al-Naisaburi, Daar Ihya’ Turats, Beirut, tanpa tahun. Hadits no. 201.
[7]. Syarah Hadîts al-Nuzûl, hlm. 133-134. Ahmad bin Abdul-Halim Ibn Taimiyyah, al-Maktab al-Islami, Beirut, Cet. Kelima, Th. 1397 H/ 1977 M. Bit-tasharruf.
[8]. Mafâtihul Ghaib, Juz 28, hlm. 134. Muhammad bin Umar ar-Razi, Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, Beirut, Cet. Kedua, Th. 1420 H. Lihat Tafsir Ibn ‘Asyur (al-Tahrîr wa al-Tanwîr), 26/301. Muhammad al-Thahir bin Muhammad Ibn ‘Asyur, al-Dar al-Tunusiyah li al-Nasyr, Tunisia, tanpa cet. Th. 1964 M. Lihat al-Kasysyaf ‘an Haqâiq Ghawamidh al-Tanzîl, 4/383. Mahmud bin ‘Amr al-Zamakhsyari, Dar al-Kitab al-‘Arabi, Beirut, Cet. Ketiga, Th. 1407 H. Lihat Anwâr al-Tanzîl wa Asrar al-Ta’wil, 5/141. ‘Abdullah bin Umar al-Baidhawi, Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, Beirut, Cet. Pertama, Th. 1418 H.
[9]. Jâmi’ul Bayân fi Ta’wîl Ayil-Qur’ân, 22/342. Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Muassasah ar-Risalah, Cet. Pertama, Th. 1420 H/ 2000 M. Lihat al-Jâmi’ li Ahkâmil-Qur’ân, 17/9. Dar al-Kutub al-Mishriyah, Kairo, Cet. Kedua, Th. 1384H/1964 M.
[10]. Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, 7/398, Ibn Katsir.
[11]. Mukhtashar al- Shawîiq al-Mursalah, hlm. 480, Muhammad bin Muhammad al-Mushili, Dar al-Hadis, Kairo, Cet. Pertama, Th. 1422H/2001M.
[12]. Majmû’ al-Fatâwâ, 5/507, Ahmad bin ‘Abdul-Halim Ibn Taimiyah, Mujamma’ al-Malik Fahd li Thiba’at al-Mushhaf al-Syarif, Madinah Munawwarah. Cet. Th. 1416 H/ 1995 M.
[13]. Mukhtashar al-Shawâ-iq al-Mursalah, hlm. 494.
[14]. Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, 7/398.
[15]. Adhwâul Bayân fi Îdhâhil Qur’ân bil-Qur’ân, 7/426. Muhammad al-Amin bin Muhammad al-Mukhtar al-Syinqithi, Dar al-Fikr, Libanon, tanpa nomor cetakan, Th. 1415 H/ 1995 M.
0 Response to "Tafsir Qaaf Ayat 16-35"
Post a Comment